Oleh
Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Dalam waktu singkat, berbagai kalangan masyarakat berkumpul di berbagai kota memberikan dukungan bagi KPK untuk tetap tegar dan pantang mundur memberantas korupsi. KPK adalah kita, selamatkan KPK, dukung KPK, menggema seantero negeri. Dukungan ini merupakan respon dari ditangkapnya salah satu pimpinan KPK, Bambang Widjajanto (BW), oleh Mabes Polri. Penangkapan dan sangkaan pidana kepada BW yang penuh kejanggalan memberi kesan kuat bahwa ini merupakan rekayasa kasus. Sulit juga kiranya untuk tidak mengaitkan manuver Kabareskrim Polri ini dengan status calon Kapolri, Komjen BG, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus dugaan rekening gendut. Memori kita seketika langsung ingat persitiwa cicak versus buaya, kriminalisasi terhadap penyidik KPK dan serangkaian serangan balik lainnya. Pola yang sama dan berulang selalu terjadi manakala KPK mengusut korupsi oknum kepolisian.
Sejarah hubungan antara polisi dan KPK memang berada diruang konflik. Sulit dibantah bahwa hubungan antara Kepolisian dan KPK kurang harmonis setelah terjadinya peristiwa cicak versus buaya. Nuansa konflik antarlembaga itu kembali terasa kuat ketika kasus Komjen BG muncul. Apalagi, mengingat status BG yang merupakan calon pucuk pimpinan Kepolisian. Polri sepertinya ingin menunjukkan arogansinya terhadap KPK dengan bertindak sewenang-wenang dan jika perlu melawan nalar hukum. Arogansi ini tidak boleh dibiarkan berkembang. Harus segera dicegah agar tidak terjadi konflik yang lebih merugikan. Kita tentu tidak ingin peristiwa cicak versus buaya kembali terjadi. Apalagi membayangkan seperti yang terjadi di Hong Kong, dimana terjadi konflik terbuka antara polisi dan KPK Hong Kong, ICAC (Independent Commission against Corruption).
Bagi KPK, serangan balik semacam ini bukanlah hal baru dan KPK berhasil menghadapinya dengan baik. Bagaimanapun situasinya, publik berharap KPK tetap fokus mengusut kasus korupsi Komjen. BG. Jangan sampai KPK lengah dan mengabaikan kasus rekening gendut itu. Justru, kasus itu harus diselesaikan dengan cepat. Pemeriksaan saksi-saksi harus terus dilakukan, termasuk mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang.
Mungkin akan ada yang mempertanyakan legitimasi KPK karena jumlah pimpinannya tidak utuh. Apalagi jika BW diberhentikan sementara karena statusnya sebagai tersangka. Kekhawatiran itu tidak perlu. Sebab pimpinan KPK itu bersifat kolektif kolegial. Pimpinan KPK tetap bisa mengambil keputusan. Karena KPK menganut sistem kolektifitas kepemimpinan dan KPK memiliki sistem yang tidak bergantung pada personil/pimpinan tertentu. Serangan ke KPK saat ini seharusnya tidak menjadi faktor penghambat kinerja KPK. Pimpinan KPK harus tetap fokus mengusut kasus Komjen BG serta tetap fokus menyelesaikan tunggakan perkara lainnya.
Yang sangat disayangkan adalah sikap Presiden Jokowi. Presiden yang diharapkan dapat menyelesaikan ketegangan hubungan antara KPK-Polri, ternyata bersikap sangat normatif. Presiden menolak bersikap tegas dan membiarkan konflik ini berlangsung. Padahal Presiden sebagai atasan Kepolisian dapat saja memerintahkan Polri untuk tidak mengganggu KPK yang sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan kasus BG. Presiden jangan bersembunyi dibalik sikap “tak mau intervensi penegakan hukum”. Sikap demikian justru akan membiarkan konflik antara Polri – KPK semakin runcing tanpa ada solusi. Hal ini justru berdampak buruk pada kredibilitas pemerintahan Jokowi.
Presiden mungkin lupa akan janji politiknya bahwa akan mendukung penuh KPK dan memimpin pemberantasan korupsi. Janji politik itulah yang membuat rakyat memberikan dukungan pada Jokowi saat pemilihan presiden 2014 lalu. Hingga saat ini, belum terlihat upaya serius Jokowi membuktikan komitmen antikorupsinya. Justru publik terlihat kecewa atas kebijakan Jokowi. Paling tidak ada 2 persitiwa yang mengecewakan publik. Pertama, pencalonan Kapolri yang bermasalah. Kedua, sikap tidak tegas Presiden menanggapi penangkapan komisioner KPK.
Untuk memulihkan kepercayaan publik, Presiden Jokowi harus mengambil langkah tegas. Presiden sebagai pemegang kekuasaan Kepala Negara dan Pemerintahan harus sadar bahwa kekuasaan itu merupakan modal yang cukup untuk bersikap tegas. Presiden harus mengabaikan berbagai intervensi atas kebijakannya. Selama Presiden bersama kepentingan rakyat, maka Presiden akan didukung penuh. Jika Presiden konsisten dengan komitmen antikorupsi, maka sangat mudah menyelesaikan kegaduhan hukum ini. Sikap tegas antikorupsi itu adalah, pertama, Presiden membatalkan calon Kapolri terpilih dan mengajukan calon baru yang lebih berintegritas. Kedua, mendukung penuh KPK untuk menuntaskan dugaan korupsi Komjen BG serta memimpin langsung upaya pemberantasan korupsi di pemerintahan. Dengan demikian, rakyat masih melihat ada harapan pada rezim pemerintahan ini untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan bersih dari korupsi.
Artikel ini pernah diterbitkan Kedaulatan Rakyat pada 26 Januari 2015