oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Mahkamah Agung bikin gebrakan. Beberapa putusan bebas koruptor dibatalkan oleh majelis hakim kasasi MA. Banyak pihak mengapresiasi positif putusan MA itu: berani mengoreksi putusan-putusan bermasalah pengadilan di bawahnya. MA memberi secercah harapan kembali tegaknya tiang pancang wibawa hukum.
Hingga saat ini tercatat empat vonis bebas koruptor yang dianulir MA: putusan terhadap Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad, mantan Wali Kota Kendari Mansyur Masie, Bupati Subang Eep Hidayat, dan Bupati Lampung Timur Satono. Semuanya merupakan putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tipikor daerah. MA memvonis bersalah para pejabat negara itu dan menjatuhkan pidana penjara paling singkat empat tahun dan terlama 15 tahun penjara.
Putusan MA ini bak oase di tengah gurun tandus penjeraan terhadap koruptor. Bagaimana tidak, selama ini kita disuguhi parodi pengadilan yang lebih berpihak kepada koruptor ketimbang upaya pemberantasan korupsi. Kecenderungan pengadilan tipikor daerah membebaskan para koruptor justru lebih buruk daripada pengadilan umum.
Sejak dibentuk 2010, pengadilan tipikor sudah menuai kontroversi. Hanya dalam satu tahun, pengadilan tipikor daerah sudah banyak membebaskan terdakwa korupsi. Pantauan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM menemukan bahwa hingga tahun 2011, lebih dari 40 terdak- wa korupsi telah dibebaskan pengadilan tipikor daerah. Penga- dilan Tipikor Surabaya, Samarinda, Bandung, dan Semarang tercatat sebagai pengadilan tipikor yang paling sering membebaskan koruptor.
Secara hukum memang tidak ada salahnya hakim menjatuhkan putusan bebas. Namun, banyaknya koruptor bebas telah menimbulkan pertanyaan akan kinerja pengadilan tipikor. Pengadilan yang awalnya diharapkan mampu memberi efek jera bagi koruptor justru menjadi surganya koruptor. Bahkan, kuat dugaan bahwa pengadilan tipikor daerah sudah menjadi zona nyaman mafia peradilan.
Dalam kondisi demikian, putusan MA ini selain berpihak pada penegakan hukum antikorupsi juga beraroma antimafia peradilan. Putusan MA memberi pesan tegas kepada pengadilan tipikor daerah dan pelaku mafia peradilan bahwa upaya memengaruhi putusan hakim melalui cara-cara koruptif akan percuma. MA sebagai pengadil tertinggi akan mengoreksi putusan-putusan yang menyimpang itu dan menghukum berat koruptor.
Tindak Lanjut
Meski patut diapresiasi, langkah MA menganulir vonis bebas koruptor belumlah sempurna jika MA tak mengambil langkah-langkah tindak lanjut, misalnya dengan memastikan bahwa putusannya dijalankan oleh kejaksaan. Rupanya banyak putusan pengadilan yang belum dieksekusi kejaksaan. Koruptor yang menjadi musuh negara dan masyarakat masih dibiarkan berkeliaran.
Alasan utama molornya eksekusi koruptor lebih oleh aspek administrasi daripada substansi hukum: belum diterimanya salinan putusan dari MA. Ini seharusnya menjadi kritik bagi MA. Seharusnya begitu putusan dibacakan, beberapa saat setelah itu, salinan putusan sudah bisa diakses baik oleh jaksa, pengacara, pihak yang beperkara, maupun publik. Jangan sampai hanya karena kelalaian administrasi salinan putusan, koruptor dibiarkan bebas begitu saja. Fakta bahwa banyak koruptor yang melarikan diri karena tak kunjung dieksekusi harus menjadi peringatan keras bagi penegak hukum.
Kejaksaan semestinya tidak perlu mengulur-ulur eksekusi. Jangan terlalu bergantung pada aspek administratif yang justru menegasikan substansi penegakan hukum. Jangan bersikap pasif menunggu salinan putusan dari MA. Ambil inisiatif dan, kalau perlu, lakukan terobosan hukum. Coba kita bandingkan upaya KPK dan kejaksaan dalam mengeksekusi koruptor. KPK bisa menangkap Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Muhammad dalam waktu singkat. Sementara itu, kejaksaan berlama-lama mengeksekusi putusan mantan Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin M Najamuddin. Padahal, putusan Agusrin sudah dijatuhkan pada 1 Januari 2012. Ini harus jadi evaluasi bagi Jaksa Agung.
Kemudian, putusan kasasi MA sejatinya menunjukkan adanya kesalahan penerapan hukum yang diterapkan hakim pengadil- an tipikor. Hakim tipikor menilai bahwa pidana korupsi para pejabat korup itu tak terbukti. Sementara itu, hakim agung MA menilai sebaliknya. Logika hukum hakim tipikor sama sekali dimentahkan hakim agung. Terlihat jelas bahwa pemahaman hakim pengadilan tipikor daerah dangkal mengenai substansi hukum pidana korupsi dan hukum acara.
Kekacauan logika hukum hakim pengadilan tipikor yang berujung pada bebasnya koruptor seharusnya dijadikan bahan oleh MA untuk mengevaluasi kinerja hakim itu. UU Kekuasaan Keha- kiman, UU MA, dan UU Pengadilan Tipikor sudah memberi kewenangan kepada MA untuk melakukan pengawasan, evaluasi, dan pemberhentian hakim yang terbukti tak cakap dan melakukan perbuatan tercela.
Selama ini hakim yang sering membuat putusan bermasalah berlindung di balik tameng prinsip independensi bahwa hakim bebas dan tak boleh diintervensi dalam membuat putusan. Pemahaman yang terlalu mengagung- agungkan independensi hakim itulah yang memicu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Hakim merasa bebas membuat putusan meski putusan itu jelas-jelas menyalahi hukum materiil dan formil. Independensi koruptif itulah yang terlihat jelas dalam berbagai putusan bebas pengadilan tipikor daerah.
Karena itu, MA harus tegas. Tindakan evaluasi, sanksi, dan jika perlu pemberhentian, harus diambil terhadap hakim yang terbukti berkinerja buruk dan sering membuat putusan bermasalah. MA tak perlu berkompromi dengan hakim bermasalah itu.
artikel ini pernah diterbitan oleh koran KOMPAS pada 09 April 2012