Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 3
Arsip:

Berita

Diksi #5: “Novel Baswedan Mencari Keadilan, Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” (1)

Berita Tuesday, 23 June 2020

Rabu, (17/06) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #5: Novel Baswedan Mencari Keadilan “Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Kanal Pengetahuan FH UGM. Narasumber dalam diskusi ini yaitu Novel Baswedan (penyidik KPK), Kurnia Ramadhana (Peneliti ICW), Suparman Marjuki (Ketua KY 2013-2015), Sri Wijayanti Eddyono (Dosen FH UGM), Maradona (Dosen FH Universitas Airlangga) dan Yuris Rezha (Peneliti PUKAT UGM).

Novel Baswedan sebagai narasumber pertama memaparkan tanggapannya terkait dengan tuntutan jaksa dalam kasus penyiraman air keras yang dialaminya. Menurut Novel, tuntutan jaksa tersebut sangat melukai, bukan hanya dirinya secara pribadi sebagai korban, tetapi juga rasa keadilan di tengah masyarakat. Beberapa hal yang mengganjal menurut Novel diantaranya fakta yang diuraikan dalam dakwaan oleh jaksa yang menyatakan bahwa air yang disiramkan ke wajahnya adalah air aki dan mengesankan dalam dakwaan bahwa pelaku hanya terdiri dari dua orang saja. “Tidak saja dalam dakwaan, selama proses di persidangan, hakim juga memberikan pertanyaan yang mengarahkan bahwa seolah-olah air yang digunakan oleh pelaku adalah air aki, bahkan sebelum adanya pembuktian di persidangan,” terang Novel.

Fakta-fakta dan bukti-bukti yang disampaikan terkait jenis cairan yang digunakan oleh pelaku tidak dipertimbangkan oleh jaksa penuntut. Selain itu, saksi-saksi kunci yang mengetahui kronologi kejadian tersebut tidak dihadirkan dengan alasan bahwa tidak dimasukkan ke dalam berkas perkara. Lebih lanjut Novel menerangkan meskipun secara pribadi dirinya telah memaafkan pelaku dan perbuataannya, namun proses hukum harus tetap berjalan demi kepentingan penegakan hukum di Indonesia. “Kita harus menunjukkan bahwa arogansi hukum yang menghancurkan hukum, yang membuat wajah hukum sedemikian carut-marut harus dibenahi, harus diprotes dengan serius dan lugas”, ujarnya.

Penyerangan Novel adalah Pelemahan Agenda Pemberantasan Korupsi

Temuan-temuan dan catatan dari tim advokasi serta kesimpulan sementara terkait kinerja aparat hukum kemudian disampaikan oleh Kurnia Ramadhana. Ia menuturkan bahwa penyerangan terhadap Novel Baswedan bukan sekedar penyerangan individu semata tetapi juga penyerangan terhadap pemberantasan korupsi. Menurutnya, di balik para pelaku pasti ada aktor intelektual yang menjadi otak penyerangan. Pola penyerangan yang dilakukan menunjukkan bahwa kejahatan dilakukan secara terstuktur dan sistematis. Kurnia juga menerangkan jika fakta yang terjadi menunjukkan bahwa aparat penegak hukum telah gagal menuntaskan perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi.

Kurnia Ramadhana-ICW

Kritik terhadap penanganan kasus juga disampaikan oleh Suparman Marzuki. Menurutnya, penyerangan terhadap Novel Baswedan bukanlah penyerangan terhadap dirinya sebagai pribadi tetapi terkait dengan posisinya sebagai penyidik KPK. Meskipun demikian,  ia menilai berdasarkan proses yang berlangsung ada kesan bahwa penyidik sengaja mengarah pada urusan pribadi dan pengesampingkan status Novel sebagai penyidik KPK. “Hal ini merupakan suatu langkah yang keliru dan cara pandang yang salah,” terangnya.

Suparman Marzuki-Ketua KY 2013-2015

Selanjutnya, ia berpendapat bahwa proses peradilan yang berlangsung adalah suatu bentuk pengadilan yang telah disiapkan untuk menutup perkara. “Persidangan  harusnya berjalan secara fair dan objektif dalam rangka mencari kebenaran materil dalam perkara ini, tidak boleh hanya berdasarkan prasangka dan teori,” pungkasnya.

