Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 4
Arsip:

Berita

Selamat(kan) Jalan Pemberantasan Korupsi!

Berita Wednesday, 16 December 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

SEPANJANG 2015, secara jujur harus dikatakan bahwa cambuk penegakan hukum antikorupsi tak cukup deras dihela. Pemberantasan korupsi berjalan melamban di semenjak awal 2015, bahkan hingga akhir tahun juga belum kunjung menunjukkan efek perbaikan. Pasalnya mudah untuk terendus, dukungan rendah political will negara, dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ialah faktor yang paling determinan dari potret 2015. Potret yang mungkin dapat dikatakan suram dan berlatar buram.

Lemahnya dukungan

Rendahnya political will negara mudah dihitung dengan tampil maksimalnya kepentingan politik jika dibandingkan dengan penegakan hukum antikorupsi. Sepanjang 2015, KPK dihajar habis-habisan dengan berbagai kepentingan yang jelas-jelas jauh dari kepentingan penegakan hukum. Pada saat yang sama, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada pada kondisi yang sama-sama sedang mencari bentuk relasi politik. Pencarian bentuk itu membuat agenda perlindungan KPK menjadi terabaikan.

Pemerintah terlihat tak bersungguh-sungguh berhadapan dengan DPR yang berisi partai politik penuh kepentingan. Akhirnya, pemerintah seakan membiarkan berbagai obokan kepentingan politik ke KPK. Bahkan, berbagai langkah penting yang ingin dilakukan Presiden tertunda dan tak berjalan efektif oleh karena partai politik mengatakan berbeda.

Kita semua tahu sebab-musabab mengapa Presiden akhirnya tidak membentuk secara sah tim independen untuk menyelisik berbagai kriminalisasi yang terjadi atas KPK. Kepentingan ialah jawaban yang paling pasti untuk mendedahkan hal itu. Buya Syafii dkk yang kala itu harusnya ditugaskan mendetailkan kriminalisasi tak kunjung mendapatkan keppres dan akhirnya mandul.

Masih dalam kriminalisasi terhadap KPK dan pegiat antikorupsi, ini pun semuanya dibiarkan tanpa adanya ujung yang berarti. Kasus yang menimpa Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Suparman Marzuki, Taufiqurrahman Syahuri, Novel Baswedan, dan Denny Indrayana mungkin dapat mewakili betapa rentan dan lemahnya penegakan hukum antikorupsi di hadapan kepentingan.
Kasus-kasus sebenarnya sangat mungkin diperdebatkan problema hukumnya, tetapi terus melaju deras ke arah penegakan hukum yang terlihat serampangan.

Pada titik itu, kembali pertanyaan soal dukungan pada agenda pemberantasan korupsi menjadi besar. Apalagi, kemudian pemerintah bermain api dengan isu teranyar, yakni melempar revisi UU KPK ke DPR yang memang bernafsu mengubah UU KPK. Sikap DPR tidak terlalu genah dan senang pada keberadaan KPK itu hal yang sudah sulit untuk dibantah. Pertanyaan mayoritas anggota DPR dalam berbagai kesempatan memiliki langgam yang sama dalam hal itu. Bahasa KPK superbodi, kebanyakan tingkah, tak diawasi, harusnya me ngedepankan pencegahan, dan berbagai hal lainnya ialah hal yang sudah kita dengarkan sejak 2005.

Herannya, pemerintah malah sepakat mem berikan ruang inisiatif itu kepada DPR. Padahal, sikap memberikan kepada DPR inisiatif legislasi itu tentu bisa mendapatkan perdebatan dan pertanyaan besar. Makanya, hari-hari belakangan ini bermunculanlah ide aneh mengatasnamakan keinginan memperbaiki KPK.Namun alih-alih memperbaiki, hanya mengagregasi perusakan terhadap KPK. Jangan-jangan, sedang ada kepentingan pemerintah yang mau dibarterkan dengan DPR, semisal dugaan atas barter dengan RUU Pengampunan Pajak.

Intinya, DPR bersama dengan pemerintah ter lihat sedang bermain-main politik dengan berbagai agenda setiap kelembagaan. Bermain di agenda masing-masing se hingga penegakan hukum antikorupsi yang kuat dan tegas menjadi terlupakan dan terbengkalai.

Melemahnya KPK

Melemahnya KPK sebenarnya tidak dari faktor eksternal dan pembiaran perusakan KPK. Akan tetapi, itu juga dari faktor internal KPK sendiri. Harus diakui, terobosan terbaik yang dilakukan Presiden mengeluarkan perppu pengisian jabatan bagi KPK ketika komisionernya berkurang hingga di bawah tiga orang. Bahkan, DPR juga mengamini dengan menyetujui perppu tersebut untuk dijadikan UU No 10 Tahun 2015. Sayangnya, hingga saat ini saya meyakini bahwa tidak seluruhnya UU tersebut menjadi anugerah, tetapi juga pada wilayah lain menjadi musibah buat KPK.

Dengan masuknya komisioner sementara, tujuan menormalisasi turbulence relasi kelembagaan KPK dengan lembaga lainnya memang sedang dilakukan. Akan tetapi, sayangnya, itu malah menggerus kekuatan KPK. Salah satu kekuatan KPK yang ada selama ini ialah semangat kolektivitas kuat melakukan perbaikan. Sayangnya, semangat itu dikendalikan secara keliru oleh pimpinan KPK sementara. Bayangkan begitu masuk ke KPK, mereka mengumandangkan kata-kata `KPK menyerah kalah!’. Bagaimana mungkin penolakan dan pelawanan terhadap kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu dipandang sebagai ancaman oleh pimpinan KPK sementara, bahkan dikenai sanksi bagi yang melawan kebijakan baru tersebut.

Setidaknya, melemahnya KPK terlihat dari dua hal yang berkorelasi dengan gaya kepemimpinan KPK sementara saat ini. Pertama, pengisian jabatan internal di KPK yang mulai terkesan serampangan dan tanpa arah yang jelas. Berbagai jabatan diisi orang yang barangkali tidak dengan rekam jejak yang menarik. Bahkan sosok-sosok dengan posisi dan pandangan yang tidak tepat soal KPK malah dibawa dan ditaruh pada posisi tertentu di KPK.

Kedua, gaya kepemimpinan yang menekankan kepatuhan ketimbang inisiatif. Corak yang dibangun Ruki ialah komando tunggal yang mengubah wajah para pegawai KPK menjadi orang patuh dan bukan orang inisiatif. Bayangkan, mimbar bebas yang digelar para karyawan untuk memberikan dukungan untuk melawan kriminalisasi pimpinan KPK terdahulu malah dianggap sebagai perlawanan atas kepemimpinan KPK sementara.

Tak mengherankan jika kasak-kusuk di kalangan luar mengatakan bahwa KPK kembali ke kondisi awal ketika baru dibentuk pascadisahkannya UU KPK. Bahkan, terlihat benar jika berjalan mundur atas capaian beberapa jilid KPK pasca-KPK jilid pertama era kepemimpinan Taufiequrrahman Ruki dulu.

Pada posisi ini, tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan apakah KPK memang sudah melemah atau tidak. Namun, setidaknya, gaya kepemimpinan KPK terkesan lebih koperatif pada kepentingan dan tak berani konfrontatif penuh terhadap pemi lik kuasa dan kepentingan tertentu. Hal yang bisa jadi dibaca secara wajar setelah badai yang menghan tam KPK. Namun, sangat mungkin juga dipan dang ke arah yang tak terlalu menguntungkan untuk KPK.

Selamat atau selamat tinggal?

Tahun 2016 ialah persimpangan yang akan mempersulit kemungkinan perbaikan. Pada 2016 ini tantangan itu akan semakin membuncah oleh karena akumulasi pelbagai hal tersebut di atas. Tahun 2016 ialah tahun yang akan menyelamatkan jalan pemberantasan korupsi, tetapi juga sangat mungkin menjadi ucapan selamat jalan pada pemberantasan korupsi.

Setidaknya ada tiga faktor yang akan menentukan hal tersebut. Pertama, haruslah diingat agenda pemberantasan korupsi ialah agenda besar yang diusung pemerintahan saat ini. Kegagapan konsolidasi politik yang dialami Jokowi-JK pada 2015 masih sangat mungkin untuk dimengerti meski tak bisa dibenarkan. Itu disebabkan tahun pertama kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ialah hal yang identik dan bersamaan dengan pelbagai problem 2015.

Kemampuan Jokowi-JK untuk menuntaskan konsolidasi politik dan penguatan agenda pemerintahan akan menjadi kunci di 2016. Jika mereka mampu melepaskan diri dari tekanan politik, sangat mungkin agenda-agenda penguatan hukum antikorupsi kembali dapat dibahasakan dengan langgam yang lebih jelas.

Ujiannya bisa terlihat dari kelindan kasus `papa minta saham’ ataupun kapasitas pemerintah untuk mengawal agenda legislasi, semisal UU KPK, KUHP, dan berbagai agenda legislasi lainnya. Kemampuan untuk keras dan ketat pada pemihakan agenda pemberantasan korupsi akan memperlihatkan indikasi kemampuan menjinakkan kepentingan politik tersebut. Jika tidak, berarti 2016 akan kembali semakin berat.

