Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 5
Arsip:

Berita

Reposisi Kekuasaan Legislatif

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Meski mendapat tentangan masyarakat luas, DPR secara institusional masih ngotot mengajukan rencana kegiatan tahun 2016 agar dibiayai oleh dana aspirasi yang mencapai Rp 11,2 triliun (Koran Tempo, 2 Juli 2015). Tahun depan, jika betul dana triliunan rupiah itu jadi dicairkan, anggota DPR—sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan legislatif—akan memerankan karakter tambahan: pelaksana kekuasaan eksekutif. Persoalannya, apakah supplementary acting tersebut lazim adanya?

Literatur lawas hukum tata negara cukup mengenal dengan baik pemisahan atau pembagian kekuasaan negara. Kredo Trias Politica mengajarkan bahwa kekuasaan negara dipisah/dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudisial.

Kekuasaan legislatif, atas nama rakyat, memiliki kuasa untuk menyusun undang-undang. Selanjutnya, undang-undang yang disepakati, dijalankan oleh sebuah mesin besar birokrasi, di bawah kendali kekuasaan eksekutif. Apabila ada penyelewengan atas undang-undang, kekuasaan yudisial bakal turun tangan mengadili. Rangkaian peran kekuasaan ini secara bersama-sama membuat sistem yang mendasari bergeraknya sebuah negara. Sistem ini telah berjalan ratusan tahun.

Sekarang, sistem yang umurnya berabad-abad itu seperti digugat oleh sekelompok anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kira-kira kata mereka, “Berdasarkan undang-undang, kami berhak memerankan tugas sebagai pelaku kekuasaan eksekutif.” Rupanya, undang-undang yang dimaksud adalah Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014, yang menyebutkan, “Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.” Ada anggaran negara yang harus dialirkan untuk usulan para wakil rakyat atas nama undang-undang.

Dana untuk usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) bukan kali ini saja menuai kontroversi. Pada 2010, anggota Dewan juga mengajukan proposal serupa. Hanya, Pasal 78 UU Nomor 27 Tahun 2009, aturan hukum yang digantikan oleh UU Nomor 17 Tahun 2014, tak menyebutkan sama sekali hak anggota Dewan untuk membuat UP2DP. Sekadar informasi, UP2DP adalah norma baru bagi hak anggota Dewan yang muncul bersamaan dengan dua norma lainnya, yakni pengawasan dan sosialisasi undang-undang.

Artinya, UP2DP sebenarnya adalah norma yang terkesan “dipaksakan”. Hampir-hampir kurang ada penjelasan akademis yang mampu menguatkan eksistensinya. Pendek kata, jangan-jangan Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 dipaksa lahir cuma untuk melegitimasi hasrat politik anggota Dewan, bukan murni untuk merepresentasikan kehendak rakyat. Setidaknya, ada dua kausanya.

Kausa pertama, kekuasaan legislatif berstatus sebagai pengawas kebijakan kekuasaan eksekutif. Maka tak mengherankan, misalnya, konstitusi memberi ruang yang cukup luas bagi DPR dalam Pasal 20A UUD 1945. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain itu, DPR dilengkapi dengan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Lembaga perwakilan rakyat memegang kekuasaan menginvestigasi kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari kehendak rakyat.

Ruang sangat istimewa yang melekat ke DPR bukan serta-merta turun dari langit, melainkan merupakan hasil kesepakatan politik yang mengkristal dalam hukum tertinggi: konstitusi. Di samping itu, belajar dari pengalaman, fungsi dan hak yang melekat ke tubuh DPR bertujuan mengangkat citra parlemen di era sebelumnya yang hanya dianggap sebagai stempel eksekutif. UUD 1945 menaikkan derajat kekuasaan legislatif sejajar dengan kekuasaan eksekutif.

Kausa kedua, karena Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang diterapkan adalah supremasi lembaga perwakilan pusat. C.F. Strong (2005)—yang dikutip banyak sarjana hukum tata negara—mengutarakan, ciri utama supremasi lembaga perwakilan pusat ialah tidak ada pembagian kedaulatan. Yang ada hanyalah pembagian kewenangan.

Makna supremasi parlemen pusat ada dua. Bahwa lembaga perwakilan hanya ada di pusat. Dan karena itu, makna kedua adalah parlemen harus sangat fokus menjadi pengawas bagi kekuasaan eksekutif, bukan ikut-ikutan mengerjakan tugas kekuasaan eksekutif. Konsep ikut membantu domain eksekutif melalui kewenangan UP2DP atau mengusulkan program yang dibiayai oleh dana aspirasi ditakutkan berpotensi menambah berat kinerja DPR yang membuatnya menjadi kurang fokus.

Akhirnya, dua kausa di atas secara implisit “melarang” pelaku kekuasaan legislatif beralih pos sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Penting bagi DPR mereposisi kekuasaan legislatifnya.

Sebelum terpeleset dalam kubangan kekeliruan menahbiskan kedudukan kekuasaan legislatif, DPR kudu mengambil langkah reposisi sebagai berikut. Pertama, menghentikan gerakan ngotot meminta jatah dana aspirasi melalui UP2DP. Kedua, demi menghindari niatan yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali, Pasal 80 huruf j—termasuk juga huruf k dan huruf l—UU Nomor 17 Tahun 2014 harus dihapus. Dengan demikian, tidak akan ada lagi celah godaan bagi segelintir oknum anggota Dewan yang kepingin mengumbar syahwat politiknya dengan mengorbankan kesucian kedudukan kekuasaan legislatif. Semoga.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 06 Juli 2015

Laporan Harta Kekayaan

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

KABARESKRIM Mabes Polri disebutkan menyampaikan ke media massa yang pada intinya tidak perlu melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Menurutnya, tak ada pidana yang mengancam bila tak melaporkan kekayaannya. Namun belakangan ia membantah disebut menolak melaporkan. Ia merasa pernyataannya mengenai hal itu diputarbalikkan oleh media (kompas. com, 2/6/25). Terlepas dari pernyataannya itu, secara umum apakah penyelenggara negara boleh tak melaporkan harta kekayaannya karena tidak ada ancaman hukumannya? Bagaimana seharusnya negara mengatur kebijakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN)? Ternyata hukum mengatur tiap pejabat negara harus melaporkan. Pasal 5 Angka 3 Nomor UU 28 Tahun 1999 memerintahkan, ’’Setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.” Bahkan kewajiban pelaporan ini disambut oleh Pasal 17 dengan cara menugaskan sebuah komisi pemeriksa supaya melakukan cek dan ricek atas kekayaan itu.

Masih dalam undang-undang yang sama, Pasal 20 Ayat (1) mengingatkan, penyelenggara negara yang tak melaporkan harta kekayaannya sebelum dan sesudah menjabat dikenakan sanksi administratif. Artinya, ada kewajiban melekat kepadanya untuk menyampaikan LHKPN. Tanpa terkecuali, dan kewajiban itu juga memuat sanksi. Sayang, hukuman yang dipatri cuma administratif. Namun bukan hal ini yang menguatkan diaturnya perihal LHKPN.