Penulis: Dhika Putri

Press Release PUKAT Korupsi FH UGM- Catatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan

Berita Sunday, 14 June 2020

  Tuntutan jaksa dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sangat janggal, tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis satu tahun penjara. Terdakwa dianggap bersalah atas perbuatannya melakukan penganiayaan tanpa disertai niat. Melihat kejanggalan tersebut, PUKAT FH UGM menyimpulkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh Jaksa mengandung beberapa permasalahan antara lain:

  1. Pernyataan Janggal Jaksa bahwa Tidak Ada Niat

Pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru. Mengenai unsur rencana terlebih dahulu setidaknya mengandung 3 (tiga) unsur, di antaranya: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang. Dalam kasus a quo, terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas.  Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman. Di sisi lain, JPU juga salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan. Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, namun tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel.

  1. Pasal yang Dikenakan Hanya Penganiayaan Biasa

Pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP, meskipun tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat. JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP. Hal ini lantaran dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan, artinya ada tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak. Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa.

  1. Jaksa sebagai Penuntut Justru Lebih Mempertimbangkan Keterangan Terdakwa

Jaksa yang seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti. Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Selain itu, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM.

  1. Tuntutan Tidak Logis dan Mencedarai Keadilan

Dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair, Jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara. Namun alih-alih mengambil pilihan itu, Jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun. Hal ini tentu saja mencederai keadilan sebab bertentangan dengan adagium hukum restitutio in integrum dimana hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat. Tuntutan yang ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan. Selain itu, dibandingkan kasus penyiraman air keras lain, tuntutan yang diajukan dalam kasus Novel tergolong sangat ringan. Dalam kasus Lamaji di Mojokerto, dakwaan JPU menggunakan alternative gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.

  1. Tidak Diungkapnya Aktor Intelektual dan Motif dalam Kasus Tersebut

Terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri. Motif tersebut tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel. Di sisi lain, Novel juga tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa. Dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.

Harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada palu Majelis Hakim. Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan di atas tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara obyektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat.

14 Juni 2020

Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi

 Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

Narahubung:

 0856 4341 8232 (Agung Nugroho)

0812 1577 5644 (Yuris Reza K)

Unduh rilis lengkapnya pada tautan di bawah ini:

Press Release Pukat UGM_ Catatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan

Diskusi Merancang Portal Baru Reforma Kebijakan SDA di Indonesia: Refleksi di Tengah Pandemi

Berita Wednesday, 20 May 2020

Sabtu (16/5) PUKAT UGM bekerja sama dengan Magister dan Doktoral Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM, BPPM Balairung UGM, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyelenggarakan diskusi bertema “Merancang Portal Baru Reforma Kebijakan SDA di Indonesia” (Refleksi di Tengah Pandemi). Hadir sebagai narasumber yakni Aryanto Nugroho (PWYP & Perwakilan Penulis Jurnal Integritas KPK),  Dr. Totok Dwi Diantoro (Dosen Hukum Lingkungan & Peneliti Pukat UGM), Siti Rakhma Mary (Ketua Manajemen Pengetahuan YLBHI), dan Dr. Agus Heruanto Hadna (Dosen Prodi Kepemimpinan & Inovasi Kebijakan, Sekolah Pascasarjana UGM).

Aryanto Nugroho menerangkan bahwa jurnal integritas edisi ke-5 ini merupakan jurnal yang mencoba merefleksikan perjalanan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) yang dilakukan oleh KPK sepanjang 10 tahun terakhir. Selama kurun waktu tersebut, GNPSDA telah berhasil mendorong atau memberikan rekomendasi perbaikan yang selama ini dianggap sebagai problematika di bidang SDA. “Manfaat dari keberadaan GNPSDA terdapat peningkatan penerimaan negara baik dari pajak maupun non-pajak, penguatan fungsi pengendalian pemerintah, serta pengurangan biaya informal dan peningkatan standar layanan publik.” terangnya.

Aryanto menambahkan dari evaluasi sektor SDA setidaknya terdapat beberapa hal yang masih menjadi catatan yakni: kesenjangan proses bisnis, pembiaran terhadap moral hazard, watak formil dan birokratisasi permasalahan, serta persoalan state-capture. Di antara hal-hal tersebut, menurutnya state capture merupakan akar permasalahan SDA saat ini Fenomena state capture tersebut terlihat secara sistematis dari pengesahan RUU Minerba dan pembahasan omnibus law. “Omnibus law sangat berkaitan dengan SDA. Setelah di-check, pasal-pasal yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan hasil evaluasi dan rekomendasi dari GNPSDA,” terangnya. Hal tersebut terlihat dari sisi kelembagaan yang ditarik ke pusat, aspek penegakan hukum dan pengawasan, serta pendektan yang digunakan lebih administratif dengan menghilangkan aspek pidananya.

