Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT
FH UGM)
KITA semua sudah memahami betapa gonjang-ganjingnya dunia hukum di Republik ini akibat kasus Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempermainkan begitu banyak kasus dengan tujuan mendapatkan uang. Dari sidang perdana, setidaknya sudah ada beberapa tuduhan yang tersaji untuk Akil, yakni perihal hakim yang menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahuinya atau patut diduga pemberian itu untuk memengaruhi perkara yang sedang ia adili. Selain itu, pemerasan yang dilakukan oleh penyelenggara negara, juga perihal menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahuinya atau patut diduga pemberian itu karena kekuasaan atau kewenangan yang berkaitan dengan jabatan dan dakwaan yang berkaitan dengan pidana pencucian uang. Hal yang dilakukan Akil berkaitan dengan belasan pemilu kada yang ditangani oleh MK.
Tentu proses persidangan ialah satu hal yang baik. Namun, hal lain yang harus dikelola saat ini yaitu bagaimana meramu dan melihat kasus Akil dalam rangka membuat resep dalam bentuk peta perbaikan dan perubahan. Karena tanpa upaya membuat ramuan perbaikan, dengan mudah kasus Akil jilid kedua atau bahkan ketiga tersaji untuk negeri ini. Jika ada, itu akan semakin menggerus begitu banyak aspek penegakan hukum dan demokrasi di negeri ini.
Pertama, tentu saja bagaimana memperlakukan kasus Akil itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya tanggung jawab yang sangat besar di kasus ini. Tentu, secara hukum, Akil tetap bisa dijatuhi sanksi meski tidak terjelaskan dengan detail siapa yang menyuap, oleh karena pasal-pasal mengenai pemberi suap dan penerima suap ditempatkan secara berbeda. Akan tetapi, akan sulit diterima akal sehat jika pemberi suap malah tidak mendapat sanksi hukum. Kita semua menolak dengan apa yang terjadi pada kasus Gayus beberapa waktu silam. Gayus diberi sanksi menerima suap, tetapi hingga saat ini perusahaan pemberi suapnya menghilang tanpa jejak.
Dalam hal ini, tentu saja para kandidat kepala daerah yang bermain dengan Akil harus dikejar. Mereka sudah menjadi bagian dari perusak hukum dan demokrasi di negeri ini. Termasuk para perantara penyuapan yang beberapa di antaranya adalah tokoh partai dan namanya sudah berseliweran di bukti-bukti yang dimiliki oleh KPK dan terungkap di media. Termasuk pengacara-pengacara yang bermodus operasi suap dalam memenangi perkara di MK. KPK harus bisa mengejar semuanya. Mereka ialah sel-sel kanker bagi penegakan hukum dan demokrasi yang jika tidak mampu dikejar dan diamputasi, setiap saat akan menjadi bahaya aktual bagi negeri ini.
Sederhana saja, jika ada yang menyuap hingga miliaran rupiah untuk duduk pada jabatan kepala daerah, mudah untuk membayangkan apa yang akan terjadi pada kekayaan daerah yang dipimpinnya. Logikanya, ada nada upaya besar-besaran merampok kekayaan daerah untuk mengembalikan ongkos yang telah dia keluarkan ketika bertarung dalam pemilu kada, termasuk untuk menyuap Akil.
Kewajiban KPK bukan hanya pada daerah yang sudah terungkap ada permainan Akil, tetapi juga daerah-daerah lain yang ada sengketa hasil pemilihan di MK ketika Akil masih menjadi hakim MK. Data menyebutkan ada berpuluh-puluh kasus pemilu kada lainnya yang dibawa ke MK ketika itu. Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa hanya belasan daerah itulah yang ‘dimainkan’ oleh Akil. Sangat mungkin banyak daerah lainnya yang juga bermain dengan Akil. Karena itu, KPK harus bisa mengungkapnya secara maksimal. Ketika gagal menyasar daerah lain yang juga melakukan permainan, sama dengan membiarkan mereka tetap bertakhta di daerah secara tidak benar dan kembali ke apa yang dituliskan di atas, mudah untuk membayangkan kemungkinan perampokan pada daerah yang dipimpinnya.
Benturan kepentingan
Kedua, MK wajib untuk becermin pada kasus Akil. Artinya, ada bangunan proses penyelenggaraan kewenangan MK yang masih harus diberikan catatan garis tebal. Misalnya saja soal-soal upaya mengatur panel hakim yang lebih memadai. Kasus di daerah tertentu yang memiliki kesamaan latar belakang dengan hakim tertentu harus dihindari, termasuk pemohon yang berlatar belakang partai tertentu dan dekat dengan partai yang dulunya mengusung sang hakim MK harus juga dihindari. Rajinnya Akil memegang perkara partai tertentu yang dekat dengan latar belakangnya, serta beberapa daerah yang dekat dengan asal Akil membuktikan bahwa MK belum membangun cara menghindari benturan kepentingan secara maksimal.
MK tentu bisa beralasan bahwa hakim MK ialah negarawan yang bisa membedakan kepentingan pribadi dan bangsa. Namun, hal yang keliru ketika hanya bersandar pada kualitas individu tanpa membangun prinsip dan mekanisme yang bisa menghindari benturan kepentingan. Apalagi, status kenegarawanan di MK bukan MK yang menentukan, tetapi lembaga pengusung hakim MK yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). MK hanya mendapatkan kandidat yang dipikir oleh presiden, DPR, dan MA ialah seorang negarawan.
