oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Remisi untuk koruptor kembali diperdebatkan. Pasca-kerusuhan di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Sumatera Utara, wacana pemberian remisi bagi koruptor kembali mencuat. Perdebatan mengarah pada dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah inilah yang dituding sebagai pemicu protes. Sebab, PP ini memperketat pemberian remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan khusus lainnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang memperketat pemberian remisi bagi koruptor bukan kali ini saja terjadi. Tercatat, berbagai upaya telah dilakukan untuk menolak kebijakan ini. Hampir setiap tahun usaha untuk mendongkel kebijakan ini dilakukan. Pada 2011, serangan terhadap kebijakan ini datang dari politikus DPR. Beberapa anggota Komisi III DPR menggalang interpelasi untuk membatalkan kebijakan pengetatan remisi. Namun usaha mereka kandas. Pada 2012, jalur pengadilan digunakan. Melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), keputusan menteri yang berkaitan dengan pembatalan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor digugat. Kali ini penggugat dimenangkan dan pengadilan menuai kecaman.
Pada tahun ini, tampaknya jalur politik dan pengadilan digunakan secara bersamaan. Hal ini terlihat dari upaya salah satu Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang dengan cekatan memfasilitasi aspirasi koruptor agar PP pengetatan remisi dicabut. Sedangkan upaya hukum ditempuh melalui judicial review PP 99 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung. Berbagai upaya tersebut menggambarkan bahwa kekuatan pro-aspirasi koruptor berusaha keras menggunakan berbagai cara untuk menganulir kebijakan pengetatan remisi.
Landasan yuridis
Secara hukum, pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan. Remisi merupakan hak narapidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, menurut pasal 14 ayat (2), hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu. Hak remisi bisa diperoleh jika syarat dan tata cara dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak, narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut.
UU kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaannya. Dari sini lah pemerintah memperoleh kewenangan atribusi untuk mengatur perihal tersebut. Sehingga pemerintah mengeluarkan PP yang secara teknis memberikan panduan berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian remisi. Karena pemerintah diberi landasan yuridis oleh UU, pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian remisi. Di sini lah pemerintah membuat kebijakan hukum. Pilihan kebijakan pemerintah boleh jadi mempermudah atau mempersulit pelaksanaan remisi.
Secara umum, remisi diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi, pemerintah memberlakukan ketentuan khusus. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur bahwa remisi dapat diberikan jika terpidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi narapidana korupsi. Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus terorisme, narkotik, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PP 99/2012 memberikan syarat baru yang harus dipenuhi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi. Penambahan syarat baru tersebut tidaklah bertentangan dengan UU. Sebab, PP ini tidaklah meniadakan hak remisi. Lagi pula, perubahan hukum merupakan hal yang lumrah. Sebuah peraturan harus mengakomodasi nilai keadilan masyarakat selama tidak bertentangan dengan UU di atasnya. Peraturan remisi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Sebelumnya, diatur dengan PP 32/1999 dan PP 28/2006. Setiap perubahan berimplikasi pada berubahnya syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana.
Tolak remisi
Pada masa mendatang, koruptor tidak perlu diberikan remisi. Revisi UU Pemasyarakatan perlu dilakukan untuk meninjau kembali hak remisi bagi koruptor. Sebab, koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Korupsi menimbulkan kerusakan dalam skala yang sangat luas. Karenanya, upaya yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.
Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapatkan remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, tapi juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi selama ini Pengadilan Tipikor rata-rata hanya memberi hukuman 3 atau 4 tahun kepada koruptor. Hukuman yang ringan tersebut masih bisa dipotong dengan remisi dan pembebasan bersyarat. Sejak 2007 hingga awal Desember 2011, terdapat 1.767 koruptor yang mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Hukuman yang ringan ditambah dengan fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat telah memanjakan koruptor di negeri ini. Mereka tak pernah benar-benar merasa jera. Karenanya, hak remisi patut ditinjau kembali. Minimal saat ini, pengetatan pemberian remisi harus tetap dilakukan pemerintah dan kita berharap MA menolak permohonan judicial review untuk membatalkan PP 99/2012.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 30 Juli 2013