Ketidakberpihakan negara terhadap lingkungan diterangkan oleh Totok Dwi Diantoro. Negara yang diharapkan dapat menjadi penengah dari masyarakat dan korporasi justru faktanya lebih condong berpihak pada korporasi. “Padahal privat sektor akan selalu menjadikan SDA sebagai alat untuk memberikan profit yang sebesar-besarnya tanpa menaruh perhatian pada masalah lingkungan dan krisis ekologi,” terangnya.

Keberpihakan terhadap korporasi bahkan juga terjadi pada tahap penegakan hukum. Hal tersebut dijelaskan oleh Siti Rakhma Mary. Para Jaksa meminta masyarakat untuk memutus kuasa dari LBH dengan iming-iming tuntutannya lebih ringan. “Ini kemudian mereka buktikan di Jambi, dimana masyarakat yang tidak mau memutuskan kuasa dari LBH mendapatkan tuntutan yang lebih tinggi,” terangnya.  Dalam beberapa kasus yang didampingi oleh YLBHI, banyak terjadi pembiaran terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh korporasi. “Polisi memberlakukan standar ganda. Ketika masyarakat melapor, polisi tidak merespon. Tetapi ketika perusahaan yang melapor,polisi dengan segera memproses.” ujarnya

Dari sisi kebijakan publik, Agus Heruanto Hadna menilai terdapat permasalahan dalam pengelolaan SDA yang memunculkan potensi korupsi. Tidak dapat dipungkiri, sektor SDA menjanjikan keuntungan yang besar.  “Itu yang kemudian pada akhirnya menciptakan rent seeking dan patronase yang ada di dalam sistem ekonomi politik di Indonesia,” Catatan lain dari Hadna yakni berkaitan dengan bad governance, kebocoran, dan inefisiensi pada manajemen SDA. Hadna menerangkan terdapat 4 cara untuk menghindari praktik korupsi, yakni: kepemimpinan politik dan komitmennya terhadap anti korupsi; kesadaran politik warga dan menguatnya civil society (citizenship); membangun kesadaran tindakan kolektif action pada tingkat civil society; dan membangun pemerintahan melalui reformasi kebijakan yang inklusif, sistem pemerintahan dan pelayanan public yang akuntabel, netralitas birokrasi, dan keterbukaan informasi.

 

Download materi:

Aryanto Nugoroho PWYP

Hadna (MDKIK UGM) – Presentasi Diskusi Reforma SDA

Rahma YLBHI_ppt diskusi UGM(2)

Totok (Pukat UGM)- Presentasi Webinar Portal Kebijakan PSDA

 

Simak Diskusi lengkapnya dalam channel youtube kami:

Diskusi Seputar Korupsi #4: Korupsi Bansos dan Korupsi dalam Keadaan Bencana

Berita Friday, 1 May 2020

Selasa (28/04) Pukat UGM kembali menghadirkan Serial Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #4: Korupsi Bansos dan Korupsi dalam Keadaan Bencana. Diskusi ini  diselenggarakan secara daring via aplikasi zoom. Tersambung sebagai narasumber adalah Emerson Yuntho (Deputy Director of Visi Integritas), Agus Sarwono (Peneliti Transparency Internasional Indonesia) dan Agung Nugroho (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi).

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Agus Sarwono yang membahas seputar korupsi dalam keadaan bencana. Menurutnya potensi korupsi dalam keadaan bencana dapat terjadi pada setiap tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan pemilihan, pelaksanaan pekerjaan hingga penyelesaian pembayaran. “Permasalahan dalam penanganan Covid-19 ini salah satunya karena informasi mengenai pengadaaan untuk penanganan Covid-19 kurang transparan,” ujarnya.

Materi kedua mengenai potensi korupsi bantuan sosial (bansos) disampaikan oleh Emerson Yuntho. Ia menuturkan bahwa modus korupsi bansos yang sering terjadi  beberapa di antaranya, yakni: pemberian tanpa pengajuan, pemberian bantuan melebihi alokasi, pemberian bantuan tanpa pertanggungjawaban (bantuan fiktif). Meskipun terdapat ancaman hukuman mati dalam UU Tipikor, hal tersebut belum pernah diterapkan di Indonesia. “Hukumannya masih tergolong ringan, sehingga kurang memberikan efek jera,” terangnya. Untuk mecegah korupsi, ia menyarankan agar pemerintah dan lembaga penegak hukum memperkuat sosialisasi tentang sanksi tersebut. Di samping itu, pengelolaan dana bansos harus transparan dan akuntabel.