Apalagi, MK sudah membuat blunder dengan membiarkan kemungkinan benturan kepentingan calon dari parpol yang tidak harus memutus hubungan dengan partai beberapa tahun sebelum menjadi hakim MK dalam Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (dapat disebut Perppu Penyelamatan MK). Akibatnya, MK kemungkinan akan dibanjiri eksodus politisi yang bisa masuk melalui pintu presiden dan DPR. Tentu kita bisa mengatakan Putusan MK keliru, tetapi seketika sudah diputuskan ia telah menjadi hukum yang mengikat. Karena itu, upaya membangun hal-hal penunjang agar tidak terjadi lagi adalah menjadi bagian yang penting. MK wajib membangunnya karena ketiadaan aturan perihal menekan benturan kepentingan ini.
Bukan hanya secara kelembagaan, tetapi personal hakim MK juga harus menunjukkan sikap yang menghindari hal-hal yang tidak pas. Kegigihan salah seorang hakim MK misalnya yang mendatangi KPK saat Akil ditangkap, bahkan hadir di persidangan awal Akil dapat bermakna ganda. Bisa saja beralasan perkawanan dan dukungan moril, akan tetapi dapat juga diberi makna lain misalnya mendukung tindakan Akil. Orang akan mudah berpikir bahwa ada apa antara Akil dan hakim MK ini? Jika soal persahabatan dan dukungan moril, apakah dapat dikatakan tujuh orang hakim yang lainnya tidak bersahabat dan tidak memberikan dukungan moril pada Akil jika tidak mengunjungi Akil? Hal-hal yang sebenarnya jauh lebih dapat dihindari jika dukungan moril tidak perlu diterjemahkan dengan antusiasme mendatangi Akil.
Bukankah seorang negarawan yang baik bukan hanya berpikir romantisme persahabatan dirinya, tetapi harusnya berpikir soal kegeraman publik pada perilaku koruptif?
Ketiga, presiden dan DPR dalam rangka mendorong kandidat hakim konstitusi. Secara logika konsekuensi ketika mendorong dan menerima Perppu Penyelamatan MK, presiden dan DPR sudah menerima bahwa hakim MK seharusnya diseleksi secara lebih baik oleh mereka, termasuk melakukan sterilisasi dari parpol dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun tanpa bau partai. Ketika presiden menawarkan ide tersebut, lalu DPR secara kolektif menerimanya, harusnya dapat dikatakan bahwa mereka sangat setuju dan ingin melaksanakan hal itu. Walau kemudian dibatalkan MK, setidaknya gairah memperbaiki itu harusnya masih tetap bisa ditunjukkan dengan cara mengusung orang yang benar-benar lepas dari bau partai dan dengan melakukan proses yang lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Kerja Pengawas
Di sinilah anehnya ketika baru saja mereka menerima dan mendorong substansi perppu, tetapi kemudian orang-orang itulah yang mendorong kandidat yang masih sangat berbau partai untuk masuk ke MK. Pertanyaannya sederhana, perenungan macam apa yang mereka lakukan ketika menginisiasi maupun ketika menerima perppu? Seharusnya, ada kesamaan antara pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh ketika beritikad membuat perppu dan ketika menerimanya sebagai upaya ‘Penyelamatan MK’. Jangan-jangan, benar yang dibicarakan beberapa pihak yang mengatakan inisiasi perppu bukanlah bahasa substansi hukum, tetapi hanya gimmick politik. Termasuk pihak yang mengesahkan perppu menjadi UU adalah bukan atas dasar pertimbangan substansi hukum, tetapi hanya kepentingan politik.
Keempat, negara inilah yang harus menyelamatkan pemilu kada secara khusus dan demokrasi secara lebih luas. Negara adalah semua komponen negara ini. Partai harus diperbaiki agar tidak menjadikan kandidat kepala daerah sebagai ‘sapi perahan’ untuk membeli ‘perahu’. Sudah mengeluarkan uang di awal untuk membeli perahu membuat mereka semakin berani untuk mengeluarkan uang di proses akhir di MK demi memenangi kontestasi yang sudah sangat mahal ia biayai sedari awal.
Pelaksana dan pengawas pemilu juga harus bekerja jauh lebih baik agar menjaminkan tidak ada kecurangan di daerah. Kualitas pemilu kada tanpa kecurangan sebenarnya sebagian ialah cerminan kualitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Semakin baik mereka mengawal proses kontestasi, semakin rendah tingkat kecurangan dan kemungkinan di bawa ke MK.
Sebaliknya, sebagian lainnya juga ialah kualitas masyarakat dan kesadaran publik untuk mengatakan pemilu kada adalah upaya mencari orang yang sangat baik memimpin daerah dan bukan orang yang hanya murah hati menjanjikan dan membagikan hal tertentu ketika sedang dicalonkan. Kualitas yang dibutuhkan untuk membangun daerah secara jauh lebih baik. Tanpa peserta pemilu kada yang baik, kesadaran publik, dan kualitas penyelenggaraan pemilu kada yang baik, kita hanya sedang naif menunggu perbaikan kualitas demokrasi lokal.
Tentu, ada begitu banyak catatan terserak yang dapat diambil dari mempelajari kasus Akil, tetapi tetap ada hal yang harus segera diambil dan dilakukan. Tanpa itu, kita tak pantas disebut manusia yang harusnya dapat menghindari untuk jatuh ke lubang yang sama, berkali-kali.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA, pada 24 Februari 2014