Dalam filosofinya, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dibentuk karena pengalaman buruk atas kemerebakan korupsi oleh rezim dan pelaku kekuasaan. Korupsi tidak saja dilakukan oleh penyelenggara negara secara individu atau berkelompok namun juga pejabat negara dengan kroninya, pelaku ekonomi, pengusaha, dan kekuatan politik. Korupsi merusak sendi bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta menghilangkan keberadaan negara.

Atas kemasifan serangan korupsi, negara harus turun tangan menangani. Tugas negara mengikutsertakan masyarakat. Undang-undang memberi porsi lebih banyak bagi publik dalam pengawasan, khususnya jaminan keamanan bagi pelapor dugaan korupsi. Negara sudah mulai sadar dari tidur panjang akibat buaian kenikmataan semu korupsi. Sebelum eksistensi negara terjun bebas, cepat-cepat negara terbangun dan memerintah semua penyelenggara negara untuk bersih-bersih. Untuk perilaku kotor yang bersifat administratif, diberlakukan sanksi administratif. Perilaku pidana, dikenakan sanksi pidana.
Pertanyaannya, kenapa tidak diberlakukan ancaman pidana saja untuk semua perilaku kotor administratif? Negara masih welas lan asih. Mungkin akan terjadi “ledakan” amarah hebat apabila penyelenggara negara langsung dipaksa bersih. Mengingat kebiasaan buruk selama ini yang dipicu oleh rezim dan penguasa.

Bersikap Antikorupsi

Mesti ada langkah gradual dalam mengkreasi semua penyelenggara negara supaya bersikap antikorupsi. Setidaknya, pertama; dipaparkan semua hukum yang melarang korupsi. Kedua; dibuat kebijakan pencegahan sebagai peringatan awal. Ketiga; dipaksakan ancaman hukuman berat sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Setiap fase memuat masing-masing kebijakan.

Pelaporan LHKPN adalah salah satu kebijakan yang ada di fase preventif, bersama dengan kebijakan melaporkan aktivitas penyelenggara negara secara berkala. Mengingat bagian dari kebijakan preventif maka cukuplah kala itu ancaman hukuman tidak menyampaikan LHKPN dibuat setingkat hukuman administratif, bukan pidana. Maknanya bukan karena tidak berisi sanksi pidana kemudian pelaporan LHKPN jadi tak penting. Justru laporan itu sangat penting. Logikanya, bila pejabat negara mengirimkan LHKPN dengan jujur , ia sudah memulai usaha untuk tak korupsi. Jika tidak melaporkan, probabilitas bersikap tidak transparan lebih besar.

Bila saat ini ada penyelenggara negara tidak melaporkan LHKPN karena berpendapat tak ada sanksi pidananya maka sebaiknya kebijakan LHKPN diubah saja ke fase ultimum remedium. Perlu merevisi UU Nomor 28 Tahun 1999. Tiap penyelenggara negara yang tidak menyampaikan daftar harta kekayaannya diancam hukuman penjara dan denda, bukan lagi teguran tertulis. Tapi saya kira bakal banyak penolakan dengan kebijakan demikian. Maka dari itu, sementara, biarlah kebijakan LHKPN ini seperti itu adanya.

Penyelenggara negara, sebagai anutan rakyat, harus memberi contoh baik. Apalagi jika pejabatnya sederhana, tentu tak sulit menyampaikan LHKPN-nya bukan?

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 06 Juni 2015

Status Penyelidik dan Penyidik KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kalah lagi dalam sidang praperadilan. Kali ini putusan hakim Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara garis besar menyatakan KPK tak berhak memeriksa Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Koran Tempo (27 Mei 2014) menggarisbawahi pertimbangan hakim tunggal dalam putusan praperadilan itu dengan kalimat “proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik antikorupsi ilegal”.

Vonis hakim tunggal yang sekaligus sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melahirkan, setidaknya, dua pertanyaan serius. Pertama, apakah dalam kerangka hukum, kedudukan penyelidik dan penyidik KPK benar-benar melawan hukum-atau minimal tidak sah? Kedua, apakah semua kegiatan, dokumen, dan/atau produk hukum lainnya yang diterbitkan oleh penyelidik dan penyidik KPK ilegal?

Eksistensi penyelidik dan penyidik komisi antikorupsi diatur dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang berkata, “Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.” Tafsir atas ketentuan tersebut jelas, misalnya polisi yang menjadi penyelidik maupun penyidik di komisi antirasuah maupun jaksa yang berperan sebagai penuntut umum tidak seluruhnya berhenti dengan mutlak. Statusnya masih menjadi pegawai di kepolisian atau penuntut di kejaksaan.

Artinya, jika masa tugasnya berakhir di KPK, penyelidik dan penyidik akan kembali ke instansinya semula. Begitu juga dengan penuntut umum KPK, kalau selesai masa kerjanya di lembaga antikorupsi, ia akan kembali ke Gedung Bundar sebagai pegawai kejaksaan. Tidak lagi bekerja dan tidak pula bertanggung jawab kepada KPK.

Apakah pola pinjam pakai pegawai yang ada di KPK kemudian membuat status penyelidik dan penyidik polisi, serta penuntut umum yang bekerja di dalamnya, menjadi tidak sah atau ilegal? Jawabannya, tidak. Sebagai contoh, mari menengok ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU No. 30 Tahun 2002. Ayat 1 pada pokoknya mengatur, semua kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang termaktub dalam KUHAP-maknanya segala kewenangan umum investigasi ala kepolisian-berlaku pula bagi penyelidik dan penyidik antikorupsi di KPK.

Meski demikian, meskipun kewenangan umum penyelidikan dan penyidikan berlaku di KPK, garis tanggung jawabnya dibatasi oleh Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 yang intinya berujar, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi di KPK.” Ada batasan struktural bagi penyelidik dan penyidik di KPK. Sementara dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang mengacu ke Pasal 6 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa penyidik khusus berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian, tidak demikian dengan penyelidik dan penyidik KPK.

Penyelidik dan penyidik KPK tunduk kepada UU No. 30 Tahun 2002 dan menyimpangi Pasal 6 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang hal ini diperkenankan oleh Pasal 38 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002. Demi menguatkan konstruksi hukum sedemikian, maka hadirlah Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU 30 Tahun 2002. “Penyelidik dan penyidik adalah penyelidik dan penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK”, bukan diangkat dan diberhentikan oleh Mabes Polri.

Pendek kata, secara hukum kelembagaan negara, serta berdasarkan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 ayat (3), Pasal 43 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (1) UU 30 Tahun 2002 yang disinkronkan dengan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (2) UU 8 Tahun 1981, maka status penyelidik dan penyidik KPK adalah sah. Kedudukan penyelidik dan penyidik polisi-ataupun penuntut umum kejaksaan-yang bekerja di KPK adalah legal.