Terdapat beberapa kasus yang pernah terjadi berkaitan dengan korupsi dalam keadaan bencana. Hal tersebut disampaikan oleh Agung Nugroho yang menelusuri putusan-putusan korupsi dana bencana. Beberapa modus korupsi yang digunakan, misalnya: suap, mark up, fee proyek, dan pemotongan bantuan dana rehabilitasi. “Dana bencana rentan terhadap praktik korupsi salah satunya dikarenakan pengadaannya cepat dan fleskibel, sehingga menciptakan ruang diskresi yang besar,” ujarnya.

 

Link Download:

Materi Agus Sarwono- Korupsi Bantuan Sosial

 

Diskusi selengkapnya dapat diakses melalui kanal youtube kami:

Kuliah Online Pukat dan KPK: Gratifikasi, Benturan Kepentingan, dan Korupsi

Berita Friday, 1 May 2020

Pukat UGM bekerja sama dengan Direktorat Gratifikasi, Direktorat Litbang, dan Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK pada 23 April 2020 telah mengadakan kuliah online “Gratifikasi, Benturan Kepentingan, dan Korupsi”. Kuliah online tersebut diselenggarakan melalui aplikasi zoom dengan pengajar dari perwakilan KPK dan Pukat UGM.

Materi seputar gratifikasi disampaikan oleh Sugiarto dari Direktorat Gratifikasi KPK. Ia menuturkan bahwa gratifikasi akan mempengaruhi pejabat publik serta merusak sistem dan prosedur yang telah ada. Hal ini dikarenakan gratifikasi menimbulkan hubungan istimewa antara pejabat publik dengan orang yang memberinya. Untuk itu, ia menghimbau kepada pegawai negeri maupun penyelenggara negara  untuk menolak setiap gratifikasi, “Apabila dalam kondisi tertentu tidak dapat ditolak, maka pemberian tersebut wajib dilaporkan,” terangnya.

Materi kedua tentang konflik kepentingan disampaikan oleh Wahyu Susilo dari Direktorat Litbang KPK. Ia menerangkan konflik kepentingan dapat berpengaruh terhadap kepercayaan publik. “Konflik kepentingan akan menimbulkan dilema moral yang dapat mempengaruhi pertimbangan pejabat publik dalam mengambil keputusan,” ujarnya.

Terakhir, Direktur Pukat UGM Oce Madril menerangkan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan menggunakan barbagai pendekatan. “Pemberantasan korupsi tidak hanya dengan membangun struktur dan regulasi saja, tetapi juga perlu memangun tradisi dalam pemerintahan,” terangnya.

 

Selengkapnya dapat diakses melalui kanal yutub kami:

Diskusi Seputar Korupsi (Diksi) #3: Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi

Berita Thursday, 9 April 2020

Menanggapi wacana pemberian remisi bagi narapidana korupsi, PUKAT UGM menyelenggarakan diskusi online bertema “Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi” pada 7 April 2020. Diskusi ini tidak hanya membahas seputar remisi bagi napi korupsi, tetapi juga mengupas korupsi bencana dan kehadiran Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Tersambung sebagai narasumber adalah Kurnia Ramadhana (Peneliti Indonesian Corruption Watch), Wawan Suyatmiko (Peneliti Transparency Internasional Indonesia) dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM).

Kurnia Ramadhana menerangkan, jika wacana membebaskan 300 terpidana korupsi merupakan upaya mencari celah di tengah-tengah situasi pelik Covid-19 ini. “Kami tidak menemukan adanya korelasi antara merebaknya wabah Covid-19 dengan keharusan negara membebaskan narapidana korupsi,”ujar Kurnia. Menurutnya napi korupsi hanya 1,8 % dari total narapidana yang ada dan napi tersebut mendiami sel khusus dimana setiap sel hanya dihuni oleh satu orang. Sehingga logika pembebasan napi korupsi untuk mengurangi jumlah tahanan dan mencegah merebaknya wabah Covid 19 dianggap tidak pas.

Kurnia Ramadhana-ICW

Kurnia menambahkan, meskipun wacana pemberian remisi bagi napi korupsi ditolak oleh Presiden, masyarakat tetap tidak boleh lengah. “Ada gerakan dari Pemerintah yang mencoba untuk mengganggu konstelasi gerakan antikorupsi di situasi pandemik saat ini. RUU Permasyarakatan pembahasannya terus jalan dan sangat menguntungkan bagi narapidana korupsi karena PP 99/2012 ingin dicabut,” terangnya.

