oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
MENKUMHAM Amir Syamsuddin mengajukan banding atas putusan PTUN Jakarta yang pada 7 Maret lalu menyatakan SK Menkumham Nomor MHH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang Pengetatan Remisi terhadap Narapidana Tindak Pidana Luar Biasa Korupsi (SK pengetatan remisi koruptor) melanggar UU Nomor 12 Tahun 1995 serta asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Langkah banding Menkumham menuai kontroversi. Pasalnya, sebelum putusan majelis hakim PTUN Jakarta dijatuhkan, Menkumham berkoar akan menerima apa pun putusan majelis hakim, dan tidak akan mengajukan upaya hukum banding. Bagi sebagian kalangan, langkah banding tersebut dinilai sebagai bukti bahwa Menkumham tak konsisten dan bohong. Karena kebohongan itu, Menkumham didesak meletakkan jabatannya.
Bahkan, politikus Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan bahwa Paskah Suzetta, yang merasa dirugikan atas terbitnya SK pengetatan remisi koruptor itu sudah siap melaporkan Menkumham —dan Wamenkumham— ke polisi. Dasar hukumnya adalah Pasal 333 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan tuduhan melawan hukum dan merampas kemerdekaan seseorang (SM, 10/03/12).
Pertanyaannya, apakah langkah Menkumham mengajukan banding itu keliru dan merampas kemerdekaan seseorang, mengingat sebelumnya dia siap menerima apa pun putusan majelis hakim?
Untuk melihat kasus banding Menkumham, setidaknya butuhkan tiga sisi pandang. Pertama; cara pandang melalui sisi hukum normatif. Kedua; cara pandang terhadap sisi upaya pemberantasan korupsi, dan ketiga; cara pandang dengan sisi etika pejabat negara.
Upaya hukum banding dalam peradilan tata usaha negara atau administrasi negara adalah upaya hukum biasa yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 122 disebutkan, ‘’Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.’’
Dengan dasar ketentuan hukum normatif itu maka sebagai pihak tergugat, Menkumham memiliki hak untuk mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta. Pengajuan banding Menkumham tak merampas kemerdekaan seseorang. Di samping itu, hak dia sebagai tergugat ini tidak bisa dipangkas. Jika misalnya, ada pihak yang melarang Menkumhan mengajukan banding maka pihak tersebutlah yang akan dianggap melawan hukum dan merampas kemerdekaan.
Dari sisi usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya tidak ada yang keliru dengan langkah banding Menkumham. Korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga juga memerlukan cara luar biasa untuk memberantasnya. Mengetatkan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi adalah salah satu cara luar biasa yang bisa dipakai untuk memberantas korupsi.
Hanya untuk melaksanakan cara luar biasa tersebut, sedapat mungkin jangan sampai melawan hukum. Karena, akan susah jadinya apabila pemberantasan korupsi dilakukan dengan melanggar hukum. Sangat harus dihindari pemberantasan korupsi dengan cara koruptif atau melanggar hukum.
Bukan Cara Koruptif
Dalam pandangan saya, langkah Menkumham mengajukan banding terhadap putusan PTUN Jakarta bukanlah sebuah cara memberantas korupsi dengan cara melawan hukum atau cara koruptif lainnya. Perlu digarisbawahi, Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 menuliskan, ‘’Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.’’
SK pengetatan remisi koruptor yang diterbitkan oleh Menkumham adalah sebuah keputusan tata usaha negara yang ditujukan secara konkret, individual, dan final terhadap terdakwa korupsi. Tujuh terpidana korupsi, Hafiz Zawawi, Bobby Suhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andy Tjajanto, Agus Widjajanto, Mulyono Subroto, dan Ibrahim mengajukan gugatan tata usaha negara. Menkumham, melalui Wamenkumham Denny Indrayana mengatakan, akan mematuhi putusan majelis hakim PTUN Jakarta. Menkumham akan membebaskan tujuh terpidana korupsi itu sejak terbitnya putusan majelis hakim PTUN Jakarta (SM, 10/3/12).
Artinya, dari sisi upaya pemberantasan korupsi, tidak ada cara melawan hukum atau cara koruptif yang dilakukan oleh Menkumham atau Wamenkumham. Dua pejabat itu menepati janjinya untuk mematuhi putusan majelis hakim PTUN Jakarta dengan membebaskan tujuh terpidana korupsi yang mengajukan gugatan tersebut. Selanjutnya, apabila dipandang dari sisi etika pejabat negara maka kita perlu melihat kepada ciri umum jabatan pemerintahan. Konflik etis yang dihadapi pejabat muncul dari dua sifat umum pemerintahan, yakni sifat representasional dan sifat organisasional (Dennis F Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, 2002: xxi-xxiii).
Sifat representasional melahirkan konflik antara prinsip dan tindakan. Adapun sifat organisasional memunculkan konflik antara prinsip dan tanggung jawab. Yang perlu dipahami bahwa dalam sifat yang representasional ataupun organisasional, seorang pejabat negara dituntut untuk dapat mengimplementasikan asa rakyat demi tujuan rakyat dan tujuan negara. Kepentingan masyarakat yang lebih besar diamini dalam kerangka demokrasi. Intinya, pejabat negara harus tegak melawan apa pun sepanjang itu ditujukan untuk membuat nyata tujuan rakyat dan tujuan negara. Maka banding Menkumham bisa diposisikan sebagai etika pejabat negara untuk memperjuangkan asa rakyat, meski sedikit dinilai sebagai suatu kebohongan.
Terakhir, putusan majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan bahwa SK Menkumham tentang pengetatan remisi koruptor dianggap melawan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Karena itu, agar kontroversi pengetatan remisi bagi koruptor tak lagi dinilai melawan hukum maka DPR sebagai lembaga yang berwenang membentuk undang-undang harus secepatnya merevisi UU Nomor 12 Tahun 1995. Jika tidak, penilaian rakyat yang akan menghakimi, ternyata DPR minim niat memberantas korupsi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian MERDEKA pada 13 Maret 2012