Selanjutnya, katakanlah status penyelidik dan penyidik KPK sah dan legal, mungkinkah kegiatan, dokumen, dan produk lainnya yang diterbitkan oleh para penyelidik dan penyidik KPK tidak sah atau ilegal? Kemungkinan seperti ini ada dengan catatan, sebut saja, penyelidikan, penyidikan, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan penangkapan yang dilakukan ternyata didasarkan pada gratifikasi atau sumpah/janji dari pihak tertentu yang membuat penyelidik dan/atau penyidik melakukan segala perbuatan itu. Artinya, meski status penyelidik dan penyidik sah, produknya menjadi ilegal.

Lalu, bagaimana dalam kasus penetapan tersangka Hadi Poernomo oleh KPK? Sepertinya tidak ada yang dilanggar oleh KPK. Status penyelidik dan penyidiknya sah. Juga tampaknya tidak ada “pesanan” dalam produk hukum penetapan tersangka itu. Dengan demikian, semuanya sah atau legal.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 29 Mei 2015

Pansel KPK dan Pemberantasan Korupsi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
DALAM beberapa bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami begitu banyak guncangan. Guncangan terhebatnya tentu saja ialah ketika pada akhirnya presiden harus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK akibat adanya pemberhentian sementara. Tentu saja ada potret begitu anehnya proses hukum atas para pemimpin KPK sehingga mengakibatkan mereka berhenti sementara. Akan tetapi, prinsip hukum telah memetakan secara sederhana bahwa posisi tersangka ialah berhenti sementara. Pelaksana tugas pimpinan KPK akan memegang jabatan tersebut hingga akhirnya para komisioner baru dipilih seiring dengan berakhirnya masa jabatan.

Pansel KPK

Untuk itulah, beberapa hari yang lalu Presiden Joko Widodo telah membentuk panitia seleksi (pansel) untuk mengerjakan tugas pemerintah mencari orang-orang terbaik yang akan disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk fit and proper test. Uniknya, presiden memutuskan memilih pansel yang terdiri atas orang yang memiliki kapasitas beragam, dengan kemampuan mumpuni, dan keseluruhan adalah perempuan. Tentu saja, tak ada alasan untuk mempersoalkan segregasi gender antara laki-laki atau perempuan dalam pilihan tersebut. Pembedaan pilihan laki-laki atau perempuan banyak terbangun oleh konsep stereotip yang bisa jadi sangat menyesatkan. Akan tetapi, tentu tetap juga menarik untuk mendapatkan alasan sesungguhnya di balik pilihan tersebut.
Pertanyaan dasarnya tentu saja ialah apa yang sedang ingin dituju Presiden Jokowi dengan memilih para perempuan? Walaupun sekali lagi, tidaklah relevan mempersoalkan perempuan atau laki-laki.

Kembali ke soal pansel, ada juga setidaknya dua kendala yang akan menghadang di awal kerja. Pertama, menyusun agenda kerja. Sedikit banyak, ada kemungkinan gangguan atas pansel dari sisi ritme kerja. Salah satu anggota Pansel KPK sebenarnya juga sedang berjibaku dalam tugas Pansel Komisi Yudisial (KY). Padahal, kedua proses seleksi itu membutuhkan tenaga ekstra oleh karena keduanya menjadi pansel bagi lembaga penting yang hingga saat ini sangat memberikan efek signifikan bagi penegakan hukum di Indonesia. KPK dan KY sudah menjadi lembaga yang memberikan konfigurasi warna dan harapan yang cukup menyenangkan bagi republik ini.

Kendala dobel pansel itu tentu tidak akan menjadi persoalan jika Pansel KPK mampu mengatur jadwal dengan baik sehingga tidak bertabrakan dengan agenda kerja Pansel KY. Artinya, kemampuan pengorganisasian pansel dalam bentuk agenda kerja yang detail dan tak saling silang dengan Pansel KY menjadi salah satu kebutuhan. Meskipun hanya seorang, posisinya tetap dibutuhkan dalam kerja pansel apalagi dalam proses pengambilan keputusan.

Kedua, pansel kali ini memiliki kendala di tingkat ketiadaan orang yang paham `bisnis proses’ KPK secara mendetail. Tentu saja kepahaman yang tidak berasal dari sekadar pengetahuan bacaan, tetapi juga melakukan. Makanya, biasanya pilihan pansel melibatkan orang yang paham proses bekerjanya KPK. Pemahaman akan `jeroan’ KPK menjadi penting oleh karena yang dituju ialah mengisi jabatan bagi kerja yang akan dilakukan KPK.

Kendala itu pun sesungguhnya tidak akan menjadi persoalan yang berarti apabila pansel mampu dan mau membuka diri untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dan utuh akan isi dalam KPK tersebut, serta mau menerima penjelasan menyeluruh dalam kaitan relasi KPK-kejaksaan dan kepolisian. Kerja-kerja penegak hukum yang spesifik yang biasanya hadir dari pengalaman harus diolah dan dikerjakan dengan serius oleh pansel agar kendala yang kedua tersebut dengan mudah teratasi.

Kerja pansel

Terlepas dari pertanyaan dan kendala di awal tersebut, pilihan dan konfigurasi orang-orang pansel kali ini cukup menarik dan memiliki rekam jejak dan kapasitas yang mumpuni. Tak ada alasan untuk meragukan dan sangsi pada keoptimisan hasil baik yang akan mereka buat. Ada beberapa cara berpikir yang harus bersama diingat agar kerja pansel terhindar dari diskursus menjemukan yang dapat melelahkan pansel dalam bekerja.

Pertama, dalam beberapa pengalaman pansel yang sudah terjadi, terlihat perbedaan mencolok antara `pencari kerja’ dan yang benar-benar memiliki kapasitas. Makanya, penyusunan tahapan kerja pansel akan sangat menentukan untuk menyaring kandidat. Tahapan yang pas akan menjadi `ayakan’ berguna untuk menyisakan kandidat yang memiliki kapasitas. Pansel harus bertungkus lumus dan berpikir serius tahapan apa yang akan dikedepankan. Apakah penilaian cognitive talent akan dikedepankan?

Kapasitas dan integritas merupakan dua hal yang tak tertawar. Keduanya memiliki muara pelacakan yang berbeda. Sering kali akan menjadi perdebatan manakah yang duluan akan menjadi prioritas dalam memotong jumlah kandidat. Makanya, mereka harus memikirkan serius tools apa saja sesungguhnya yang dipakai dan dapat menjadi ukuran yang berarti dan adil serta bermanfaat untuk benar-benar dapat memotong jumlah kandidat.

Kedua, kesinambungan kerja KPK. Mempertahankan orang lama yang masih berguna bagi KPK cukup baik karena akan berguna bagi kesinambungan kerja. Dalam konsepnya, lembaga negara independen di Amerika dan Filipina, misalnya, cenderung menggunakan model staggered dalam keanggotaan komisi negaranya. Model staggered dianggap sebagai salah cara untuk menjaga ritme dan kesinambungan kerja KPK. Akan tetapi, di tengah tekanan dan tarik menarik antarlembaga negara yang sedang terjadi sekarang, mempertahankan orang lama akan sedikit berisiko karena akan menimbulkan kemungkinan lahirnya kembali konflik yang sudah terbuka saat ini. Pansel sedari awal tentu saja dapat memutuskan untuk menjawab kebutuhan tersebut. Akankah mereka memikirkan kesinambungan atau rekonstruksi keanggotaan?

