oleh : Hifdzil Alim, (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Mahkamah Agung punya ketua baru. Mantan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung Hatta Ali terpilih sebagai ketua baru lembaga yang menjadi puncak lembaga peradilan itu. Hatta Ali terpilih menjadi ketua setelah mengantongi 28 suara dari 54 suara Hakim Agung yang diperebutkan. Dia mengalahkan kandidat Ketua MA lainnya, seperti Ahmad Kamil yang memperoleh 15 suara, Abdul Kadir Mappong (4 suara), Mohammad Saleh (3 suara), dan Paulus Effendi Lotulung (1 suara). Ada tiga suara yang dinyatakan tidak sah (Tempo.co, 8 Februari 2012).
Banyak kalangan berharap terpilihnya Hatta Ali sebagai Ketua MA mampu membawa lembaga hukum tersebut menjadi muara yang menampung proses peradilan bersih dan berwibawa. Hanya, sepertinya tak mudah bagi ketua baru MA asal Sulawesi Selatan itu mewujudkan MA sesuai dengan harapan banyak kalangan. Pasalnya, ada banyak “pekerjaan rumah” di MA yang belum kelar hingga sekarang.
Pekerjaan Rumah
Sebelum proses pilah-pilih ketua baru, MA bukanlah lembaga peradilan yang dianggap bersih 100 persen. Banyak dugaan masalah menerpa. Misalnya, soal tumpukan perkara hingga syak wasangka terjeratnya MA oleh kelompok mafia hukum. Bahkan, sesaat sebelum perhelatan pemilihan nakhoda baru, MA dihujani isu tak sedap. Kelompok mafia masuk dalam serangkaian kegiatan pemilihan. Selentingan adanya prasangka jual-beli suara untuk kursi Ketua MA dilontarkan oleh salah satu perkumpulan advokat. Duit sebesar Rp 1-5 miliar untuk satu suara yang diperuntukkan bagi hakim agung yang mau memilih kandidat tertentu disediakan oleh kelompok pemodal pendukung salah satu calon.
Meski kebenaran sangkaan dari perkumpulan advokat tersebut harus dibuktikan terlebih dulu, paling tidak sangkaan itu menjadi catatan bahwa ada masalah serius yang sedang melanda MA. Kelompok mafia hukum dan pemodal sedang mengepung MA. Selanjutnya, catatan buruk MA dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi terekam di benak publik. Sebab, MA sudah berani membebaskan terdakwa korupsi dalam 40 perkara korupsi (www.mahkamahagung.go.id). Dari sudut pandang sebagian besar masyarakat, membebaskan terdakwa korupsi adalah dosa besar yang sulit diampuni.
Tak hanya di internal MA, sebagai muara dari lembaga peradilan yang berwenang mengoreksi lembaga peradilan di bawahnya, keberadaan beberapa jenjang lembaga peradilan di bawah koordinasi MA juga belum beres. Sebut saja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada 2011, reputasi Pengadilan Tipikor di beberapa daerah anjlok gara-gara menerbitkan putusan bebas bagi terdakwa korupsi.
Berdasarkan catatan, Pengadilan Tipikor Surabaya membebaskan 21 terdakwa korupsi. Kemudian Pengadilan Tipikor Samarinda menjatuhkan vonis bebas bagi 14 terdakwa korupsi. Dua kepala daerah dan satu wakil kepala daerah diberi angin kebebasan oleh Pengadilan Tipikor Samarinda. Adapun Pengadilan Tipikor Semarang sudah membebaskan dua terdakwa korupsi.
Aksi beberapa Pengadilan Tipikor yang membebaskan para terdakwa korupsi tersebut diakui atau tidak telah mengancam runtuhnya miniatur keberhasilan penegakan hukum antikorupsi yang sebelumnya didirikan oleh Pengadilan Tipikor sendiri (Koran Tempo, 12 November 2011). Sebenarnya, akibat yang lebih parah dari kerapnya Pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa korupsi adalah potensi lahirnya ketidakpercayaan publik terhadap Pengadilan Tipikor.
Ketidakpercayaan publik akan memberi masalah turunan berupa tindakan masyarakat yang akan main hakim sendiri. Berat rasanya membayangkan tindakan main hakim sendiri dari masyarakat akan menimbulkan keadaan yang chaos di mana-mana. Hukum negara tak lagi diakui. Rakyat memilih jalan sendiri dalam menciptakan rasa keadilan. Jika sudah begini, lalu apa artinya MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya? Beberapa hal buruk di atas menjadi pekerjaan rumah bagi ketua baru MA. Hatta Ali perlu merumuskan strategi yang jitu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah MA.
Turun Tangan
Ketua baru MA harus turun tangan menyelesaikan pekerjaan rumah MA. Setidaknya ada empat langkah yang mesti diambil. Pertama, membersihkan hakim nakal, baik hakim di lembaga peradilan di bawah MA–termasuk hakim Tipikor di semua jenjang peradilan–maupun di lingkungan hakim agung sendiri.
Program pembersihan hakim nakal tak boleh hanya dijadikan pencitraan semata. Lagi pula, Hatta Ali, melalui pidato yang dia sampaikan setelah terpilih, menjanjikan adanya hakim yang bersih di semua lembaga peradilan. “Tak ingin lagi ada hakim yang melakukan penyimpangan,” begitu ujarnya (Tempo.co, 8 Februari 2012).
Kedua, setelah menyapu bersih hakim agung di MA dan hakim di lembaga peradilan di bawahnya, harus dibentuk sebuah sistem integritas yang kuat bagi semua hakim dan diterapkan di semua jenjang lembaga peradilan. Contohnya, apabila ada oknum hakim yang diduga saja menerima bingkisan dari pihak beperkara ataupun penasihat hukumnya, atau dari pihak lainnya, si oknum hakim tersebut harus dinonaktifkan sementara. Setelah pemeriksaan dilakukan dan terbukti ada tindak pidana korupsi dari perilaku oknum hakim itu, langkah memberhentikan permanen tak usah ragu diambil.
Pada konteks tersebut, membangun hubungan kelembagaan dengan Komisi Yudisial dan penegak hukum lainnya dalam melakukan pengawasan terhadap hakim mau tak mau harus diperkuat. Jangan lagi ada sentimen kelembagaan. Bukankah pengawasan akan lebih mudah dilaksanakan apabila ada banyak mata yang dilibatkan?
Ketiga, khusus bagi hakim Tipikor, perlu diadakan rekrutmen hakim Tipikor dengan transparan dan akuntabel. Capaian yang ingin diraih adalah mendapatkan kualitas hakim Tipikor, bukan kuantitas. Simetris dengan langkah ini, pilihan moratorium pembentukan Pengadilan Tipikor di 458 kabupaten/kota menjadi pilihan yang rasional.
Untuk sementara, kinerja Pengadilan Tipikor yang sudah dibentuk di 33 ibu kota provinsi hendaknya digenjot dengan serius. Jika sudah tampak keberhasilannya, tak ada salahnya mempercepat pembentukan Pengadilan Tipikor di semua daerah. Strategi ini akan membawa dua dampak secara bersamaan: menghemat anggaran dan menemukan hakim Tipikor yang berkualitas.
Keempat, last but not least, membuat amar putusan yang adil dan menjunjung tinggi nurani masyarakat adalah langkah yang dapat mendekatkan MA ke publik. Sekaligus langkah ini akan menjadi bukti bahwa MA memang sudah mulai berhasil menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Semoga.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 20 Februari 2012