Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 12
Arsip:

Berita

Putusan Sesat Pra Peradilan

Berita Wednesday, 4 March 2015

Oleh

Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Hakim praperadilan akhirnya memenangkan tersangka korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas KPK. Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwewenang mengusut kasus itu karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum, serta tidak ada kerugian negara. Tentu saja putusan ini menyentakkan akal sehat kita. Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolakbelakang dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara yang bukan merupakan objek praperadilan.

Penegak Hukum

Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal adalah menyatakan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas merupakan penegak hukum. Dalam doktin hukum dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara yang diberikan tugas khusus untuk menegakkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Tugas polisi menurut konstitusi adalah sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat serta sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketatapan MPR No. VI/2000 dan Ketatapan MPR No. VII/2000 bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum. Konstitusi kemudian mendelegasikan pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pokok polisi itu dalam UU.

Ditingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah penegakan hukum.

Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, polisi tidak hanya sebagai penegak hukum, saat bersamaan juga sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan, polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan. Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota Kepolisian, maka saat itu yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwasanya ada pembagian tugas dalam organisasi Kepolisian, itu semata-mata adalah bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Dan disetiap institusi pemerintah, kita mengenal adanya kelompok jabatan. Misalnya ada kelompok jabatan fungsional dan administratif serta ada jabatan struktural. Kelompok jabatan itu menggambarkan adanya tugas dan wewenang khusus yang diberikan. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau bukan.

Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK, juga ditujukan pada 3 profesi/institusi penegak, yakni polisi, jaksa dan hakim. Hal itu dapat dibuktikan dengan merujuk pada risalah pembahasan UU KPK. Dengan demikian, argumentasi yang menyatakan bahwa polisi bukanlah penegak hukum jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU.

Kewenangan KPK

Kekeliruan lain hakim praperadilan adalah mengenai kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat ditangani oleh KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa salah satu kriterianya adalah terkait kerugian negara minimal 1 milyar rupiah. Secara utuh ketentuan itu berbunyi: KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 milyar rupiah.

Harus digarisbawahi ada kata-kata “dan/atau” pada poin (b).  Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung “dan/atau” dapat diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung makna “pilihan”. Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11 itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara aternatif.

Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian masyarakat. Asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian negara, tetapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang boleh jadi tidak ada kerugian negara yang nyata didalamnya.

Sebenarnya perihal suap dan gratifikasi ini telah sering dipersoalkan. Namun hingga saat ini, sudah banyak putusan pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi yang memutuskan bahwa kasus gratifikasi dan suap merupakan kewenangan KPK. Bahkan beberapa putusan telah menjadi landmark decision, misalkan kasus mantan Jaksa BLBI, Urip Tri Gunawan dan mantan Kakorlantas Polri, Djoko Susilo.

Tampak jelas bahwa hakim praperadilan tidak memahami UUD 1945, UU KUHAP, UU Kepolisian dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karenanya, putusan sesat ini harus dikoreksi. Upaya  hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dapat ditempuh KPK.

artikel ini pernah diterbitkan Koran Tempo pada tanggal 18 Februari 2015

DPRD dan Korupsi

Berita Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

TAK lama setelah dilantik, ia digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan. Itulah yang terjadi pada salah satu anggota DPRD Sumatera Barat periode 2014-2019 yang menjadi tersangka korupsi. Sesungguhnya kejadian serupa terjadi kepada anggota DPRD di beberapa daerah lain. Ironisnya, merekalah wakil rakyat yang diamanahi tugas memperjuangkan aspirasi rakyat, membuat peraturan daerah, mengawasi pemerintahan, dan menetapkan anggaran daerah.

Terpilihnya ribuan anggota DPRD baru membawa harapan terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa di daerah. Dengan kewenangan yang luas, DPRD dapat mewujudkan itu. DPRD merupakan aktor penting pembangunan di daerah, terutama pasca berlakunya otonomi daerah di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih besar.

Bahkan, pada awal masa reformasi, DPRD diberikan kewenangan ala pemerintahan parlementer; memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini merupakan respons terhadap model sentralistik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru yang menghasilkan buruknya tata kelola dan tingginya korupsi di jajaran pemerintahan daerah.

DPRD yang kuat diharapkan memunculkan pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Melalui kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran, DPRD diharapkan jadi aktor pendorong munculnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, kewenangan yang besar itu ternyata tidak membawa kabar gembira. Justru korupsi dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. DPRD jadi episentrum baru korupsi di daerah. Tingginya angka korupsi DPRD tecermin dari data Kementerian Dalam Negeri: hingga saat ini lebih dari 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Angka itu masih akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD sedang diperiksa oleh aparat penegak hukum.