Kedua, fantasi negara dalam memola agenda penguatan pemberantasan dan pencegahan korupsi. Kita semua paham problem ketidakmampuan republik ini membangun data yang kuat dan menunjang penegakan hukum antikorupsi. One single map di berbagai hal akan sangat memperbaiki peluang mafia bermain di wilayah tertentu. Single identification number akan memperbaiki proses kependudukan dan pendataan.

Ketersambungan antara sistem perbankan dan perpajakan akan membantu menghilangkan mafia pajak. Penguatan lembaga penunjang seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) akan menunjang kerja-kerja pemerintahan di wilayah penegakan hukum antikorupsi dan menghadapi mafia, termasuk membangun sistem non-conflict of interest dan sistem illicit enrichment yang sudah sekian lama diwacanakan negara ini tapi tak kunjung mendapatkan tempat yang berarti. Artinya, dalam ranah kedua ini penting untuk berbicara soal apa saja resep yang ditawarkan untuk menguatkan sistem-sistem antikorupsi. Resep yang menarik akan menghidangkan agenda pemberantasan dan pencegahan korupsi yang lebih lezat.

Ketiga, tentu saja konsolidasi lembaga pemberantasan korupsi. KPK, dengan komisioner baru, akan sangat menentukan. Jika DPR akhirnya memilih dream team, harapan akan menguat. Akan tetapi, jika yang terpilih ialah dreaming team, kita kembali akan kesulitan berharap. Bukan hanya komisionernya, UU KPK juga harus dikawal. Jangan sampai ada tindakan berdalih memperbaiki KPK yang malah mengamputasi KPK.

Tidak hanya KPK, kejaksaan dan kepolisian juga. Perbaikan kelembagaan mereka juga harus menjadi perhatian. Tiga langkah minimalis yang harus dilengkapi dengan berbagai agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi lainnya. Tahun kedua pemerintahan Jokowi-JK ialah di 2016. Kegagalan mereka merupakan sumbangan separuh kegagalan penegakan hukum antikorupsi. Selamatkan jalan pemberantasan korupsi! Jangan biarkan selamat jalan pemberantasan korupsi!

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 11 Desember 2015

Mengadili Sang Komandan

Berita Wednesday, 16 December 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Yang Mulia, begitulah sapaan atas anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Panggilan itu mengalahkan sebutan bagi anggota dewan lainnya yang biasa disapa “yang terhormat”. Tentu panggilan ini memiliki makna tersendiri. Dalam dunia hukum dan peradilan, Yang Mulia biasa disematkan pada hakim. Dalam istilah hukum, dikenal dengan istilah officium nobile atau profesi yang mulia/terhormat. Mengapa demikian? Karena dalam profesi tersebut terkandung nilai-nilai kejujuran, moralitas, dan keadilan. Sehingga sebutan Yang Mulia merupakan cara untuk menghormati profesi yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tadi.
Lantas, apakah nilai-nilai ini juga dimiliki oleh para Yang Mulia anggota MKD? Publik jelas masih meragukannya. Hingga saat ini, MKD belum memperlihatkan kemuliannya. Anggota MKD tak ubahnya seperti politisi biasa, bahkan lebih buruk dari itu. Beberapa anggota MKD disinyalir telah menggadaikan kemuliaannya. Proses persidangan yang sedang berjalan di MKD masih berputar-putar pada persoalan teknis. Beberapa anggota MKD masih berkutat pada persoalan legal standing pengadu dan bukti rekaman. Padahal menurut UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), legal standing pengadu dimiliki oleh pihak internal DPR (anggota/pimpinan) atau eksternal (masyarakat/perorangan).
Begitu juga dengan bukti rekaman, telah diatur dalam Pasal 138 UU MD3 dan Pasal 27 Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Bahwa data atau informasi yang dapat didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, merupakan alat bukti yang sah. Sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahan alat bukti itu. Dan tidak perlu juga ditanya bagaimana cara memperolehnya, apakah sesuai hukum atau tidak? Karena forum MKD merupakan sidang etik, bukan pengadilan atas pelanggaran hukum!

Pelanggaran Etik
Mestinya, persidangan MKD fokus pada pertanyaan apakah tindakan Ketua DPR, Setya Novanto (SN), telah melanggar kode etik atau tidak? Kode etik yang mana yang dilanggar dan apa ancaman sanksinya? Itulah sederatan pertanyaan yang harus dijawab dengan melakukan penyelidikan dan verifikasi di persidangan. Kita mesti ingat raison d’etre dibentuknya MKD. Yaitu untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
MKD dibentuk agar aturan-aturan internal serta kode etik DPR dapat ditegakkan secara efektif, tidak menjadi hiasan pemanis saja. Karena itulah MKD dibekali dengan landasan hukum yang kuat. Kemudian aturan sanksi juga disiapkan, sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan kode etik itu manakala ada yang melanggar. Begitulah sistem hukum bekerja. Norma hukum belum cukup menjamin terlaksananya ketertiban, harus dilengkapi dengan lembaga penegak dan sanksinya. Disinilah peran MKD, yaitu sebagai peradilan etik dan penegak aturan internal DPR. Perkara yang diperiksa MKD bukanlah perkara pelanggaran hukum yang harus diperiksa secara hukum. Melainkan, pendekatan etik yang akan digunakan.
Apa yang dituduhkan pada SN, merupakan tuduhan berat. SN diduga telah melanggar beberapa ketentuan dalam UU MD3 dan kode etik. Ada 4 (empat) aspek etik yang dilanggar. Pertama menyangkut kepentingan umum, bahwa anggota dewan dilarang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan negara. Kedua aspek integritas, bahwa dilarang meminta dan menerima pemberian/hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga etika hubungan dengan mitra kerja, bahwa dilarang melakukan hubungan dengan mitra kerja untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Keempat aspek konflik kepentingan, bahwa dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, Keluarga, dan golongan.
Pertemuan dan pembicaraan SN dengan Direktur PT. Freeport yang terungkap melalui rekaman jelas menunjukkan pelanggaran atas keempat aspek etik tersebut. Fakta-fakta di persidangan telah membuktikan peristiwa itu. Saksi-saksi juga telah mengakuinya. Sehingga telah terang benderang terlihat adanya pelanggaran etik. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 angka 4 Kode Etik DPR, pelanggaran yang dituduhkan pada SN itu termasuk jenis pelanggaran berat dengan ancaman sanksi pemberhentian.
Inilah seharusnya yang menjadi fokus MKD. Menjawab keresahan publik atas ulah sang komandan. Para yang mulia anggota MKD harus ingat, mereka diberikan amanah oleh rakyat untuk menegakkan etika dan kehormatan dewan bukan untuk menutupi dan membela yang salah.

Pelanggaran Hukum
Selain pelanggaran etik, SN juga diduga dapat didakwa melakukan perbuatan melawan hukum. SN dapat dikenai tuduhan melakukan kejahatan kolusi dan tindak pidana korupsi. Ada 2 UU dengan ancaman pidana yang dapat dikenakan. Pertama, UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kedua, UU Tindak Pidana Korupsi.
Pertama, kejahatan kolusi. Hal ini diatur dalam UU 28/1999. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Ancaman terhadap kejahatan ini adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 Milyar rupiah.
Sasaran pokok dari ketentuan ini adalah para penyelenggara negara yang ada di lembaga-lembaga tinggi negara yang memiliki fungsi strategis, seperti lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan lembaga negara lainnya. Kekuasaan yang besar yang dimiliki, rentan disalahgunakan. Baik dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam skandal ‘papa minta saham’, tindakan itu mengarah pada kejahatan kolusi. Bahwa terlihat ada pemufakatan yang melawan hukum untuk mendapatkan porsi saham dan fasilitas lainnya dari PT. Freeport. Aktornya adalah penyelenggara negara (Ketua DPR) bekerjasama dengan pengusaha. Skandal ini sebenarnya sudah memenuhi unsur kejahatan kolusi sebagaimana diatur dalam UU 28/1999. Memang belum pernah ada penyelenggara negara yang dikenai tuduhan kejahatan kolusi. Akankah SN yang pertama?
Kedua, SN dapat didakwa melakukan korupsi. selain pasal-pasal penyalahgunaan wewenang, tindakan SN mengarah pada pelanggaran ketentuan Pasal 12e UU Tipikor, yaitu pemerasan (extortion) yang dilakukan pejabat negara. Dalam Pasal 12e diatur bahwa penyelenggara negara dilarang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau mengerjakan sesuatu, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ancaman pidana bagi kejahatan ini sangat berat, yaitu dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit 200 ratus juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Tindakan SN yang melakukan pertemuan khusus dan meminta sesuatu (saham atau apapun) dari bos PT. Freeport tentu tidak dapat diartikan permintaan biasa. Sebab, posisi SN adalah sebagai komandan lembaga negara. Dalam posisi itu, SN jelas memiliki kekuasaan besar, sehingga permintaan apapun yang dilontarkan tidak bisa dianggap sebagai permintaan biasa, tetapi dapat dimaknai sebagai permintaan yang harus dipenuhi. SN juga terlihat agresif dan ngotot untuk mengejar permintaannya tersebut. Terlihat dari beberapa pertemuan yang digelar khusus membicarakan hal itu. Disinilah unsur kejahatan korupsi dapat terpenuhi. Bahwa kekuasaan disalahgunakan demi mendapatkan sesuatu dari pihak lain.
Kedua dugaan kejahatan itu harus diusut secara serius oleh penegak hukum. Penuntasan kasus ini merupakan pertaruhan untuk menjaga kewibawaan lembaga negara yang sedang terpuruk. Penegak hukum harus berani karena rakyat pasti mendukung.

