Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
SEPANJANG 2015, secara jujur harus dikatakan bahwa cambuk penegakan hukum antikorupsi tak cukup deras dihela. Pemberantasan korupsi berjalan melamban di semenjak awal 2015, bahkan hingga akhir tahun juga belum kunjung menunjukkan efek perbaikan. Pasalnya mudah untuk terendus, dukungan rendah political will negara, dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah faktor yang paling determinan dari potret 2015. Potret yang mungkin dapat dikatakan suram dan berlatar buram.
Lemahnya dukungan
Rendahnya political will negara mudah dihitung dengan tampil maksimalnya kepentingan politik jika dibandingkan dengan penegakan hukum antikorupsi. Sepanjang 2015, KPK dihajar habis-habisan dengan berbagai kepentingan yang jelas-jelas jauh dari kepentingan penegakan hukum. Pada saat yang sama, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada pada kondisi yang sama-sama sedang mencari bentuk relasi politik. Pencarian bentuk itu membuat agenda perlindungan KPK menjadi terabaikan.
Pemerintah terlihat tak bersungguh-sungguh berhadapan dengan DPR yang berisi partai politik penuh kepentingan. Akhirnya, pemerintah seakan membiarkan berbagai obokan kepentingan politik ke KPK. Bahkan, berbagai langkah penting yang ingin dilakukan Presiden tertunda dan tak berjalan efektif oleh karena partai politik mengatakan berbeda.
Kita semua tahu sebab-musabab mengapa Presiden akhirnya tidak membentuk secara sah tim independen untuk menyelisik berbagai kriminalisasi yang terjadi atas KPK. Kepentingan ialah jawaban yang paling pasti untuk mendedahkan hal itu. Buya Syafii dkk yang kala itu harusnya ditugaskan mendetailkan kriminalisasi tak kunjung mendapatkan keppres dan akhirnya mandul.
Masih dalam kriminalisasi terhadap KPK dan pegiat antikorupsi, ini pun semuanya dibiarkan tanpa adanya ujung yang berarti. Kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Suparman Marzuki, Taufiqurrahman Syahuri, Novel Baswedan, dan Denny Indrayana mungkin dapat mewakili betapa rentan dan lemahnya penegakan hukum antikorupsi di hadapan kepentingan.
Kasus-kasus sebenarnya sangat mungkin diperdebatkan problema hukumnya, tetapi terus melaju deras ke arah penegakan hukum yang terlihat serampangan.
Pada titik itu, kembali pertanyaan soal dukungan pada agenda pemberantasan korupsi menjadi besar. Apalagi, kemudian pemerintah bermain api dengan isu teranyar, yakni melempar revisi UU KPK ke DPR yang memang bernafsu mengubah UU KPK. Sikap DPR tidak terlalu genah dan senang pada keberadaan KPK itu hal yang sudah sulit untuk dibantah. Pertanyaan mayoritas anggota DPR dalam berbagai kesempatan memiliki langgam yang sama dalam hal itu. Bahasa KPK superbodi, kebanyakan tingkah, tak diawasi, harusnya me ngedepankan pencegahan, dan berbagai hal lainnya ialah hal yang sudah kita dengarkan sejak 2005.
Herannya, pemerintah malah sepakat mem berikan ruang inisiatif itu kepada DPR. Padahal, sikap memberikan kepada DPR inisiatif legislasi itu tentu bisa mendapatkan perdebatan dan pertanyaan besar. Makanya, hari-hari belakangan ini bermunculanlah ide aneh mengatasnamakan keinginan memperbaiki KPK.Namun alih-alih memperbaiki, hanya mengagregasi perusakan terhadap KPK. Jangan-jangan, sedang ada kepentingan pemerintah yang mau dibarterkan dengan DPR, semisal dugaan atas barter dengan RUU Pengampunan Pajak.
Intinya, DPR bersama dengan pemerintah ter lihat sedang bermain-main politik dengan berbagai agenda setiap kelembagaan. Bermain di agenda masing-masing se hingga penegakan hukum antikorupsi yang kuat dan tegas menjadi terlupakan dan terbengkalai.
Melemahnya KPK
Melemahnya KPK sebenarnya tidak dari faktor eksternal dan pembiaran perusakan KPK. Akan tetapi, itu juga dari faktor internal KPK sendiri. Harus diakui, terobosan terbaik yang dilakukan Presiden mengeluarkan perppu pengisian jabatan bagi KPK ketika komisionernya berkurang hingga di bawah tiga orang. Bahkan, DPR juga mengamini dengan menyetujui perppu tersebut untuk dijadikan UU No 10 Tahun 2015. Sayangnya, hingga saat ini saya meyakini bahwa tidak seluruhnya UU tersebut menjadi anugerah, tetapi juga pada wilayah lain menjadi musibah buat KPK.
Dengan masuknya komisioner sementara, tujuan menormalisasi turbulence relasi kelembagaan KPK dengan lembaga lainnya memang sedang dilakukan. Akan tetapi, sayangnya, itu malah menggerus kekuatan KPK. Salah satu kekuatan KPK yang ada selama ini ialah semangat kolektivitas kuat melakukan perbaikan. Sayangnya, semangat itu dikendalikan secara keliru oleh pimpinan KPK sementara. Bayangkan begitu masuk ke KPK, mereka mengumandangkan kata-kata `KPK menyerah kalah!’. Bagaimana mungkin penolakan dan pelawanan terhadap kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu dipandang sebagai ancaman oleh pimpinan KPK sementara, bahkan dikenai sanksi bagi yang melawan kebijakan baru tersebut.