Istilah korupsi berjemaah pun muncul untuk merefleksikan perbuatan korupsi wakil rakyat yang dilakukan secara bersama-sama. Tak jarang ada kasus korupsi yang melibatkan hampir semua, bahkan semuanya, anggota DPRD. Kewenangan yang besar jadi pintu masuk korupsi. Setiap kewenangan menjadi alat untuk melakukan transaksi koruptif. Permainan anggaran dan suap merupakan modus utama yang sering terjadi.

Ketika kepala daerah dipilih DPRD, gubernur, bupati/wali kota jadi sasaran empuk perahan. Sebaliknya, sebagai balas jasa politik, kepala daerah pun menganggarkan sejumlah pos anggaran bagi anggota Dewan. Kepala daerah merasa berutang budi kepada anggota DPRD yang telah memilihnya, bukan kepada rakyat. Implikasinya, DPRD diguyur berbagai macam bentuk anggaran, misalnya tunjangan aspirasi, komunikasi, transportasi, asuransi, kesejahteraan, dan purnatugas. Sementara program untuk rakyat terbengkalai.

Mata rantai koruptif

Inilah gambaran karakteristik korupsi DPRD 1999-2004 tatkala kepala daerah dipilih oleh DPRD. Korupsi yang muncul akibat relasi koruptif antara DPRD dan kepala daerah. Keadaan makin diperparah oleh perilaku partai politik di daerah yang menjadikan anggota DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Parpol terkadang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai.

Dalam beberapa kasus terungkap bahwa anggota Dewan merangkap jadi calo proyek, yang mempertemukan kepentingan pengusaha dan kepala daerah. Bahkan, tak jarang meminta jatah proyek secara terang-terangan. Relasi koruptif ini terbangun karena DPRD merasa bisa memonopoli kekuasaan eksekutif bahwa kepala daerah ditentukan oleh DPRD.  Format kekuasaan DPRD ini jelas telah gagal. Kekuasaan besar pada DPRD gagal dijadikan modal untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih responsif, bertanggung jawab, bersih, dan berwibawa.

Untuk memutus mata rantai relasi koruptif ini dirumuskanlah pemilihan kepala daerah langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah lebih fokus kepada rakyat, tidak hanya segelintir elite yang ada di DPRD. Maka, berkembanglah berbagai inisiatif reformasi pelayanan publik di daerah dan program- program prorakyat. Orientasi kebijakan publik tertuju kepada rakyat karena rakyatlah yang berdaulat.

Mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD hanya akan menarik DPRD kembali masuk pada masa kelamnya. Masa di mana pimpinan dan anggota Dewan disoroti, digunjingkan, bahkan harus menghadapi dakwaan dan tuntutan hukum di pengadilan karena terlibat suap dan korupsi. Itulah puncak keterpurukan kredibilitas lembaga tersebut dalam sejarah republik ini.

Parpol pengusung gagasan kepala daerah dipilih DPRD mestinya sadar diri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini pada partai berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis melihat perilaku elite politik yang kerap menyalahgunakan kewenangan. Lebih baik parpol berpikir keras bagaimana agar kredibilitas lembaga perwakilan kembali pulih dan parpol mendapat kepercayaan penuh dari rakyat sebagai pilar demokrasi, bukan pilar korupsi.

Artikel ini pernah diterbitkan Harian Kompas pada 13 September 2014

Menghormati Proses Century

Berita Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

“Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008 dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut.”

KONSTITUSI negara Indonesia menahbiskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum, dalam istilah Hugo Krabbe, merupakan hal yang sederhana, semua tindakan negara harus berdasarkan atas hukum dan karenanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dimensi ganda landasan hukum dan pertanggungjawaban secara hukum, meski sederhana mendatangkan implikasi yang tidak sederhana. Ketaksederhanaannya karena pada praktiknya ada ketidaksetaraan antara negara dan warga negara. Ketidaksamaam antara aparat penyelenggara negara dan warga negara. Doktrin lama mengakui ketidaksederajatan raja dengan rakyatnya.

