oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
“Apakah sudah tak ada PNS bersih untuk mengisi kursi kepala dinas yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi?”
SEPERTINYA ada yang miring dengan penegakan hukum di republik ini. Tak hanya penegakan hukum dalam arti menegakkan hukum pidana tapi juga penegakan hukum dalam ranah hukum administrasi. Bagaimana mungkin seorang atasan keliru dan fatal membaca aturan yang membuat banyak orang mempertanyakan maksudnya.
Adalah Azirwan, terpidana kasus korupsi, yang terbukti menyuap anggota DPR (waktu itu) Al-Amin Nasution dalam alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan Sumatra tahun 2008. Saat itu Azirwan menjabat Sekda Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Setelah bebas, Azirwan dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Terkait sorotan banyak pihak, Azirman akhirnya memilih mundur (Kompas, 23/10/12). Sehari sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan,’’ “Dia (Azirwan) mundur secara sukarela.”
Dengan pengunduran pejabat itu, saat ini masih ada 8 bekas terpidana korupsi yang menjabat kepala dinas di Pemprov Kepulauan Riau. Terkait Azirwan, sebelumnya Gubernur HM Sani mengatakan, Azirwan sosok yang memiliki kemampuan mengelola Dinas Kelautan dan Perikanan. Karo humas pemprov Riono menambahkan Azirwan dinilai berperilaku baik dan berprestasi oleh pimpinan.
Apakah pertimbangan kompetensi, berperilaku baik, dan berprestasi yang dimiliki Azirwan, bekas koruptor, menjadi alasan pembenar untuk memberinya kedudukan baru di struktur pemda? Apakah pemberian kedudukan itu tidak melanggar hukum? Apakah sudah tak ada PNS bersih yang mampu mengisi kursi kepala dinas, yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi?
Sakiti PNS Bersih
Ketentuan hukum yang mengatur PNS, salah satunya adalah UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Perihal pemberhentian PNS diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 23 terdiri atas lima ayat yang bernorma pilihan, wajib bersyarat, dan/ atau wajib. Sifat pilihan tertera dalam Ayat (2), (3), dan (4). Adapun Ayat (1) dan (5) bersifat wajib.
Tampaknya Gubernur Provinsi Kepulauan Riau membaca bagian pasal yang bersifat pilihan. Transkrip Pasal 23 Ayat (3) Huruf b UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 tahun.’’
Norma Pasal 23 Ayat (3) Huruf b memang bersifat pilihan, sekaligus memberikan diskresi kepada kepala daerah untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan PNS di lingkungannya. Apabila misalnya, gubernur merasa putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada pegawainya itu tidak memengaruhi kompetensi, perilaku, atau prestasi si pegawai, gubernur dapat mempersilakan anak buahnya untuk tetap bekerja. Bahkan gubernur memiliki hak menaikkan jabatan.
Namun, sepertinya norma pasal yang bersifat wajib kemungkinan tidak dibaca, atau bahkan tidak diindahkan oleh gubernur beserta semua ahli hukumnya. Pasal 23 Ayat (5) Huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.’’
Ketentuan Pasal 23 Ayat (5) Huruf c bersifat wajib, artinya tak ada tawar-menawar. Ketika PNS melakukan kejahatan yang memiliki hubungan dengan jabatan maka kepala daerah harus memberhentikannya secara tidak hormat. Pemberhentian tipe ini sampai pada si oknum pegawai tidak berhak atas uang pensiun. Norma ini sesuai dengan aturan hukum lain yang mengatur mengenai pemberhentian PNS, semisal PP Nomor 32 Tahun 1979.
Pasal 9 Huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 mengatur hal yang sama dengan Pasal 23 Ayat (5) huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999. Pegawai negeri sipil harus diberhentikan secara tidak hormat karena melakukan kejahatan jabatan atau kejahatan yang ada kaitannya dengan jabatan.
Artinya, putusan Azirwan yang menyuap Al-Amin Nasution mestinya dibaca bahwa ia melakukan kejahatan karena jabatannya. Karena itu, pengangkatannya saat itu bertentangan dengan hukum sehingga secara hukum administrasi pengangkatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.
Selain bertentangan dengan hukum, pengangkatan Azirwan rasa-rasanya menyakiti PNS yang masih bersih. Mereka yang meniti karier melalui jalan lurus pasti merasa tidak dihargai. Hal ini berarti dari sudut pandang kemanusiaan, pemerintah menancapkan ketidakadilan secara nyata.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 25 Oktober 2012