Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
“Susah menyakini kalau hanya dalih ”umur” yang digunakan memperbarui kitab hukum dan acara pidana itu”
DPR dan Pemerintah bersikeras melanjutkan pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sikap ini disampaikan oleh Ketua DPR Marzuki Alie (SM, 24/2/14). Kengototan untuk meneruskan rapat karena produk hukum ini adalah warisan kolonial, umurnya mencapai 68 tahun, maka wajar perlu diubah.
Apabila dalil ketua lembaga perwakilan rakyat memang demikian adanya, maka tak ada keraguan terhadapnya. Bahwa umur KUHP dan KUHAP, kurang bisa menjawab persoalan hukum yang perkembangannya sangat cepat, lebih cepat dari pada jangkauan undang-undang itu sendiri. Namun, susah menyakini kalau hanya dalih “umur” yang digunakan untuk memperbarui kitab hukum dan acara pidana tersebut.
Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hu¬kum UGM mencermati substansi pasal yang diatur da¬lam RUU KUHAP. Sebenarnya, tidak semua ketentuan yang tercantum di ketentuan perubahan KUHAP bertentangan dengan penegakan hukum. Penegakan hukum tak hanya diterjemahkan sebagai hukum pemberantasan korupsi, tapi juga yang terkait dengan hukum lainnya.
Misal secara umum, pengaturan restorative justice dinilai positif ke depannya untuk penegakan hukum. Tak hanya itu, pengaturan mengenai kejahatan ke-kerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga tak buruk. Setidaknya, dua hal ini menunjukkan tak semua yang diatur oleh rancangan KUHAP bertentangan dengan penegakan hukum.
Hanya ketika melangkah ke sektor lain –seperti pemberantasan korupsi, sistem penegakan hukum pidana (criminal justice system), dan pelaksanaan kekuasaan kehakiman– rancangan hukum formal pidana itu tampak compang-camping. Terkesan tidak saling melengkapi, dan berisiko menciptakan kemunduran dalam penegakan hukum. Alhasil, masyarakat banyak yang menggugat RUU KUHAP.
Pukat Korupsi Fakultas Hukum UGM mencatat minimal empat hal pertimbangan yang dapat mendudukkan RUU KUHAP di kursi pesakitan karena memundurkan usaha dan sinkronisasi penegakan hukum (21/2/14). Pertama; melanjutkan pembahasan RUU KUHAP, tapi melambatkan pembahasan RUU KUHP kelihatannya hanya akan menghasilkan kesia-siaan.
KUHP adalah hukum material yang mengatur substansi dan unsur pelanggaran atau kejahatan. Adapun KUHAP adalah hukum formal yang memiliki kewajiban dan cara menjalankan hukum material tersebut. Bagaimana mungkin mengebut rapat soal RUU KUHAP sebagai hukum formal, apabila RUU KUHP sebagai hukum material bergerak sangat lambat.
Sahlan Said, mantan hakim PN Yogyakarta (21/2/14), menanggapi fakta pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP dengan perumpamaan ìcangkulî dan ìsawahî. RUU KUHAP ibarat cangkul dan RUU KUHP ibarat sawah. Menyelesaikan RUU KUHAP terlebih dahulu dan memundurkan RUU KUHP bagaikan memiliki cangkul, tetapi tak mempunyai sawah. Bukankah cangkul dimanfaatkan untuk mengerjakan sawah? Jika tak ada sawahnya maka cangkul hanya alat belaka. Tak bermanfaat.
Keterbatasan Waktu
Kedua; substansi RUU KUHAP yang saat ini ada di tangan DPR, mau tak mau, akan berimplikasi pada sistem peradilan yang ada sekarang. Jika rancangan hukum formal pidana diketok sekarang, sekurang-kurangnya UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahka¬mah Agung, UU Badan Peradilan, UU Kejaksaan, UU Kepolisian, dan UU KPK harus disesuaikan. Masalahnya adalah apakah anggota DPR yang terhormat periode 2009-2014 memiliki cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang terkait itu? Dengan keterbatasan waktu dan pemilihan umum yang bakal digelar 9 April 2014, nonsense rasanya.
Ketiga; malapetaka timbul dari ketentuan RUU KUHAP yang bakal meniadakan penyelidikan. Lembaga yang selama ini mendukung aparat penegak hukum, semisal Badan Narkotika Nasional dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, akan merasakan kegetiran yang sangat. Mengingat dua lembaga itu tak lagi punya hak untuk melakukan investigasi (penyelidikan).
Keempat; khusus di sektor pemberantasan korupsi, penghapusan penyelidikan; pengaturan mengenai penahanan; izin penyadapan yang dimaktubkan dalam RUU KUHAP; cenderung tak dapat mengerek usaha pemberantasan korupsi. Alih-alih memajukan, RUU KUHAP malah memundurkan upaya pengejaran koruptor.
Empat perihal itu, naga-naganya cukup menjadi penanding kausa ìumurî yang dijadikan pijakan oleh Ketua DPR untuk bersikeras melanjutkan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP. Lagi pula, andai pun argumen meneruskan pembahasan berkutat pada soal usia undang-undang, kenapa tidak dari 10 tahun lalu diselesaikan? Kenapa harus sekarang ketika banyak anggota DPR sudah jadi pesakitan karena korupsi?
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 01 Maret 2014