Makanya kemudian lahir doktrin perihal kesamaan di hadapan hukum. AV Dicey menjelaskan bahwa syarat mutlak negara hukum ada beberapa, satu di antaranya yang penting ialah equality before the law, semua orang sama di hadapan hukum. Hal yang menghendaki kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama dan sederajat, yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat adalah yang diatur. Dan karenanya dalam konsep Dicey, baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki pedomannya satu, yaitu hukum.

Sangat mungkin ada yang akan mendebat soal distingsi model negara hukum ala Eropa kontinental yang bergaya rechtstaat dan yang lahir dari tradisi civil law yang lebih menitikberatkan pada rule of law. Biarkanlah itu sebagai perdebatan teoritik hukum, tetapi hal yang tidak mungkin diindahkan dari negara hukum tentu saja adalah konsep hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum. Persamaan kedudukan yang mewajibkan setiap orang, siapa pun tanpa kecuali harus menghormati hukum dan proses yang mengiringinya.

Kepatuhan proses hukum

Di megaskandal Bank Century, ada begitu banyak nama mentereng yang memiliki kapasitas luar biasa yang tampil dalam persidangannya. Sekadar mengingatkan, kasus Bank Century saat ini masih hanya menyidangkan Budi Mulya yang menerima uang Rp1 miliar di balik kasak-kusuk Bank Century. Menariknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwanya dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh Budi Mulya secara bersama-sama dengan orang-orang lainnya telah menyebabkan kerugian negara yang menjadi terkenal dengan skandal Century.

Kata `bersama-sama’, membuat magnitude kasus ini memang melebar dan banyak melibatkan orang-orang lain. Ada begitu banyak nama yang disangkutkan dengan kata `bersama-sama’ ini. Makanya kemudian, dalam proses persidangannya menghadirkan, setidaknya, tiga orang yang sangat sering diperbincangkan publik.

Sri Mulyani sebagai mantan Menteri Keuangan, Jusuf Kalla sebagai mantan Wakil Presiden, dan Boediono sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia dan kini sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Kehadiran Wakil Presiden di persidangan tentu harus diapresiasi. Namun, di lain sisi, memang begitulah adanya seorang penyelenggara negara bersikap. Harus diingat, negara ini sudah tidak bermain-main dengan perkara korupsi. Seorang penyelenggara negara, terlibat atau tidak terlibat, seharusnya mau menunjukkan iktikad mendorong pemberantasan korupsi dengan cara menghormati proses hukum dan mau menjadi saksi dalam proses peradilan.

Bukan hanya tataran etika penyelenggara negara, melainkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga sudah menggariskan hal yang sama. Pasal 5 angka 7 dengan jelas mengatakan bahwa setiap penyelenggara negara wajib untuk bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini pun berlaku untuk semua penyelenggara negara, yakni pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aturan ini bukan hanya berdimensi anjuran etis untuk menaati dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, tetapi juga memiliki fungsi paksaan karena pada Pasal 20 Ayat 2 dicantumkan tentang setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 7 (tentang menjadi saksi dalam proses peradilan) dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini yang dalam kajian sosiologi hukum dianggap sebagai komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through legitimaty) karena adanya keinginan mematuhi hukum karena dipaksa oleh otoritas atau legitimasi kekuasaan pembuat hukum itu sendiri. Suatu kepatuhan yang dipaksakan oleh norma itu sendiri.

Akan halnya dengan kehadiran Boediono, kita tentu tidak paham apakah kehadirannya dilandasi kesadaran individual ataukah memang dipaksa secara legitimatif oleh hukum. Akan tetapi, kehadirannya tetap memberikan nuansa menarik bahwa Boediono mau dan bersedia untuk bekerja sama dengan proses hukum yang ada. Dapat dibandingkan dengan pejabat-pejabat lain yang sering berkilah dengan berbagai dalih. Pesan yang dikirimkan Boediono sangat jelas, semua orang sama di hadapan hukum dan karenanya kehadiran menjadi suatu hal yang pasti.

Kepatuhan akan kebenaran

Hal lain di balik kesadaran mengikuti dan menghormati proses hukum sesungguhnya tidak berhenti pada formalitas kehadiran. Namun, juga masuk pada substansi kehadiran itu sendiri. Meminjam kritik kaum strukturalis dan marxian soal kesadaran untuk patuh pada hukum, yakni kesadaran yang berwujud epiphenomena, yakni kesadaran yang bersifat sampingan dari suatu tujuan yang sebenarnya ingin dibangun dari kesadaran untuk patuh pada hukum. Sangat mungkin untuk hadir ke proses persidangan, bukan dalam rangka memperjelas proses hukum, tetapi untuk meneguhkan kepentingan pribadi di balik proses hukum yang dipertontonkan.

