oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada galibnya harus bisa membuahkan pembelajaran dan penghindaran agar tidak jatuh pada lubang sama.
Salah satu problem yang sekian lama mendera Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah perihal penyidik. Praktik yang terjadi adalah pemaknaan atas Undang-Undang tentang KPK dengan horizon yang terbatas sehingga penyidik KPK menjadi tidak independen dan terbatas. Keterbatasan ini telah mendera KPK dan menjadikan KPK sering kali ”tersandera” dalam kerja- kerjanya memberantas korupsi.
Peristiwa penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian pada 12 September 2012, dengan tidak memperpanjang masa tugas yang diperbantukan di KPK, jelas merepotkan KPK yang sedang menyidik kasus-kasus korupsi yang menjadi perhatian luas masyarakat.
Tidak lama berselang, enam penyidik Kepolisian juga mengundurkan diri dan memilih kembali ke institusi asalnya. Bahkan, pada 13 Desember 2012, Polri kembali tidak memperpanjang 13 penyidiknya, tepat ketika KPK menahan Irjen Djoko Susilo, tersangka korupsi simulator surat izin mengemudi yang merugikan negara Rp 100 miliar.
Kejadian serupa ini telah berulang. Penyidik tiba-tiba ditarik kembali dengan berbagai alasan. Karena itu, tidak terbantahkan bahwa penarikan penyidik menjadi krisis laten yang akan setiap saat bisa menjadi aktual menimpa KPK. Fakta tarik ulur penyidik dan tidak mesranya pola hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan adalah buah dari pohon persoalan yang sama, keterbatasan pemaknaan UU KPK perihal penyidik.
Memaknai UU KPK dalam kaitan dengan pengindependenan penyidiknya sesungguhnya berada di antara posisi kuat KPK sebagai lembaga negara independen, pemaknaan lebih lebar atas UU KPK, dan pemihakan yang kuat untuk agenda pemberantasan korupsi. Ketiga hal yang memadu dan secara serempak menjadikan para penyidik KPK independen adalah bagian dari upaya luar biasa negeri ini menghalau korupsi. Karena itu, menjadi kebutuhan besar ketersediaan sarana dan keandalan penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK yang selama ini masih rekrutan dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan.
Memaknai Penyidik KPK
Eksistensi penyidik KPK pada hakikatnya dimungkinkan menurut Pasal 45 UU KPK, bahwa (1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK; (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Hal yang bisa dianalisis adalah penyidik di KPK yang diangkat oleh KPK, serta diberhentikan oleh KPK yang menjalankan fungsi penyidikan terhadap tindakan korupsi yang menjadi ranah kewenangan KPK.
Meskipun ada juga Pasal 39 Ayat (2) UU KPK yang mencantumkan bahwa ”Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK”, ketentuan ini sama sekali tidak bisa dikatakan dengan tafsiran tunggal bahwa keseluruhan penyidik haruslah dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa?
Menggunakan tafsiran historis atas pasal ini sangat erat dengan ketentuan awal ketika KPK dibentuk dan belum memiliki penyidik sama sekali. Apalagi, kemudian Pasal 45 Ayat (1) dan (2) di atas dengan jelas telah menentukan kemungkinan adanya penyidik yang secara lebih independen diangkat dan diberhentikan KPK.
Belum lagi, dengan menggunakan metode tematis, jika merujuk ke Pasal 21 Ayat (4) yang mengatakan para pemimpin KPK juga sebagai penyidik dan penuntut umum. Jelas, para komisioner KPK bukanlah polisi dan jaksa yang harus diberhentikan dari Kepolisian dan Kejaksaan dulu baru mereka dapat memegang fungsi penyidikan dan penuntutan.
Artinya, Pasal 21 Ayat (4) dapat dipakai menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam Pasal 39 Ayat (2) adalah ketentuan yang khusus untuk penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang ”dipinjam” dari Kejaksaan dan Kepolisian. Artinya, sama sekali tak bisa dipakai untuk mengatakan semua penyidik haruslah dari Kejaksaan dan Kepolisian.
Independensi Fungsi
Jimly Asshiddiqie (2008) menganalisis bahwa secara subtantif kelembagaan, independensi yang harus dimiliki itu ada dalam tiga bentuk. (1) Independensi institusional atau struktural; (2) Independensi fungsional yang tecermin dalam proses pengambilan keputusan yang secara tujuan independen dan instrumen independennya bisa ditetapkan oleh lembaga itu sendiri secara independen; (3) Independensi administratif dalam bentuk independensi keuangan dan independensi personalia.
Artinya, selain independen secara institusional, satu hal yang paling tidak bisa dilupakan adalah membuat lembaga tersebut secara fungsionalnya juga independen. Jadi, bukan hanya secara kelembagaan, tetapi juga dalam kerangka operasional dan kerja secara fungsional seharusnya independen.
KPK tentulah lembaga negara independen yang idealnya haruslah disematkan ke semua jenis keindependenan tersebut. KPK yang independen adalah KPK yang secara institusi, fungsi, dan administrasinya adalah independen. Termasuk dalam fungsi penyidikan.
Karena itu, independensi penyidik KPK perlu dimaknai pada pelaksanaan fungsi penyidikan KPK, termasuk hingga keindependenan dalam term administratif. Jika selama ini secara administratif nasib para penyidik KPK masih bergantung ke lembaga asalnya, pengukuhan keindependenan KPK memutlakkan kebutuhan agar KPK memiliki penyidik sendiri yang tidak lagi ”meminjam” dari lembaga lain. Independensi penyidik KPK adalah konsekuensi logis dari KPK sebagai lembaga negara independen.
Pekerjaan yang tertinggal tentu saja adalah kemauan menguatkan KPK dengan penyidik internal yang lebih independen. Dan, itu hanya bisa hadir melalui pemihakan yang kuat atas agenda pemberantasan korupsi. Negara harus berpikir menguatkan penyidik internal ini dengan memberikan ruang yang besar bagi KPK untuk segera melakukan rekrutmen dan memfungsikan para penyidik internal KPK.
Itu hanya bisa terjadi jika KPK diberi kesempatan luas untuk merekrut, mendidik, dan memfungsikannya dengan dukungan yang kuat dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kita semua paham bahwa problem di KPK salah satunya adalah jumlah penyidik yang jauh dari kesan berimbang dengan jumlah laporan perkara ataupun jumlah perkara yang sedang ditangani KPK. Tidak sekadar itu, penyidik internal yang diangkat oleh KPK sendiri akan mengakhiri ketergantungan KPK pada Kejaksaan dan Kepolisian.
Mengakhiri ketergantungan itu akan menjadi jawaban dan penghindaran yang tepat atas persoalan penyidik KPK. Pada saat yang sama tentu saja akan berpotensi mendorong pemberantasan korupsi ke jalur yang lebih cepat.
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 01 Februari 2013