artikel ini pernah diterbitkan oleh majalah GATRA edisi 10 – 17 Des 2015

Menjaga Kehormatan Dewan

Berita Wednesday, 16 December 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Kemanjuran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sedang diuji. Tak tangung-tanggung, MKD menghadapi kasus besar yang melibatkan orang kuat di DPR. Sang komandan diduga terlibat dalam percaloan saham, permintaan saham dan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden. Pelapor kasus ini juga bukan sembarangan orang, yaitu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari sisi objek perkara dan aktor yang terlibat, kasus ini sungguh merupakan kasus yang amat besar dan serius.
Namun, nampaknya MKD masih gagap dalam menangani perkara besar ini. Terlihat dari perdebatan teknis yang dapat mengganggu kelanjutan kasus ini. Ada 2 hal yang diperdebatkan; kedudukan hukum pengadu (legal standing) dan alat bukti. Senyatanya, aturan beracara di MKD cukup sederhana. Menjadi rumit dan bertele-tele, karena kasus ini terkait dengan politisi kuat yang sedang berkuasa.
Harus dipahami terlebih dahulu bahwa MKD adalah badan internal DPR. MKD adalah peradilan etik dan perilaku. Perkara yang diperiksa MKD bukanlah perkara pidana yang harus diselesaikan dengan pendekatan hukum acara pidana. Pendekatan etik dan perilaku yang berlaku bagi anggota DPR lah yang menjadi acuan. MKD mempunyai hukum acara tersendiri yang diatur secara khusus (lex specialis) dalam UU MD3 dan Peraturan DPR Nomor 2 tahun 2015. Disitu diatur mengenai siapa pengadu, teradu, sampai pada alat bukti.
Mengenai siapa saja yang dapat menjadi pengadu, ada tiga pihak, yaitu pimpinan DPR, anggota DPR dan masyarakat. Artinya, pengadu dapat berasal dari internal atau eksternal DPR. Yang terpenting adalah substansi aduannya, apakah sesuai dengan kompetensi MKD atau tidak. Aduan harus relevan dengan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku anggota dewan.
Kemudian, mengenai alat bukti telah diatur tersendiri dalam Pasal 138 UU MD3 dan Pasal 27 Peraturan DPR. Ada 5 Alat bukti yang terdiri dari (a)keterangan saksi; (b)keterangan ahli; (c)surat; (d)data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna dan (e)petunjuk lain.
Bukti rekaman pembicaraan (bukan penyadapan) yang diberikan oleh Menteri ESDM, jelas merupakan alat bukti yang sah dan termasuk dalam kategori alat bukti huruf d. Sehingga mestinya tidak ada lagi perdebatan mengenai keabsahan bukti rekaman yang diberikan. Karena telah terdapat kecukupan alat bukti, maka harusnya MKD sudah dapat menggelar sidang.

Pembentukan Panel
Dugaan pelanggaran yang dituduhkan kepada Ketua DPR sangatlah serius. Ketua DPR dapat didakwa melanggar sumpah jabatan, UU MD3 dan kode etik. Bahwa melalui tindakannya, Ketua DPR diduga telah mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentinga negara. Hal ini jelas bertentangan dengan kewajibannya sebagai anggota DPR. Berdasarkan ketentuan Pasal 20 angka 4 Kode Etik DPR, hal itu termasuk jenis pelanggaran berat dengan ancaman sanksi pemberhentian.
Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 148 UU MD3 bahwa dalam hal pelanggaran berat, maka MKD harus membentuk Panel. Anggotanya merupakan gabungan antara unsur MKD (3 orang) dan unsur masyarakat (4 orang). Kasus ini tidak boleh diperiksa dan disidangkan sendirian oleh MKD. Harus ada pelibatan publik melalui pembentukan panel. Ada banyak tokoh masyarakat yang independen yang bisa diminta untuk menjadi anggota panel.
Pembentukan panel dengan melibatkan unsur masrakat dapat mencegah MKD agar tidak terjebak dalam pusaran konflik kepentingan (conflict of interest) dan pertarungan antar kelompok politik di parlemen. Upaya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan kasus ini juga akan dapat diminimalisir. Kemudian, hasil pemeriksaan juga akan lebih independen dan dipercaya publik.
Penting bagi MKD untuk memastikan kasus ini dituntaskan. Kasus ini telah menghancurkan kewibawaan dan kehormatan DPR. Sebagai lembaga yang bertugas untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR, maka ini merupakan momentum yang baik bagi MKD untuk memulihkan kepercayaan publik. Ratusan juta mata publik saat ini tertuju pada MKD, berharap kasus ini dituntaskan dan siapapun yang bersalah diberikan sanksi yang tegas.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS pada 1 Desember 2015

Menyandera Capim KPK

Berita Wednesday, 16 December 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Entah apa sebenarnya yang terjadi di komisi III DPR hingga saat ini belum terlihat ada kemauan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK (capim KPK). Padahal pemerintah sudah mengajukan 10 kandidat. 2 kandidat diajukan dimasa pemerintahan SBY, dan 8 kandidat diajukan oleh Presiden Jokowi. Tugas DPR saat ini untuk melakukan pemilihan. Namun nampaknya DPR masih menyendera Capim KPK tersebut. Berputar-putar dengan berbagai alasan, DPR masih enggan melanjutkan proses fit and proper test, meskipun masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan habis.
Sebenarnya aturan seleksi pimpinan KPK sudah sangat jelas, baik mengenai syarat dan prosedurnya. Ini juga bukan kali pertama seleksi dilakukan. Telah 3 periode pimpinan KPK yang diseleksi. Namun kali ini, manuver dan intrik politik DPR sangat mengkhawatirkan bagi masa depan KPK.

Kewajiban DPR
Menurut UU KPK, proses seleksi pimpinan KPK melibatkan dua kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan parlemen (legislatif). Masing-masing kekuasaan itu memiliki peran masing-masing dalam proses seleksi yang telah ditentukan oleh UU. Prinsipnya, tidak boleh ada saling intervensi antara dua kekuasaan tersebut. Mereka harus bekerja dalam ranah prinsip checks and balances dan mutual respect (saling menghormati). UU mengatur bahwa proses pemilihan calon pimpinan KPK dilakukan oleh pemerintah. Sementara pemilihan tahap akhir, dilakukan oleh DPR. Jadi proses pemilihan dimulai oleh pemerintah dan berakhir di DPR.
Untuk menjaring para kandidat tersebut, pemerintah harus membentuk Panitia Seleksi (Pansel) yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Pansel bekerja dan bertanggung jawab pada Presiden. Bentuk pertanggungjawaban Pansel adalah dalam waktu lebih kurang selama 2 bulan, Pansel harus menyelesaikan seleksi dan menyerahkan 10 nama kandidat Capim KPK kepada Presiden. Setelah itu, Presiden menyampaikannya kepada DPR. Disinilah kewenangan DPR dimulai. Sejak diterimanya calon yang diusulkan Presiden, maka DPR dapat memulai kewenangannya untuk melakukan pemilihan.
Apakah DPR dapat menolak untuk memilih? Jawabannya tidak. Sebab UU tidak memberikan pilihan bagi DPR untuk menerima atau menolak calon dari pemerintah. Pasal 30 angka 10 tegas menyatakan bahwa DPR wajib memilih diantara Capim yang diajukan Presiden. Dan DPR wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) orang. Tidak boleh kurang dari itu. Bahkan UU pun memerintahkan DPR untuk wajib memilih dan menetapkan Ketua dan Wakil Ketua KPK. Penggunaan kata “wajib” dalam norma UU tersebut menunjukkan bahwa pemilihan itu merupakan kewajiban DPR, bukan kewenangan biasa. Artinya, mau tidak mau, DPR harus memilih pimpinan KPK dari kandidat yang diusulkan oleh pemerintah.
Mekanisme pemilihan pimpinan KPK memang berbeda dengan komisi negara lainnya. Ambil contoh pemilihan anggota Komisi Yudisial. Disitu memang DPR dapat menyatakan penolakan atas semua atau sebagian calon. Sebab, mekanisme yang digunakan adalah model persetujuan. Dalam sistem ini, sejatinya DPR tidak melakukan pemilihan, tetapi hanya menyatakan setuju atau tidak setuju dengan kandidat yang diajukan. Terdapat kemungkinan bahwa DPR menyetujui/menolak semua calon atau sebagian saja. Sementara untuk KPK, DPR wajib melakukan pemilihan.
Jika anggota komisi III DPR menolak untuk memilih dan mengembalikan calon-calon tersebut ke pemerintah, maka sikap ini jelas melanggar UU KPK. Mereka yang duduk di komisi III juga dapat melanggar aturan dalam UU MD3 yang mewajibkan semua anggota DPR untuk menaati peraturan perundang-undangan dan melaksanakan kewajiban sesuai perintah UU. Pelanggaran terhadap ketentuan ini juga merupakan termasuk pelanggaran kode etik anggota DPR.

