Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Yang Mulia, begitulah sapaan atas anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Panggilan itu mengalahkan sebutan bagi anggota dewan lainnya yang biasa disapa “yang terhormat”. Tentu panggilan ini memiliki makna tersendiri. Dalam dunia hukum dan peradilan, Yang Mulia biasa disematkan pada hakim. Dalam istilah hukum, dikenal dengan istilah officium nobile atau profesi yang mulia/terhormat. Mengapa demikian? Karena dalam profesi tersebut terkandung nilai-nilai kejujuran, moralitas, dan keadilan. Sehingga sebutan Yang Mulia merupakan cara untuk menghormati profesi yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tadi.
Lantas, apakah nilai-nilai ini juga dimiliki oleh para Yang Mulia anggota MKD? Publik jelas masih meragukannya. Hingga saat ini, MKD belum memperlihatkan kemuliannya. Anggota MKD tak ubahnya seperti politisi biasa, bahkan lebih buruk dari itu. Beberapa anggota MKD disinyalir telah menggadaikan kemuliaannya. Proses persidangan yang sedang berjalan di MKD masih berputar-putar pada persoalan teknis. Beberapa anggota MKD masih berkutat pada persoalan legal standing pengadu dan bukti rekaman. Padahal menurut UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), legal standing pengadu dimiliki oleh pihak internal DPR (anggota/pimpinan) atau eksternal (masyarakat/perorangan).
Begitu juga dengan bukti rekaman, telah diatur dalam Pasal 138 UU MD3 dan Pasal 27 Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Bahwa data atau informasi yang dapat didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, merupakan alat bukti yang sah. Sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahan alat bukti itu. Dan tidak perlu juga ditanya bagaimana cara memperolehnya, apakah sesuai hukum atau tidak? Karena forum MKD merupakan sidang etik, bukan pengadilan atas pelanggaran hukum!
Pelanggaran Etik
Mestinya, persidangan MKD fokus pada pertanyaan apakah tindakan Ketua DPR, Setya Novanto (SN), telah melanggar kode etik atau tidak? Kode etik yang mana yang dilanggar dan apa ancaman sanksinya? Itulah sederatan pertanyaan yang harus dijawab dengan melakukan penyelidikan dan verifikasi di persidangan. Kita mesti ingat raison d’etre dibentuknya MKD. Yaitu untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
MKD dibentuk agar aturan-aturan internal serta kode etik DPR dapat ditegakkan secara efektif, tidak menjadi hiasan pemanis saja. Karena itulah MKD dibekali dengan landasan hukum yang kuat. Kemudian aturan sanksi juga disiapkan, sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan kode etik itu manakala ada yang melanggar. Begitulah sistem hukum bekerja. Norma hukum belum cukup menjamin terlaksananya ketertiban, harus dilengkapi dengan lembaga penegak dan sanksinya. Disinilah peran MKD, yaitu sebagai peradilan etik dan penegak aturan internal DPR. Perkara yang diperiksa MKD bukanlah perkara pelanggaran hukum yang harus diperiksa secara hukum. Melainkan, pendekatan etik yang akan digunakan.
Apa yang dituduhkan pada SN, merupakan tuduhan berat. SN diduga telah melanggar beberapa ketentuan dalam UU MD3 dan kode etik. Ada 4 (empat) aspek etik yang dilanggar. Pertama menyangkut kepentingan umum, bahwa anggota dewan dilarang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan negara. Kedua aspek integritas, bahwa dilarang meminta dan menerima pemberian/hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga etika hubungan dengan mitra kerja, bahwa dilarang melakukan hubungan dengan mitra kerja untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keempat aspek konflik kepentingan, bahwa dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, Keluarga, dan golongan.
Pertemuan dan pembicaraan SN dengan Direktur PT. Freeport yang terungkap melalui rekaman jelas menunjukkan pelanggaran atas keempat aspek etik tersebut. Fakta-fakta di persidangan telah membuktikan peristiwa itu. Saksi-saksi juga telah mengakuinya. Sehingga telah terang benderang terlihat adanya pelanggaran etik. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 angka 4 Kode Etik DPR, pelanggaran yang dituduhkan pada SN itu termasuk jenis pelanggaran berat dengan ancaman sanksi pemberhentian.
Inilah seharusnya yang menjadi fokus MKD. Menjawab keresahan publik atas ulah sang komandan. Para yang mulia anggota MKD harus ingat, mereka diberikan amanah oleh rakyat untuk menegakkan etika dan kehormatan dewan bukan untuk menutupi dan membela yang salah.
Pelanggaran Hukum
Selain pelanggaran etik, SN juga diduga dapat didakwa melakukan perbuatan melawan hukum. SN dapat dikenai tuduhan melakukan kejahatan kolusi dan tindak pidana korupsi. Ada 2 UU dengan ancaman pidana yang dapat dikenakan. Pertama, UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kedua, UU Tindak Pidana Korupsi.
Pertama, kejahatan kolusi. Hal ini diatur dalam UU 28/1999. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Ancaman terhadap kejahatan ini adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 Milyar rupiah.
Sasaran pokok dari ketentuan ini adalah para penyelenggara negara yang ada di lembaga-lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi strategis, seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga negara lainnya. Kekuasaan yang besar yang dimiliki, rentan disalahgunakan. Baik dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam skandal ‘papa minta saham’, tindakan itu mengarah pada kejahatan kolusi. Bahwa terlihat ada pemufakatan yang melawan hukum untuk mendapatkan porsi saham dan fasilitas lainnya dari PT. Freeport. Aktornya adalah penyelenggara negara (Ketua DPR) bekerjasama dengan pengusaha. Skandal ini sebenarnya sudah memenuhi unsur kejahatan kolusi sebagaimana diatur dalam UU 28/1999. Memang belum pernah ada penyelenggara negara yang dikenai tuduhan kejahatan kolusi. Akankah SN yang pertama?
Kedua, SN dapat didakwa melakukan korupsi. selain pasal-pasal penyalahgunaan wewenang, tindakan SN mengarah pada pelanggaran ketentuan Pasal 12e UU Tipikor, yaitu pemerasan (extortion) yang dilakukan pejabat negara. Dalam Pasal 12e diatur bahwa penyelenggara negara dilarang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau mengerjakan sesuatu, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ancaman pidana bagi kejahatan ini sangat berat, yaitu dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 ratus juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Tindakan SN yang melakukan pertemuan khusus dan meminta sesuatu (saham atau apapun) dari bos PT. Freeport tentu tidak dapat diartikan permintaan biasa. Sebab, posisi SN adalah sebagai komandan lembaga negara. Dalam posisi itu, SN jelas memiliki kekuasaan besar, sehingga permintaan apapun yang dilontarkan tidak bisa dianggap sebagai permintaan biasa, tetapi dapat dimaknai sebagai permintaan yang harus dipenuhi. SN juga terlihat agresif dan ngotot untuk mengejar permintaannya tersebut. Terlihat dari beberapa pertemuan yang digelar khusus membicarakan hal itu. Disinilah unsur kejahatan korupsi dapat terpenuhi. Bahwa kekuasaan disalahgunakan demi mendapatkan sesuatu dari pihak lain.
Kedua dugaan kejahatan itu harus diusut secara serius oleh penegak hukum. Penuntasan kasus ini merupakan pertaruhan untuk menjaga kewibawaan lembaga negara yang sedang terpuruk. Penegak hukum harus berani karena rakyat pasti mendukung.
artikel ini pernah diterbitkan oleh majalah GATRA edisi 10 – 17 Des 2015