Dalam konteks ini, tentu saja yang harus dilacak adalah apakah substansi kehadiran Sri Mulyani, Jusuf Kalla, dan Boediono, memang dalam kerangka memperjelas kasus hukum sehingga menjadikan terang proses hukum tersebut, ataukah hanya dijadikan panggung untuk kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi yang mungkin beragam.

Karenanya, proses hukum haruslah melacak, memperlihatkan, dan pada saat yang sama harus berhati-hati dengan keterangan-keterangan yang terungkap di persidangan kasus Century.

Harus dilihat ketidaksinkronan keterangan setiap saksi tersebut. Karena dari situ dapat dilacak, apakah kesadaran hukum di balik kehadiran proses persidangan adalah datang dari komitmen penegakan hukum atau malah bagian yang mendistorsi proses hukum itu sendiri.

Keterangan Jusuf Kalla, misalnya, terdapat ketaksinkronan dengan keterangan Boediono. Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008, dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut. Padahal, meski tidak terlalu penting dalam perkara yang berkaitan dengan Budi Mulya, tetapi soal koordinasi per telepon ini tetap penting untuk membingkai kesan Century yang dirampok secara `sembunyi-sembunyi’ dan kesan `sembunyi-sembunyi’ inilah yang dapat diasosiasikan dengan upaya jahatnya.

Ataukah memang ada koordinasi kebijakan yang dapat diasosiasikan tidak dalam kerangka merampok Bank Century demi kepentingan tertentu, tetapi inilah penyelamatan perekonomian negara yang diambil secara bersama aktor-aktor negara. Bukan hanya itu, masih ada beberapa hal dibalik skandal Century yang tidak sinkron antara Jusuf Kalla, Sri Mulyani, dan Boediono.

Hukum logika mengatakan tidak mungkin keduanya benar secara bersamaan. Hukum logika yang sama juga manandaskan bahwa juga tak mungkin tidak ada yang benar secara bersamaan.

Karenanya, siapa yang berbohong di cerita itu akan sangat mungkin mengungkap siapa yang sedang memainkan kepentingan pribadi di balik kepatuhan akan kehadiran untuk patuh hadir dalam proses hukum.

Memang benar, semua orang sama di hadapan hukum. Namun, hal yang tidak kalah pentingnya adalah bukan hanya karena sama di hadapan hukum tetapi mau hadir di persidangan dan secara bersungguh-sungguh mengungkap terangnya suatu kasus korupsi. Itulah kesadaran hukum yang bermakna. Suatu makna yang menjadi solusi perkara dan bukan menginvolusi perkara.

Artikel ini pernah diterbitkan Media Indonesia pada 12 Mei 2014

Putusan Beraroma Kepentingan

Berita Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

BELUM lama ini, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup aneh perihal pemilu serentak. Dalam putusan itu, salah satu yang mendapatkan perhatian besar adalah perihal pemilu serentak yang dijadikan pada 2019 karena menurut MK tidaklah tepat secara waktu untuk dilakukan pada 2014 berhubung waktu persiapan mengadakan pemilu yang sudah sangat mepet. Hal yang kemudian mendapatkan sorotan tajam karena mepetnya waktu sesungguhnya diciptakan sendiri oleh MK. Dengan menunda pembacaan putusan hingga lebih dari delapan bulan, putusan itu sendiri tiba-tiba menjadi hambar dan kehilangan makna.

Apalagi MK mengeluarkan surat penjelasan soal agenda persidangan yang alih-alih menjelaskan, sebaliknya malah semakin membingungkan. MK mengaku telah mengambil kesepakatan soal pemilu serentak pada 26 Maret 2013, tetapi kemudian masih membicarakan perihal ambang batas (threshold) kandidat capres. Hal yang sangat mengherankan mengingat dalam penalaran hukum yang wajar ketika memutuskan menyerentakkan pemilu berarti dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan adanya ambang batas. Artinya, sulit membayangkan ambang batas seperti apa yang dibicarakan MK sehingga memakan waktu berbulan-bulan.

Beberapa keanehan

Belum kering ludah dan tinta untuk membicarakan keanehan tersebut, MK kembali mengeluarkan putusan yang aneh, bahkan dapat dikesankan ajaib, yakni melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK).

Keanehan terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi. Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya berdasarkan basis motif kepentingan.

