Evaluasi Dua Tahun Kinerja KPK
dan Implikasinya bagi Sektor Sumber Daya Alam
Tepat pada tanggal 20 Desember 2021 lalu, genap sudah dua tahun, lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik sebagai pemimpin di lembaga anti rasuah tersebut. Namun alih-alih bisa menunjukkan prestasi, baik Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron justru banyak memperlihatkan kontroversi di tengah masyarakat.
Mulai dari rentetan pelanggaran etik, kepemimpinan yang dipenuhi gimmick politik, hingga terakhir pemberhentian paksa puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Alhasil, tak berlebihan rasanya jika menganggap bahwa pimpinan KPK saat ini telah banyak membawa kemunduran dan menjatuhkan marwah lembaga yang selama ini dianggap garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak heran jika sejumlah lembaga survei menunjukkan adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang cukup drastis.
Penting diingat, polemik pelemahan KPK saat ini juga tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dan DPR. Tak dapat dipungkiri, sejak akhir tahun 2019, Revisi UU KPK telah mengubah total wajah lembaga antikorupsi itu. Perlahan namun pasti, dampak perubahan regulasi itu semakin menurunkan kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Argumentasi ini setidaknya terkonfirmasi melalui Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020. Transparency International menyebutkan, baik poin maupun peringkat, Indonesia merosot tajam.
Berangkat dari hal tersebut, Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PuKAT UGM), menyusun kajian evaluasi dua tahun KPK. Tujuan utama dari evaluasi kinerja KPK ini untuk menghasilkan informasi penilaian kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, termasuk di dalamnya tentang implikasi UU KPK baru dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk pelemahannya. Setidaknya terdapat lima hal yang akan diulas dalam laporan hasil pemantauan ini.
Pertama, ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah. Pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi oleh jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan.
Pemerintah, DPR, dan para pimpinan KPK tampak semakin alergi dengan penindakan. Penting digarisbawahi, pemberantasan korupsi dalam konteks penindakan bukan tidak dilakukan sama sekali, namun pelaksanaanya masih tergolong biasa-biasa saja. Praktis tidak terlihat adanya target yang jelas dan terukur, bahkan intervensi ke area prioritas juga minim dilakukan.
Tak cukup itu, paket legislasi untuk menyokong penegak hukum juga tidak kunjung diundangkan, seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan harmonisasi UU Tipikor dengan ketentuan UNCAC. Akibatnya, upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara akan semakin sulit terlaksana. Ketiadaan orientasi politik hukum anti korupsi yang konkret sudah barang tentu menjadi penghambat agenda pemberantasan korupsi ke depan. Dengan kata lain, narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh Pemerintah dan DPR selama ini hanya ilusi semata.
Kedua, implikasi revisi UU KPK. Dampak perubahan regulasi di KPK sudah dapat dirasakan setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Substansi UU 19/2019 pada faktanya memang ditujukan untuk mengendurkan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Mulai dari merobohkan independensi kelembagaan menjadi bagian dari rumpun eksekutif, menghentikan penyidikan perkara korupsi BLBI dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun, hingga mengubah status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketiga, kinerja sektor penindakan yang semakin mengkhawatirkan. Catatan ini setidaknya dapat dilihat dari sejumlah hal, misalnya mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra serta Jaksa Pinangki S Malasari. Lalu jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang anjlok sejak dua tahun terakhir dan minimnya penanganan perkara strategis yang melibatkan penegak hukum.