Ketiga, senantiasa mengingat bahwa proses pansel ialah proses perpanjangan tangan presiden. Setelahnya, mereka akan berhadapan dengan kepentingan politik yang biasanya ramai di fit and proper test DPR. Sedari awal, pansel harus meyakinkan diri untuk menyelesaikan seluruh pilihan terbaik di tahapan pansel. Artinya, pilihan pansel ialah orang-orang yang sudah selesai dan terbaik sehingga preferensi politik kepentingan tidak menjadi penentu akhir.

Andai pansel mampu memilih orang-orang yang telah memiliki kapasitas dan integritas kuat, mau tak mau DPR tak dapat bermain-main dengan pilihan mereka. Siapa pun yang mereka pilih tetap saja ialah orang yang sangat memiliki kapasitas dan integritas tinggi. Artinya, jangan sampai pansel berpikiran menyimpan persoalan tertentu dan membiarkan persoalan tersebut diselesaikan di tahapan selanjutnya, yakni di DPR.

Keempat, proses seleksi yang baik tentu saja ialah proses yang melibatkan partisipasi publik yang luas sehingga dengan hal itu prinsip transparansi dan akuntabilitas publiknya terpenuhi. Prinsip transparansi dan akuntabilitas ini penting karena dengan cara inilah semua tahap seleksi bisa dilihat dan dinilai publik. Dengan demikian, itu dapat mengundang respons positif publik dalam memberikan masukan kepada panitia seleksi atau pejabat yang berwenang.

Selebihnya tentu ialah hal hal yang sudah selayaknya dikerjakan pansel dan karenanya harus didukung dengan kuat. Dukungan itu tentu saja diberikan karena melalui perantara mereka, perbaikan pemberantasan korupsi yang diharapkan bisa diagregasi.

Perbaiki pemberantasan korupsi

Akan tetapi, sesungguhnya ini bukan sekadar persoalan pansel. Setelah memilih pansel, sesungguhnya presiden harus jauh dari perasaan puas diri karena telah melakukan sesuatu yang menarik. Pembentukan Pansel KPK sesungguhnya belum menjawab perbaikan KPK, serta relasi kelembagaan dengan kejaksaan dan kepolisian, apalagi problem penegakan hukum antikorupsi itu sendiri.

Kita harus mengingat kembali dengan detail bahwa kesengkarutan yang ada tidaklah dapat dinisbahkan ke KPK semata, tetapi juga karena hingga saat ini masih minim sodoran formula presiden dalam memperbaiki kejaksaan dan kepolisian. Memperbaiki pemberantasan korupsi tidaklah sama dengan memilih pimpinan KPK. Sebaik apa pun kandidat terpilih di KPK, jika kejaksaan dan kepolisian masih dalam pola dan langgam yang sama, kejadian berhadap hadapan KPK-kepolisian tetap akan sangat mung kin terjadi.

Sentuhan perbaikan bagi kejaksaan dan kepolisian juga menjadi mutlak adanya karena yang kita bicarakan tentu saja pemberantasan korupsi yang salah satu syarat mutlaknya ialah terkoordinasinya dengan baik pola kerja kelembagaan di antara tiga lembaga yang dipercaya untuk bekerja bersama dalam hal penegakan hukum antikorupsi.

KPK merupakan subsistem di dalam sistem pemberantasan korupsi. Masih ada banyak subsistem lainnya yang tentu harus dipoles untuk membangun sistem pemberantasan korupsi yang kuat. Pansel telah ditunjuk untuk melakukan langkah di dalam salah satu subsistem tersebut. Kita juga menunggu sekaligus menagih langkah lain di dalam subsistem lainnya.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA, pada 25 Mei 2015

