oleh : Hifdzil Alim, (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Ada satu lagi keterangan menarik dari kasus cek pelawat. Arie Malangjudo, bawahan Nunun Nurbaetie di PT Wahana Esa Sejati, memberikan informasi ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa uang yang diserahkan ke anggota DPR kala itu kemungkinan besar tak berasal dari kantong Nunun (9 Januari 2012). “Apakah itu uang Bu Nunun? Siapa tahu? Saya tidak tahu. Yang jelas, perusahaan pada saat itu tidak mempunyai uang.” Begitu kira-kira ia mengungkapkan.
Keterangan Ahmad Hakim Safari M.J. alias Arie Malangjudo itu seperti membuat kasus suap terhadap anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 menjadi samar. Kita bagai meraba-raba kembali kasus yang awalnya hampir terang-benderang itu. Sebelumnya, muncul keyakinan bahwa pemberian suap ke beberapa anggota Komisi Keuangan pada 2004 ditengarai untuk memuluskan jalan Miranda Swaray Goeltom menduduki kursi Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia.
Pintu Masuk
Samarnya kasus suap tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, 26 anggota DPR pada Komisi IX periode 1999-2004 sudah dipidana. Bahkan ada terpidana yang telah bebas. Di dalam persidangan, mereka mengakui cek pelawat yang masing-masing mereka terima berasal dari pihak lain. Berdasarkan informasi yang beredar, 480 buah cek pelawat bernilai Rp 24 miliar itu dibeli oleh Bank Artha Graha dari Bank Internasional Indonesia atas pesanan PT First Mujur Plantation & Industry.
Susah menempatkan pemikiran ketika pihak yang disuap, dalam hal ini mantan anggota DPR, telah divonis bersalah. Tetapi pihak penyuapnya tidak ada. Keterangan yang disampaikan Arie seperti ingin menempatkan bahwa Nunun bukanlah pihak yang menyuap semua mantan anggota DPR tersebut. Dengan pernyataan “perusahaan pada saat itu tidak mempunyai uang” bisa dimaknai PT Wahana Esa Sejati di bawah manajemen Nunun tak memiliki uang sebesar Rp 24 miliar untuk digelontorkan ke mantan anggota DPR.
Keyakinan awal untuk menempatkan Nunun sebagai aktor yang menyuap anggota DPR bisa-bisa runtuh jika keterangan Arie Malangjudo itu benar. Bukan Nunun atau perusahaannya yang menyuap. Sebab, pada akhir 2004, tak ada uang di brankas perusahaan Nunun yang cukup banyak untuk diberikan ke anggota DPR.
Kedua, kalau, misalnya, bukan Nunun yang menjadi penyuap dalam kasus cek pelawat itu, lalu siapa yang menjadi pihak penyuapnya? Tentu penyuapnya bukan hantu. Untuk menemukan siapa pihak yang menyuap semua anggota DPR periode tersebut, harus diarahkan ke pertanyaan: apa motif pemberian cek pelawat itu?
Hampir semua keterangan yang muncul di persidangan mengatakan cek pelawat diberikan karena berhubungan dengan pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI). Artinya, pemilihan DGS BI sepertinya menjadi pintu masuk yang tepat untuk menemukan siapa penyuapnya. Langkah awal yang ditempuh adalah menguak semua keterangan dari persona yang berkecimpung di perhelatan pemilihan DGS BI. Baik panitia maupun orang-orang yang waktu itu maju sebagai calon dewan gubernur senior.
Langkah KPK memeriksa Miranda Goeltom tak keliru. Sebab, Miranda adalah calon dewan gubernur senior. Di samping itu, dia memenangi perebutan kursi jabatan top di BI tersebut. Meskipun, dalam pemeriksaan, Miranda berkeras menyatakan tak tahu-menahu dari mana sumber cek pelawat itu. Dia tak tahu siapa sponsor cek pelawat (Koran Tempo, 12 Januari 2012), KPK perlu lebih dalam memeriksa Miranda.
Kekuatan Besar
Kasus cek pelawat tak bisa dipandang sebagai kasus teri. Sebab, kasus ini berkaitan dengan Bank Indonesia, sebuah lembaga keuangan negara yang bersifat independen dan mengendalikan sistem keuangan negara. Boleh jadi ada motif yang sangat besar yang menyertainya.
Agus Condro, salah satu terdakwa kasus cek pelawat yang sudah bebas, di depan media mengeluarkan dugaan bahwa ada kepentingan ekonomi atau pengusaha tertentu yang mensponsori pemilihan DGS BI (14/12/2011). Artinya, jangan-jangan kekuatan ekonomi inilah kekuatan besar yang masuk ke pemilihan DGS BI. Hipotesis yang dapat dibangun adalah, apabila BI dapat dipegang melalui salah satu gubernur seniornya pasti kekuatan ekonomi ini akan dengan mudah mempengaruhi kebijakan BI yang bertujuan menguntungkan segala usaha perekonomian sang empunya kekuatan ekonomi.
Adanya kekuatan besar yang diduga ikut bermain dalam kasus cek pelawat pernah pula dilontarkan oleh mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas beberapa waktu lalu. Busyro menyatakan, susahnya Nunun digelandang pulang ke Indonesia ketika Nunun belum ditangkap–ditengarai karena ada kekuatan besar yang melindungi Nunun (26 Oktober 2011).
Pendekatan rational choice untuk memahami sebuah kekuatan besar yang masuk ke pejabat publik bisa dibangun dengan logika “pasar politik”. Mochtar Mas’oed (1999) mengatakan, dalam logika pasar politik, para pejabat publik berada dalam posisi supply (menawarkan) kebijakan negara. Sedangkan posisi demand (permintaan) diperankan oleh konstituensi, penyumbang dana, dan partai politik.
Dengan pendekatan rational choice dan logika pasar politik, dugaan Agus Condro serta lontaran pernyataan Busyro tak boleh dianggap remeh. Sebab, penyumbang dana menjadi salah satu aktor yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Penyumbang dana yang boleh jadi menyediakan 480 buah cek pelawat senilai Rp 24 miliar yang diperuntukkan bagi anggota DPR adalah bagian dari permintaan (demand) untuk mempengaruhi kebijakan pejabat publik (anggota DPR) agar memberikan kemenangan kepada calon Dewan Gubernur Senior BI. Dengan demikian, penyumbang dana, seperti kekuatan ekonomi, bisa mengamankan usaha perekonomiannya melalui gubernur senior yang sudah disponsori.
Artinya, jangan-jangan memang benar ada kekuatan besar yang turut serta mengendalikan kasus cek pelawat. Maka, menemukan si pemegang kekuatan besar ini menjadi tantangan berat bagi KPK. Akhirnya, strategi “makan bubur” yang mungkin selama ini dipakai oleh KPK, membongkar kasus korupsi dari luar ke dalam, tampaknya perlu segera diubah. KPK harus masuk langsung ke dalam dengan memanfaatkan keterangan Nunun.
Pihak Nunun sendiri sudah beberapa kali menyatakan mau bekerja sama untuk menuntaskan pemeriksaan kasus cek pelawat. Ini adalah momentum yang tepat. Nunun bersedia membantu KPK dalam menemukan siapa sesungguhnya penyuap semua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 itu. Selain itu, tak lucu juga jika KPK dicibir oleh publik karena sudah menuntut orang yang disuap, namun gagal menemukan dan menuntut penyuapnya.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 16 Januari 2012