Bukan Perwakilan
Masalah kedua yang mencuat dalam seleksi KPK kali ini adalah, apakah harus ada perwakilan Jaksa (dan polisi)? Isu ini sebenarnya bukanlah isu baru. Setiap momen seleksi pimpinan KPK, isu ini selalu saja diperdebatkan. Padahal UU KPK telah dengan jelas mengatur syarat seorang pimpinan KPK. Tidak ada satu norma pun dalam UU KPK yang mengatur bahwa harus ada unsur-unsur Kejaksaan dan Kepolisian dalam komposisi pimpinan KPK. Sepanjang memenuhi syarat administratif yang ditetapkan UU, seseorang dapat menjadi calon.
Persyaratan itu termaktub dalam Pasal 29 UU KPK. syarat spesifik misalnya batas usia minimal 40 tahun, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak menjadi pengurus partai politik, melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi pimpinan KPK. Tidak harus sarjana hukum. Sarjana lain juga diterima karena UU KPK tidak menekankan pada gelar kesarjanaan. Yang terpenting adalah memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Selain itu, harus cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Ketentuan Pasal 29 tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada keharusan adanya perwakilan Jaksa dan Polisi.
Selain bertentangan dengan UU, logika adanya perwakilan jaksa dan polisi juga bertentangan dengan raison d’etre (alasan hukum) lahirnya KPK. Secara historis, jaksa dan polisi tidak dikehendaki untuk menjadi pimpinan KPK. Lembaga antikorupsi ini justru secara khusus dibentuk karena kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak efektif. Untuk itulah, KPK menjadi trigger mechanism dan punya tugas khusus yaitu memberantas penegak hukum korup. Hadirnya jaksa dan polisi sebagai pimpinan tentu dapat membuat lumpuh lembaga ini ketika mengusut korupsi di institusi penegak hukum karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest) dan semangat korps (esprit de corps). Dan hal ini telah terbukti dalam beberapa kasus yang ditangani KPK.
Maka dapat disimpulkan bahwa alasan DPR menunda pemilihan Capim KPK jelas mengada-ada dan tidak legitimate. Karenanya kepada yang terhormat anggota DPR, segeralah pilih dan tetapkan 5 pimpinan KPK yang baru.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO pada 30 November 2015

Ketua Dewan Pemburu Rente

Berita Wednesday, 16 December 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

KETUA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto kembali berulah. Sesungguhnya semua perdebatan di kitaran kasus `Trumphgate’, meskipun sudah diiringi dengan putusan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang cenderung memble, belum selesai. Namun, kasus terbaru, dengan meminta saham ini, tentu akan menjadi menarik jika melihat apa saja yang mungkin dijatuhkan terhadap Ketua DPR yang terlihat sedang mencoba memburu rente dari perpanjangan PT Freeport Indonesia.

Tulisan ini tentu saja dengan asumsi jika benar hal tersebut terjadi. Hingga saat ini belum dapat dipastikan secara detail konsep pertemuan dan isi detail pembicaraannya. Hal ini masih akan sangat menentukan langkah apa yang mungkin diambil terhadap sang Ketua DPR.

Bertanggung jawab

Inti dari apa pun yang bisa diambil terhadap tindakan Setya Novanto ini ialah ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Perbuatan tersebut tentu saja memalukan dengan menggunakan perspektif apa pun. Itu seharusnya tidak ia ambil dalam kapasitas Ketua DPR yang tentu saja menyalahi kerja-kerja seharusnya dari lembaga legislatif. Karena itu, pertanggungjawaban menjadi sangat penting.

Pertanggungjawaban yang paling mungkin tentu saja ialah secara politik. Ada beberapa jenis pada pertanggungjawaban politik. Pertama, langkah yang bisa dia ambil secara aktif, semisal, ialah mengun durkan diri. Itu akan menjadi cara yang sangat elegan. Inilah saatnya mendirikan kembali moral politik bahwa kepercayaan itu penting. Kasus ini telah menggerus kepercayaan selaku Ketua DPR. Karena itu, mengundurkan diri lagi-lagi menjadi langkah yang sangat baik. Bergantung pada dia meyakini kesalahannya. Ia bisa mundur hanya selaku Ketua DPR, bahkan sangat mungkin selaku anggota DPR.

Kedua, ia sangat mungkin dilengserkan, baik dengan model kesadaran MKD atau bukan tidak mungkin oleh kesadaran partainya sendiri. Dalam kasus ‘Trumphgate’, MKD sebenarnya sudah dipermalukan dengan penolakan kehadiran Setya. Karena itu, MKD dapat menegakkan hukum etika yang penting ini terhadap Setya secara lebih keras dan serius. Membiarkan MKD tidak tegas atas pelanggaran yang sudah terjadi bukan tidak mungkin hanya akan menggerus kepercayaan dan keseriusan di balik upaya menghadirkan MKD di dalam UU MD3. Kala MKD dibuat di UU MD3, ketakutan dan kekhawatiran publik bahwa MKD hanya akan menjadi lembaga ‘pencuci’ dosa etik anggota DPR akan kembali menjadi pembicaraan. Artinya MKD akan semakin jauh dari kepercayaan sebagai lembaga yang bisa menegakkan etika dan perilaku tersebut.

Ketiga, langkah yang dapat diambil partai. Partai Golkar tentunya sangat mungkin untuk segera menyadari adanya potensi krisis legitimasi dan kepercayaan atas Ketua DPR yang notabene terafiliasi ke Partai Golkar. Memperhitungkan implikasi kejengkelan publik pada Partai Golkar menjadi penting dalam mengambil langkah yang sangat mungkin dalam menarik Setya dari kursi Ketua DPR. Apalagi, sudah ada desakan arus muda Partai Golkar dalam perihal ini. Langkah cepat dan tepat partai juga tentu akan menjadi batu uji tuntutan publik agar partai berubah dan menjadi lebih baik dalam mengawal republik ini.

Tiga langkah politik itu belum cukup sesungguhnya karena lagi-lagi ranah politik dan hukum punya logika yang berbeda, bahkan langkah dan langgam yang berbeda. Pertanggungjawaban politik di atas ialah dalam kerangka menjaga muruah jabatan publiknya. Karena itu, penjatuhan sanksi merupakan bagian perbaikan kelembagaan dan kehidupan perpolitikan bangsa Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti secara hukum selesai dan tidak bisa dilakukan langkah susulan atau bahwa simultan. Pertanggungjawaban hukum ini tentu bisa juga dalam wajah yang jamak. Pertama, tentu saja ranah meminjam dan menjual nama Presiden dan Wakil Presiden. Bayangan sederhana, tentu saja itu penghinaan dan perusakan untuk nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Pasalnya, kata-kata yang ada sangat terlihat seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden sangat mau diberikan rente sejumlah saham. Seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden mau menggadaikan bangsa demi 11% dan 9% saham. Hal yang sangat memalukan martabat bangsa dan negara serta Presiden dan Wakil Presiden di hadapan dunia mengingat PT Freeport ialah perusahaan berlevel internasional. Dapat dibayangkan betapa memalukannya jika dianggap bahwa Presiden dan Wakil Presidennya minta saham dengan menugasi Ketua DPR untuk melakukan hal itu. Presiden dan Wapres tentu harus bersikap juga, bukan untuk nama pribadi, melainkan untuk bangsa dan negara.

Kedua, pertanggungjawaban yang lebih serius lagi ialah dalam klausula pidana korupsi. Jika dilihat secara detail, sangat mungkin untuk memasukkan ke unsur Pasal 12e UU Tipikor. Jelasnya, pasal tersebut berbunyi ‘Pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri’.

Lagi-lagi, jika benar kejadian yang terjadi seperti yang beredar dalam transkrip, bukan tidak mungkin Setya dapat dianggap telah memenuhi kualifi kasi ini, yakni dengan menggunakan jabatannya selaku Ketua DPR yang didakunya memiliki kualitas untuk menyelesaikan perpanjangan kontrak PT Freeport dan memaksa pihak lain untuk memberikan sesuatu atau mengerjakan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dalam hal ini, ada upaya untuk memperdagangkan pengaruh yang dimilikinya untuk suatu manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage).

