oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
MALANG betul nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah gebrakannya membersihkan korupsi di Mabes Polri mendapat ganjalan, lembaga antirasuah itu kembali menghadapi sandungan di Senayan. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002, aturan hukum organik komisi itu, akan diubah.
Komisi III DPR berencana merevisi regulasi itu ketika lembaga antikorupsi tersebut sedang gencar melancarkan penegakan hukum. Awalnya, seperti ada kor di parlemen bahwa beberapa ketentuan dalam regulasi itu mutlak harus diubah. Ketentuan yang paling menonjol akan direvisi adalah mengenai hak penyadapan dan penuntutan.
Namun entah kenapa, sikap satu kata tersebut belakangan ini berubah, sebagaimana juga diberitakan harian ini, Kamis kemarin. Beberapa wakil rakyat yang mewakili fraksi menyatakan tidak mendukung. Bahkan, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Hendrawan Supratikno berpendapat bahwa draf RUU KPK adalah siluman karena belum pernah melalui sidang pleno di Komisi III (SM, 02/10/12).
Sepertinya, mengutip ’’Tajuk Rencana’’ harian ini edisi 2 Oktober lalu, telah terjadi polarisasi di tubuh parlemen. Sikap berseberangan beberapa wakil rakyat tersebut sangat berbeda dari kesimpulan rapat Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, yang dalam penyampaian pandangan umum semua fraksi menyatakan setuju terhadap rencana revisi UU KPK. Kalau memang benar ada polarisasi sikap terkait dengan rencana revisi regulasi tersebut, mengingat kecenderungan sikap partai politik bisa berubah sewaktu-waktu, apakah polarisasi itu disebabkan oleh desakan publik?
Landasan filosofis pembentukan KPK mengatakan pemberantasan korupsi harus ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Hal itu mengingat korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dalam melaksanakan tugas, KPK akan menyasar lembaga negara atau lembaga pemerintah apapun yang diduga menjadi sarang korupsi, tidak terkecuali DPR.
Tentu tugas KPK ini bukan tanpa halangan. Misalnya, DPR yang kerap disasar KPK, mencoba melawan dan balas dendam. Tahun 2010, parlemen pernah mengancam memotong anggaran KPK karena dianggap gagal memeriksa kasus Bank Century. Sekarang parlemen berencana mengamputasi kewenangan komisi antikorupsi itu. Perlawanan yang dilakukan DPR itu tercatat dengan tinta merah dalam sejarah pemberantasan korupsi.
Nilai Jual
Jika dalam rencana revisi UU KPK, ketika sebelumnya (3 Juli 2012) DPR berucap dengan nada menyetujui, tetapi belakangan ini mulai terbentuk polarisasi sikap, sepertinya ada yang aneh. Jangan-jangan ada siasat di balik itu. Polarisasi sikap tersebut kemungkinan besar tidak didorong oleh tekanan publik, tetapi oleh sesuatu yang lain. Saya menduga perubahan sikap beberapa fraksi di Komisi III terkait rencana revisi UU KPK, salah satunya disebabkan oleh kemerosotan nilai jual partai politik yang kini dominan di mata masyarakat pemilih. Adalah hasil Pilkada DKI Jakarta 2012 yang menjadi pemicu.
Sebagaimana kita ketahui, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung oleh Partai Demokrat (32 kursi), PKS (18), Partai Golkar (7), PPP (7), PAN (4), PDS (4), Partai Hanura (4), dan PKB (1 kursi) dengan total 77 kursi di DPRD DKI Jakarta, dikalahkan oleh duet Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) yang ’’cukup’’ didukung PDIP (11) dan Partai Gerindra (6) dengan ’’hanya’’ 17 kursi.
Dukungan Partai Demokrat, PKS, dan Golkar terhadap Fauzi-Nachrowi rontok dihantam pilihan massa pendukungnya yang kemungkinan besar beralih ke Jokowi-Ahok. Perintah petinggi parpol agar semua anggota, kader, simpatisan, dan massa pendukung partai memilih pasangan yang didukung oleh keputusan partai, ternyata tidak berlaku maksimal, atau bahkan tidak digubris. Kemembelotan massa pendukung partai dari garis parpol tampaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi petinggi partai agar tidak lagi membuat kesalahan.
Meski kurang representatif dijadikan sampel, setidaknya Pilgub DKI Jakarta menjadi miniatur politik bagi partai dalam menghitung lumbung suara dan memperbaiki citra partai.
Dalam waktu relatif singkat (dua tahun), pilihan untuk mengubah sikap dengan menjaring kembali suara pemilih melalui kebijakan yang populis, yakni mendukung penolakan perubahan UU KPK, menjadi pilihan yang cukup rasional. Jika dugaan saya ini benar, berarti polarisasi sikap di DPR hanyalah lips service semata.
Dalam waktu tertentu, revisi UU KPK akan diketok dengan melahirkan cacat kewenangan KPK. Karena dalam politik, urusannya adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Semoga dugaan saya itu keliru.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 05 Oktober 2012