Membajak Pajak

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Sekali lagi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara ini, lembaga antikorupsi itu sudah menggelandang empat orang yang diduga terlibat kasus penggelapan pajak. Salah satunya adalah oknum penyidik pegawai negeri sipil di Ditjen Pajak (9 April 2013).
Apa sebenarnya yang sedang berlaku tatkala pegawai pajak terjerat kasus korupsi? Bukankah institusi ini menjadi proyek percontohan program reformasi birokrasi sehingga gaji semua pegawai dan pejabatnya dinaikkan di atas rata-rata lembaga lainnya? Atau, jangan-jangan kenaikan pendapatan sah ini belum cukup juga memenuhi kebutuhan pegawai dan pejabat pajak?
Perlawanan Rakyat
Sesungguhnya, dari kasus tangkap tangan pegawai pajak, ada ketakutan—setidaknya pada saya pribadi—akan timbul perlawanan rakyat. Bakal muncul pembangkangan publik (people disobedience).
Pada 14-17 Desember 2012, warga Nahdlatul Ulama menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama sekaligus Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat. Dalam perhelatan ini, pajak jadi salah satu bahasan utama.
Apa pasal pajak sampai menjadi topik yang sangat serius dibahas kala itu? Jika kerangka anggaran belanja dan pendapatan negara diurai, secara garis besar terdapat tiga komponen penyusun: pendapatan (revenue), belanja (expenditure), dan utang luar negeri (debt).
Pendapatan dipecah menjadi dua item, pajak dan pendapatan negara bukan pajak alias PNBP. Jadi, kebocoran di sektor pajak akan sangat memengaruhi laju pemerintahan karena sumber tenaga (pendapatan) negara berkurang. Ini akan mengakibatkan pengurusan hak rakyat dan hak warga negara terganggu.
Dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU dikatakan, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan Al Quran dan Al-Hadits adalah zakat. Sementara pungutan lain yang boleh dibayar, termasuk pajak, harus didasarkan pada tujuan kemaslahatan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Apabila ada kebocoran terhadap pengelolaan pajak, masih wajibkah kita membayar? Dari sinilah rasa waswas atas ketidaktundukan rakyat terhadap pemimpinnya lahir.
Untuk mencegahnya, para alim ulama dan warga NU mendorong serta merekomendasikan agar pemerintah, sebagai ulil amri, melakukan dua hal. Pertama, transparan dan akuntabel mengelola pajak dan memastikan tak ada kebocoran. Kedua, mengutamakan penggunaan pajak untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, sayang sekali, pemerintah seperti menutup telinga terhadap masukan kaum alim ulama dan warga. Pegawai pajak lagi-lagi ”membajak”, mencuri, merampok, dan mengorupsi pajak. Harapan pajak untuk perbaikan republik pun karam. Kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab jika masyarakat tak mau lagi bayar pajak?
Oleh karena itu, kasus tangkap tangan penyidik pajak oleh KPK mesti menjadi perhatian serius agar wajib pajak masih sudi bayar pajak. Program reformasi birokrasi di Ditjen Pajak khususnya dan kementerian keuangan serta kementerian lain umumnya layak dievaluasi ulang.
Langkah remunerasi, meningkatkan pendapatan sah para pejabat dan pegawai pajak, harus ditata ulang. Terbukti dengan dugaan kasus korupsi, langkah tersebut dinilai gagal menjaga integritas para aparatus.
Tidak Mudah
Mungkin saja tata ulang remunerasi bukan hal mudah. Sebab, kenaikan pendapatan terkait dengan kesejahteraan setiap individu penerima—serta keluarganya. Di samping itu, akan ada pleidoi dari pegawai pajak yang bersih terhadap rencana tata ulang remunerasi. Tak elok pula jika satu oknum pejabat atau pegawai melakukan ritual jahat, kemudian semua mendapat cambukan. Lalu, apa yang mesti dilakukan untuk mencegah oknum perpajakan berbuat jahat?
Perlu pola yang tepat untuk mencegah agar noda setitik tak merusak susu sebelanga. Sekaligus mencegah supaya riak niatan ketakpatuhan rakyat membayar pajak tidak tumbuh subur. Perjalanan Hakim Plana (Plana Judge), yang dinarasikan oleh Robert Klitgaard dalam Membasmi Korupsi (Controlling Corruption: 2001), membersihkan The Bureau of Internal Revenue (BIR)—semacam Ditjen Pajak Filipina—dari korupsi menjadi referensi bagi pemerintah dalam mengambil langkah bersih-bersih ”sampah” di Ditjen Pajak.
Langkah pertama adalah melakukan evaluasi dan menemukan titik panas korupsi (hot spot) di internal institusi pajak. Pengawasan internal pajak harus membuat daftar (assessment) dari atas ke bawah mengenai sektor paling korup di institusinya.
Kerja sama antarpegawai dan pimpinan menjadi syarat wajib untuk menemukan titik-titik panas itu. Prasyarat langkah ini sederhana: kesepahaman bahwa korupsi dan pembajakan pajak menjadi musuh bersama semua pejabat dan pegawai pajak.
Kedua, mengumpulkan semua informasi penting mengenai dugaan penyelewengan di perpajakan. Pada tahap ini, kerja sama dengan pihak di luar Ditjen Pajak mutlak diperlukan. Biasanya pihak ketiga banyak menyimpan kartu as setiap aparatus pembajak atau pencuri pajak. Pada bagian ini pula, informasi dan data dari hasil sadap penegak hukum juga menjadi faktor keberhasilan langkah pembersihan korupsi di sektor pajak.
Sadap Perlu
Sadap-tangkap adalah tindakan taktis yang tak boleh dihilangkan dalam memberantas korupsi. Dengan kata lain, tatkala ada usulan untuk mempersulit penyadapan melalui proses administrasi (perizinan), boleh jadi akan juga menyusahkan langkah pembersihan korupsi pajak.
Langkah ketiga, tetapi bukan yang terakhir, adalah dengan memberikan efek jera bagi setiap oknum aparatus pajak korup. Hakim Plana dalam masa awal kepemimpinannya memecat 34 pejabat, meminta mundur 15 pejabat, dan menyuruh keluar 39 pejabat dari kelembagaan BIR. Ia juga merotasi 11 kepala kantor wilayah pajak, 5 asisten kepala kantor wilayah, dan 9 pejabat pendapatan daerah (Robert Klitgaard, 2001: 72).
Poinnya adalah siapa korupsi, jatuhkanlah hukuman yang berat. Jika dengan tiga langkah tersebut masih saja ada aparatus yang korup pembajak pajak, biarlah Tuhan yang mengurusnya.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 18 April 2013

Kematian Pengadilan Tipikor

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PENGADILAN Tipikor Semarang menvonis bebas Untung Wiyono, mantan Bupati Sragen, terdakwa korupsi pencairan APBD Kabupaten Sragen 2003-2010 (SM, 22/03/12). Putusan bebas itu sontak membuat akal dan pikir lunglai. Apa yang sedang terjadi?

Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Semarang beberapa kali membebaskan terdakwa korupsi. Ada terdakwa Oei Shindu Stefanus, kasus korupsi SIAK Online Cilacap, yang dibebaskan pada 21 Oktober 2011. Lalu, Agus Sukmaniharto, kasus korupsi dana ganti rugi pembebasan lahan untuk jalan tol Semarang-Solo di Jatirunggo (10 Januari 2012). Kemudian, Yanuelva Etliana, kasus korupsi Bank Jateng Rp 39 miliar (29 Februari 2012). Selanjutnya, Suyatno, kasus suap Bupati Kendal (mantan) Hendy Boedoro sejumlah Rp 13,5 miliar (8 Maret 2012).

Bayangkan, Pengadilan Tipikor Semarang membebaskan empat terdakwa korupsi dalam waktu tiga bulan (Januari-Maret). Persentase pembebasannya lebih dari 100 persen. Jika begini sejatinya Pengadilan Tipikor telah mati. Ia tak berfungsi sebagaimana tujuan pendiriannya.

Posisi Pengadilan Tipikor penting pada skema pemberantasan korupsi. Pasalnya pengadilan tersebut adalah muara dari segala upaya memerangi korupsi. Pengadilan menjadi tempat terakhir mendapatkan keadilan dalam kerangka kasat mata. Kerja penindakan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK, akan diakui hasilnya kalau sudah diproses Pengadilan Tipikor.

Pada bagian inilah, titik krusial keberadaan Pengadilan Tipikor. Artinya, Pengadilan Tipikor tidak boleh seenaknya membebaskan terdakwa korupsi. Karena membebaskan berarti menggembosi roda pemberantasan korupsi, menyiutkan kerja kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Inti Keadilan

Mungkin ada pendapat bahwa pengadilan adalah ruang mencari keadilan bukan tempat penghukuman. Apa yang disangka benar oleh publik, belum tentu benar oleh pengadilan. Begitu juga, sesuatu yang diduga keliru oleh masyarakat, tak selalu keliru oleh pengadilan. Karena itu, membebaskan terdakwa, termasuk kasus korupsi, boleh jadi benar mengingat pengadilan adalah tempat mengadili, bukan menghakimi.

Namun keadilan selalu memiliki inti. Keadilan yang diperkenalkan Aristoteles ataupun John Rawls mempunyai inti. Keadilan substantif, keadilan distributif, ataupun keadilan prosedural juga ada intinya. Inti keadilan adalah ia bermanfaat untuk kemaslahatan dan diperoleh dengan tidak melanggar norma, asas, serta nilai. Ia tidak melanggar ketentuan agama, ketentuan formal, dan material perundang-undangan.

Jika keadilan hasil putusan pengadilan didapat dengan menutup mata norma, asas, dan nilai maka ia menjadi tidak adil. Apabila keadilan dari vonis hakim ternyata melanggar ketentuan agama dan ketentuan formal serta material peraturan perundang-undangan maka ia menjadi tak adil.

Dalam kasus Untung misalnya, terdakwa lain seperti Koeshardjono, mantan Sekda Sragen, divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Adapun Srie Wahyuni, mantan Kepala DPPKAD, divonis 2 tahun 8 bulan (SM, 22/03/12).

