Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
DALAM kaidah ilmu hukum sulit untuk menolak bahwa sejarah pemikiran dan perspektif hukum telah melahirkan begitu banyak pola dan corak pemikiran hukum, bahkan yang diametral sekalipun tersedia di hadapan para pemikir hukum.
Maka itu, para pemikir hukum, termasuk para hakim seringkali mengalami dilema ketika akan berpendapat pada kondisi tertentu. Karena itu, seringkali pilihan berdiri di satu posisi hukum punya keterkaitan dengan cara pemihakan dan positioning atas konteks sesungguhnya dari suatu aturan. Itulah yang ada ketika lahir UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi undangundang.
Berawal dari perppu yang beriktikad untuk menyelamatkan MK, dibuatlah setidaknya tiga terobosan aturan dalam rangka membuat MK secepatnya dapat memulihkan wibawa dan marwahnya. Pertama, penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Perppu yang kemudian menjadi UU ini mengandung ketentuan tentang syarat/ pembatasan tujuh tahun tidak aktif sebagai anggota parpol bagi calon hakim konstitusi.
Kedua, UU ini juga coba memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Ada kewajiban untuk keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh tiga lembaga negara; pemerintah (presiden), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif).
Ketiga, ada upaya untuk mengatur perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perppu mengatur pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen.
Artinya, walau harus diakui bahwa ketika perppu dibuat ada problem ketika penginisiasiannya yang dalam hal tertentu masih mendapatkan perdebatan ”kegentingan yang memaksanya”, pesan dari perppu ini jelas yakni MK harus segera dipulihkan dari kemungkinan buruk akibat mekanisme pengisian jabatan yang terlalu terbuka untuk intervensi dan benturan kepentingan akibat kandidatnya orang yang juga berasal dari partai politik. Kemudian ada upaya untuk juga melakukan pengawasan yang sangat wajar bagi MK yang merupakan hakim tertinggi dalam penafsir konstitusi.
Namun, pesan ini tidak mendapatkan porsi berarti di mata hakim MK. Menarik untuk melihat Putusan MK No 1-2/PUUXII/ 2014 perihal Pengujian UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK). MK membangun basis argumentasinya dengan beberapa cara.
Pertama, memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi oleh KY. Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi.
Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Kelima, MK seharusnya bisa menilai UU-nya sendiri karena sangat mustahil membiarkan MK dengan mudah diintervensi oleh DPR dan pemerintah. Dari lima cara pandang MK, harus diakui, cara pandang yang terakhir soal bisa menguji UU MK tentu saja masih dapat diterima.
Memang, fenomena MK adalah menarik. Dia lembaga yang terikat pada UUD dan karena itu dapat melakukan uji atas UU apa pun, termasuk atas dirinya. Apalagi, dalam ranah politik sulit untuk menegasikan kemungkinan ada intervensi yang dilakukan presiden dan DPR melalui UU. Namun, empat sisanya terasa aneh. Keanehannya terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi.
Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya oleh basis motif kepentingan. Pertama, tentang memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Sesungguhnya tidak ada yang salah dari pelibatan KY dalam proses yang lebih baik. Akhirnya tiga cabang kekuasaan itulah yang akan menjadi penentu utama siapa yang akan didorong menjadi kandidat hakim MK.
Kalau menggunakan perumpamaan lain selain yang dituliskan MK, sebenarnya tawaran ini bisa menarik. Misalnya saja soal kandidat presiden yang dari partai atau gabungan partai. Jika kemudian UU membuat mekanisme bahwa dalam prosesnya menggunakan mekanisme yang lebih transparan ke publik, tentu bukan hal yang tabu. Apakah ketika UU mengatakan bahwa dalam pencalonan presiden partai wajib menggunakan mekanisme yang transparan adalah hal yang melanggar konstitusi?
Perdebatan tentu bisa menjadi panjang. Tetapi, terlihat benar bahwa MK sedang mencoba menghindari diri dari keterbukaan proses seleksi hakim MK. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi KY. Tentu saja MK bahkan boleh mengutip putusan lama yang menegasikan MK diawasi KY. Tetapi, apakah para hakim MK adalah orang yang hidup di antara teks konstitusi mati?
Dari berbagai pidato yang sering dibicarakan MK, mereka percaya akan living constitution. Konstitusi yang hidup sesuai makna zaman. Jika zaman menghendaki, seharusnya dapat diubah cara pandang menuju ke arah yang lebih diinginkan tersebut. MK tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa itu keliru.
Karena jika hanya bersandar pada teks mati konstitusi atau suasana kebatinan ketika dibentuk, sesungguhnya tidak diperlukan lembaga setingkat MK dengan hakim negarawan bila hanya untuk mengutip apa yang terjadi ketika UUD dibentuk.
Hakim MK adalah orang yang dipilih sebagai negarawan mengikuti perkembangan zaman dan menafsirkan konstitusi ke arah zaman tersebut. Itulah makna yang disebut dengan living constitution. Mengapa hakim melupakan ini? Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi. Pandangan ini aneh. Terlalu naif jika menyamakan partai dekat dengan korupsi.
Hal yang paling esensial dari melarang partai masuk ke dalam MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang perihal konflik kepentingan yang dialami hakim konstitusi karena berasal dari partai tertentu.
Benturan kepentingan adalah kemungkinan terganggunya keprofesionalan seseorang karena sesuatu hal. Maka itu, sifatnya menjadi preventif. Sedari awal harus dilarang orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan untuk menjadi bagian dari pengambil kebijakan. Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011.
MK memberikan makna atas pasal tentang frasa ”mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik Ö pada saat mendaftar sebagai calon” dengan menafsirkan bahwa harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang- kurangnya lima tahun dari keanggotaan partai saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, maupun DKPP. Di sini MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran bahwa ”pemain” tidaklah boleh menjadi ”wasit”.
Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang- kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK di Putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim yang menjadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggaraan pemilu tentu saja sedang menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki partai politik.
Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Ada perdebatan besar soal MK yang punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu khususnya perihal alasan kegentingan yang memaksa memang menjadi hal yang diperdebatkan.
Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan telah dalam bentuk UU. Dalam konstitusi menggariskan bahwa subjektivitas presiden sesungguhnya telah diobjektivikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU. Apa pun catatan atas putusan MK ini, kembali ke hal dasar yang disebutkan di atas. Dalil untuk membenarkan sebenarnya mudah untuk dicari.
Dalil yang menyalahkan juga mudah untuk ditemukan. Kembali berpulang ke hakim MK dengan cara pandangnya atas konteks sesungguhnya ketika UU itu dilahirkan. Hal yang jelas adalah dengan kekeuhmenyatakan MK jangan diawasi, publik akan mudah menilai.
MK hanya pandai menyuruh orang lain diawasi dan dibuatkan mekanisme pengawasan dan prevensi, tetapi tidak untuk MK. Dengan begitu, MK tidak boleh marah ketika orang akan mengatakan, MK memang tak mau diperbaiki dan diawasi.
Artikel ini pernah diterbitkan Koran Sindo pada 17 Februari 2014