Persoalannya tentu saja tingkat kesungguhan negara menghadapi hal begini. Apakah negara akan lebih memilih mengejar pertanggungjawaban Setya secara ketat dan kuat ataukah akan kembali buntu dan memble seperti berbagai kasus yang pernah (diduga) membelit Setya. Seriuskah DPR dan MKD-nya? Seriuskah Partai Golkar? Seriuskah Presiden dan Wakil Presiden? Seriuskah aparat penegak hukum lainnya? Bahkan legowo dan seriuskah Setya sendiri untuk menjaga muruah DPR dan Parlemen Negara? Pertanyaan yang kembali akan diuji sejarah penegakan etika dan hukum negeri ini terhadap Ketua Dewan yang ditengarai dan diduga tengah melakukan upaya memburu rente.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 21 November 2015

Tindak Pidana Komisioner KPK

Berita Monday, 14 December 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat aturan Pasal 32 Ayat 2 yang mengatur, “Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”.
Hal ini pulalah yang dikenakan kepada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberhentikan karena menjadi tersangka dalam tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Pasal ini memang menarik. Jauh berbeda daripada lembaga lain dalam hal pemberhentian dan kaitannya dengan model praduga tak bersalah, KPK tentu lebih ketat dalam hal ini. Secara historik, sulit menegasikan bahwa pasal itu dicantumkan karena adanya keinginan mendapatkan komisioner KPK yang bersih sebersih-bersihnya, sehingga dengan sendirinya hal ini menempatkan marwah KPK menjadi sangat kuat dan tinggi. Artinya, aturan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK adalah dalam rangka menjaga KPK melaksanakan tugas dan fungsi KPK itu sendiri.

Problemnya, apa yang dibayangkan pembentuk UU ketika membentuk aturan itu adalah dalam konsep penegakan hukum normal, yakni ketika semua proses penegakan hukum hadir melalui proses hukum yang benar dan bukan proses yang diada- adakan. Sering kali, dengan mudah seseorang ditetapkan menjadi tersangka dengan bukti yang terekayasa, tak sempurna atau dicari-cari, bahkan bukti tidak lengkap sekalipun, hanya berdasar pada mekanisme penegakan hukum pidana memiliki “rem darurat” yang dapat digunakan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Bayangan tak normal tersebut tidaklah terbayangkan dalam pembentukan UU KPK. Sepanjang pembacaan atas risalah UU KPK, sama sekali tidak terdapat pembahasan mendetail mengenai hal tersebut. Hanya selalu disandarkan pada keinginan bahwa orang yang berada di KPK adalah orang yang terjaga kapasitas dan integritasnya.

Padahal, di tengah beragamnya ketentuan pelanggaran pidana-mulai dari yang serius hingga sangat sepele, praktik penegakan hukum yang sering kali keliru, maupun mudahnya untuk mendalilkan bahwa ada prinsip korektif SP3-membuat sangat mungkin terjadinya penetapan tersangka atas pimpinan KPK yang berujung pada dihentikan sementaranya seorang pimpinan KPK.

Jangan dilupakan, ada begitu banyak ancaman pidana yang tersebar di berbagai UU. Baik yang sangat berat maupun yang sangat sepele. Dalam sebuah pandangan, jumlahnya dapat mencapai kira-kira 6.000-an. Itu baru di UU, belum lagi yang berasal dari sekian banyak peraturan daerah yang juga mencantumkan pasal-pasal mengenai ancaman pidana. Jumlah yang besar dan gejala penegakan hukum yang tak normal tentu menjadi padanan meyakinkan untuk mengatakan mudahnya penersangkaan.

Implikasi pemberhentian

Mudahnya terjadi penghentian sementara ini akan membuat kerepotan tersendiri akibat UU KPK yang tidak mengatur berbagai hal lain berkaitan dengan pemberhentian sementara. Misalnya dalam hal KPK terpaksa kekurangan pimpinan akibat pemberhentian secara bersamaan, maka dengan seketika terpaksa dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), seperti yang sudah terjadi belakangan ini. Bahkan turunan dari itu juga tidak diatur dengan detail. Dalam posisi berhenti sementara, apakah aturan-aturan mengenai larangan etik dan sebagainya tetap terkena pada pimpinan yang sedang berhenti sementara ini?

Belum lagi gejala turut campur presiden melalui Perppu pun seharusnya dapat dihindari, mengingat praktik Perppu yang sering kali jauh dari kesan hukum, tetapi lebih terkesan politik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Perppu pengisian sementara jabatan pimpinan KPK karena pimpinan kurang dari tiga orang yang saat ini terjadi.

Problemnya adalah penegasian usia 65 tahun pemilihan pimpinan KPK sementara dalam Perppu tersebut. Tentu pertanyaan mendasar secara ketatanegaraan adalah hal ihwal kegentingan memaksa apa yang terjadi sehingga usia 65 pun juga harus dikesampingkan?

Akan tetapi, karena lagi-lagi ini adalah soal politik dan sering kali bukan hukum, maka ada saja penerimaan terhadap praktik pengeluaran Perppu semacam ini. Bahkan ketika tak ada alasan obyektif yang bisa membenarkan kenapa usia di atas 65 tahun tetap diperbolehkan mengisi jabatan pimpinan KPK, tetap saja tak ada problem di DPR. Gejala ikut campur politik ini sangat berbahaya.

Jeremy Pope sudah mengingatkan bahwa wewenang memberhentikan untuk sementara harus dalam kaitan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Namun, wewenang ini mudah sekali disalahgunakan. Lebih lanjut, kata Pope, “Kita dapat membayangkan sebuah skenario di masa depan, kepala badan anti korupsi mungkin diberhentikan sementara oleh presiden semata-mata karena ia menyelidiki tuduhan-tuduhan yang dapat memalukannya dari sisi politik. Karena itu, harus selalu ada pembatasan yang jelas.”

Apa yang dinyatakan Pope sesungguhnya adalah adanya kemungkinan distingsi antara keinginan menegakkan integritas dengan bayangan penegakan hukum yang normal dengan fakta bahwa adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh akibat penegakan hukum yang tak normal. Kelihatannya, analisis Pope menemukan kontekstualitasnya di Indonesia.

Pentingnya perlindungan

Dalam hal ini penting dilakukan perlindungan atas pimpinan KPK dari kemungkinan tersebut. Di tengah kondisi hukum yang sering kali tak normal, penguatan marwah KPK tidak bisa hanya dengan menegakkan integritas KPK sekuatnya, tetapi juga memberikan perlindungan yang memadai bagi KPK.

Upaya penindakan, apalagi terhadap pemegang wilayah kekuasaan, tentu lebih mudah mendapatkan perlawanan. Hongkong 1974, memberikan gambaran demo besar penentangan atas pendirian Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang dilakukan para polisi. Bahkan dengan kekerasan, karena ICAC dianggap sebagai musuh bagi siapa pun yang merasa terancam kehadirannya.

Nigeria juga mengenal Nuhu Ribadu, seorang kepala dari Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) sejak 2003 dengan rekam jejak mengagumkan. Namun, ia berakhir menyedihkan setelah mengejar seorang politisi senior berpengaruh kuat dengan tuduhan korupsi. Ia akhirnya terlempar dari jabatannya dengan dituduh berbagai kejahatan, bahkan terancam percobaan pembunuhan. Ia pun terpaksa “melarikan diri” ke Inggris di awal 2009.

Apa yang terjadi saat ini adalah fragmen yang sama, meski dengan judul berbeda, dengan apa yang terjadi di Hongkong dan Nigeria. Karena itu, merancang perlindungan menjadi penting, seperti berbagai prinsip internasional dan pengalaman di beberapa negara yang telah melakukan perlindungan atas pimpinan dan pekerja pada lembaga anti korupsi.

Kini, Pasal 32 Ayat 2 tersebut tengah diuji di MKoleh Bambang Widjojanto.Perlu dipikirkan dengan tegas oleh MK bahwa inilah saatnya ancaman “kriminalisasi” bagi pimpinan KPK harus dihentikan. Tak boleh lagi dibiarkan ada jilid-jilid kriminalisasi berikutnya hanya karena KPK sedang melakukan penegakan hukum anti korupsi.

MK sendiri pernah membangun prinsip constitutionally important kelembagaan KPK yang diuji berkali-kali dan dinyatakan tidak tepat secara ketatanegaraan, sebagaimana diyatakan dalam Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006. KPK sangat penting secara konstitusional. Artinya, sangat mungkin juga bagi MK untuk membangun prinsip perlindungan bagi KPK sebagai salah satu kepentingan konstitusional untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yang memiliki constitutionally important.