Padahal, Untung diduga bersama-sama Koesdihardjono dan Srie mengorupsi APBD Sragen 2003-2010. Sekarang Untung bebas, sedangkan Koeshardjono dan Srie tetap dipenjara. Dalam perspektif Koeshardjono dan Srie Wahyuni, di manakah keadilan itu?

Hakim memiliki kewenangan besar. Ia menjadi wakil Tuhan di bumi. Dengan kewenangannya, jika tuntutan jaksa dinilai lemah, hakim memiliki kuasa untuk memerintahkan jaksa memperbaiki berkas tuntutan.

Kuasa hakim dalam rangka memberikan keadilan bagi Koeshardjono dan Srie Wahyuni, serta bagi seluruh masyarakat Sragen pembayar pajak yang dipungut untuk APBD, dan bagi nation-state.

Apa yang terjadi di Pengadilan Tipikor Semarang sehingga menjatuhkan vonis bebas? Jangan-jangan ada tangan mafia yang mengotori roh pengadilan dalam memberantas korupsi.

Karena itu KPK, KY, dan MA harus turun memeriksa majelis supaya pengadilan itu tak mati terlalu lama.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 29 Maret 2012

Memartabatkan KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PRESIDEN Joko Widodo telah mengambil kebijakan terkait dengan kriminalisasi KPK. Tiga orang ditunjuk mengisi kursi pimpinan yang kosong si komisi antirasuah itu.

Taufiequrachman Ruki diangkat sebagai ketua sementara menggantikan Abraham Samad, sedangkan Johan Budi Sapto Prabowo menggantikan sementara Bambang Widjojanto. Adapun Indiryanto Seno Adji mengisi tempat Busyro Muqoddas, yang memang sudah berakhir masa baktinya. Harapannya, tiga orang pilihan Presiden itu mampu menjaga martabat atau marwah KPK sebagai pemberantas korupsi.

Namun yang mengagetkan, setelah pelantikan, Ruki mengeluarkan pendapat bahwa bisa saja kasus Komjen Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kenapa mengagetkan? Karena komisi antikorupsi itu tak biasa, atau bahkan belum pernah, mengambil opsi itu. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur lembaga antikorupsi itu berwenang melakukan koordinasi dan supervisi.

Jadi, komisi itu berhak mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun berkait supervisi, komisi tersebut berhak mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi yang menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau pelayanan publik. Artinya, hukum memberikan ruang kepada KPK untuk mengomandoi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sampai tahap ketika kepolisian dan kejaksaan tak sanggup menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, atau orang yang berkait dua kelompok itu, meresahkan masyarakat, dan/atau dengan kerugian di atas Rp 1 miliar maka KPK dapat mengambil alih. Pasal 8 Ayat (3) UU KPK menyatakan,

’’Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK’’. Pasal ini menunjukkan alur supervisi dari kepolisian dan kejaksaan ke KPK, bukan sebaliknya: dari KPK ke kepolisian dan kejaksaan.

KPK-lah yang mengambil penyidikan dan penuntutan kasus dari kepolisian dan kejaksaan (top-down), dan bukannya kepolisian dan kejaksaan yang mengambil penyidikan dan penuntutan dari KPK (bottom- up). Mengapa demikian? Pasalnya hal ini berkaitan dengan martabat KPK yang menjadi pemimpin utama penanganan korupsi.

Bila KPK benar-benar melimpahkan penyidikan kasus Budi ke Kejagung maka sangat menggelikan dan bisa jadi bertentangan dengan undangundang. Andai pelimpahan kasus setelah penyidikan tidak diperbolehkan, bolehkah dilakukan sebelum penyidikan? Hukum hanya mewanti-wanti pascapenyidikan dan pascapenuntutan.

Logikanya, prapenyidikan dan prapenuntutan dugaan kasus yang mampir ke KPK boleh diteruskan ke eksternal. Ketentuan pada bagian sidik sangat berkait Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002: ’’KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.”

Jika misalnya, KPK melimpahkan kasus Budi ke Kejagung maka tersangka dan semua dokumen yang berkait pun harus diserahkan. Lalu apa baju hukum administratif yang dipakai sebagai dasar hukum pelimpahannya. Apakah SP3? Padahal, SP3 KPK dilarang oleh undang-undang. Maknanya, selain penyidikan dan penuntutan, KPK bisa meneruskan dugaan kasus ke instansi lain.

Kurang Tepat

Contoh, laporan tahunan KPK 2013 memaparkan, ada 2.119 laporan yang ditindaklanjuti ke pihak eksternal. BPK menerima 26 laporan, dan berturut-turut BPKP (4), Bawasda (1), Itjen dan LPND (50), Kejaksaan (63), Kepolisian (34), MA (65) lainnya (3), serta tanggapan atas pengaduan 1.873 laporan.

Penerusan laporan yang belum sampai tahap sidik dan tuntut juga menjadi bagian dari fungsi KPK sebagai trigger mechanism, mendorong penegak hukum lain untuk juga aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pendek kata, KPK kurang tepat melimpahkan kasus Komjen Budi ke Kejagung.

Lalu, bagaimana memeriksa kasus jenderal bintang tiga itu ketika sidang praperadilan yang diputus Hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan (16/2/15) menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah? Komisi antikorupsi itu harus mengambil upaya hukum biasa atau luar biasa yang disediakan oleh undang-undang.

Kabarnya KPK sudah mengajukan kasasi atas putusan praperadilan Budi. Hal ini bisa mengacu Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berarti MA harus memeriksa permohonan kasasi dari KPK.

Atau misalnya, KPK juga dapat menempuh upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK). Rapat kamar pidana MA tanggal 19-20 Desember 2013 memutuskan bahwa PK untuk putusan praperadilan diperbolehkan bila ditemukan indikasi penyelundupan hukum.

Ini adalah upaya hukum yang dilindungi undang-undang untuk menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi. Apakah kasasi atau PK KPK akan diterima? Biarlah itu menjadi domain pengadilan yang bertugas memutus perkara.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 24 Februari 2015

Polisi Bukan Penegak Hukum

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Tak semua polisi adalah penegak hukum. Kira-kira begitu petikan kesimpulan ketika mendengar hakim Sarpin Rizaldi, hakim tunggal dalam praperadilan permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, membacakan putusan (16/2/2015). Pernyataan itu menjadi bagian dari pertimbangan hukum vonis.

Seakan tak percaya, sejak kapan ada dua model polisi: satunya dianggap sebagai penegak hukum, lainnya bukan penegak hukum? Apakah memang demikian adanya?

Tak ada satu pun judul undang-undang tentang penegak hukum. Bahkan dalam konstitusi sebelum diamendemen atau sesudahnya, juga tidak memuat dengan jelas apa dan siapa penegak hukum itu. Penjelasan tentang bab Pertahanan Negara, misalnya, hanya ditulis “cukup jelas.”