Salah satu keanehannya perihal waktu yang dibutuhkan MK untuk memutus perkara ini. Terkait putusan mengenai pemilu serentak, MK perlu lebih dari setahun (tepatnya satu tahun dan 13 hari) untuk menyidangkannya, sedangkan untuk kasus ini MK hanya perlu waktu satu bulan (tepatnya 37 hari). Tentu saja mudah bagi MK untuk berdalih bahwa ini hanya soal panjang waktu pembahasan pengujian UU. Tetapi, ini akan menyisakan pertanyaan susulan yang akan sulit dijawab oleh MK perihal konsentrasi berlebih yang dituangkan MK untuk UU ini dibandingkan soal pemilu serentak.

Dari putusan ini, kita tidak hanya melihat inkonsistensi MK dalam menggunakan jadwal waktu membuat putusan, tetapi juga adanya masalah substantif.

Pertama, MK seakan lupa bahwa ia punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Bahwa ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu—khususnya terkait alasan kegentingan yang memaksa— memang jadi hal yang diperdebatkan. Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan dalam bentuk UU. Konstitusi menggariskan bahwa subyektivitas presiden sesungguhnya telah diobyektivikasi oleh DPR dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU.

Kedua, MK membuat banyak penalaran yang terkesan dangkal. Misalnya, ketika MK membangun argumen hukum untuk membenarkan penolakannya terhadap kewajiban calon hakim konstitusi untuk berhenti dari parpol sekurang-kurangnya tujuh tahun sebelum dicalonkan sebagai hakim konstitusi. Argumen MK: adalah keliru mengatakan parpol berarti koruptif berdasarkan stigma yang dibuat masyarakat. Melarang parpol sama saja dengan diskriminasi yang dilarang konstitusi.

Pandangan ini aneh. Terlalu naif menyamakan parpol dekat dengan korupsi. Hal paling esensial melarang parpol masuk ke MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang terkait konflik kepentingan hakim konstitusi yang berasal dari parpol tertentu. Jadi, sifatnya di sini adalah preventif. Sejak awal harus ada larangan orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan menjadi bagian dari pengambil kebijakan.

Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011. MK memberikan makna atas pasal tentang frasa ”mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik… pada saat mendaftar sebagai calon” dengan menafsirkan itu harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun dari keanggotaan parpol saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, ataupun DKPP.

Di sini, MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran, ”pemain” tidaklah boleh menjadi ”wasit”. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang-kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK dalam putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim, yang jadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggara pemilu, menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki oleh parpol.

Ketiga, hal yang penting bagaimana MK menempatkan diri berhadapan dengan UU ini. Jika mau jujur, teori dan perspektif dunia hukum menyediakan semua analisis untuk membenarkan suatu pasal atau malah menyalahkan suatu pasal. Artinya, sesungguhnya tersedia banyak perspektif untuk mendukung suatu aturan atau malah tidak mendukungnya. Di sini, konteks sering kali menjadi penting untuk dipertimbangkan. E Whinney (1954) menyatakan, salah satu hal penting adalah pemahaman akan konteks mengapa UU itu dikeluarkan. Bruce Ackerman (1991) mengatakan, jika hanya berharap pada penafsiran dari cognitive talent sembilan hakim konstitusi, ini akan menempatkan konstitusionalisme kita jauh dari kepentingan publik yang seharusnya dijaga oleh konstitusi publik.

Seleksi hakim konstitusi

Para hakim MK seharusnya ingat pemihakan akan makna sesungguhnya penting. Terlepas dari adanya cacat bawaan dalam UU No 4/2014, ada keinginan luhur untuk memperbaiki keterpurukan MK. MK jangan lupa, ia memiliki problem Akil Mochtar karena kualitas proses seleksi hakim konstitusi yang tidak disertai koridor yang berarti dan pas. MK juga tidak bisa menutup diri dari putusan PTUN yang dengan jelas mengungkapkan adanya kekeliruan tata cara seleksi hakim konstitusi.

Melalui cara MK memperlakukan UU No 4/2014, mudah menangkap kesan alergi MK terhadap pengawasan dan perbaikan proses seleksi hakim MK. Padahal, itulah esensi UU No 4/2014. Sikap tunakonteks ini sungguh mengherankan bagi MK yang sering mengagungkan keadilan substantif. Jangan salahkan publik yang mengatakan, seperti di pemilu serentak, putusan soal penyelamatan MK juga lahir dari nalar kepentingan, bukan logika hukum.