Klausulnya dapat dicari. Tetapi, khusus kejahatan berat, semisal tindakan korupsi, pelanggaran atas UU KPK itu sendiri, terorisme, illegal logging, perdagangan manusia, narkoba, dan kejahatan berat lainnya dapat diproses secara langsung. Tetapi, kejahatan-kejahatan ringan dapat ditangguhkan hingga berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK. Ini adalah salah satu klausul. Tentu bisa banyak varian dan pilihan lain. Tetapi, yang terpenting adalah adanya perlindungan agar tidak dengan mudah ditersangkakan dan terkriminalisasi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian Kompas pada 4 Juli 2015

Duka (nawa) Cita Pemberantasan Korupsi

Berita Monday, 14 December 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Bukan Nawacita, tapi duka cita bagi pemberantasan korupsi. Begitulah gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi selama 1 tahun pemerintahan. Nawacita yang digadang-gadang bisa membawa perubahan, ternyata belum mampu memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Justru sebaliknya, fondasi antikorupsi yang dibangun pada awal masa pemerintahan ini sangatlah rapuh. Hampir belum ada janji politik dalam pemberantasan korupsi yang direalisasikan dengan serius oleh Presiden Jokowi.
Jika kita buka lembaran janji politik Jokowi, komitmen antikorupsi itu telah seringkali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Komitmen itu diungkapkan dalam satu kalimat pendek, yakni keberpihakan pada pemberantasan korupsi. Keberpihakan itu diwujudkan dalam bentuk keberpihakan pada legislasi yang mendukung pemberantasan korupsi, mendukung KPK, mereformasi lembaga penegak hukum serta memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegak hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri sumber daya alam. Jokowi juga berjanji membangun sistem pencegahan korupsi di birokrasi.
Akan tetapi melihat capaian pemerintah selama 1 tahun ini, belum nampak upaya serius menuju ke arah pemenuhan janji-janji tersebut. Fondasi yang akan menjadi dasar atas bangunan pemberantasan korupsi itupun belum terlihat. Justru langkah mundur yang kita dapati, dimana terjadi berbagai usaha pelemahan dan penghancuran gerakan pemberantasan korupsi. Dimulai dari kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, pegawai KPK, pegiat antikorupsi dan pihak-pihak yang mendukung gerakan antikorupsi. Upaya kriminalisasi ini sampai saat ini tidak bisa dihentikan oleh Presiden Jokowi. Padahal telah nyata terlihat kejanggalan-kejanggalan dalam kriminalisasi tersebut.
Upaya penghancuran KPK tidak berhenti pada kriminalisasi, dasar hukum pembentukan KPK juga diganggu-gugat. Ada upaya untuk membubarkan KPK secara perlahan dengan menggunakan kewenangan legislasi. Bergulirnya isu RUU KPK merupakan bagian dari usaha itu. Maka jangan heran jika dalam draft RUU KPK terdapat pasal yang mengatur batas umur KPK hanya 12 tahun. Logika umur KPK ini semakin memperjelas gagasan untuk membunuh KPK. Presiden Jokowi terlihat tidak berani untuk tegas menolak ide ini. Buktinya, pemerintah hanya menunda pembahasan RUU KPK, bukan menolaknya. Jelas ini bertentangan dengan janji politik Presiden Jokowi yang akan mendukung dan mempertahankan KPK.
Disamping lemahnya dukungan terhadap KPK, Presiden Jokowi juga gagal membangun fondasi antikorupsi yang kuat bagi institusi kejaksaan dan kepolisian. Dua institusi penegak hukum tersebut secara struktural langsung berada dibawah perintah Presiden. Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim pemerintahan, dapat dilihat dari kinerja kedua institusi penegak hukum tersebut. Lagi-lagi Presiden Jokowi melakukan blunder dengan mengisi pejabat di kedua institusi itu dengan pimpinan yang penuh catatan kontroversial.
Pengisian jabatan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian penuh dengan kejanggalan. Kita tentu masih ingat bahwa calon Kepala Kepolisian yang dijagokan Jokowi menjadi tersangka korupsi di KPK. Sementara, Jaksa Agung disorot publik sebab berlatarbelakang sebagai politisi partai Nasional Demokrat (Nasdem). Banyak pihak kemudian mempertanyakan integritas dan rekam jejak petinggi lembaga penegak hukum itu. Apalagi saat ini Jaksa Agung terseret-seret dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Sumatera Utara dan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Dalam situasi seperti ini tentu sulit meyakinkan publik bahwa kejaksaan dan kepolisian akan menopang Nawacita antikorupsi yang digadang-gadang Presiden Jokowi.
Publik belum melihat ada kinerja serius dari kedua institusi penegak hukum itu untuk ikut mewujudkan komitmen antikorupsi Presiden. Tidak ada capaian pemberantasan korupsi yang signifikan dari kejaksaan dan kepolisian. Kalaupun ada kasus yang diusut, perkembangannya tak menentu. Beberapa kasus di daerah justru dihentikan (SP3). Kita juga belum tahu apa rencana Jokowi untuk mereformasi birokrasi di kejaksaan dan kepolisian. Ingat, hingga saat ini dalam berbagai survei, publik masih menganggap kedua lembaga tersebut sebagai lembaga yang tidak kredibel. Butuh upaya luar biasa untuk melakukan reformasi birokrasi lembaga penegak hukum.
Perlakuan istimewa bagi koruptor masih dilanggengkan oleh pemerintahan Jokowi melalui kebijakan pemberian remisi. Menurut data Kementerian Hukum dan HAM, ada lebih kurang 1.938 narapidana korupsi yang mendapatkan remisi hingga saat ini. Berbagai alasan dicari untuk membenarkan kebijakan ini. Padahal peraturan yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya telah memperketat pemberian remisi, tapi masih saja dilonggarkan oleh Menteri Hukum dan HAM saat ini.
Melihat mulai kecewanya publik dengan kinerja pemberantasan korupsi, maka Presiden Jokowi tidak punya pilihan selain kembali ke cita-cita mulia Nawacita yang menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi. Komitmen tidak cukup hanya dicuapkan dalam janji politik. Butuh langkah tegas dan kebijakan kongkrit. Jokowi harus memimpin langsung perang melawan korupsi. Harus ada perubahan mendasar dalam kebijakan antikorupsi. Sebab, jangan sampai ditahun-tahun berikutnya Nawacita berujung menjadi duka cita bagi pemberantasan korupsi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh Koran Tempo pada 3 November 2015

Logika Ngawur RUU KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Draf Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memicu polemik yang luas di tengah masyarakat. Terdapat beberapa rumusan pasal yang dianggap tidak masuk akal bila disandingkan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Tidak hanya batang tubuh, dalam konsideran filosofinya juga tak luput mengirim perdebatan yang akut. Rumusan konsideran huruf c—yang ditulis sesuai dengan draf—menyebutkan, ”bahwa keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditinjau ulang karena penegakan hukum tidak termasuk bagian dari kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi sebagai perwujudan kedaulatan hukum dan masuk wilayah kekuasaan kehakiman yang harus dijaga dari pengaruh kekuasaan mana pun”.

Tak usah dulu membahas pasal per pasal yang kontroversial dalam RUU KPK, pada kalimat pertimbangannya saja belum-belum sudah mengundang kehebohan penyusunan peraturan perundang-undangan. Dari konsideran huruf c di atas dapat digarisbawahi minimal dua hal. Pertama, eksistensi KPK perlu ditinjau ulang karena melakukan pemberantasan korupsi.

Kedua, pemberantasan korupsi tidak masuk wilayah kerja KPK, melainkan kekuasaan kehakiman. Mengkritisi kinerja komisi antikorupsi dalam usianya yang sudah mencapai 13 tahun bukanlah perbuatan haram. Tetapi, meninjau ulang eksistensi KPK atas tugas, fungsi, dan hasilnya dalam memberantas korupsi adalah sesuatu yang mengada-ada. Persis seperti kurang kerjaan saja.

Balas Dendam?

Laporan tahunan KPK pada 2014 mengumumkan ada 80 kasus korupsi yang dilidik dan disidik. Sebanyak 77 kasus sudah dilakukan penuntutan dan 40 kasus telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu, 48 kasus juga berhasil dieksekusi pascainkracht. KPK juga berhasil memeriksa empat anggota Dewan, sembilan orang kepala lembaga/kementerian, dua gubernur, dua belas orang bupati/wali kota, serta dua orang hakim.

Komisi antirasuah juga berhasil membangun koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan dan kepolisian. Ada total 911 kasus yang berhasil dikerjasamakan dengan korps adyaksa serta 273 kasus dengan korps baju cokelat. Hal ini pencapaian yang nyata dari improvisasi yang diperintahkan oleh undang-undang agar KPK menjalin kerja sama yang erat dengan penegak hukum lain.

Lalu, di mana posisi peninjauan ulang terhadap kelembagaan KPK yang disebutkan oleh draf RUU KPK? Kecuali jika DPR ingin balas dendam ke KPK melalui jalur legislasi. Sangkaan ini tak berlebihan, mengingat sudah ada juga banyak potensi anggota DPR yang digelandang Komisi Pemberantas Korupsi ke kursi pesakitan.

Soal ”serangan balik” ke KPK, tercatat tidak hanya belakangan ini saja gencar dilakukan. Bolak-balik lembaga antikorupsi menerima hantaman. Jika masih ingat, pembubaran KPK sudah pernah diwacanakan oleh DPR pada periode 2004-2009. DPR juga sempat menolak pengajuan anggaran untuk pemberantasan korupsi dan pembangunan gedung baru KPK dalam RAPBN 2009.

Tidak hanya dari DPR, pemerintah periode sebelumnya juga pernah mengusulkan penyadapan terduga korupsi sebaiknya diatur dalam rancangan peraturan pemerintah. Padahal, aturan tentang penyadapan sudah jelas diatur dalam undang-undang. Kenapa pula harus diturunkan ke peraturan yang lebih rendah bila kemudian bertentangan? DPR juga sempat mengamini usulan ini.

Pendek kata, tidak ada logika selain keanehan untuk meninjau keberadaan KPK saat ini. Saat lembaga penegak hukum lain sedang mulai meniti efektivitas pemberantasan korupsi, semestinya eksistensi KPK didukung untuk terus menunjang lembaga penegakan hukum antikorupsi, bukan malah mengebirinya.