Wawan Suyatmiko- TII

Selain hal tersebut, hal lain yang harus diwaspadai di tengah pandemic Covid-19 adalah potensi korupsi bencana. Wawan Suyatmiko menjelaskan jika dalam situasi seperti ini pemerintah perlu mengupayakan keterbukaan data dan informasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, dan penanganan asimetri informasi dengan seksama. Lebih lanjut Wawan menyesalkan upaya kontra-produktif yang dilakukan selama situasi pandemik ini. “Saat ini terus dibahas penyusunan regulasi yang tidak sensitif bencana, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan RUU Permasyarakatan.”ujarnya.  Padahal dalam kondisi seperti ini, masyarakat lebih mengharapkan wakil-wakil rakyat mampu merumuskan kebijakan yang dapat menanggulangi Covid-19 secara efektif dan efisien.

Zaenur Rohman- Pukat UGM

Pembahasan terakhir terkait Perppu 1/2020 diutarakan oleh Zaenur Rohman. Zaen, mengapresiasi kehadiran Perppu 1/2020. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan terutama berkaitan dengan Pasal 27. “Saya melihat Pasal 27 ini berangkat dari trauma ketika menangani krisis ekonomi 1998 dan 2008,” terangnya. Zaen lebih lanjut menerangkan jika Pasal 27 ayat (1) ini harus dibaca sepanjang tidak melawan hukum, tidak memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan juga tidak merugikan keuangan negara. Di samping itu, Zaen menuturkan jika dalam situasi seperti ini KPK dapat mengambil peran salah satunya dengan memberikan pendampingan kepada pemerintah melalui Deputi Pencegahan.

Diskusi Seputar Korupsi (Diksi) #2: Omnibus Law dan Korupsi Legislasi

Berita Wednesday, 8 April 2020

Menanggapi isu Omnibus Law yang  tengah ramai diperbincangkan, Pukat UGM mengadakan diskusi bertema Omnibus Law dan Korupsi Legislasi. Acara ini berlangsung pada Rabu (26/02) bertempat di kantor PUKAT UGM

Sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah AB Widyanta (Sosiolog UGM), Shinta Maharani (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta), Lutfy Mubarok (Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta) dan Yuris Rezha Kurniawan (Peneliti PUKAT UGM). Diskusi diawali dengan sambutan dan pengantar diskusi dari Oce Madril, Direktur Pukat UGM. Dalam pemaparannya, Oce menuturkan bahwa Omnibus Law memuat terlalu banyak pasal dan berpotensi tabrakan dengan UU lain. Dari segi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, UU ini akan sulit ditarik kembali apabila telah disahkan. “Karena masih dalam bentuk draft, saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengkritisi Omnibus Law,”ujar Oce.

Materi pertama disampaikan oleh AB Widyanta. AB menerangkan bahwa fenomena pembentukan peraturan yang tidak demokratis dan tidak transparan ini semakin tampak sejak ambisi pemerintah untuk memindahkan ibukota. Dilihat dari sudut pandang sosiologi, demokrasi selama ini dianggap sebagai penghambat pembangunan. “Sekarang praktik tersebut tidak ditutup-tutupi lagi. Peraturan sekarang merugikan rakyat dan menguntungkan market.”tuturnya.

Pada kesempatan ini, Shinta Maharani membagikan catatannya terhadap Omnibus Law. Shinta menerangkan bahwa Omnibus Law akan berdampak buruk pada kebebasan pers di Indonesia. Ia menilai campur tangan pemerintah terhadap kebebasan pers semakin besar dalam Omnibus Law. “RUU Omnibus Law mewajibkan perusahaan pers mendaftarkan diri sebagai perusahaan pers berbadan hukum. Campur tangan pemerintah ini mengancam keberadaan jurnalisme warga, media komunitas, start up media, serta pers mahasiswa.”kata Shinta

Sedangkan dampak Omnibus Law terhadap lingkungan diutarakan oleh Lutfy Mubarok. Dalam catatannya, UU ini menghapus konsep strict liability dan ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi, dan keadilan. “UU ini menghapus izin lingkungan. Sepanjang pembangunan sesuai dengan tata ruang, maka kegiatan pembangunan dapat terus berjalan,” ujarnya.

Menanggapi fenomena-fenomena di atas, Yuris Rezha memandang bahwa pembentukan UU Omnibus Law ini dapat dikaitkan dengan potensi korupsi legislasi. “Korupsi legislasi adalah korupsi yang dilakukan pada saat pembuatan kebijakan,”tuturnya. Lebih lanjut Yuris menerangkan bahwa kriteria korupsi legislasi misalnya dengan tidak adanya keterbukaan informasi dan  transparansi dalam perumusan kebijakan.  Hanya saja, secara hukum, korupsi legislasi baru dapat dikatakan sebagai sebuah korupsi manakala telah terjadi tindak pidana contohnya suap.

