Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
PRESIDEN Joko Widodo telah mengambil kebijakan terkait dengan kriminalisasi KPK. Tiga orang ditunjuk mengisi kursi pimpinan yang kosong si komisi antirasuah itu.
Taufiequrachman Ruki diangkat sebagai ketua sementara menggantikan Abraham Samad, sedangkan Johan Budi Sapto Prabowo menggantikan sementara Bambang Widjojanto. Adapun Indiryanto Seno Adji mengisi tempat Busyro Muqoddas, yang memang sudah berakhir masa baktinya. Harapannya, tiga orang pilihan Presiden itu mampu menjaga martabat atau marwah KPK sebagai pemberantas korupsi.
Namun yang mengagetkan, setelah pelantikan, Ruki mengeluarkan pendapat bahwa bisa saja kasus Komjen Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kenapa mengagetkan? Karena komisi antikorupsi itu tak biasa, atau bahkan belum pernah, mengambil opsi itu. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur lembaga antikorupsi itu berwenang melakukan koordinasi dan supervisi.
Jadi, komisi itu berhak mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun berkait supervisi, komisi tersebut berhak mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi yang menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau pelayanan publik. Artinya, hukum memberikan ruang kepada KPK untuk mengomandoi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sampai tahap ketika kepolisian dan kejaksaan tak sanggup menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, atau orang yang berkait dua kelompok itu, meresahkan masyarakat, dan/atau dengan kerugian di atas Rp 1 miliar maka KPK dapat mengambil alih. Pasal 8 Ayat (3) UU KPK menyatakan,
’’Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK’’. Pasal ini menunjukkan alur supervisi dari kepolisian dan kejaksaan ke KPK, bukan sebaliknya: dari KPK ke kepolisian dan kejaksaan.
KPK-lah yang mengambil penyidikan dan penuntutan kasus dari kepolisian dan kejaksaan (top-down), dan bukannya kepolisian dan kejaksaan yang mengambil penyidikan dan penuntutan dari KPK (bottom- up). Mengapa demikian? Pasalnya hal ini berkaitan dengan martabat KPK yang menjadi pemimpin utama penanganan korupsi.
Bila KPK benar-benar melimpahkan penyidikan kasus Budi ke Kejagung maka sangat menggelikan dan bisa jadi bertentangan dengan undangundang. Andai pelimpahan kasus setelah penyidikan tidak diperbolehkan, bolehkah dilakukan sebelum penyidikan? Hukum hanya mewanti-wanti pascapenyidikan dan pascapenuntutan.
Logikanya, prapenyidikan dan prapenuntutan dugaan kasus yang mampir ke KPK boleh diteruskan ke eksternal. Ketentuan pada bagian sidik sangat berkait Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002: ’’KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.”
Jika misalnya, KPK melimpahkan kasus Budi ke Kejagung maka tersangka dan semua dokumen yang berkait pun harus diserahkan. Lalu apa baju hukum administratif yang dipakai sebagai dasar hukum pelimpahannya. Apakah SP3? Padahal, SP3 KPK dilarang oleh undang-undang. Maknanya, selain penyidikan dan penuntutan, KPK bisa meneruskan dugaan kasus ke instansi lain.
Kurang Tepat
Contoh, laporan tahunan KPK 2013 memaparkan, ada 2.119 laporan yang ditindaklanjuti ke pihak eksternal. BPK menerima 26 laporan, dan berturut-turut BPKP (4), Bawasda (1), Itjen dan LPND (50), Kejaksaan (63), Kepolisian (34), MA (65) lainnya (3), serta tanggapan atas pengaduan 1.873 laporan.
Penerusan laporan yang belum sampai tahap sidik dan tuntut juga menjadi bagian dari fungsi KPK sebagai trigger mechanism, mendorong penegak hukum lain untuk juga aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pendek kata, KPK kurang tepat melimpahkan kasus Komjen Budi ke Kejagung.
Lalu, bagaimana memeriksa kasus jenderal bintang tiga itu ketika sidang praperadilan yang diputus Hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan (16/2/15) menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah? Komisi antikorupsi itu harus mengambil upaya hukum biasa atau luar biasa yang disediakan oleh undang-undang.
Kabarnya KPK sudah mengajukan kasasi atas putusan praperadilan Budi. Hal ini bisa mengacu Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berarti MA harus memeriksa permohonan kasasi dari KPK.
Atau misalnya, KPK juga dapat menempuh upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK). Rapat kamar pidana MA tanggal 19-20 Desember 2013 memutuskan bahwa PK untuk putusan praperadilan diperbolehkan bila ditemukan indikasi penyelundupan hukum.
Ini adalah upaya hukum yang dilindungi undang-undang untuk menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi. Apakah kasasi atau PK KPK akan diterima? Biarlah itu menjadi domain pengadilan yang bertugas memutus perkara.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 24 Februari 2015