Artikel ini pernah diterbitkan Harian Kompas pada 15 Februari 2014

Mahkamah Tanpa (Mau) Pengawasan

Berita Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

DALAM kaidah ilmu hukum sulit untuk menolak bahwa sejarah pemikiran dan perspektif hukum telah melahirkan begitu banyak pola dan corak pemikiran hukum, bahkan yang diametral sekalipun tersedia di hadapan para pemikir hukum.

Maka itu, para pemikir hukum, termasuk para hakim seringkali mengalami dilema ketika akan berpendapat pada kondisi tertentu. Karena itu, seringkali pilihan berdiri di satu posisi hukum punya keterkaitan dengan cara pemihakan dan positioning atas konteks sesungguhnya dari suatu aturan. Itulah yang ada ketika lahir UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi undangundang.

Berawal dari perppu yang beriktikad untuk menyelamatkan MK, dibuatlah setidaknya tiga terobosan aturan dalam rangka membuat MK secepatnya dapat memulihkan wibawa dan marwahnya. Pertama, penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Perppu yang kemudian menjadi UU ini mengandung ketentuan tentang syarat/ pembatasan tujuh tahun tidak aktif sebagai anggota parpol bagi calon hakim konstitusi.

Kedua, UU ini juga coba memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Ada kewajiban untuk keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh tiga lembaga negara; pemerintah (presiden), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif).

Ketiga, ada upaya untuk mengatur perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perppu mengatur pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen.

Artinya, walau harus diakui bahwa ketika perppu dibuat ada problem ketika penginisiasiannya yang dalam hal tertentu masih mendapatkan perdebatan ”kegentingan yang memaksanya”, pesan dari perppu ini jelas yakni MK harus segera dipulihkan dari kemungkinan buruk akibat mekanisme pengisian jabatan yang terlalu terbuka untuk intervensi dan benturan kepentingan akibat kandidatnya orang yang juga berasal dari partai politik. Kemudian ada upaya untuk juga melakukan pengawasan yang sangat wajar bagi MK yang merupakan hakim tertinggi dalam penafsir konstitusi.

Namun, pesan ini tidak mendapatkan porsi berarti di mata hakim MK. Menarik untuk melihat Putusan MK No 1-2/PUUXII/ 2014 perihal Pengujian UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK). MK membangun basis argumentasinya dengan beberapa cara.

Pertama, memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi oleh KY. Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi.

Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Kelima, MK seharusnya bisa menilai UU-nya sendiri karena sangat mustahil membiarkan MK dengan mudah diintervensi oleh DPR dan pemerintah. Dari lima cara pandang MK, harus diakui, cara pandang yang terakhir soal bisa menguji UU MK tentu saja masih dapat diterima.

Memang, fenomena MK adalah menarik. Dia lembaga yang terikat pada UUD dan karena itu dapat melakukan uji atas UU apa pun, termasuk atas dirinya. Apalagi, dalam ranah politik sulit untuk menegasikan kemungkinan ada intervensi yang dilakukan presiden dan DPR melalui UU. Namun, empat sisanya terasa aneh. Keanehannya terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi.

Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya oleh basis motif kepentingan. Pertama, tentang memberikan porsi kepada KY untuk terlibat dalam pengajuan hakim MK adalah reduksionis dari kewenangan presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. Sesungguhnya tidak ada yang salah dari pelibatan KY dalam proses yang lebih baik. Akhirnya tiga cabang kekuasaan itulah yang akan menjadi penentu utama siapa yang akan didorong menjadi kandidat hakim MK.

Kalau menggunakan perumpamaan lain selain yang dituliskan MK, sebenarnya tawaran ini bisa menarik. Misalnya saja soal kandidat presiden yang dari partai atau gabungan partai. Jika kemudian UU membuat mekanisme bahwa dalam prosesnya menggunakan mekanisme yang lebih transparan ke publik, tentu bukan hal yang tabu. Apakah ketika UU mengatakan bahwa dalam pencalonan presiden partai wajib menggunakan mekanisme yang transparan adalah hal yang melanggar konstitusi?

Perdebatan tentu bisa menjadi panjang. Tetapi, terlihat benar bahwa MK sedang mencoba menghindari diri dari keterbukaan proses seleksi hakim MK. Kedua, melibatkan KY dalam pengawasan MK adalah keliru karena MK secara original intent tidak dimaksudkan untuk diawasi KY. Tentu saja MK bahkan boleh mengutip putusan lama yang menegasikan MK diawasi KY. Tetapi, apakah para hakim MK adalah orang yang hidup di antara teks konstitusi mati?