Mencatat 2019 dalam Sejarah: Kilas Balik Agenda Selamatkan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Berita Wednesday, 8 April 2020

Sepanjang tahun 2019, PUKAT UGM terus mengawal isu upaya sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai gejolak terus meliputi KPK yang dimulai sejak pemilihan panitia seleksi calon pimpinan KPK, pemilihan calon pimpinan KPK, hingga puncaknya pada revisi UU KPK.

PUKAT UGM telah melaksanakan beberapa kegiatan untuk mengawal isu tersebut. Tentu saja, PUKAT UGM tidak bergerak sendiri. Beberapa kegiatan merupakan hasil kerja keras bersama mahasiswa, jaringan anti korupsi, pusat studi anti korupsi se Indonesia, masyarakat sipil, dll

Kegiatan-kegiatan sepanjang tahun 2019 ini adalah ikhtiar kami untuk tetap menjaga semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan menyelematkan KPK:

  • Pernyataan Sikap Tokoh dan Masyarakat Jogja Dalam Seleksi Pimpinan KPK yang dilanjutkan dengan Aksi Coret Capim KPK Bermasalah

Kegiatan ini diinisiasi oleh Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta. Acara berlangsung pada 30 Agustus 2019 pukul 13.00 bertempat di PP Muhammadiyah dan dilanjutkan dengan longmarch aksi yang bertempat di 0 kilometer.

 

  • Konferensi Pers: Pengiriman Nota Keberatan Pusat Kajian Anti Korupsi

Belum redam isu pemilihan capim KPK, publik kembali dikejutkan dengan wacana revisi UU KPK. Sebagai respon atas kejadian tersebut, PUKAT UGM yang tergabung dalam Perwakilan 30 Pusat Kajian Hukum dan Anti Korupsi dari berbagai Perguruan Tinggi mengirimkan Nota Keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Nota Keberatan tersebut berisi pernyataan sikap menolak pembahasan RUU KPK dan segala upaya pelemahan KPK.

   

Acara ini dihadiri pula oleh Pimpinan KPK saat itu ,Agus Raharjo, dan Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Sigit Riyanto. Agus Raharjo juga menyatakan revisi UU KPK ini merupakan langkah mundur agenda pemberantasan korupsi Indonesia.

  • Aksi civitas akademika UGM menolak pelemahan KPK

Pada saat UU KPK tengah dalam tahapan pembahasan, civitas akademika UGM menggelar aksi bersama menolak Pelemahan KPK. Aksi ini dihadiri oleh civitas akademika UGM mulai dari guru besar, dosen, hingga mahasiswa.

  • Konferensi Pers: Mendesak Presiden Keluarkan Perppu

Pasca revisi UU KPK, PUKAT UGM menyatakan sikapnya dalam konferensi pers ini. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan PUKAT UGM terhadap UU 19/2019. Pertama, bahwa Presiden perlu menerbitkan Perppu. Kedua, Perppu tersebut  bertujuan untuk membatalkan revisi UU KPK dan mengembalikan pada UU KPK yang lama. Ketiga, Presiden harus berkomitmen mendukung pemberantasan korupsi dengan menjaga KPK dari segala bentuk pelemahan.

 

  • Konferensi Pers: Menjelang UU KPK, Perppu Tinggal Janji

Senin (14/10/19) atau tiga hari menjelang berlakunya UU KPK, PUKAT UGM mengadakan konferensi pers yang pada intinya menagih komitmen Presiden untuk menerbitkan Perppu. Perppu merupakan hak konstitusional Presiden. Tanpa tanda tangan dari Presiden, UU KPK akan berlaku otomatis pada 17 Oktober 2019.

Diskusi Peringatan Hari Anti Korupsi: Korupsi Mengancam HAM

Berita Saturday, 29 February 2020

Sabtu (7/12) Pukat FH UGM, BEM KM UGM dan Aliansi Masyarakat Peduli HAM (AMPUH) menyelenggarakan satu rangkaian acara dengan tema Anti Corruption and Human Rights.

Diskusi Pertama telah berlangsung di 4.1.1FH UGM dengan tema Korupsi mengancam HAM. Hadir sebagi pembicara adalah Tama S Langkung (Peneliti ICW), Oce Madril (Direktur Pukat ) dan Eko Prasetyo ( Pendiri SMI).

Tama menerangkan bahwa isu korupsi ini dekat dengan HAM. Bahkan menurutnya korupsi merupakan pelanggaran HAM. Praktek-praktek korupsi membuat masyarakat sulit mendampatkan akses pelayanan publik seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Contoh sederhana, korupsi dana e-KTP membuat masyarakat sampai saat ini ada yang belum memiliki e-KTP.

Keterkaitan antara HAM dan korupsi kembali dipertegas oleh Oce Madril. Menurutnya, korupsi tidak hanya mengancam HAM tetapi juga mengancam nilai-nilai demokrasi dan sistem politik yang saat ini berjalan. Lebih lanjut ia menuturkan bahwa saat ini ada upaya sistematis yang memberi angin segar bagi koruptor. Hal tersebut termasuk “korting” hukuman bagi koruptor, pemberian grasi serta pelemahan KPK. “Di akhir tahun 2019 ini, kita harus mempertanyakan betul apakah bangsa ini serius memberantas korupsi? Termasuk apakah bangsa ini justru sedang mengubah perspektifnya dan memandang korupsi ini sebagai kejahatan yang biasa saja?”ujar Oce.


Menanggapi kondisi seperti itu, Eko Prasetyo menyatakan pentingnya membangun budaya kritis masyarakat. Gerakan anti korupsi harus menjadi gerakan akar rumput, untuk itulah isu korupsi harus disederhanakan agar dekat dengan masyarakat. “Korupsi ini harus dipandang tidak lagi sebagai musuh bersama, melainkan harus dimaknai sebagai rasa malu bersama,” terangnya. Ia menambahkan bahwa korupsi tidak akan hilang tanpa adanya perbaikan sistem, termasuk sistem pendidikan.

Menakar KPK Jilid IV

Berita Tuesday, 22 December 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

SEJARAH telah menorehkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jilid III berakhir cukup tragis, bahkan menyedihkan. Ketuanya terpental karena perkara ‘ecek-ecek’ yang tak jelas, satu komisioner diperkarakan dengan hal yang kabur. Sisanya, dua terpenjara dengan ancaman kriminalisasi, sedangkan satu sudah berhenti setahun sebelumnya. Prestasi yang cukup banyak, hilang seketika hanya karena berhadapan dengan perkara yang penat dengan kepentingan politik. Panas setahun dihapus hujan dalam sehari.

Dalam proses ‘hujan’ tersebut, dilantiklah tiga komisioner pelaksana tugas yang mengisi jabatan pimpinan KPK hingga berakhirnya masa jabatan KPK Jilid III. Meskipun langkah Perppu No 1 Tahun 2015 itu baik, tetapi terkesan sangat dipaksakan. Dengan sengaja, Perppu mengenyampingkan batas usia 65 tahun sehingga Taufiequrachman Ruki masuk. Entah untuk alasan apa, tetapi yang jelas sulit diterima dengan logika konstitusi yang mengatakan harus ada hal ihwal kegentingan memaksa, bahwa Perppu mengisi jabatan kosong, tentu memenuhi klausula ke gentingan memaksa. Namun, apakah umur 65 tahun harus dikesampingkan, sulit diterima logika hukumnya. Apakah sudah tidak ada lagi penduduk Indonesia yang berusia kurang dari 65 tahun bisa dimasukkan menjadi Plt Komisioner KPK selain Ruki?

Apa pun itu, Dewan Perwa kilan Rakyat (DPR) menerima secara aklamasi Perppu No 1 Tahun 2015 menjadi UU No 10 Tahun 2015. Kemudian, dimulailah persepsi bahwa terjadi pelemahan di KPK. Berbagai pernyataan, cara pandang, posisi, bahkan tindakan yang tak tepat diperlihatkan oleh pemimpin baru di KPK. Di situlah pembacaan publik, semisal oleh M Busyro Muqoddas yang menduga bahwa ada proses ‘titipan’ Plt KPK yang membantu pelemahan dari dalam yang melengkapi serangan dari luar.

Mudah untuk menilai bahwa kondisi KPK dalam satu terakhir masa jabatan Jilid III memang cukup menyedihkan. Di tengah kondisi itu, tentu menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kita semua ialah apakah KPK Jilid IV mampu membalik kembali arus arah yang kelihatannya sudah berbelok?

KPK Jilid IV

Komposisi KPK Jilid IV ini menawarkan kemungkinan yang agak beragam. Dari pilihan nama oleh Pansel yang dikirim ke DPR, sebenarnya ada tiga skenario komposisi yang mungkin, yakni ‘komposisi lemah, komposisi moderat’, dan
‘komposisi ideal’. Hasil pilihan DPR yang sudah di umumkan sebenarnya memperlihatkan komposisi yang tidak juga harus ditangisi (komposisi lemah),
tetapi mustahil untuk dicintai (komposisi ideal). Komposisinya terlihat moderat yang punya potensi besar menjadi melemah dan masih ada potensi menjadi ideal.