Keanehan Tak Terstruktur

Logika kedua yang dipakai oleh DPR untuk mengubah UU KPK adalah logika pemberantasan korupsi bukan bagian dari kerja KPK, tetapi kerja kekuasaan kehakiman. Arti asumsi ini adalah kekuasaan kehakimanlah yang berhak melakukan pemberantasan korupsi. Apakah demikian adanya? Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Apabila menganut konstitusi, dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Jika mengacu ke UUD 1945, lembaga yang melaksanakan kerja kekuasaan kehakiman hanya ada enam yakni MA, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan MK. Karena itu, KPK tidak berhak melakukan pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari penegakan hukum sebagai domain dari kekuasaan kehakiman.

Dengan logika yang sama, kepolisian tidak boleh melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaan juga tidak berhak menuntut kasus korupsi sebab penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan bagian dari pemberantasan korupsi di mana tindakan tersebut bagian dari kerja kekuasaan kehakiman.

Selain itu, kepolisian dan kejaksaan juga tidak masuk dalam kerangka Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Masih dengan logika yang sama, seharusnya MA, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, serta MK-lah yang mesti melakukan pemberantasan korupsi, bukan KPK, kepolisian, apalagi kejaksaan.

Pilihan yang rumit apabila mengikuti logika konsideran menimbang huruf c draf RUU KPK. Sebuah keanehan yang tidak terstruktur dalam lingkup penegakan hukum. Mungkin bukan logika seperti di atas yang ingin dibangun oleh DPR meski tetap sebagai logika yang ngawur tetapi logika bahwa KPK tidak berhak melakukan pemberantasan korupsi. KPK hanya berhak melakukan pencegahan.

Katakanlah jika benar logika demikian yang diinginkan, tentunya akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan masih menempatkan Ketetapan MPR sebagai produk hukum di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang/perppu.

TAP MPR Nomor VIII/MPRRI/ 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berisi perintah agar dilakukan penindakan hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi. Secara implisit TAP MPR—dan masih diberlakukan sampai sekarang menjadi dasar hukum bagi KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Karena itu, logika yang mengeluarkan (exclude) KPK, kepolisian, dan kejaksaan dari tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi sebagai bagian dari penegakan hukum adalah keliru besar. Dengan dua logika ngawur tersebut, draf RUU KPK sudah cacat materiil sejak penyusunannya. Draf RUU bertentangan dengan TAP MPR.

Supaya tidak terjerumus semakin dalam pada kekeliruan penyusunan undang-undang, alangkah lebih baik jika DPR mau mencabut usulan revisi UU KPK itu. Perlu ada perbaikan yang maksimal apabila ingin benar-benar membantu upaya pemberantasan korupsi. Kekeliruan tidak hanya di batang tubuh RUU, melainkan sudah dimulai sejak konsiderannya.

Begitu juga Presiden Joko Widodo harus bertindak aktif untuk mencabut RUU KPK agar tidak ada syak wasangka bahwa pemerintah saat ini sedang mengalihkan getah draf revisi UU KPK ke Senayan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO, pada 10 Oktober 2015

Perihal Komisioner KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Eddy OS Hiariej dalam tulisan ”Komposisi Pimpinan KPK” (Kompas, 28/7) menuliskan bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa komposisi pimpinan KPK harusnya memasukkan unsur kejaksaan dan kepolisian. Selain menyatakan ada peraturan perundangan yang dapat dibaca demikian, juga adanya kebutuhan basis pengetahuan yang kuat dari para komisioner soal teknis penyidikan dan penuntutan. Selain itu, unsur kejaksaan dan kepolisian akan membantu dalam proses relasi kelembagaan untuk suksesnya tugas KPK, semisal koordinasi dan supervisi.

Tulisan itulah yang saya analisis dalam artikel saya, ”Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian” (Kompas, 6/8), yang intinya menyatakan ketiga alasan tersebut sesungguhnya tak dapat serta-merta dibaca demikian. Sebab, peraturan perundang-undangannya tidak dapat dibaca demikian secara letterlijk, secara historis juga tak ada bukti otentik relasi kausal sumbangan komisioner dari unsur kejaksaan dan kepolisian di KPK dalam perbaikan tugas KPK di monitoring dan supervisi. Titik berat penyidikan dan penuntutan sesungguhnya berada di penyidik dan penuntut umum di KPK dan bukan pada komisioner KPK.

Pada tulisan ”Pilah Pilih Komisioner KPK” (Kompas, 26/8), tulisan saya tersebut dianalisis oleh Eddy OS Hiariej dengan mengatakan bahwa seharusnya ada penafsiran lain (yang ia sebut sebagai konsep penafsiran harmoniserende dan doktriner) yang dapat digunakan untuk memahami mengapa unsur jaksa dan polisi amat perlu dipertimbangkan dalam komposisi KPK. Lalu titik berat penyidikan dan penuntutan di KPK meski berada di penuntut umum dan penyidik tetapi perlu diketahui oleh komisioner agar dapat mengoreksi teknis yuridis penyidikan dan penuntutan, sebagaimana pesan singkat Indriyanto Seno Adji, komisioner sementara KPK.

Penjelasan di atas perlu dituliskan agar konteks silang pendapat yang terjadi antara saya dan Eddy Hiariej sesungguhnya hanya tersisa pada dua wilayah, yakni penggunaan penafsiran hukum dan pentingnya penguasaan teknis para komisioner KPK.

Penafsiran hukum

Siapa pun yang berlatar belakang yuris tentu sangat paham bahwa dalam konsep penafsiran, unit dan teknis penafsiran tidak pernah dapat dibaca tunggal. Juga jangan dilupakan, dalam konteks ini unsur subyektif penafsir sering sangat menguasai pilihan metode tafsir dan perspektif yang membangun argumentasinya.

Maka, berkembanglah konsep tafsir yang membaca peraturan secara hermeunetik, yang tak pernah bisa melepaskan teks dari konteks dan penafsir itu sendiri. Itulah yang sedang coba diingatkan oleh ajaran hermeunetik: penafsir itu adalah unsur penting yang tak dapat dipisahkan.

Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang tentunya bisa ditanyakan: mengapa harus membawa ke tafsiran harmoniserende dan doktriner serta bagaimana nasib metode tafsir lainnya? Bahkan, ketika Eddy Hiariej menggunakan kedua metode tafsir itu untuk menjelaskan pasal-pasal di UU KPK, pada hakikatnya terlihat subyektivitasnya ketika ia membawa penafsiran itu dari basis argumentasi yang ia bangun sendiri susunannya.

Dengan menggunakan tafsir harmoniserende ataupun doktriner, sesungguhnya dapat dibangun basis argumentasi yang berlawanan dengan hasil pemikiran argumentasi Eddy Hiariej. Tafsir yang menekankan harmonisasi antar-ketentuan perundang-undangan KPK sangat bisa dibaca sebaliknya: mustahil diharmoniskan karena yang terjadi harmonisasi parsial. Hanya harmonis di satu sisi dan tak harmonis di lain sisi. Harmonis untuk beberapa komisioner KPK yang berasal dari jaksa dan polisi tapi tentu tidak tepat dan tidak harmonis untuk komisioner KPK yang tidak berasal dari jaksa dan polisi.

Harmoniserende ini berdiri di basis penafsiran teks sesungguhnya. Justru itulah kelemahan terbesarnya. Karena itu, konteks pun harus dinyatakan untuk melengkapi hal tersebut. Edward McWhinney (1946), misalnya, menyatakan bahwa pilihan tafsir yang dilakukan penafsir harus dijelaskan, semisal dalam judicial review, supaya ada alasan mengapa memilih metode penafsiran tertentu dan teknik tertentu dalam melakukan penafsiran.

Penggunaan tafsir doktriner juga dapat dibaca sebaliknya. Jika dibaca dari konsep doktrin minimalisasi konflik kepentingan, hasilnya justru polisi dan jaksa harusnya diminimalisasi di KPK, mengingat kedua lembaga inilah yang akan dibersihkan dan dikuatkan oleh KPK. Atau menggunakan doktrin eksternalisasi supervisi yang mengatakan, pengendalian eksternal jauh lebih sukses dibandingkan pengendalian internal. Meletakkan KPK yang berjarak dengan kepolisian dan kejaksaan dapat membantu obyektivitas hasil penguatan.

Kemampuan teknis

Intinya, basis penafsiran sebaiknya tidak didasarkan hanya teks semata karena membuka kemungkinan bias penafsir dalam menentukan makna. Konteks jadi penting. Praktik yang terjadi di lapangan juga penting. Karena itu, saya mengingatkan dalam tulisan sebelumnya: tidak ada bukti otentik kausal adanya unsur jaksa dan polisi di pimpinan KPK yang membantu pelaksanaan tugas di KPK dan kejaksaan.

Sederhananya, ada unsur polisi dan jaksa di KPK tetap terjadi konflik Bibit-Chandra di KPK sebelumnya yang kemudian di kenal dengan ”Cicak vs Buaya”. Namun, tak ada polisi, relasi KPK dan kepolisian terbangun menarik dan baik di zaman Kepala Polri dan Kepala Bareskrim Polri sebelumnya. Hanya belakangan saja ketika mereka diganti terjadi pemburukan relasi.