Hukum tidak mengatur secara spesifik istilah penegak hukum. Pengertian mengenai penegak hukum disebar dalam banyak undang-undang. Meskipun begitu, mari menengok kembali cantolan keyakinan makna yang dianut selama ini dalam negara hukum Republik Indonesia. Karena yang dipersoalkan di sini apakah ada polisi yang bukan penegak hukum, pertama sekali yang harus dirujuk adalah UUD 1945.

Pasal 30 ayat (4) Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara UUD 1945 menyatakan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Aturan ini menunjukkan bahwa tugas kepolisian salah satunya adalah menegakkan hukum. Meski bunyi konstitusi sangat terang, apakah semua polisi dalam kepolisian adalah penegak hukum?

UUD memerintahkan pengaturan lebih lanjut perihal susunan, kedudukan, dan kewenangan kepolisian dalam sebuah undang-undang. Lalu terbitlah UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan fungsi penegakan hukum kepolisian ternyata diulangi dalam Pasal 2 UU No. 2/2002. Sebagian bunyi Pasal 2 tersebut, yaitu, “Fungsi kepolisian adalah…penegakan hukum…”

Yang menarik dari UU Kepolisian termaktub dalam Pasal 3 ayat (1), “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.” Ketentuan pasal ini bermakna dua hal. Pertama, kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian. Kedua, ada pengemban fungsi kepolisian yang bukan berasal dari kepolisian.

Demi menguatkan Pasal 3 ayat (1), dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 2/2002 ditekankan kembali fungsi kepolisian sebagai alat negara yang menegakkan hukum. Ternyata, sampai pada pasal terakhir dalam UU Kepolisian, tidak ada satu pun ketentuan yang membedakan bahwa polisi ada yang penegak hukum dan ada yang bukan. Artinya, berdasarkan undang-undang, semua anggota kepolisian adalah penegak hukum.

Apakah berhenti sampai di sini, bagaimanakah undang-undang lain menyebutkan tentang penegak hukum? Setali tiga uang. Aturan hukum lain juga meyakini polisi sebagai penegak hukum. Contohnya, Pasal 31 ayat (3) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur intersepsi (penyadapan). Pasal itu menyebutkan, selain kepolisian dan kejaksaan, penegak hukum lain boleh melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang.

UU ITE mengamanatkan bahwa kegiatan penegakan hukum-dalam hal ini penyadapan-harus dilakukan oleh penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Penyebutannya bukan menunjuk ke orang per orang, melainkan kelembagaan. Artinya, setiap polisi dalam institusi kepolisian adalah penegak hukum. Tak kurang, tak lebih.

Adanya anggapan bahwa polisi harus dibedakan menjadi penegak hukum dan bukan penegak hukum harus dinilai sebagai bentuk penurunan derajat kehormatan kepolisian. Sebuah penilaian yang tak dapat diterima akal sehat. Dalam sejarahnya, polisi sebagai penegak hukum memberikan banyak konstribusi yang menemani tumbuhnya negara Indonesia.

Awaloedin Djamin, mantan Kapolri, dalam tulisannya yang berjudul “Struktur Kelembagaan dan Profesionalisme Polisi” (1995) memaparkan garis historis kepolisian. Di Indonesia diakui fungsi kepolisian telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Setelah Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memerintahkan negara menggunakan kembali UUD 1945, dua tahun kemudian, terbit UU No. 13/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Konsideran menimbang undang-undang itu dengan sangat gamblang menulis, “…agar supaya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara penegak hukum, dalam menyelesaikan revolusi…”

Para pendiri bangsa bersepakat bahwa kepolisian dibentuk sebagai penegak hukum. Maka pada 1 Juli 1955, sekaligus sebagai hari lahir kepolisian atau Hari Bhayangkara, Presiden Sukarno meresmikan pedoman hidup kepolisian: Tribrata. Isi Tribrata yang ketiga adalah Yana anucasaradharma. Polisi wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat. Semua polisi merupakan penegak hukum. Jika demikian, masihkah ada pikiran bahwa ada polisi yang bukan penegak hukum?

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 21 Februari 2015

Langkah Presiden Jokowi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya Presiden Joko Widodo mengambil langkah dalam menyelamatkan pemberantasan korupsi yang nyaris lumpuh. Presiden mengambil langkah cepat yang berisi tiga hal.

Pertama, tidak melanjutkan proses terhadap Budi Gunawan (BG), serta mengajukan kandidat baru yang akan dikirimkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Kedua, menerbitkan keputusan presiden untuk memberhentikan sementara para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menjadi tersangka. Ketiga, untuk menghindari kekosongan pimpinan KPK, dikeluarkanlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk melegalkan pengisian jabatan pelaksana tugas komisioner KPK yang dalam keadaan berhalangan.

Tawaran solusi Presiden ini tentu saja menarik mengingat langkah ini sudah sekian lama ditunggu dan dinantikan publik. Gugatan untuk segera mengambil langkah cepat untuk hal ini sesungguhnya telah didengungkan sekian lama. Ada beberapa langkah yang telah diambil, tetapi tanpa efek berarti. Dan, kali ini, langkah tersebut punya efek yang jauh lebih besar dibandingkan sekian langkah yang diambil selama ini.

Ada daripada tiada

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penegas bahwa langkah kali ini jauh lebih berarti dibandingkan apa yang dilakukan Jokowi selama ini. Pertama, akhirnya Presiden Jokowi menegakkan moralitas publik untuk tidak melantik seseorang yang penuh kontroversi dengan perkara korupsi. BG, meski telah memenangi praperadilan, tetap tidak berarti bebas dari perkara korupsi. Putusan aneh praperadilan dari hakim Sarpin Rizaldi sesungguhnya tidak berarti banyak terhadap kasus korupsi yang disangkakan atas BG. Putusan praperadilan, sederhananya, hanya menegaskan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengerjakan kasus BG oleh karena BG bukanlah penyelenggara negara, juga bukan penegak hukum, dan tindakannya tidaklah merugikan keuangan negara.

Putusan ini tentu saja aneh. Bagaimana mungkin BG tidak dianggap sebagai penegak hukum? Akan tetapi, bunyi putusan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan dasar bahwa BG bersih dari perkara korupsi. Lagi-lagi, hanya persoalan tidak dapat ditangani oleh KPK. Oleh karena itu, langkah Jokowi untuk tetap tidak melanjutkan proses atas BG serta mendorong Badrodin Haiti (BH) tentu saja merupakan langkah yang sangat menarik.

Dengan langkah itu, tentu saja Presiden akan berpotensi berhadapan dengan kekuatan politik di DPR. Sesuatu yang sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan Presiden dengan gambaran yang disampaikan di atas. Presiden tentu tak perlu gentar dan khawatir dengan berbagai usulan liar yang mungkin terjadi. Bisa jadi Presiden dianggap melanggar etika politik di hadapan DPR. Namun, paling tidak Presiden telah menegakkan etika publik.

Tidak hanya itu, Presiden juga tak perlu khawatir dengan ancaman pemakzulan. Sulit menemukan alasan hukum yang benar untuk dapat dikatakan tindakan itu adalah gerbang menuju ke pemakzulan. Apakah bisa menuju ke arah interpelasi dan hak menyatakan pendapat? Tentu saja mungkin. Tetapi, rasanya, mustahil untuk berlanjut ke arah pemakzulan.