Jika dilihat dari latar belakang pendapat dan analisis yang mereka sampaikan dalam proses tim seleksi serta fit and proper test di DPR, terlihat jauh dari pas memahami dan menggedor pemberantasan korupsi. Mayoritas yang terpilih ialah orang-orang yang masih menganggap bahwa KPK sejatinya ialah lebih bercorak pencegahan. Ada juga di antara mereka yang tidak mendukung adanya penyidik independen di KPK. Ada juga di antara mereka yang sering berpandangan aneh dalam beberapa putusan perkara korupsi. Tentu sesuatu yang sangat mengkhawatirkan dan membuat kemungkinan penegakan hukum antikorupsi kuat akan terhalangi.

Akan tetapi, jangan juga dilupakan bahwa di antara yang terpilih ada yang sangat kuat analisis membangun konsep melawan problem pengadaan barang dan jasa yang masih sangat banyak dalam perkara korupsi di Indonesia, juga orang yang membangun sistem pengawasan dengan basis masyarakat sipil. Artinya, masih tetap ada harapan kuat pada KPK dengan tentunya beberapa prasyarat.

Pertama, menggunakan model kolegial kolektif yang menjadi ciri dari lembaga ne gara independen seperti KPK. Kolegial kolektif menjadikan pengambilan keputusan tidaklah diambil dalam tendensi kepentingan pribadi tetapi harus kepentingan kolektif. Dalam hal inilah, maka akan ada saling mengawasi antarkomisioner KPK. Jika ada satu komisioner yang berperilaku dan berpendapat ‘aneh’, sesungguhnya ada empat lainnya yang akan mengontrol kualitas tersebut. Artinya, sepanjang kolegial kolektif dikuatkan, pengawasan kualitas akan tetap terjaga.

Kedua, meski komisioner KPK tentu saja ialah sangat penting di KPK, akan tetapi masih ada unsur lain yang sangat menentukan ‘haru-biru’ KPK. Ada Dewan Penasihat, ada pegawai KPK dengan berbagai unsur yang ada di dalamnya. Sepanjang komisioner KPK tidak bertindak otoriter, peran unsur lain di KPK akan nampak dan dapat berperan serta ikut mewarnai KPK. Kerja KPK pun kemudian akan bersangkutan dengan kerja kolektif tersebut.

Ketiga, satu keunggulan yang ada dalam komposisi yang tak ideal ini sebenarnya ialah mereka relatif belum memiliki persoalan menonjol yang bisa disandera dan diganggu demi kepentingan tertentu. Bayangkan saja jika Johan Budi yang terpilih, meski sangat ideal untuk digunakan melanjutkan kerja KPK secara berkesinambungan karena merupakan orang lama. Akan tetapi, Johan Budi yang memiliki laporan di kepolisian akan sangat mudah untuk diancam dan dikendalikan dengan ber bagai trik kriminalisasi.

Keempat, tentu saja prasyarat untuk melakukan upaya cepat menyesuaikan dengan ritme KPK. Tidak satu pun komisioner ini yang merupakan orang dalam KPK. Artinya, keberhasilan mereka akan sangat bergantung pada seberapa cepat mereka melakukan konsolidasi dan penyesuaian. Jika cepat, jelas akan menarik. Jika lambat, justru akan menahan laju pemberantasan korupsi.

Harapan tetap disemai

Tentunya, tak ada yang benar-benar bisa menjamin apa yang mungkin dan akan terjadi dalam KPK Jilid IV ini. Komposisi yang tak terlalu kuat menawarkan efek menggembirakan ini tetap saja memiliki peluang untuk lebih baik. Orang bisa
silih berganti dengan berbagai kemampuan dan pandangannya. Akan tetapi, KPK tetaplah lembaga yang penting untuk dikuatkan. Jika sistem negara tetap mendukung pemberantasan korupsi secara kuat, KPK akan tetap berjalan damai
tanpa gangguan berarti di UU KPK.

Namun, jika KPK dengan seideal apa pun komposisi komisionernya, tapi tak mendapat dukungan political will negara, tetap akan mengalami kesulitan untuk berhasil. Mengharap tetap menjadi penting. Di situlah peran publik tetap menjadi penting untuk ikut mengawal negara dalam menentukan political will-nya dan mengawal KPK dalam kerja-kerjanya.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 19 Desember 2015

12345…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY