oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
PENGADILAN Tinggi Jakarta menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar kepada Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang pengadaan alat simulasi uji klinik pengemudi roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 (19/12/13). Tak hanya itu, majelis hakim tinggi juga mewajibkan mantan kepala Korlantas itu membayar uang pengganti Rp 32 miliar.
Bahkan, mencabut hak politik jenderal polisi tersebut. Putusan itu lebih berat ketimbang vonis pengadilan tingkat pertama dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Juga tanpa mencabut hak politik. Sontak, kabar vonis banding sang jenderal menjadi kabar gembira dalam pemberantasan korupsi.
Sebelumnya, sepertinya tak ada yang mengira, pengadilan tinggi akan menghukum mantan gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang itu dengan pidana yang sesuai dengan tuntutan jaksa. Publik perlu mengapresiasi, tapi jangan terlalu berlebihan mengingat memang demikian seharusnya. Hakim, sebagai wakil Tuhan di bumi, harus menjadi pengadil yang memberikan keadilan seadiladilnya. Keadilan bagi korban korupsi, yakni rakyat.
Dulu, tatkala sanksi pidana pada pengadilan tipikor Jakarta untuk sang jenderal dibacakan (4/9/13), saya terheran-heran. Kok bisa majelis hakim mengirim Djoko Susilo ke bui dengan masa penjara kurang dari 2/3 tuntutan jaksa. Sepertinya, korps meja hijau sedang masuk angin. Makanya melalui harian ini edisi 9 September 2013, saya mengkeritik putusan tingkat pertama. Rakyat pun marah.
Jangan-jangan ada yang sedang bermain-main dalam olahalih putusan. Namun, tidak hanya sang majelis, bisa jadi jaksa juga tak begitu ngotot dan meyakinkan dalam mengonstruksi kasus korupsi pengadaan simulator alat kemudi. Akibatnya penghitungan kerugian keuangan negara secara substitusi muncul dalam pertimbangan hakim.
Antara jaksa dan hakim, boleh jadi keduanya sama-sama sedang masuk angin. Putusan tingkat banding itu bagaikan telaga yang mengaliri dahaga perang melawan korupsi yang sempat mengering. Semoga lantaran vonis banding Djoko Susilo ini, efek jera menjalar ke masyarakat, khususnya aparat penegak hukum, agar tidak coba-coba, apalagi melakukan, korupsi.
Hak Politik
Hal membanggakan lainnya dari vonis banding Djoko Susilo adalah majelis hakim sudah mau menerapkan pencabutan hak politik pelaku korupsi.
Mencabut hak politik ini bukan tanpa dasar. Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi yang mencantolkan pada Kitab- Kitab Undang Hukum Pidana dengan jelas mencantumkannya. Pasal 35 Ayat (1) KUHPAngka 4, misalnya mengatakan, hak politik terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya adalah: hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
Jadi sudah cetha wela-wela, bahwa terdakwa korupsi pun dapat dicabut hak politiknya. Ada beberapa orang berujar, tindakan majelis hakim yang menjatuhkan pencabutan hak politik koruptor terlalu berlebihan, lebay, dan cuma cari sensasi. Pencabutan itu adalah pengebirian hak mendasar seseorang.
Saya, secara pribadi, menolak ujaran beberapa orang tersebut. Kalau bicara soal mendestruksi hak, lalu di mana harus ditempatkan destruksi yang dilakukan oleh koruptor terhadap hak rakyat untuk sejahtera, hidup tentram, dan aman berkelanjutan yang semua itu hancur tak berbekas karena korupsi para pencuri uang rakyat? Pencabutan hak politik koruptor harus segera dibiasakan dan masuk dalam putusan majelis hakim berikutnya. Kita wajib memahami bahwa koruptor adalah penjahat yang pintar. Ia melakukan kejahatan terhadap harta publik karena didorong keserakahan. Ketika kepintaran dan keserakahan bersatu, dijamin akan sangat susah memberantasnya.
Bayangkan, kalau terdakwa korupsi yang pintar dan serakah itu masih diberikan kesempatan untuk menduduki kursi jabatan, terutama jabatan publik, atau terpilih, misalnya menjadi anggota DRPD atau DPR maka peluang untuk korupsi dan menyelewengkan lagi kekuasaannya, pasti akan terbuka lebar.
Jika demikian, kenapa tidak dicegah lebih dulu? Lagi pula, hukum telah memberi kekuatan untuk memprevensinya. Bukankah pencegahan tempatnya selalu harus di depan, bukan di belakang? Vonis bertujuan untuk menghukum perbuatan yang melekat pada orang, bukan menghukum orang. Ketika hak politiknya dicabut, diharapkan perbuatan koruptor yang dihukum tak bisa diterapkan lagi ke harta publik dan harta negara melalui kebijakan yang dibentuk oleh si koruptor.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 26 Desember 2013