oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
DPR sekali lagi digoyang isu tak sedap. Ada anggotanya yang diduga sebagai oknum pemeras badan usaha milik negara.
Awalnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/ IX/2012 perihal Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Hal yang sangat jelas menginginkan dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan pengelolaan uang negara.
Tak lama berselang, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyerukan agar direksi BUMN tidak ”main mata” dengan anggota DPR. Seperti efek domino, setelah surat edaran Seskab serta seruan Menteri BUMN, inisial nama politisi Senayan yang disangka sering memeras BUMN beredar melalui pesan berantai.
Beberapa anggota DPR yang kebetulan berinisial nama sama dengan isi SMS berantai itu kebakaran jenggot. Mereka meminta Dahlan Iskan menjelaskan dengan terang siapa si pemilik inisial. Badan Kehormatan DPR juga berencana memanggil Menteri BUMN terkait desas-desus si anggota dewan pemeras.
Sebetulnya tak sulit meramal maujudnya tukang peras dari Senayan, khususnya dalam pembahasan anggaran. Mereka eksis. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) mungkin bisa menjelaskan kehadiran si tukang peras. Juga bisa mengiaskan bagaimana pemerasan berlangsung.
Salah satu hasil pemeriksaan KPK menyebut ada simbol dan warna tertentu dalam pembahasan anggaran untuk pengembangan daerah. Partai politik yang disebut dalam inisial, minus Partai Gerindra, semua masuk dalam simbol dan warna pembahasan anggaran DPID. Wa Ode Nurhayati, terdakwa yang sudah dihukum dalam kasus itu, seperti mengonfirmasi simbol dan warna dimaksud. Dia menyatakan dalam eksepsinya, semua daerah calon penerima dana sudah ditentukan besaran potongannya.
Namun, menyangka oknum si tukang peras hanya ada di DPR sepertinya tak adil. Pemerintah patut dicurigai pula. Pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, DPR dan pemerintah.
Pemerasan terjadi kemungkinan karena tiga hal. Pertama, syahwat korup lembaga perwakilan membuncah setiap dimulai bahasan soal duit.
Kedua, pemerintah sendiri yang menyediakan diri, membuka jalur korupsi. Kalau benar-benar dari dulu diperas, kenapa tidak memboikot?
Ketiga, DPR dan pemerintah sama korupnya. Korupsi dihasilkan dari pertukaran mandat antara pemegang politik dan pemegang kekuasaan administratif. Kekuasaan dan pengaruh mereka diturunkan dalam kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan (John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy).
Katakanlah info yang sedang beredar adalah perilaku korup para anggota dewan, tetapi juga tak boleh dilupakan pemerintah juga kerap berkorupsi. Bahkan, menyediakan diri agar disuap. Kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang bisa jadi tamsilnya.
Langkah Pembersihan
Artinya, kalau mau membersihkan kotoran korupsi, mengusir si tukang peras anggaran, DPR dan pemerintah, harus segera dibersihkan.
Langkah pertama, Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam waktu dekat harus menjelaskan kepada publik siapa si empunya inisial itu. Kalaupun tidak, memberikan keterangan ke penegak hukum adalah seminimal-minimalnya penjelasan. Namun, agaknya pilihan untuk menjelaskan kepada masyarakat lebih cocok diambil mengingat keterangan itu akan jadi pertimbangan bagi rakyat untuk tidak salah pilih di pemilihan umum. Sekaligus sebagai vonis politik bagi partai nakal pelindung si tukang peras.
Kemudian, DPR dan partai politik tidak boleh tutup mata. Jika nama terang sudah muncul, sanksi tegas harus diambil. Memberhentikan sementara merupakan cara konkret untuk memudahkan pemeriksaan. Pengalaman pemberhentian Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan anggota DPR lain yang lambat merupakan contoh buruk tidak tegasnya sikap pimpinan DPR ataupun petinggi partai politik.
AF Pollard menyinggung sejarah lembaga perwakilan dalam karyanya, The Evolution of Parliament (1926). Bahwa, lembaga perwakilan bisa menjadi the preventive of revolution as well as the promoter of reform. Ini saat yang tepat bagi DPR menunjukkan sejatinya lembaga perwakilan, jadi inisiator perubahan republik ke arah lebih baik. Jika senoktah noda anggota bermasalah tak dibersihkan, tak diberi sanksi, DPR akan cenderung mengarah ke institusi gagal.
Sikap tegas DPR dan partai politik mesti diimbangi dengan sikap pemerintah. Presiden juga perlu terus konsisten mendorong pemberantasan korupsi di internal pemerintah. Dalam hal ini, relevan membicarakan pengubahan surat edaran Sekretaris Kabinet dengan meningkatkannya menjadi peraturan pemerintah. Setidaknya, baju hukum peraturan pemerintah akan memiliki kekuatan hukum lebih dari sekadar surat edaran.
Terakhir, sapu koruptor ada di tangan penegak hukum. Institusi hukum pemberantas korupsi tidak boleh terjebak dalam intervensi kekuasaan politik. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan politik tidak boleh mengobok-obok kinerja institusi hukum. Termasuk pada bagian ini, koordinasi antarpenegak hukum dan menghindari cekcok antarpenegak hukum menjadi ”rukun iman” pemberantasan korupsi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 03 November 2012