Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
SEJARAH telah menorehkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid III berakhir cukup tragis, bahkan menyedihkan. Ketuanya terpental karena perkara ‘ecek-ecek’ yang tak jelas, satu komisioner diperkarakan dengan hal yang kabur. Sisanya, dua terpenjara dengan ancaman kriminalisasi, sedangkan satu sudah berhenti setahun sebelumnya. Prestasi yang cukup banyak, hilang seketika hanya karena berhadapan dengan perkara yang penat dengan kepentingan politik. Panas setahun dihapus hujan dalam sehari.
Dalam proses ‘hujan’ tersebut, dilantiklah tiga komisioner pelaksana tugas yang mengisi jabatan pimpinan KPK hingga berakhirnya masa jabatan KPK Jilid III. Meskipun langkah Perppu No 1 Tahun 2015 itu baik, tetapi terkesan sangat dipaksakan. Dengan sengaja, Perppu mengenyampingkan batas usia 65 tahun sehingga Taufiequrachman Ruki masuk. Entah untuk alasan apa, tetapi yang jelas sulit diterima dengan logika konstitusi yang mengatakan harus ada hal ihwal kegentingan memaksa, bahwa Perppu mengisi jabatan kosong, tentu memenuhi klausula ke gentingan memaksa. Namun, apakah umur 65 tahun harus dikesampingkan, sulit diterima logika hukumnya. Apakah sudah tidak ada lagi penduduk Indonesia yang berusia kurang dari 65 tahun bisa dimasukkan menjadi Plt Komisioner KPK selain Ruki?
Apa pun itu, Dewan Perwa kilan Rakyat (DPR) menerima secara aklamasi Perppu No 1 Tahun 2015 menjadi UU No 10 Tahun 2015. Kemudian, dimulailah persepsi bahwa terjadi pelemahan di KPK. Berbagai pernyataan, cara pandang, posisi, bahkan tindakan yang tak tepat diperlihatkan oleh pemimpin baru di KPK. Di situlah pembacaan publik, semisal oleh M Busyro Muqoddas yang menduga bahwa ada proses ‘titipan’ Plt KPK yang membantu pelemahan dari dalam yang melengkapi serangan dari luar.
Mudah untuk menilai bahwa kondisi KPK dalam satu terakhir masa jabatan Jilid III memang cukup menyedihkan. Di tengah kondisi itu, tentu menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kita semua ialah apakah KPK Jilid IV mampu membalik kembali arus arah yang kelihatannya sudah berbelok?
KPK Jilid IV
Komposisi KPK Jilid IV ini menawarkan kemungkinan yang agak beragam. Dari pilihan nama oleh Pansel yang dikirim ke DPR, sebenarnya ada tiga skenario komposisi yang mungkin, yakni ‘komposisi lemah, komposisi moderat’, dan
‘komposisi ideal’. Hasil pilihan DPR yang sudah di umumkan sebenarnya memperlihatkan komposisi yang tidak juga harus ditangisi (komposisi lemah),
tetapi mustahil untuk dicintai (komposisi ideal). Komposisinya terlihat moderat yang punya potensi besar menjadi melemah dan masih ada potensi menjadi ideal.
Jika dilihat dari latar belakang pendapat dan analisis yang mereka sampaikan dalam proses tim seleksi serta fit and proper test di DPR, terlihat jauh dari pas memahami dan menggedor pemberantasan korupsi. Mayoritas yang terpilih ialah orang-orang yang masih menganggap bahwa KPK sejatinya ialah lebih bercorak pencegahan. Ada juga di antara mereka yang tidak mendukung adanya penyidik independen di KPK. Ada juga di antara mereka yang sering berpandangan aneh dalam beberapa putusan perkara korupsi. Tentu sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan membuat kemungkinan penegakan hukum antikorupsi kuat akan terhalangi.
Akan tetapi, jangan juga dilupakan bahwa di antara yang terpilih ada yang sangat kuat analisis membangun konsep melawan problem pengadaan barang dan jasa yang masih sangat banyak dalam perkara korupsi di Indonesia, juga orang yang membangun sistem pengawasan dengan basis masyarakat sipil. Artinya, masih tetap ada harapan kuat pada KPK dengan tentunya beberapa prasyarat.
Pertama, menggunakan model kolegial kolektif yang menjadi ciri dari lembaga ne gara independen seperti KPK. Kolegial kolektif menjadikan pengambilan keputusan tidaklah diambil dalam tendensi kepentingan pribadi tetapi harus kepentingan kolektif. Dalam hal inilah, maka akan ada saling mengawasi antarkomisioner KPK. Jika ada satu komisioner yang berperilaku dan berpendapat ‘aneh’, sesungguhnya ada empat lainnya yang akan mengontrol kualitas tersebut. Artinya, sepanjang kolegial kolektif dikuatkan, pengawasan kualitas akan tetap terjaga.
Kedua, meski komisioner KPK tentu saja ialah sangat penting di KPK, akan tetapi masih ada unsur lain yang sangat menentukan ‘haru-biru’ KPK. Ada Dewan Penasihat, ada pegawai KPK dengan berbagai unsur yang ada di dalamnya. Sepanjang komisioner KPK tidak bertindak otoriter, peran unsur lain di KPK akan nampak dan dapat berperan serta ikut mewarnai KPK. Kerja KPK pun kemudian akan bersangkutan dengan kerja kolektif tersebut.
Ketiga, satu keunggulan yang ada dalam komposisi yang tak ideal ini sebenarnya ialah mereka relatif belum memiliki persoalan menonjol yang bisa disandera dan diganggu demi kepentingan tertentu. Bayangkan saja jika Johan Budi yang terpilih, meski sangat ideal untuk digunakan melanjutkan kerja KPK secara berkesinambungan karena merupakan orang lama. Akan tetapi, Johan Budi yang memiliki laporan di kepolisian akan sangat mudah untuk diancam dan dikendalikan dengan ber bagai trik kriminalisasi.
Keempat, tentu saja prasyarat untuk melakukan upaya cepat menyesuaikan dengan ritme KPK. Tidak satu pun komisioner ini yang merupakan orang dalam KPK. Artinya, keberhasilan mereka akan sangat bergantung pada seberapa cepat mereka melakukan konsolidasi dan penyesuaian. Jika cepat, jelas akan menarik. Jika lambat, justru akan menahan laju pemberantasan korupsi.
Harapan tetap disemai
Tentunya, tak ada yang benar-benar bisa menjamin apa yang mungkin dan akan terjadi dalam KPK Jilid IV ini. Komposisi yang tak terlalu kuat menawarkan efek menggembirakan ini tetap saja memiliki peluang untuk lebih baik. Orang bisa
silih berganti dengan berbagai kemampuan dan pandangannya. Akan tetapi, KPK tetaplah lembaga yang penting untuk dikuatkan. Jika sistem negara tetap mendukung pemberantasan korupsi secara kuat, KPK akan tetap berjalan damai
tanpa gangguan berarti di UU KPK.
Namun, jika KPK dengan seideal apa pun komposisi komisionernya, tapi tak mendapat dukungan political will negara, tetap akan mengalami kesulitan untuk berhasil. Mengharap tetap menjadi penting. Di situlah peran publik tetap menjadi penting untuk ikut mengawal negara dalam menentukan political will-nya dan mengawal KPK dalam kerja-kerjanya.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 19 Desember 2015