Dari berbagai pidato yang sering dibicarakan MK, mereka percaya akan living constitution. Konstitusi yang hidup sesuai makna zaman. Jika zaman menghendaki, seharusnya dapat diubah cara pandang menuju ke arah yang lebih diinginkan tersebut. MK tentu saja tidak bisa mengatakan bahwa itu keliru.

Karena jika hanya bersandar pada teks mati konstitusi atau suasana kebatinan ketika dibentuk, sesungguhnya tidak diperlukan lembaga setingkat MK dengan hakim negarawan bila hanya untuk mengutip apa yang terjadi ketika UUD dibentuk.

Hakim MK adalah orang yang dipilih sebagai negarawan mengikuti perkembangan zaman dan menafsirkan konstitusi ke arah zaman tersebut. Itulah makna yang disebut dengan living constitution. Mengapa hakim melupakan ini? Ketiga, soal larangan partai ke MK adalah hasil dari stigma atas kasus Akil Mochtar dan tidak tepat untuk mengatakan partai identik dengan korupsi. Pandangan ini aneh. Terlalu naif jika menyamakan partai dekat dengan korupsi.

Hal yang paling esensial dari melarang partai masuk ke dalam MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang perihal konflik kepentingan yang dialami hakim konstitusi karena berasal dari partai tertentu.

Benturan kepentingan adalah kemungkinan terganggunya keprofesionalan seseorang karena sesuatu hal. Maka itu, sifatnya menjadi preventif. Sedari awal harus dilarang orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan untuk menjadi bagian dari pengambil kebijakan. Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011.

MK memberikan makna atas pasal tentang frasa ”mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik Ö pada saat mendaftar sebagai calon” dengan menafsirkan bahwa harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang- kurangnya lima tahun dari keanggotaan partai saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, maupun DKPP. Di sini MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran bahwa ”pemain” tidaklah boleh menjadi ”wasit”.

Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang- kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK di Putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim yang menjadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggaraan pemilu tentu saja sedang menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki partai politik.

Keempat, perppu itu sebelum menjadi UU dibuat secara tidak benar karena melanggar hal utama soal kegentingan yang memaksa. Ada perdebatan besar soal MK yang punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu khususnya perihal alasan kegentingan yang memaksa memang menjadi hal yang diperdebatkan.

Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan telah dalam bentuk UU. Dalam konstitusi menggariskan bahwa subjektivitas presiden sesungguhnya telah diobjektivikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU. Apa pun catatan atas putusan MK ini, kembali ke hal dasar yang disebutkan di atas. Dalil untuk membenarkan sebenarnya mudah untuk dicari.

Dalil yang menyalahkan juga mudah untuk ditemukan. Kembali berpulang ke hakim MK dengan cara pandangnya atas konteks sesungguhnya ketika UU itu dilahirkan. Hal yang jelas adalah dengan kekeuhmenyatakan MK jangan diawasi, publik akan mudah menilai.

MK hanya pandai menyuruh orang lain diawasi dan dibuatkan mekanisme pengawasan dan prevensi, tetapi tidak untuk MK. Dengan begitu, MK tidak boleh marah ketika orang akan mengatakan, MK memang tak mau diperbaiki dan diawasi.

Artikel ini pernah diterbitkan Koran Sindo pada 17 Februari 2014

Kriminalisasi KPK

Berita Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

KATA krimininalisasi kembali muncul. Sudah ”diwanti-wanti” supaya tak muncul lagi  namun tanpa dinyana-nyana kata itu menyeruak secara tiba-tiba. Pemicunya adalah Bambang Widjojanto yang diinisialkan BW oleh beberapa pihak, salah satu pimpinan KPK, yang ditangkap penyidik Bareskrim Mabes Polri (23/1/15).

Saya bukan ahli bahasa yang bisa tepat mendefinisikan kata kriminalisasi. Hanya imbuhan ”isasi” pada kata kriminal saya maknai adanya proses untuk mengkriminalkan. Kriminal berarti berkait kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang (KBBI; 2008: 819). Pendek kata, ada usaha mencari-cari atau mengada-adakan perbuatan kriminal terhadap seseorang/lembaga, yang sebenarnya tidak ada.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa penangkapan BW sampai pada asumsi adanya kriminalisasi terhadap KPK? Bukankah penangkapan itu juga bagian dari penegakan hukum? Setidak-tidaknya ada tiga alasan runtut, sebagai satu kesatuan, untuk menilainya.

