Menanggapi isu Omnibus Law yang tengah ramai diperbincangkan, Pukat UGM mengadakan diskusi bertema Omnibus Law dan Korupsi Legislasi. Acara ini berlangsung pada Rabu (26/02) bertempat di kantor PUKAT UGM
Sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah AB Widyanta (Sosiolog UGM), Shinta Maharani (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta), Lutfy Mubarok (Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta) dan Yuris Rezha Kurniawan (Peneliti PUKAT UGM). Diskusi diawali dengan sambutan dan pengantar diskusi dari Oce Madril, Direktur Pukat UGM. Dalam pemaparannya, Oce menuturkan bahwa Omnibus Law memuat terlalu banyak pasal dan berpotensi tabrakan dengan UU lain. Dari segi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, UU ini akan sulit ditarik kembali apabila telah disahkan. “Karena masih dalam bentuk draft, saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengkritisi Omnibus Law,”ujar Oce.
Materi pertama disampaikan oleh AB Widyanta. AB menerangkan bahwa fenomena pembentukan peraturan yang tidak demokratis dan tidak transparan ini semakin tampak sejak ambisi pemerintah untuk memindahkan ibukota. Dilihat dari sudut pandang sosiologi, demokrasi selama ini dianggap sebagai penghambat pembangunan. “Sekarang praktik tersebut tidak ditutup-tutupi lagi. Peraturan sekarang merugikan rakyat dan menguntungkan market.”tuturnya.
Pada kesempatan ini, Shinta Maharani membagikan catatannya terhadap Omnibus Law. Shinta menerangkan bahwa Omnibus Law akan berdampak buruk pada kebebasan pers di Indonesia. Ia menilai campur tangan pemerintah terhadap kebebasan pers semakin besar dalam Omnibus Law. “RUU Omnibus Law mewajibkan perusahaan pers mendaftarkan diri sebagai perusahaan pers berbadan hukum. Campur tangan pemerintah ini mengancam keberadaan jurnalisme warga, media komunitas, start up media, serta pers mahasiswa.”kata Shinta
Sedangkan dampak Omnibus Law terhadap lingkungan diutarakan oleh Lutfy Mubarok. Dalam catatannya, UU ini menghapus konsep strict liability dan ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi, dan keadilan. “UU ini menghapus izin lingkungan. Sepanjang pembangunan sesuai dengan tata ruang, maka kegiatan pembangunan dapat terus berjalan,” ujarnya.
Menanggapi fenomena-fenomena di atas, Yuris Rezha memandang bahwa pembentukan UU Omnibus Law ini dapat dikaitkan dengan potensi korupsi legislasi. “Korupsi legislasi adalah korupsi yang dilakukan pada saat pembuatan kebijakan,”tuturnya. Lebih lanjut Yuris menerangkan bahwa kriteria korupsi legislasi misalnya dengan tidak adanya keterbukaan informasi dan transparansi dalam perumusan kebijakan. Hanya saja, secara hukum, korupsi legislasi baru dapat dikatakan sebagai sebuah korupsi manakala telah terjadi tindak pidana contohnya suap.