oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
PERKEMBANGAN laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengenai beberapa anggota DPR yang memeras beberapa BUMN memasuki babak konfrontasi. Badan Kehormatan DPR akan melakukan konfrontasi karena pemeriksaan terhadap sejumlah pihak memperoleh hasil yang berbeda (SM, 27/11/12).
Perbedaan hasil pemeriksaan itu misalnya, didapat dari pemeriksaan dugaan kasus di PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati). Mantan Dirut Merpati Jhoni Tjitrokusumo mengatakan tidak ada pemerasan. Sebelumnya, Dirut sekarang Rudy Setyopurnomo mengemukakan kepada Menteri BUMN bahwa ada pemerasan. Tudingan ini dibantah oleh Jhoni, bahkan dia telah melaporkan Rudy ke kepolisian karena diduga memfitnah.
Muhammad Hatta, anggota Komisi XI DPR, menengarai tuduhan adanya anggota parlemen yang memeras BUMN yang dilontarkan Dahlan Iskan karena mantan Dirut PLN itu terpojok saat ditanya pertanggungjawaban inefisiensi Rp 37,6 triliun. Perusahaan itu diduga merugikan keuangan negara kala dipimpin oleh Dahlan.
Sepertinya, keadaan berkait keberadaan tukang peras akan bertambah panas. Para politikus saling serang. Kabar tukang peras masih menghasilkan cahaya suram. Lalu, siapa yang benar? Siapa yang memfitnah? Atau siapa yang keliru sekaligus menyerang kehormatan seseorang?
Tuduhan pemerasan terhadap seseorang, diakui atau tidak, sedikit atau banyak, merontokkan kehormatan seseorang. Apalagi tuduhan itu disampaikan oleh menteri kepada anggota DPR. Nilainya tak seperti tuduhan rakyat miskin terhadap tetangganya, yang juga miskin. Tuduhan pejabat negara kepada pejabat negara yang lain, harus disertai cukup bukti sebab hal ini akan menjadi pembelajaran bagi rakyat kebanyakan.
Bayangkan, kalau menteri berani buka-bukaan nama ataupun inisial serta partai yang disangka sebagai tukang peras, niscaya sikap buka-bukaan itu akan diikuti oleh rakyat. Masyarakat tidak lagi takut bersuara. Publik akan berani melaporkan pejabat korup.
Saling Sandera
Tetapi tatkala tuduhan itu tidak menyertakan cukup bukti alias sekadar omong kosong, nilainya tak lebih dari dagelan politik. Sekarang lapor, besok lupa. Besok lapor, lusa lupa.
Tampaknya, aroma Pemilu 2014 mulai tercium oleh para politikus nasional. Segala persiapan dilakukan. Strategi disusun. Dalam dunia politik, kebutuhan untuk meminimalisasi rival dalam percaturan mendapatkan kursi kekuasaan adalah sepertinya menjadi perihal yang niscaya.
Menyebar isu dugaan korupsi diyakini akan mudah menggeser lawan politik. Selain itu, langkah ini juga secara tidak langsung akan menaikkan citra si penyebar isu di mata pemilih. Bukankah yang diharapkan oleh politikus sebelum pemilihan, salah satunya adalah citra dan nama baik?
Dugaan balik yang disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR Muhammad Hatta terhadap Dahlan Iskan mengenai inefisiensi anggaran PLN Rp 37,6 triliun juga harus dibaca dengan seksama. Jika benar karena kasus ini, kemudian Dahlan Iskan menebar isu pemerasan oleh anggota DPR, jangan-jangan memang sedang berjalan kondisi “saling sandera” kasus di antara para politikus. Kalau sungguh ini yang terjadi maka pemeriksaan terhadap dugaan tukang peras bakal lebih menjadi dagelan politik saja.
Supaya tidak dibaca sebagai dagelan politik, tuduhan adanya tukang peras anggaran harus segera dibuktikan. Perlu ada sinergi dan kerja sama antara DPR, pemerintah, dan penegak hukum dalam membongkar keberadaan tukang peras. Selain juga tidak boleh menafikan dugaan inefisiensi anggaran di PLN. Dua-duanya harus diperiksa oleh penegak hukum.
Dalam kaitannya ada rencana pelaporan balik pencemaran nama baik atau fitnah oleh beberapa orang terkait dugaan pemerasan, para pelapor dugaan pemerasan tidak perlu kecil hati. Berdasarkan Surat Bareskrim Mabes Polri Nomor B/345/III/ 2005/Bareskrim bertanggal 7 Maret 2005, tiap ada laporan dugaan korupsi yang kemudian dibalas dengan laporan pencemaran nama baik maka yang diprioritaskan penanganannya adalah laporan dugaan korupsi.
Bahkan Surat Bareskrim menyatakan, penanganan kasus pencemaran nama baik dimanfaatkan untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang diperlukan dalam proses pembuktian kasus korupsi sebagai masalah pokoknya. Artinya, tiap orang sekarang tidak perlu takut menyampaikan laporan korupsi, dengan syarat disertai bukti permulaan yang cukup agar tidak ditarik ke panggung dagelan politik semata.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 29 November 2012