oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Tahun 2013 adalah tahun politik. Tahun di saat proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dimulai. Sekarang seluruh partai politik sibuk menyiapkan dan menjaring calon anggota legislatif (caleg). Daftar bakal caleg itu harus sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) maksimal April 2013.
Para calon legislator tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR, 2.137 kursi DPRD provinsi, dan belasan ribu kursi DPRD kota/kabupaten. Beragam cara dilakukan partai politik untuk menggaet caleg. Ada yang mendekati artis-artis terkenal, ada yang mendekati pejabat negara, kepala daerah, pengusaha, juga mantan aktivis. Semua upaya dilakukan dengan tujuan utama meraup suara terbanyak pada pemilu mendatang.
Tahapan penentuan caleg ini adalah masa yang krusial bagi partai. Karena wajah caleg setidaknya akan menggambarkan wajah partai politik tersebut. Apakah caleg yang diajukan menggambarkan komitmen partai untuk menuntaskan agenda reformasi atau tidak. Sebab, caleg adalah calon anggota DPR dan DPRD, yakni di pundak merekalah rakyat menitipkan amanat untuk menjadi bagian dari pengelola negara ini demi kemakmuran rakyat.
Secara hukum, syarat untuk menjadi caleg telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Di dalam pasal 51 dijelaskan bahwa caleg minimal berumur 21 tahun, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, serta setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi.
Kemudian ada larangan rangkap jabatan, yakni seorang caleg harus bersedia untuk tidak rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi atau komisaris pada badan usaha milik negara/daerah. Mereka juga harus bersedia tidak berpraktek sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, serta hak sebagai anggota DPR dan DPRD.
Satu hal yang baru dalam UU Pemilu ini adalah bahwa seorang kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri, anggota TNI dan polisi, serta direksi dan komisaris BUMN/D harus mundur dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon legislator. Pengunduran diri tersebut bersifat permanen, tidak dapat ditarik kembali. Selanjutnya, caleg haruslah mereka yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Ketentuan UU Pemilu tersebut memang telah memberikan rambu-rambu dalam penentuan caleg. Namun persyaratan tersebut masih sangat normatif dan belum cukup. Rakyat membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu. Rakyat membutuhkan caleg yang berkualitas, berintegritas, dan antikorupsi! Kenapa? Karena salah satu masalah utama yang dihadapi oleh lembaga perwakilan rakyat dan partai politik saat ini adalah minimnya integritas dan maraknya korupsi. Lihat saja pemberitaan media, hampir setiap hari ada berita perihal keterlibatan para anggota Dewan dalam kasus korupsi.
Data Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM menunjukkan bahwa terdapat sekitar 59 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi selama 2012. Angka itu di luar nama-nama yang sering disebut-sebut terlibat suatu kasus. Boleh jadi angkanya lebih besar karena sifat korupsi politik itu adalah berjemaah. Melibatkan banyak pihak, baik yang ada di legislatif, eksekutif, maupun pengusaha. Mayoritas mereka terlibat permainan mafia anggaran dan korupsi proyek yang didanai APBN dan APBD. Sebut saja beberapa contoh kasus, seperti korupsi proyek Hambalang, pengadaan Al-Quran, penyelenggaraan PON, dan lain sebagainya.
Berbagai kasus korupsi politikus itu membuktikan bahwa ada yang salah pada pola rekrutmen dan pembinaan kader partai politik. Bahkan terkesan parpol asal-asalan dalam merekrut kader. Yang diutamakan adalah uang dan popularitas tanpa memikirkan integritas. Hal ini diperparah oleh sikap parpol yang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai. Akibatnya, parpol gagal membuktikan diri sebagai pilar demokrasi. Sebaliknya, menjadi pilar korupsi.
Parpol seharusnya mulai sadar bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis. Masyarakat akan berpikir ulang untuk menaruh kepercayaan kepada partai yang dinilai kerap menyalahgunakan wewenang. Karena itu, parpol harus segera berbenah memperbaiki diri. Tidak ada pilihan lain bagi parpol, selain menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.
Momentum rekrutmen caleg harus dijadikan sebagai ajang pembuktian komitmen antikorupsi parpol. Caranya sederhana, parpol harus teliti dalam melihat rekam jejak para caleg. Parpol harus berani menolak caleg yang terlibat korupsi atau disebut-sebut terindikasi terlibat suatu kasus korupsi. Seleksi caleg harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Setiap parpol harus membuka diri dalam proses pemilihan caleg. Uji publik dan masukan masyarakat harus dipertimbangkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses pencalonan anggota legislatif dengan politik uang. Jangan sampai ada transaksional.
Kemudian, syarat lain yang bisa diterapkan adalah laporan harta kekayaan. Sebagai calon pejabat publik, caleg harus bersedia melaporkan harta kekayaannya. Hal ini diwajibkan oleh UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam pasal 5 poin 2 dan 3 ditegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Laporan harta kekayaan ini dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan dan pengontrol agar politikus tidak korupsi.
Terakhir, penting untuk membuat semacam pakta integritas dan kesediaan mengundurkan diri dari keanggotaan DPR dan DPRD jika menjadi tersangka korupsi. Sebab, kita tidak ingin ada lagi kejadian di mana ada anggota DPR yang sudah dihukum tapi masih tercatat sebagai anggota DPR dan masih menikmati gaji yang tinggi setiap bulan. Komitmen yang sama harus diusung oleh partai politik, yakni akan memecat setiap kadernya yang menjadi tersangka korupsi. Dengan demikian, kita masih bisa berharap Pemilu 2014 melahirkan politikus antikorupsi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 29 Januari 2013