Pertama; penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK (13/1/15). Jenderal bintang tiga itu disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 Huruf b, atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia diduga menerima hadiah dan suap selama melaksanakan tugas kepolisiannya.

Penetapan tersangka dilakukan KPK setelah mendalami hasil penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening mencurigakan milik beberapa jenderal polisi tahun 2010. Artinya, langkah hukum ini bukan ujug-ujug. Ada waktu hampir 4 tahun bagi penyidik KPK untuk mempelajari dan meyakinkan lidik-sidiknya.

Setelah penetapan status tersangka itu, tampaknya ada usaha dari Komjen Budi untuk menyoal kebijakan hukum KPK. Kabarnya, Ketua KPK Abraham Samad dan BW dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Tujuannya jelas supaya komisi antirasuah kesusahan memeriksa karena pimpinannya dijerat hukum.

Ternyata strategi pelaporan penyalahgunaan wewenang meleset. Alhasil, dicari jalan lain. Jangan-jangan, yang memungkinkan adalah menetapkan BW sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu. Artinya, penangkapan BW adalah strategi sampingan untuk memperlambat kinerja KPK. Bila benar demikian, bukankah Bareskrim sedang mengada-ada?

Kemudian, langkah yang mengada-ada itu dikuatkan dengan alasan kedua bahwa ternyata pelaporan kembali dugaan kasus kesaksian palsu atas nama BW (dan lainnya) sudah dicabut. Bupati Kota Waringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah, Ujang Iskandar menuturkan (23/1/15), laporan kasus kesaksian palsu itu dulu memang pernah disampaikan ke Bareskrim. Pelapornya Sugianto alias Yusuf Sugianto alias Sugianto Sabran, pesaingnya di pilkada Kobar. Sugianto menuduh para saksi Ujang Iskandar —BW ada di dalamnya— telah memberikan kesaksian palsu di depan sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan keterangan Ujang, ada 68 saksi yang dituduh Sugianto memberikan kesaksian palsu. Bareskrim Mabes Polri pun memeriksanya. Hasilnya nihil. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, Sugianto mencabut laporannya.

Proses Supercepat

Namun, pada 19 Januari 2015, Sugianto Sabran kembali melaporkan kasus itu ke Bareskrim sebagaimana dicatat dengan laporan bernomor LP/67/I/2015/ Bareskrim. Sehari setelahnya, 20 Januari 2015, terbit surat perintah penyidikan bernomor SP.Sidik/53/I/2015/ Dittipideksus. Bagai mendapat angin segar menghantam KPK, penyidik Bareskrim pun menangkap BW tiga hari setelahnya. Sungguh proses yang supercepat.

Ketiga; proses penangkapan tidak diawali prosedur yang layak oleh penyidik Bareskrim. Setelah proses administratif di Bareskrim selesai, penyidik langsung bergerak menggelandang BW tanpa mengindahkan misalnya Pasal 19 Ayat (2) KUHAP. Berdasarkan pasal itu, penyidik semestinya memanggil dulu tersangka secara sah maksimal dua kali. Faktanya, tak ada pemanggilan yang layak kepada BW. Bahkan satu kali pun tidak. Bukankah ini menyimpang?

Tiga alasan tersebut tak bisa dipisahkan satu per satu mengingat semuanya harus dirunutkan. Hasilnya, seperti ada usaha melemahkan KPK melalui penangkapan salah satu pimpinannya. Ada usaha sistematis dan merajalela (rampant) untuk mempereteli gerakan pemberantasan korupsi melalui kriminalisasi pimpinan KPK.

Memang, kolektif kolegial dalam Pasal 21 Ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 bisa diartikan: pokoknya lebih dari satu masih bisa dianggap kolektif. Tapi tak bisa dimungkiri bila pimpinan KPK berkurang satu maka sedikit banyak bakal mengganggu kinerja komisi antikorupsi.

Kriminalisasi terhadap KPK berarti perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Saya kira, rakyat Indonesia tidak akan membiarkan kriminalisasi ini terus berlangsung mengingat korupsi adalah musuh bersama. Cita-cita memiliki negara yang bersih dari korupsi bukan lagi jadi kewajiban, melainkan kebutuhan. (10)

Artikel ini pernah diterbitkan Suara Merdeka pada 27 Januari 2015

1…101112
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY