Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
KETUA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto kembali berulah. Sesungguhnya semua perdebatan di kitaran kasus `Trumphgate’, meskipun sudah diiringi dengan putusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang cenderung memble, belum selesai. Namun, kasus terbaru, dengan meminta saham ini, tentu akan menjadi menarik jika melihat apa saja yang mungkin dijatuhkan terhadap Ketua DPR yang terlihat sedang mencoba memburu rente dari perpanjangan PT Freeport Indonesia.
Tulisan ini tentu saja dengan asumsi jika benar hal tersebut terjadi. Hingga saat ini belum dapat dipastikan secara detail konsep pertemuan dan isi detail pembicaraannya. Hal ini masih akan sangat menentukan langkah apa yang mungkin diambil terhadap sang Ketua DPR.
Bertanggung jawab
Inti dari apa pun yang bisa diambil terhadap tindakan Setya Novanto ini ialah ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perbuatan tersebut tentu saja memalukan dengan menggunakan perspektif apa pun. Itu seharusnya tidak ia ambil dalam kapasitas Ketua DPR yang tentu saja menyalahi kerja-kerja seharusnya dari lembaga legislatif. Karena itu, pertanggungjawaban menjadi sangat penting.
Pertanggungjawaban yang paling mungkin tentu saja ialah secara politik. Ada beberapa jenis pada pertanggungjawaban politik. Pertama, langkah yang bisa dia ambil secara aktif, semisal, ialah mengun durkan diri. Itu akan menjadi cara yang sangat elegan. Inilah saatnya mendirikan kembali moral politik bahwa kepercayaan itu penting. Kasus ini telah menggerus kepercayaan selaku Ketua DPR. Karena itu, mengundurkan diri lagi-lagi menjadi langkah yang sangat baik. Bergantung pada dia meyakini kesalahannya. Ia bisa mundur hanya selaku Ketua DPR, bahkan sangat mungkin selaku anggota DPR.
Kedua, ia sangat mungkin dilengserkan, baik dengan model kesadaran MKD atau bukan tidak mungkin oleh kesadaran partainya sendiri. Dalam kasus ‘Trumphgate’, MKD sebenarnya sudah dipermalukan dengan penolakan kehadiran Setya. Karena itu, MKD dapat menegakkan hukum etika yang penting ini terhadap Setya secara lebih keras dan serius. Membiarkan MKD tidak tegas atas pelanggaran yang sudah terjadi bukan tidak mungkin hanya akan menggerus kepercayaan dan keseriusan di balik upaya menghadirkan MKD di dalam UU MD3. Kala MKD dibuat di UU MD3, ketakutan dan kekhawatiran publik bahwa MKD hanya akan menjadi lembaga ‘pencuci’ dosa etik anggota DPR akan kembali menjadi pembicaraan. Artinya MKD akan semakin jauh dari kepercayaan sebagai lembaga yang bisa menegakkan etika dan perilaku tersebut.
Ketiga, langkah yang dapat diambil partai. Partai Golkar tentunya sangat mungkin untuk segera menyadari adanya potensi krisis legitimasi dan kepercayaan atas Ketua DPR yang notabene terafiliasi ke Partai Golkar. Memperhitungkan implikasi kejengkelan publik pada Partai Golkar menjadi penting dalam mengambil langkah yang sangat mungkin dalam menarik Setya dari kursi Ketua DPR. Apalagi, sudah ada desakan arus muda Partai Golkar dalam perihal ini. Langkah cepat dan tepat partai juga tentu akan menjadi batu uji tuntutan publik agar partai berubah dan menjadi lebih baik dalam mengawal republik ini.
Tiga langkah politik itu belum cukup sesungguhnya karena lagi-lagi ranah politik dan hukum punya logika yang berbeda, bahkan langkah dan langgam yang berbeda. Pertanggungjawaban politik di atas ialah dalam kerangka menjaga muruah jabatan publiknya. Karena itu, penjatuhan sanksi merupakan bagian perbaikan kelembagaan dan kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, bukan berarti secara hukum selesai dan tidak bisa dilakukan langkah susulan atau bahwa simultan. Pertanggungjawaban hukum ini tentu bisa juga dalam wajah yang jamak. Pertama, tentu saja ranah meminjam dan menjual nama Presiden dan Wakil Presiden. Bayangan sederhana, tentu saja itu penghinaan dan perusakan untuk nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Pasalnya, kata-kata yang ada sangat terlihat seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden sangat mau diberikan rente sejumlah saham. Seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden mau menggadaikan bangsa demi 11% dan 9% saham. Hal yang sangat memalukan martabat bangsa dan negara serta Presiden dan Wakil Presiden di hadapan dunia mengingat PT Freeport ialah perusahaan berlevel internasional. Dapat dibayangkan betapa memalukannya jika dianggap bahwa Presiden dan Wakil Presidennya minta saham dengan menugasi Ketua DPR untuk melakukan hal itu. Presiden dan Wapres tentu harus bersikap juga, bukan untuk nama pribadi, melainkan untuk bangsa dan negara.
Kedua, pertanggungjawaban yang lebih serius lagi ialah dalam klausula pidana korupsi. Jika dilihat secara detail, sangat mungkin untuk memasukkan ke unsur Pasal 12e UU Tipikor. Jelasnya, pasal tersebut berbunyi ‘Pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri’.
Lagi-lagi, jika benar kejadian yang terjadi seperti yang beredar dalam transkrip, bukan tidak mungkin Setya dapat dianggap telah memenuhi kualifi kasi ini, yakni dengan menggunakan jabatannya selaku Ketua DPR yang didakunya memiliki kualitas untuk menyelesaikan perpanjangan kontrak PT Freeport dan memaksa pihak lain untuk memberikan sesuatu atau mengerjakan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam hal ini, ada upaya untuk memperdagangkan pengaruh yang dimilikinya untuk suatu manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage).
Persoalannya tentu saja tingkat kesungguhan negara menghadapi hal begini. Apakah negara akan lebih memilih mengejar pertanggungjawaban Setya secara ketat dan kuat ataukah akan kembali buntu dan memble seperti berbagai kasus yang pernah (diduga) membelit Setya. Seriuskah DPR dan MKD-nya? Seriuskah Partai Golkar? Seriuskah Presiden dan Wakil Presiden? Seriuskah aparat penegak hukum lainnya? Bahkan legowo dan seriuskah Setya sendiri untuk menjaga muruah DPR dan Parlemen Negara? Pertanyaan yang kembali akan diuji sejarah penegakan etika dan hukum negeri ini terhadap Ketua Dewan yang ditengarai dan diduga tengah melakukan upaya memburu rente.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 21 November 2015