Kemampuan teknis tentu bisa dipelajari dan didalami. Bahwa ada pengakuan via pesan singkat salah seorang guru besar dan pengacara yang saat ini menjadi pimpinan sementara KPK tentu tidak bisa dipakai untuk membenarkan cara pandang bahwa kemampuan teknis tak bisa dipelajari dan dipahami sehingga harus ada jaksa dan polisi untuk komisioner KPK. Privilese teknis tentu tak dapat dibenarkan untuk hal ini, dan mengherankan untuk membangun basis argumentasi dengan cara ini.

Dalam UU Kejaksaan, misalnya, syarat jadi Jaksa Agung bahkan tidak harus dari internal kejaksaan. Apakah itu berarti pesan UU mengatakan bahwa seorang Jaksa Agung tidaklah penting kapasitas teknis penyidikan dan penuntutannya?

Intinya, penguatan kapasitas teknis sangat mungkin dibutuhkan tapi tidak berarti jadi syarat mutlak. Apalagi, hal tersebut dapat dipelajari seiring waktu. Dari sinilah tulisan (boleh jadi silang pendapat) ini ingin diakhiri. Ada hal yang jauh lebih, yakni kapabilitas dan integritas calon. Oleh karena itu, rasanya tidak terlalu penting untuk memperdebatkan komposisi komisioner KPK hanya perihal jaksa dan polisi harus ada atau tidak dalam komposisi pimpinan.

Akan tetapi, pesan paling inti adalah jangan sampai Pansel KPK terjebak pada pragmatisme pemikiran bahwa adanya jaksa dan polisi akan membantu penegakan hukum antikorupsi di KPK. Penafsiran hukum dan praktik yang terjadi tak mengafirmasi itu. Rasanya, lebih penting Pansel KPK harus berpikir kuat terkait tren korupsi apa saja yang saat ini diderita republik ini dan sebaiknya apa yang diusung di komposisi KPK untuk mengakhiri dan menjinakkan tren korupsi tersebut.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 28 Agustus 2015

Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Hampir setiap pergantian komisioner pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, isu perihal komposisi komisioner KPK selalu menjadi perhatian. Bahkan, sering kali ada anggapan yang tidak tepat dengan mengatasnamakan tafsir historis (sejarah pembentukan KPK). Atau malah menggunakan penalaran yuridis, yang seakan-akan menggariskan pentingnya KPK memiliki komisioner dari unsur kepolisian dan/atau kejaksaan, termasuk urgensi adanya mereka di jajaran komisioner KPK. Suatu hal yang tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan.

Membaca UU KPK

Membaca ketentuan dan sebuah kebijakan, sangat sulit hanya mendekatinya dengan perspektif tunggal. Apalagi untuk aturan yang tak secara jelas menyebutkan secara limitatif. Artinya, ruang menafsirkan menjadi terbuka lebar. Akan halnya soal KPK, tak ada aturan sedikit pun yang menjelaskan bahwa komisioner di sana merupakan perwakilan dari berbagai tempat.

UU No 30/2001 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menyebutkan latar belakang kompetensi sebagai memiliki ijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan (Pasal 29). Dari ketentuan ini, tentunya mustahil mengartikannya sebagai alasan yuridis untuk mengatakan bahwa polisi dan jaksa sangat wajib ada dalam KPK.

Alasan yuridis lain yang lebih tidak tepat lagi adalah kutipan beberapa pihak atas Pasal 21 Ayat (5) UU KPK bahwa: ”Pimpinan KPK sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum”. Penafsiran ini berdasarkan pemikiran bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum seakan-akan menggariskan harus adanya penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan, yakni polisi dan jaksa.

Kalau pasal ini ditafsirkan secara sangat letterlijk, hasilnya akan lebih kacau lagi karena seakan-akan pimpinan KPK hanya boleh berasal dari unsur kejaksaan. Pasalnya, hanya kejaksaan yang dapat bersifat ganda, bersifat penyidik dan penuntut umum dalam perkara korupsi.

Artinya, mustahil menggunakan klausul pasal itu untuk membenarkan bahwa harus ada jaksa dan/atau polisi di KPK. Yang paling mungkin, begitu menjadi pimpinan KPK, UU memberikan kewenangan secara atributif kepada kelima komisioner KPK untuk bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum.

Dari konsep inilah mustahil membaca keseluruhan UU KPK (khususnya Pasal 39) dalam konsep bahwa penyidik perkara korupsi dan penuntut umum perkara korupsi hanya yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin bagi KPK mengangkat penyidik dan penuntut sendiri dan mendelegasikan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki oleh komisioner KPK tersebut kepada orang yang akan ditugaskan sebagai penyidik dan penuntut umum di KPK.

Inilah salah satu ”kekeliruan” yang terjadi dalam putusan salah satu sidang praperadilan tersangka korupsi yang lalu, yang mengatakan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan melakukan pengangkatan terhadap penyidik sendiri. Jika KPK tidak berwenang dengan alasan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK, maka termasuk komisioner KPK pun tak bisa disematkan status penyidik dan penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.

Artinya, tidak ada alasan yuridis yang dapat membenarkan bahwa seakan-akan harus ada polisi atau jaksa yang hadir di jajaran komisioner KPK oleh karena perintah UU.

Selain alasan yuridis, ada juga yang menggunakan alasan urgensi kapasitas dan keahlian penyidikan dan penuntutan. Sulit untuk menolak adanya urgensi kapasitas dan keahlian penyidikan dan penuntutan di KPK. Siapa pun paham itu adalah kemampuan yang sudah seharusnya dimiliki oleh KPK. Namun, hal ini juga tidak berarti komisioner KPK harus dari unsur kejaksaan dan kepolisian. Kapasitas penyidikan dan penuntutan sesungguhnya bisa dikerjakan oleh penyidik dan penuntut umum yang bekerja di KPK selaku penyidik dan penuntut umum dari unsur kejaksaan dan kepolisian.

Apalagi kalau kita lihat dari segi kiprah unsur kejaksaan dan kepolisian di komisioner KPK sebelumnya. Tanpa bermaksud menafikan kerja mereka, nyatanya tidak banyak juga yang dapat mereka lakukan dan inisiasi dalam pola relasi dan kerja hubungan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian. Jika dalam relasi saja minim, apalagi dalam konsep prestasi pemberantasan korupsi secara lebih luas, yakni termasuk koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi.

Menentukan unsur KPK

Dalam sebuah riset bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa tahun silam, tercatat bahwa problem koordinasi dan supervisi tetap saja tinggi dan ada walaupun pada zaman KPK jilid I dan II ada unsur kejaksaan dan kepolisian di dalamnya. Relasi tak rapi (atau bahkan pembangkangan) konsep koordinasi dan supervisi sesungguhnya tidak berada pada ada tidaknya unsur kejaksaan dan kepolisian. Akan tetapi, pada kemampuan membangun peraturan yang kuat dan rinci, sekaligus itikad secara kelembagaan untuk melakukannya.

Pada hakikatnya, KPK tidaklah dapat dikatakan sebagai Komisi Perwakilan Kejaksaan atau Komisi Perwakilan Kepolisian. Tak perlu ada logika perwakilan di tubuh KPK. Sesungguhnya, UU juga tidak menentukan hal itu. Oleh karena itu, yang paling penting dilakukan adalah menentukan apa yang dibutuhkan oleh KPK dalam kondisi saat ini, lalu menentukan unsur yang masuk di KPK. Dan inilah tugas panitia seleksi (pansel). Pansel KPK tidaklah dibentuk untuk hanya menjadi semacam event organizer dari sebuah proses seleksi, tetapi juga merupakan pengambil keputusan dari ”haru biru” dan kerja KPK ke depan.

Oleh karena itu, untuk pemberantasan korupsi hingga empat tahun ke depan, pansel pulalah yang harusnya menentukan corak dan model komisioner KPK apakah yang sesungguhnya dibutuhkan dalam melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi apa yang mau dikedepankan dalam empat tahun ke depan. Pansel harus memperhatikan sektor-sektor prioritas pemberantasan korupsi, dan dari situlah KPK menentukan unsur yang pas bagi komposisi KPK.

Semoga Pansel KPK tidak terjebak pada logika pragmatis bahwa karena relasi KPK dengan kepolisian/kejaksaan sedang buruk, maka harus ada orang kejaksaan dan kepolisian yang dibawa ke komisioner KPK untuk memperbaiki hal itu. Logika ini tentu sangat pragmatis.

Apalagi, seperti yang dituliskan sebelumnya, tidak ada bukti yang bisa menjelaskan hal itu. Bahkan, alih-alih menciptakan relasi yang lebih baik, malah sangat mungkin yang akan terjadi sebaliknya: justru menjadi momok yang mendomestikasi kegarangan KPK dalam bertindak.

Oleh karena itu, sekali lagi, silakan Pansel KPK menentukan sektor dan wilayah prioritas pemberantasan korupsi hingga empat tahun ke depan, lalu pilihlah orang yang pas untuk mengawal hal tersebut. Semoga tanpa embel-embel pragmatisme.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 06 Agustus 2015

123456…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY