oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
“Masyarakat, sebagai penjawab terakhir, mesti memiliki keberanian dan ketulusan dalam memerangi korupsi”
ADAKAH peran kotor swasta dalam kasus korupsi? Pertanyaan tersebut muncul setelah membaca hasil kajian Trend Corruption Report yang dirilis oleh Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM pada 27/1/14. Laporan kecenderungan korupsi memaparkan tiga besar pelaku korupsi yang dicatat pada semester II/2013 meliputi aktor kalangan swasta sebanyak 22 orang (33 persen), pejabat atau pegawai pemerintah daerah 18 orang (27 persen), dan pejabat atau pegawai BUMN 10 orang (15 persen).
Peringkat aktor korupsi semester II berbeda dari semester sebelumnya pada tahun yang sama. Dalam semester I aktor korupsi ditempati tiga besar oleh pejabat atau pegawai pemerintah daerah dengan 39 orang (27,27 persen), swasta 36 orang (25,17 persen), dan anggota DPRD 16 orang (11,19 persen). Meski ada perubahan, tidaklah ekstrem. Pasalnya, peringkat dua teratas hanya bergeser di antara pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta.
Ada tiga hal yang dapat dibaca dari pemeringkatan pelaku korupsi tersebut. Pertama; mau mengakui atau tidak, swasta ternyata memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam laju pemerintah daerah. Hal tersebut tampak pada kongkalikong korupsi yang dilakukan di antara keduanya. Pemerintah daerah tidak dapat melakukan sendiri pembangunan daerah yang berkaitan dengan infrastruktur. Khususnya untuk infrasturktur fisik. Pemerintah daerah membutuhkan peran pihak ketiga.
Masuknya pihak ketiga inilah yang mengawali peran swasta dalam korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai pemerintah daerah. Pertanyaannya, siapa yang membuka pintu korupsi terlebih dahulu, internal pemerintah daerah atau justru swasta? Sebenarnya jawaban atas soal ini bersifat kasuistis. Hanya pola yang tersedia adalah start korupsi cenderung berasal dari internal pemerintah daerah.
Alasannya sederhana, pemerintah daerahlah yang memiliki informasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada bagian ini, kendali permainan korupsi ada di tangan pemerintah daerah.
Kedua; sayangnya semakin jauh perselingkuhan jahat antara pejabat/pegawai pemerintah daerah dan swasta, semakin sulit pula dikendalikan oleh oknum internal pemerintah daerah. Korupsi membutuhkan biaya teknis yang sangat besar. Padahal dana itu ada di kantong swasta karena mereka yang menyediakan.
Tanpa uang pelicin, mustahil mesin korupsi dapat bekerja maksimal. Kendali korupsi mulai bergeser. Tidak lagi di tangan internal pemerintah, tapi dipegang swasta. Tanpa disadari, swasta berlaku bak negara (pseudostate). Swasta mulai turut campur menentukan kebijakan. Misalnya ikut memengaruhi keputusan untuk siapa yang dapat proyek apa; kapan dikerjakannya; dan berapa jumlah anggarannya.
Ketiga; ketika swasta memegang kendali korupsi maka filosofinya adalah keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak swasta. Efeknya, pengerjaan pembangunan kurang atau malah tidak lagi memikirkan aspek keselamatan, kekuatan, dan kegunaan. Apakah pascaselesai pembangunan, infrastruktur tersebut dapat dipakai dengan aman atau nyaman oleh publik, tak lagi jadi prioritas.
Uang Pelicin
Dari segi pelayanan jasa, realitas itu akan mendorong biaya pada harga yang sangat tinggi. Pelayanan pendidikan dan kesehatan menjadi sangat mahal. Tujuannya, selisih bayar pemanfaatan infrastruktur atau jasa yang disediakan digunakan untuk menutup neraca minus uang yang sebelumnya difungsikan sebagai dana pelicin korupsi.
Dalam gambaran lebih lanjut, perselingkuhan antara oknum pemerintah daerah dan swasta mengakibatkan korban sangat banyak. Publik dan rakyat menjadi korban yang sungguh-sungguh nyata. Lalu bagaimana menghentikan perselingkuhan jahat ini? Sebagai pertanyaan retorika —dan juga teknis— yang dapat menjawabnya adalah masing-masing pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta. Susah menghentikan persekutuan hitam itu tanpa mereka sendiri memiliki keinginan untuk menghentikannya.
Andai pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta tak sanggup menjawab maka jawaban dialihkan ke penegak hukum dan masyarakat. Jika unsur dan syarat pencegahan tindak pidana korupsi tak mampu lagi dijalani pemerintah daerah dan swasta maka langkah penindakan oleh penegak hukum harus diambil. Seperti halnya seorang resi, penegak hukum tak boleh tercemari, apalagi terseret, pada persekutuan hitam korupsi.
Masyarakat, sebagai penjawab terakhir, mesti memiliki keberanian dan ketulusan dalam memerangi korupsi, seberapa pun kecil indikasi korupsinya. Hukum sudah menjamin mekanisme pelaporan dan keamanan pelapor kasus korupsi. Tinggal mau menggunakannya atau tidak. Pilihannya jelas, membiarkan sengsara karena korupsi yang melanda atau melawan korupsi dan mempersilakan kesejahteraan datang.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 14 Februari 2014