Setidaknya, melemahnya KPK terlihat dari dua hal yang berkorelasi dengan gaya kepemimpinan KPK sementara saat ini. Pertama, pengisian jabatan internal di KPK yang mulai terkesan serampangan dan tanpa arah yang jelas. Berbagai jabatan diisi orang yang barangkali tidak dengan rekam jejak yang menarik. Bahkan sosok-sosok dengan posisi dan pandangan yang tidak tepat soal KPK malah dibawa dan ditaruh pada posisi tertentu di KPK.
Kedua, gaya kepemimpinan yang menekankan kepatuhan ketimbang inisiatif. Corak yang dibangun Ruki ialah komando tunggal yang mengubah wajah para pegawai KPK menjadi orang patuh dan bukan orang inisiatif. Bayangkan, mimbar bebas yang digelar para karyawan untuk memberikan dukungan untuk melawan kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu malah dianggap sebagai perlawanan atas kepemimpinan KPK sementara.
Tak mengherankan jika kasak-kusuk di kalangan luar mengatakan bahwa KPK kembali ke kondisi awal ketika baru dibentuk pascadisahkannya UU KPK. Bahkan, terlihat benar jika berjalan mundur atas capaian beberapa jilid KPK pasca-KPK jilid pertama era kepemimpinan Taufiequrrahman Ruki dulu.
Pada posisi ini, tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan apakah KPK memang sudah melemah atau tidak. Namun, setidaknya, gaya kepemimpinan KPK terkesan lebih koperatif pada kepentingan dan tak berani konfrontatif penuh terhadap pemi lik kuasa dan kepentingan tertentu. Hal yang bisa jadi dibaca secara wajar setelah badai yang menghan tam KPK. Namun, sangat mungkin juga dipan dang ke arah yang tak terlalu menguntungkan untuk KPK.
Selamat atau selamat tinggal?
Tahun 2016 ialah persimpangan yang akan mempersulit kemungkinan perbaikan. Pada 2016 ini tantangan itu akan semakin membuncah oleh karena akumulasi pelbagai hal tersebut di atas. Tahun 2016 ialah tahun yang akan menyelamatkan jalan pemberantasan korupsi, tetapi juga sangat mungkin menjadi ucapan selamat jalan pada pemberantasan korupsi.
Setidaknya ada tiga faktor yang akan menentukan hal tersebut. Pertama, haruslah diingat agenda pemberantasan korupsi ialah agenda besar yang diusung pemerintahan saat ini. Kegagapan konsolidasi politik yang dialami Jokowi-JK pada 2015 masih sangat mungkin untuk dimengerti meski tak bisa dibenarkan. Itu disebabkan tahun pertama kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ialah hal yang identik dan bersamaan dengan pelbagai problem 2015.
Kemampuan Jokowi-JK untuk menuntaskan konsolidasi politik dan penguatan agenda pemerintahan akan menjadi kunci di 2016. Jika mereka mampu melepaskan diri dari tekanan politik, sangat mungkin agenda-agenda penguatan hukum antikorupsi kembali dapat dibahasakan dengan langgam yang lebih jelas.
Ujiannya bisa terlihat dari kelindan kasus `papa minta saham’ ataupun kapasitas pemerintah untuk mengawal agenda legislasi, semisal UU KPK, KUHP, dan berbagai agenda legislasi lainnya. Kemampuan untuk keras dan ketat pada pemihakan agenda pemberantasan korupsi akan memperlihatkan indikasi kemampuan menjinakkan kepentingan politik tersebut. Jika tidak, berarti 2016 akan kembali semakin berat.
Kedua, fantasi negara dalam memola agenda penguatan pemberantasan dan pencegahan korupsi. Kita semua paham problem ketidakmampuan republik ini membangun data yang kuat dan menunjang penegakan hukum antikorupsi. One single map di berbagai hal akan sangat memperbaiki peluang mafia bermain di wilayah tertentu. Single identification number akan memperbaiki proses kependudukan dan pendataan.
Ketersambungan antara sistem perbankan dan perpajakan akan membantu menghilangkan mafia pajak. Penguatan lembaga penunjang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) akan menunjang kerja-kerja pemerintahan di wilayah penegakan hukum antikorupsi dan menghadapi mafia, termasuk membangun sistem non-conflict of interest dan sistem illicit enrichment yang sudah sekian lama diwacanakan negara ini tapi tak kunjung mendapatkan tempat yang berarti. Artinya, dalam ranah kedua ini penting untuk berbicara soal apa saja resep yang ditawarkan untuk menguatkan sistem-sistem antikorupsi. Resep yang menarik akan menghidangkan agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi yang lebih lezat.
Ketiga, tentu saja konsolidasi lembaga pemberantasan korupsi. KPK, dengan komisioner baru, akan sangat menentukan. Jika DPR akhirnya memilih dream team, harapan akan menguat. Akan tetapi, jika yang terpilih ialah dreaming team, kita kembali akan kesulitan berharap. Bukan hanya komisionernya, UU KPK juga harus dikawal. Jangan sampai ada tindakan berdalih memperbaiki KPK yang malah mengamputasi KPK.
Tidak hanya KPK, kejaksaan dan kepolisian juga. Perbaikan kelembagaan mereka juga harus menjadi perhatian. Tiga langkah minimalis yang harus dilengkapi dengan berbagai agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi lainnya. Tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK ialah di 2016. Kegagalan mereka merupakan sumbangan separuh kegagalan penegakan hukum antikorupsi. Selamatkan jalan pemberantasan korupsi! Jangan biarkan selamat jalan pemberantasan korupsi!
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 11 Desember 2015