Karena itu, pada langkah inilah apresiasi besar harus diberikan kepada Jokowi. Tinggal diikuti dengan tindakan penegas dari Jokowi untuk meyakinkan kekuatan politik untuk tidak mengonsolidasikan ini menjadi hal-hal yang berpotensi menuju pemakzulan. Persoalan tersisa tentu saja soal rekam jejak BH sendiri. Sejauh mana kapasitas BH dapat mengendalikan kepolisian dan bersih dari berbagai perkara koruptif.

Kedua, mengeluarkan keppres pemberhentian sementara untuk komisioner KPK yang telah menjadi tersangka. Tindakan ini tentu saja masih mungkin untuk dipertanyakan. Mengingat masih ada keyakinan proses yang terjadi atas dua komisioner KPK itu adalah kriminalisasi dan bukan proses hukum biasa yang adil dan benar. Pesannya adalah betapa mudahnya komisioner KPK dapat ditersangkakan melalui tindakan hukum yang tidak adil.

Namun, dalam kondisi ini, Presiden Jokowi memang ada pada posisi sulit. UU KPK telah menegaskan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus diberhentikan sementara sebagai komisioner KPK, serta dikeluarkan keppres untuk legalisasi dari proses pemberhentian sementara tersebut. Artinya, dalam hal ini, pilihan buat Presiden memang sempit. Menerbitkan keppres pemberhentian seakan-akan menjadi kewajiban administrasi setelah komisioner tersebut menjadi tersangka.

Dahulu, Tim Sembilan seharusnya ditujukan untuk ini. Melakukan independenisasi proses dan mencari cara untuk melihat dan memverifikasi apakah ada kriminalisasi atau tidak. Sayangnya, itu tak terbentuk. Karena itu, keppres pemberhentian sangat disayangkan meski sangat dapat dimengerti. Sayang karena ada, tetapi mustahil ditolak.

Ketiga, harus diingat, langkah keppres pemberhentian ini punya implikasi dengan kekosongan jabatan komisioner. Karena itu, tindakan ketiga menjadi sangat penting, yakni Perppu Perubahan atas UU KPK agar dalam kondisi terjadi kekosongan yang menyebabkan komisioner berjumlah kurang dari tiga orang, dimungkinkan adanya penunjukan komisioner sementara KPK hingga adanya proses seleksi reguler.

Alasannya tentu saja terkait KPK tak mungkin dibiarkan tak dapat berjalan karena ketiadaan komisioner. Langkah ini bukan berarti tanpa kritikan oleh karena dapat membuka intervensi Presiden terhadap lembaga negara independen seperti KPK. Akan tetapi, memang sulit karena kondisi yang ada tak memungkinkan diadakannya proses pemilihan.

Untuk itu, dapat dikatakan bahwa langkah ini adalah langkah minimalis, tetapi sangat penting untuk dilakukan. Lebih baik ada langkah daripada tanpa langkah sama sekali. Apalagi langkah tersebut memang penting, walaupun tentu saja tidak berarti tanpa kritikan dan catatan.

Perlindungan

Sayangnya, tindakan ini masih akan dapat menemui jalan buntu jika tidak diikuti tindakan perlindungan lainnya yang sangat penting menyelamatkan pemberantasan korupsi dan KPK. Harus diingat, salah satu alasan ini terjadi karena adanya dugaan kriminalisasi yang terjadi atas para komisioner KPK dan penyidik KPK. Dua komisioner yang masih ada adalah dua orang yang telah dilaporkan pada kasus tertentu. Bahkan, salah satu sosok pemimpin sementara juga adalah orang yang memiliki laporan di kepolisian, yang telah melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum.

Oleh karena itu, jika proses-proses kriminalisasi dan dengan mudahnya menersangkakan komisioner KPK, masih akan mungkin berlanjut dan merusak kerja KPK. Bayangkan, bisa-bisa yang terjadi adalah Presiden dipaksa untuk mengeluarkan pimpinan sementara atas pimpinan sementara. Khususnya jika pimpinan sementara ini kemudian juga mengalami kriminalisasi.

Bukan hanya itu, keberlanjutan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemampuan komisioner secara kolektif dan kerja sama dengan penyidik dan berbagai staf internal di KPK. Ada 21 penyidik KPK yang sangat mudah ditersangkakan oleh Polri melalui proses hukum kepemilikan senjata secara tidak sah. Jika yang terjadi seperti saat ini berlanjut, yakni proses menersangkakan bukan hanya atas komisioner melainkan juga penyidik, akan sangat mungkin mengganggu KPK meskipun telah ada komisioner sementara.

Artinya, langkah Presiden ini merupakan langkah baik. Better something than nothing. Paling tidak ada langkah yang dipakai meneguhkan KPK dan pemberantasan korupsi. Akan tetapi, akan jauh lebih baik lagi kalau dapat dilanjutkan dengan tindakan penegasan upaya mengakhiri kriminalisasi. Ini supaya langkah Presiden dapat berguna dengan baik dan tujuannya dapat tercapai.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 20 Februari 2015

Putusan Sesat Pra-Peradilan

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Hakim pra-peradilan akhirnya memenangkan tersangka kasus korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwenang mengusut kasus tersebut karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum, serta tidak ada kerugian negara yang timbul.

Tentu saja putusan ini menyentak akal sehat kita. Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolak belakang dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara, yang bukan merupakan obyek pra-peradilan.

Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal adalah pernyataan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas penegak hukum. Dalam doktrin hukum, dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara, yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum.

Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Kedudukan polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945, bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Polisi, menurut konstitusi, bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat sekaligus sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satutugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum.

Di tingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah menegakkan hukum.

Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun polisi tidak hanya sebagai penegak hukum. Pada saat bersamaan, mereka juga berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan, polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan.

Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota kepolisian, saat itulah yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwa ada pembagian tugas dalam organisasi kepolisian, itu semata-mata merupakan bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau bukan. Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK juga ditujukan bagi tiga profesi/institusi penegak hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim.

Kekeliruan lain yang dilakukan hakim pra-peradilan adalah ihwal kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat ditangani KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu, dinyatakan bahwa salah satu kriteria yang berlaku terkait dengan kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Secara utuh, ketentuan itu berbunyi,KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Harus digarisbawahi, ada kata-kata “dan/atau” pada poin b.Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung “dan/atau” dapat diperlakukan sebagai “dan”, tapi dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung makna “pilihan”. Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11 itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara alternatif.

Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian masyarakat, asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian negara, tapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang boleh jadi tidak menimbulkan kerugian negara yang nyata di dalamnya.

Tampak jelas bahwa hakim pra-peradilan tidak memahami UUD 1945, UU KUHAP, UU Kepolisian, dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karena itu, putusan sesat ini harus dikoreksi. Upayahukum luar biasa melalui peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dapat ditempuh KPK.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 18 Februari 2015

1…34567…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY