Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 7
Pos oleh :

pukat

Si Tukang Peras Anggaran

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

DPR sekali lagi digoyang isu tak sedap. Ada anggotanya yang diduga sebagai oknum pemeras badan usaha milik negara.
Awalnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/ IX/2012 perihal Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Hal yang sangat jelas menginginkan dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan pengelolaan uang negara.
Tak lama berselang, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyerukan agar direksi BUMN tidak ”main mata” dengan anggota DPR. Seperti efek domino, setelah surat edaran Seskab serta seruan Menteri BUMN, inisial nama politisi Senayan yang disangka sering memeras BUMN beredar melalui pesan berantai.
Beberapa anggota DPR yang kebetulan berinisial nama sama dengan isi SMS berantai itu kebakaran jenggot. Mereka meminta Dahlan Iskan menjelaskan dengan terang siapa si pemilik inisial. Badan Kehormatan DPR juga berencana memanggil Menteri BUMN terkait desas-desus si anggota dewan pemeras.
Sebetulnya tak sulit meramal maujudnya tukang peras dari Senayan, khususnya dalam pembahasan anggaran. Mereka eksis. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) mungkin bisa menjelaskan kehadiran si tukang peras. Juga bisa mengiaskan bagaimana pemerasan berlangsung.
Salah satu hasil pemeriksaan KPK menyebut ada simbol dan warna tertentu dalam pembahasan anggaran untuk pengembangan daerah. Partai politik yang disebut dalam inisial, minus Partai Gerindra, semua masuk dalam simbol dan warna pembahasan anggaran DPID. Wa Ode Nurhayati, terdakwa yang sudah dihukum dalam kasus itu, seperti mengonfirmasi simbol dan warna dimaksud. Dia menyatakan dalam eksepsinya, semua daerah calon penerima dana sudah ditentukan besaran potongannya.
Namun, menyangka oknum si tukang peras hanya ada di DPR sepertinya tak adil. Pemerintah patut dicurigai pula. Pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, DPR dan pemerintah.
Pemerasan terjadi kemungkinan karena tiga hal. Pertama, syahwat korup lembaga perwakilan membuncah setiap dimulai bahasan soal duit.
Kedua, pemerintah sendiri yang menyediakan diri, membuka jalur korupsi. Kalau benar-benar dari dulu diperas, kenapa tidak memboikot?
Ketiga, DPR dan pemerintah sama korupnya. Korupsi dihasilkan dari pertukaran mandat antara pemegang politik dan pemegang kekuasaan administratif. Kekuasaan dan pengaruh mereka diturunkan dalam kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan (John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy).
Katakanlah info yang sedang beredar adalah perilaku korup para anggota dewan, tetapi juga tak boleh dilupakan pemerintah juga kerap berkorupsi. Bahkan, menyediakan diri agar disuap. Kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang bisa jadi tamsilnya.
Langkah Pembersihan
Artinya, kalau mau membersihkan kotoran korupsi, mengusir si tukang peras anggaran, DPR dan pemerintah, harus segera dibersihkan.
Langkah pertama, Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam waktu dekat harus menjelaskan kepada publik siapa si empunya inisial itu. Kalaupun tidak, memberikan keterangan ke penegak hukum adalah seminimal-minimalnya penjelasan. Namun, agaknya pilihan untuk menjelaskan kepada masyarakat lebih cocok diambil mengingat keterangan itu akan jadi pertimbangan bagi rakyat untuk tidak salah pilih di pemilihan umum. Sekaligus sebagai vonis politik bagi partai nakal pelindung si tukang peras.
Kemudian, DPR dan partai politik tidak boleh tutup mata. Jika nama terang sudah muncul, sanksi tegas harus diambil. Memberhentikan sementara merupakan cara konkret untuk memudahkan pemeriksaan. Pengalaman pemberhentian Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan anggota DPR lain yang lambat merupakan contoh buruk tidak tegasnya sikap pimpinan DPR ataupun petinggi partai politik.
AF Pollard menyinggung sejarah lembaga perwakilan dalam karyanya, The Evolution of Parliament (1926). Bahwa, lembaga perwakilan bisa menjadi the preventive of revolution as well as the promoter of reform. Ini saat yang tepat bagi DPR menunjukkan sejatinya lembaga perwakilan, jadi inisiator perubahan republik ke arah lebih baik. Jika senoktah noda anggota bermasalah tak dibersihkan, tak diberi sanksi, DPR akan cenderung mengarah ke institusi gagal.
Sikap tegas DPR dan partai politik mesti diimbangi dengan sikap pemerintah. Presiden juga perlu terus konsisten mendorong pemberantasan korupsi di internal pemerintah. Dalam hal ini, relevan membicarakan pengubahan surat edaran Sekretaris Kabinet dengan meningkatkannya menjadi peraturan pemerintah. Setidaknya, baju hukum peraturan pemerintah akan memiliki kekuatan hukum lebih dari sekadar surat edaran.
Terakhir, sapu koruptor ada di tangan penegak hukum. Institusi hukum pemberantas korupsi tidak boleh terjebak dalam intervensi kekuasaan politik. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan politik tidak boleh mengobok-obok kinerja institusi hukum. Termasuk pada bagian ini, koordinasi antarpenegak hukum dan menghindari cekcok antarpenegak hukum menjadi ”rukun iman” pemberantasan korupsi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 03 November 2012

BPK Menghalangi Hambalang?

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

SETIAP kasus korupsi yang melibatkan petinggi partai politik hampir selalu diikuti tendensi dan berbagai jenis pertarungan yang mengiringi penanganan perkara tersebut. Sekadar mengingatkan, apa yang terjadi di kasus-kasus yang melibatkan oknum partai biasanya menimbulkan turbulensi tertentu dalam penanganannya. Karena itu, seakan menjadi rumusan standar bahwa perkara korupsi dengan tendensi politik sering akan berhadapan dengan upaya memolitisasi penegakan hukum.

Seperti yang terkini di kasus Hambalang. Pengakuan salah seorang petingi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan ada pihak yang mengintervensi kerja BPK dalam melakukan audit investigasi proyek Hambalang. Dalam laporan tersebut, nama Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan sejumlah perusahaan kontraktor tidak dinyatakan terlibat. Padahal, dalam pemeriksaan awal yang dilakukan BPK, terdapat sejumlah bukti keterlibatan Andi dan sejumlah perusahaan kontraktor tersebut dalam proyek Hambalang. Perusahaanperusahaan yang diduga terlibat dalam proyek Hambalang antara lain PT Dutasari Citralaras dan PT Adhi Karya. Di PT Dutasari Citralaras, istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah menjadi komisaris.

Pernyataan itu sontak menjadi pembi caraan publik. Pernyataan intervensi tersebut menjadi semakin aktual ke tika diikuti beredarnya laporan hasil pemeriksaan kasus Hambalang memang ti dak terdapat nama-nama yang telah diindikasikan salah seorang anggota BPK tersebut. Potret itu seakan-akan mengafirmasi pernyataan sang anggota BPK. Hal itu kemudian secara resmi dibantah BPK dengan menyatakan terjadi `keseleo lidah’ dalam menyebutkan intervensi.

Bahayanya ialah dengan seketika, publik dikaburkan dengan cita-cita penegakan hukum di kasus Ham balang. Yang terjadi seakan-akan bahwa sudah terjadi `kongkalikong’ yang menjadikan proses penegakan hukum di kasus Hambalang telah dimodifikasi. Pernyataan `keseleo lidah’ tentunya menjadi sangat dangkal untuk dijadikan pemurni bagi opini publik yang sudah telanjur terbentuk.

Karena itu, entah benar entah tidak, pernyataan tersebut telah terlanjut membentuk beberapa wilayah yang harus dianalisis, sekaligus diverifikasi, agar tidak membunuh kepercayaan publik akan penegakan hukum di kasus Hambalang.

Pertama, yang paling penting tentu saja ialah penjelasan mendetail perihal makna intervensi yang ada. Jika ada anggota BPK merasa diintervensi dan pada saat yang sama ada yang merasa tidak ada intervensi, tentu harus diklarifikasikan ke publik.

Apalagi secara proses, semua keputusan BPK dikerjakan secara kolektif dan dibahas bersama di antara semua anggota BPK. Karena itu, paling tidak harus disebutkan makna sebenarnya dari intervensi tersebut. `Keseleo lidah’ terasa terlalu meremehkan kecerdasan publik, termasuk kecerdasan anggota BPK yang dicap keseleo lidah dengan mengatakan ada intervensi. Makna ada intervensi dengan pemeriksaan yang benar tanpa intervensi tentunya berseberangan diametral. Dalam potret yang berseberangan diametral tersebut, selain berpeluang menghalangi penegakan hukum kasus Hambalang, ada pertaruhan atas kredibilitas BPK.

Baik masa depan kasus Hambalang maupun kredibilitas BPK memiliki `harga’ yang sangat tinggi untuk dipertaruhkan. Karena itu, jika BPK memilih untuk `berdiam’ atau sekadar mengumumkan keseleo lidah, tentu menjadi semacam pertaruhan dengan harga mahal tersebut sangat dikhawatirkan tidak akan mampu dibayar. Apa yang akan terjadi pada masa depan kasus Hambalang yang laporannya sudah dianggap termodifikasi? Siapa yang masih bisa memercayai BPK dengan rezim ketertutupan soal intervensi?

Penjelasan mendetail itu menjadi sangat perlu mengingat intervensi politik memang sangat mungkin untuk lembaga semisal BPK yang memang rentan dengan berbagai kepentingan politik. Secara keanggotaan, kedekatan proses pemilihan anggota BPK dengan preferensi politik ialah hal yang menjadi faktor mustahil untuk dieliminasi begitu saja. Kolaborasi DPR dengan usulan DPD untuk keanggotaan BPK menjadi sangat mungkin berbau `politis’. Faktor yang ketika disandingkan dengan kepentingan partai-partai menjadi sangat mungkin tersentuh oleh intervensi secara sengaja maupun tidak sengaja. Faktor-faktor yang ketika terus dikumpulkan bisa semakin mengakumulasi kecurigaan adanya intervensi.

Karena itu, gerak dan langkah klarifikasi dan verifikasi BPK menjadi penting karena begitu banyak yang akan dipertaruhkan oleh BPK. Paling tidak, BPK bisa datang dengan penjelasan resmi soal pernyataan intervensi yang dihadiri oleh yang memberikan pernyataan dan pada saat yang sama ada tindakan untuk penegasan yang dilakukan atas pernyataan tersebut.

Jika pernyataan intervensi memang benar, BPK harus menyebutkan wilayah mana yang diintervensi dan apa yang telah dilakukan untuk menutup lubang yang tercipta karena intervensi. Jika pernyataan intervensi memang tidak benar, harusnya diikuti dengan sanksi terhadap pemberi pernyataan yang telah telanjur membawa BPK ke arah `pertaruhan’ dengan harga yang kelewatan mahal. Selama hal itu tidak dilakukan, kalkulasi pertaruhan atas nama BPK dan kasus Hambalang akan terus berjalan dan sangat berpotensi merugikan masa depan pemberantasan korupsi yang diinginkan oleh negeri ini.

Kedua, BPK mau tidak mau terpaksa harus memperbaiki beberapa hal yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan yang akan diserahkan pada 31 Oktober 2012 dan bertepatan dengan masa reses tentu akan sangat dinantikan tidak hanya oleh publik, tetapi juga oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika memang laporan nantinya akan diserahkan, tentunya akan menjadi menarik untuk membandingkan draft audit yang ada di 1 Oktober 2012 dengan laporan hasil pemeriksaan 31 Oktober 2012. Pun ketika draft dan laporannya selaras, tetap akan menimbulkan pertanyaan. Begitu juga ketika ada ketidaksinkronan di antara kedua nya, begitu banyak pertanyaan akan tetap dimunculkan.

Artinya, perbaikan rasio laporan menjadi penting untuk ikut menjelaskan keselarasan draft laporan dengan hasil akhirnya. Maupun juga penjelasan yang memadai ketika ada pergeseran hasil antara draft dan laporannya. Format yang kemudian menjelaskan secara detail mengenai teknis pekerjaan auditing yang menyebabkannya selaras, maupun yang menyebabkannya berbeda, karena pernyataan intervensi telah memperburuk kondisi keterkaitan antara draft-nya dan laporan akhirnya. Rasio yang pas dan benar harus ada untuk menjelaskannya.

Ketiga, kembali berharap pada kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memang ditakdirkan untuk menjaga asa masa depan pemberantasan korupsi tetap ada. Lagi pula harus diingat, laporan BPK ialah format indikasi yang belum dapat dibaca sebagai penjelasan pertanggungjawaban hukum antikorupsi atas aktor yang disebutkan di dalamnya. KPK tentu tidak boleh terpengaruh dengan substansi laporan BPK. Artinya, arah penuntasan kasus Hambalang tidak boleh diselaraskan dengan laporan BPK an sich.

Karena itu, meskipun laporan BPK telah ditengarai terkontaminasi atau termodifikasi oleh kepentingan politik, tidak boleh dijadikan alasan bahwa kasus Hambalang tidak selesai dengan baik. Langkah dan kemampuan KPK untuk menyelidiki kasus Hambalang harus mampu menjadi purifikasi atas aroma publik yang sudah dikotori oleh adanya pernyataan intervensi. KPK punya mandat kuat dari negara dan masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi apa pun, apalagi kasus korupsi yang memiliki tingkat tendensi politik tinggi sehingga berpeluang mengaburkan cita-cita pemberantasan korupsi.

Secara keseluruhan, BPK memang harus bekerja ekstra saat ini untuk membuktikan posisi pernyataan intervensi. Kealpaan menjelaskan akan menjadi jalan termudah untuk merusak kredibilitas BPK, termasuk kemungkinan tuduhan bahwa BPK-lah yang menghalangi kasus Hambalang. Selain itu, harapan memang harus dikirimkan ke KPK. Kerja KPK akan menentukan purifikasi atas intervensi. Lagi-lagi karena kita semua punya harapan besar akan pemberantasan korupsi yang baik untuk menyelesaikan berbagai kasus tanpa halangan, termasuk kasus Hambalang.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 29 Oktober 2012

Cara Menghargai PNS Bersih

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

“Apakah sudah tak ada PNS bersih untuk mengisi kursi kepala dinas yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi?”

SEPERTINYA ada yang miring dengan penegakan hukum di republik ini. Tak hanya penegakan hukum dalam arti menegakkan hukum pidana tapi juga penegakan hukum dalam ranah hukum administrasi. Bagaimana mungkin seorang atasan keliru dan fatal membaca aturan yang membuat banyak orang mempertanyakan maksudnya.

Adalah Azirwan, terpidana kasus korupsi, yang terbukti menyuap anggota DPR (waktu itu) Al-Amin Nasution dalam alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan Sumatra tahun 2008. Saat itu Azirwan menjabat Sekda Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan, dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.

Setelah bebas, Azirwan dipromosikan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Terkait sorotan banyak pihak, Azirman akhirnya memilih mundur (Kompas, 23/10/12). Sehari sebelumnya, Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan,’’ “Dia (Azirwan) mundur secara sukarela.”

Dengan pengunduran pejabat itu, saat ini masih ada 8 bekas terpidana korupsi yang menjabat kepala dinas di Pemprov Kepulauan Riau. Terkait Azirwan, sebelumnya Gubernur HM Sani mengatakan, Azirwan sosok yang memiliki kemampuan mengelola Dinas Kelautan dan Perikanan. Karo humas pemprov Riono menambahkan Azirwan dinilai berperilaku baik dan berprestasi oleh pimpinan.

Apakah pertimbangan kompetensi, berperilaku baik, dan berprestasi yang dimiliki Azirwan, bekas koruptor, menjadi alasan pembenar untuk memberinya kedudukan baru di struktur pemda? Apakah pemberian kedudukan itu tidak melanggar hukum? Apakah sudah tak ada PNS bersih yang mampu mengisi kursi kepala dinas, yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi?

Sakiti PNS Bersih

Ketentuan hukum yang mengatur PNS, salah satunya adalah UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Perihal pemberhentian PNS diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 43 Tahun 1999. Pasal 23 terdiri atas lima ayat yang bernorma pilihan, wajib bersyarat, dan/ atau wajib. Sifat pilihan tertera dalam Ayat (2), (3), dan (4). Adapun Ayat (1) dan (5) bersifat wajib.

Tampaknya Gubernur Provinsi Kepulauan Riau membaca bagian pasal yang bersifat pilihan. Transkrip Pasal 23 Ayat (3) Huruf b UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya kurang dari 4 tahun.’’

Norma Pasal 23 Ayat (3) Huruf b memang bersifat pilihan, sekaligus memberikan diskresi kepada kepala daerah untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan PNS di lingkungannya. Apabila misalnya, gubernur merasa putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada pegawainya itu tidak memengaruhi kompetensi, perilaku, atau prestasi si pegawai, gubernur dapat mempersilakan anak buahnya untuk tetap bekerja. Bahkan gubernur memiliki hak menaikkan jabatan.

Namun, sepertinya norma pasal yang bersifat wajib kemungkinan tidak dibaca, atau bahkan tidak diindahkan oleh gubernur beserta semua ahli hukumnya. Pasal 23 Ayat (5) Huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999 menyebutkan,’’ PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan.’’

Ketentuan Pasal 23 Ayat (5) Huruf c bersifat wajib, artinya tak ada tawar-menawar. Ketika PNS melakukan kejahatan yang memiliki hubungan dengan jabatan maka kepala daerah harus memberhentikannya secara tidak hormat. Pemberhentian tipe ini sampai pada si oknum pegawai tidak berhak atas uang pensiun. Norma ini sesuai dengan aturan hukum lain yang mengatur mengenai pemberhentian PNS, semisal PP Nomor 32 Tahun 1979.

Pasal 9 Huruf a PP Nomor 32 Tahun 1979 mengatur hal yang sama dengan Pasal 23 Ayat (5) huruf c UU Nomor 43 Tahun 1999. Pegawai negeri sipil harus diberhentikan secara tidak hormat karena melakukan kejahatan jabatan atau kejahatan yang ada kaitannya dengan jabatan.

Artinya, putusan Azirwan yang menyuap Al-Amin Nasution mestinya dibaca bahwa ia melakukan kejahatan karena jabatannya. Karena itu, pengangkatannya saat itu bertentangan dengan hukum sehingga secara hukum administrasi pengangkatan tersebut juga bertentangan dengan hukum.

Selain bertentangan dengan hukum, pengangkatan Azirwan rasa-rasanya menyakiti PNS yang masih bersih. Mereka yang meniti karier melalui jalan lurus pasti merasa tidak dihargai. Hal ini berarti dari sudut pandang kemanusiaan, pemerintah menancapkan ketidakadilan secara nyata.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 25 Oktober 2012

Polarisasi UU KPK

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

MALANG betul nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah gebrakannya membersihkan korupsi di Mabes Polri mendapat ganjalan, lembaga antirasuah itu kembali menghadapi sandungan di Senayan. Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002, aturan hukum organik komisi itu, akan diubah.

Komisi III DPR berencana merevisi regulasi itu ketika lembaga antikorupsi tersebut sedang gencar melancarkan penegakan hukum. Awalnya, seperti ada kor di parlemen bahwa beberapa ketentuan dalam regulasi itu mutlak harus diubah. Ketentuan yang paling menonjol akan direvisi adalah mengenai hak penyadapan dan penuntutan.

Namun entah kenapa, sikap satu kata tersebut belakangan ini berubah, sebagaimana juga diberitakan harian ini, Kamis kemarin. Beberapa wakil rakyat yang mewakili fraksi menyatakan tidak mendukung. Bahkan, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Hendrawan Supratikno berpendapat bahwa draf RUU KPK adalah siluman karena belum pernah melalui sidang pleno di Komisi III (SM, 02/10/12).

Sepertinya, mengutip ’’Tajuk Rencana’’ harian ini edisi 2 Oktober lalu, telah terjadi polarisasi di tubuh parlemen. Sikap berseberangan beberapa wakil rakyat tersebut sangat berbeda dari kesimpulan rapat Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, yang dalam penyampaian pandangan umum semua fraksi menyatakan setuju terhadap rencana revisi UU KPK. Kalau memang benar ada polarisasi sikap terkait dengan rencana revisi regulasi tersebut, mengingat kecenderungan sikap partai politik bisa berubah sewaktu-waktu, apakah polarisasi itu disebabkan oleh desakan publik?

Landasan filosofis pembentukan KPK mengatakan pemberantasan korupsi harus ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Hal itu mengingat korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dalam melaksanakan tugas, KPK akan menyasar lembaga negara atau lembaga pemerintah apapun yang diduga menjadi sarang korupsi, tidak terkecuali DPR.

Tentu tugas KPK ini bukan tanpa halangan. Misalnya, DPR yang kerap disasar KPK, mencoba melawan dan balas dendam. Tahun 2010, parlemen pernah mengancam memotong anggaran KPK karena dianggap gagal memeriksa kasus Bank Century. Sekarang parlemen berencana mengamputasi kewenangan komisi antikorupsi itu. Perlawanan yang dilakukan DPR itu tercatat dengan tinta merah dalam sejarah pemberantasan korupsi.

Nilai Jual

Jika dalam rencana revisi UU KPK, ketika sebelumnya (3 Juli 2012) DPR berucap dengan nada menyetujui, tetapi belakangan ini mulai terbentuk polarisasi sikap, sepertinya ada yang aneh. Jangan-jangan ada siasat di balik itu. Polarisasi sikap tersebut kemungkinan besar tidak didorong oleh tekanan publik, tetapi oleh sesuatu yang lain. Saya menduga perubahan sikap beberapa fraksi di Komisi III terkait rencana revisi UU KPK, salah satunya disebabkan oleh kemerosotan nilai jual partai politik yang kini dominan di mata masyarakat pemilih. Adalah hasil Pilkada DKI Jakarta 2012 yang menjadi pemicu.

Sebagaimana kita ketahui, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung oleh Partai Demokrat (32 kursi), PKS (18), Partai Golkar (7), PPP (7), PAN (4), PDS (4), Partai Hanura (4), dan PKB (1 kursi) dengan total 77 kursi di DPRD DKI Jakarta, dikalahkan oleh duet Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) yang ’’cukup’’ didukung PDIP (11) dan Partai Gerindra (6) dengan ’’hanya’’ 17 kursi.

Dukungan Partai Demokrat, PKS, dan Golkar terhadap Fauzi-Nachrowi rontok dihantam pilihan massa pendukungnya yang kemungkinan besar beralih ke Jokowi-Ahok. Perintah petinggi parpol agar semua anggota, kader, simpatisan, dan massa pendukung partai memilih pasangan yang didukung oleh keputusan partai, ternyata tidak berlaku maksimal, atau bahkan tidak digubris. Kemembelotan massa pendukung partai dari garis parpol tampaknya menjadi pelajaran sangat berharga bagi petinggi partai agar tidak lagi membuat kesalahan.

Meski kurang representatif dijadikan sampel, setidaknya Pilgub DKI Jakarta menjadi miniatur politik bagi partai dalam menghitung lumbung suara dan memperbaiki citra partai.

Dalam waktu relatif singkat (dua tahun), pilihan untuk mengubah sikap dengan menjaring kembali suara pemilih melalui kebijakan yang populis, yakni mendukung penolakan perubahan UU KPK, menjadi pilihan yang cukup rasional. Jika dugaan saya ini benar, berarti polarisasi sikap di DPR hanyalah lips service semata.
Dalam waktu tertentu, revisi UU KPK akan diketok dengan melahirkan cacat kewenangan KPK. Karena dalam politik, urusannya adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Semoga dugaan saya itu keliru.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 05 Oktober 2012

Langkah Keliru Polri

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

POLRI ngotot untuk menyidik dugaan kasus pengadaan alat simulasi kemudi untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM), meski kasus ini sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Polri merasa lebih berwenang menyidik ketimbang KPK karena menganggap lebih dulu memeriksa. Apabila KPK tetap memeriksa kasus itu, Polri mengancam memolisikannya. Polri meminta menyerahkan beberapa dokumen barang bukti yang sebelumnya dibawa KPK setelah menggeledah markas Korps Lalu Lintas (Korlantas). Jika KPK menolak, Polri akan menggunakan Pasal 21 KUHAPuntuk menjeratnya (SM, 04/08/12).

Polri yakin langkahnya mengancam KPK dengan menggunakan Pasal 21 KUHAP sudah benar. Namun, apakah keyakinan langkah itu tepat? Pasal 21 KUHAPterdiri atas 5 ayat. Setelah membaca, akan ada banyak skema yang digunakan Polri dalam menjerat KPK. Sebagai ilustrasi, saya memilih dua skema penerapan pasal yang kemungkinan dipakai Polri. Pertama; Polri akan menggunakan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang ketentuannya berbunyi, ’’Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana’’.

Dengan menggunakan pendekatan tafsir gramatikal didapatkan bahwa Pasal 21 Ayat (1) KUHAP memuat tiga rumusan. Pertama; penahanan atau penahanan lanjutan dikenakan kepada tersangka atau terdakwa. Kedua; ada bukti yang cukup terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Ketiga; terdapat tiga klausul keadaan, yakni tersangka atau terdakwa melarikan diri; merusak atau menghilangkan barang bukti; dan/atau akan mengulangi tindak pidana. Agaknya skema Pasal 21 Ayat (1) KUHAP akan susah diterapkan sebab tiga rumusan dalam pasal itu sama sekali tidak ada di sisi KPK.

Lembaga antikorupsi tersebut bukan dalam kapasitas sebagai tersangka atau terdakwa. Kemudian, belum ada bukti permulaan yang cukup yang bisa digunakan sebagai dalih bahwa KPK melakukan tindak pidana. Terakhir, KPK juga tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan/ atau melakukan tindak pidana sama. Pasalnya, memang tidak ada tindak pidana yang dilakukan KPK untuk memenuhi rumusan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Pendek kata, Polri akan sangat kesulitan menjerat KPK.

Susah Diterapkan Skema kedua yang saya pilih adalah dengan menerapkan Pasal 21 Ayat (4) Huruf b KUHAP yang salah satunya memuat ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan bunyi sebagai berikut, ’’Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 900.’’

Pasal 372 KUHP setidaknya memuat empat rumusan. Pertama; barang siapa. Kedua; melawan hukum dengan sengaja. Ketiga; memiliki barang sebagian atau seluruhnya yang kepunyaan orang lain. Keempat; barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

Sepertinya skema ini juga tetap susah diterapkan. Meski rumusan pertama dan keempat dari pasal 372 KUHP mudah terpenuhi, rumusan kedua dan ketiga sulit menemukan tempatnya. Dalam menggeledah kantor Korlantas, KPK tidak sedang melawan hukum. KPK yang diatur dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab memberantas korupsi. Penggeledahan adalah bagian dari tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan tersebut.

Lagi pula dokumen yang dibawa KPK dari markas Korlantas tidak akan dimiliki KPK. Beberapa dokumen tersebut hanya digunakan untuk membuat terang tindak pidana korupsi dan menyusun pembuktian. Ketika proses peradilan kasus korupsi sudah selesai, dan dengan perintah pengadilan, KPK akan mengembalikannya kepada pemilik dokumen sebelumnya.

Dengan dua skema tersebut, jika Polri tetap ngotot memolisikan KPK maka Polri senyatanya sedang menderukan langkah keliru. Paling buruk lagi, Polri akan dicap sebagai lembaga yang antipemberantasan korupsi karena menghambat penyidikan KPK.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 08 Agustus 2012

Nasib Kesejahteraan Hakim

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Dunia penegakan hukum dilanda masalah kesejahteraan hakim. Hal pokok yang dituntut para hakim adalah adanya jaminan kesejahteraan yang selama ini mereka rasa sangat kurang. Gaji yang diberikan negara kepada profesi yang mulia tersebut dinilai tidak cukup. Tercatat sejak empat tahun yang lalu tidak ada perubahan gaji dan tunjangan yang mereka terima. Sementara itu, jika dibandingkan dengan pegawai negeri sipil atau pejabat negara lainnya, seperti anggota DPR yang terhormat, gaji dan tunjangan hakim sangatlah kecil.

Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Setara dengan hakim Mahkamah Konstitusi. Semestinya, hakim menikmati sejumlah fasilitas layaknya pejabat negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim berhak atas kesejahteraan dan keamanan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud jaminan kesejahteraan itu adalah meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas dan pensiun, serta hak-hak lainnya. Dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya.

Namun, kenyataannya, negara gagal memberikan jaminan kesejahteraan bagi para hakim. Jangankan sejahtera dalam pengertian sangat layak. Untuk memenuhi standar minimal kesejahteraan saja, negara telah gagal. Buktinya, selama empat tahun, gaji pokok hakim tidak pernah dinaikkan. Bahkan saat ini gaji pokok hakim lebih rendah dari gaji pegawai negeri sipil. Tunjangan remunerasi pun tidak dibayarkan penuh, melainkan hanya 70 persen saja. Entah apa alasan pemerintah, tunjangan remunerasi itu tak kunjung dibayar penuh walaupun sudah berjalan selama 4 tahun.

Kondisi inilah yang dikeluhkan hakim. Bahwa negara telah gagal menjalankan amanat undang-undang untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi hakim. Akibatnya, banyak cerita pilu tentang kehidupan para hakim, apalagi hakim yang bertugas di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dan perekonomian. Keadaan demikian jelas berpengaruh pada profesionalitas, integritas, dan kinerja hakim. Kinerja mereka bisa tidak maksimal dan integritas bisa tergadaikan. Lebih jauh, persoalan kesejahteraan ini bisa mengancam independensi hakim dan institusi peradilan.

Remunerasi Yudisial

Independensi peradilan bukanlah sesuatu hal yang hanya berhubungan dengan sistem ketatanegaraan dan mekanisme checks and balances. Faktor keuangan juga merupakan komponen penting dalam konsep independensi peradilan. Sebagaimana dijelaskan Shimon Shetreet dalam Judicial Independence in the Age of Democracy (2001), bahwa remunerasi yudisial merupakan aspek yang terkait dengan independensi institusional sekaligus independensi individu hakim yang harus dijamin negara.

Senada dengan Shetreet, P.H. Lane dalam Constitutional Aspects of Judicial Independence (1999) menempatkan jaminan akan keuangan ini sebagai salah satu aspek konstitusional dari independensi peradilan yang harus dijamin negara. Lane lebih tegas menyatakan bahwa gaji hakim harus diatur dalam konstitusi. Sebagaimana di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura, di mana konstitusinya mengatur bahwa gaji hakim ditanggung negara dan tidak boleh dikurangi selama hakim tersebut menjabat. Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi independensi hakim dan lembaga peradilan dari potensi intervensi pemerintah dan parlemen.

Rentannya hakim dan lembaga peradilan terhadap intervensi lembaga lain terkait dengan masalah keuangan ini telah lama dikhawatirkan oleh Alexander Hamilton. Dalam The Federalist Paper No. 78, Hamilton mengungkapkan bahwa dalam konsep Trias Politica, lembaga yudikatif merupakan yang paling lemah dibanding eksekutif dan legislatif.

Kelemahan itu tidak hanya berhubungan dengan posisi lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan, tapi juga lemah dari sisi keuangan. Sebab, pada umumnya, lembaga eksekutif dan legislatiflah yang mempunyai kewenangan menetapkan anggaran.
Sedangkan lembaga yudikatif tidak punya pengaruh apa-apa. Pada titik inilah, masalah anggaran bisa menjadi alat intervensi terhadap badan peradilan. Pemerintah berpotensi secara tidak langsung mempengaruhi independensi hakim dalam menangani sebuah perkara melalui kebijakan anggaran ini.

Dalam konteks itulah kita melihat bahwa persoalan kesejahteraan hakim ini tidak bisa dianggap sepele. Ada potensi intervensi di situ. Faktor keuangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mempengaruhi perkara yang sedang ditangani. Selain terkait dengan independensi, absennya jaminan remunerasi yudisial ini menyebabkan hakim rentan terhadap korupsi dan suap. Sebuah penelitian International Commission of Justice (ICJ) yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” (2010) memberi konfirmasi bahwa salah satu penyebab korupsi peradilan adalah rendahnya remunerasi yang diterima hakim. Karena itu, ICJ merekomendasikan agar kesejahteraan hakim dijamin oleh negara, tidak dikurangi, dan aplikasinya harus dijauhkan dari pengaruh politik.

Pemerintah sebagai pemegang kuasa anggaran semestinya menyadari pentingnya masalah keuangan ini. Bahwa menyediakan anggaran yang cukup bagi peradilan merupakan kewajiban konstitusional pemerintah untuk menjaga independensi peradilan dan menjauhkan para hakim dari sikap koruptif.

Secara hukum, sebenarnya jaminan kesejahteraan itu sudah tertuang dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang disahkan pada 2009, namun minim implementasi. Undang-undang mengamanatkan agar kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara itu diatur lebih lanjut. Tetapi pemerintah tak kunjung menindaklanjutinya. Terakhir, aturan tentang gaji dan tunjangan hakim dikeluarkan pada 2008, yakni Peraturan Presiden Nomor 15 dan Nomor 19 tahun 2008. Hingga saat ini, aturan tersebut belum pernah direvisi dan disesuaikan dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2009.

Protes hakim tidak akan muncul jika pemerintah patuh menjalankan amanat UU Kekuasaan Kehakiman. Bahwa pemerintah harus menerbitkan seperangkat aturan perihal status hakim sebagai pejabat negara beserta hak dan fasilitas layaknya pejabat negara. Inilah yang harus dikerjakan oleh pemerintah secara serius.

Kinerja Hakim

Jaminan finansial yang diberikan kepada hakim tentu bukanlah cek kosong. Para hakim tersebut harus mengimbanginya dengan kinerja yang profesional, berintegritas, dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Harus diakui bahwa saat ini pengadilan masih dipandang sebagai institusi yang korup. Banyaknya putusan hakim yang memicu kontroversi, diikuti dengan perilaku hakim yang tercela dan koruptif, telah menurunkan kepercayaan publik pada institusi pengadilan.

Adanya peningkatan kesejahteraan hakim tentu bertujuan agar hakim dapat bekerja lebih baik dan mempercepat proses reformasi birokrasi di lembaga pengadilan. Yang pada gilirannya, hal itu menghindarkan para ”wakil Tuhan” di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang dan para hakim dapat mengembalikan kewibawaan institusi peradilan. Dengan begitu, rakyat sebagai pembayar pajak tidak merasa ”tertipu” untuk memberikan gaji dan tunjangan yang pantas bagi hakim.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 03 Mei 2012

Musim Berburu Persenan

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Korupsi menyebar bak virus ke setiap sendi kehidupan di negeri ini. Namun, tidak ada langkah kentara dalam pemberantasan korupsi.

Di tingkat pusat perselingkuhan eksekutif dan legislatif mirip opera sabun televisi. Mereka berselingkuh untuk saling berbagi persenan. Simak kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Mindo Rosalina Manulang telah terbukti bersalah dan divonis oleh pengadilan tipikor.

Kasus itu terus bergulir. Kini memasuki babak baru. Tak hanya Nazaruddin, politikus Partai Demokrat, yang ditetapkan sebagai tersangka. Rekan Nazaruddin, Angelina Sondakh, juga ditetapkan sebagai tersangka. Jalan terang membongkar kasus itu kian terbuka. Rosa berniat melaporkan seorang menteri yang ditengarai juga turut menikmati persenan.

Kasus korupsi wisma atlet SEA Games menunjukkan, pengadaan barang dan jasa rentan untuk disabotase pemburu persenan. Ini bukan hal baru. Berburu persenan jamak dilakukan partai politik. Sukses memasukkan kadernya di DPR adalah peluang. Sering kali bukan peluang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, melainkan peluang menghidupi partai politik.

Sejarah mencatat, sejumlah anggota DPR periode sebelumnya (2004-2009) terjerat kasus serupa. Sesuai catatan Kompas (29/2), Saleh Djasit (Fraksi Golkar), Al Amin Nasution (Fraksi PPP), dan Abdul Hadi Jamal (Fraksi PAN) adalah beberapa yang terjerat kasus korupsi.

Saleh Djasit terjerat di sektor pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sektor alih fungsi hutan lindung menjerat Al Amin. Pada kasus pembangunan bandara dan pelabuhan kawasan Indonesia timur mengalir dana Rp 1 miliar kepada Abdul Hadi Jamal.

Tidak hanya pada tingkat pusat, sejumlah anggota DPRD pun berkomplot dengan pejabat daerah. Baru-baru ini anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta diduga korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi. Sejumlah kasus di atas menunjukkan janji-janji pemberantasan korupsi hanya manis di bibir, tapi rudin implementasi. Bahkan, sebagian besar pejanji mengkhianatinya.

Kejahatan Sistematis

Berburu persenan dilakukan secara sistematis. Tujuannya, mengelabui aparatur penegak hukum. Pada banyak kasus persenan diperoleh dengan menjalankan prosedur yang terkesan transparan. Dalam kasus wisma atlet SEA Games diketahui bahwa tender dilakukan secara terbuka, tetapi pemenang telah ditentukan. Penentuan pemenang dilakukan dengan transaksi antara Sekretaris Kemenpora dan perusahaan rekanan.

Perusahaan rekanan tak lain milik Nazaruddin. Sejumlah persenan diberikan guna memuluskan rencana. Untuk proyek bernilai Rp 191 miliar, Angie diduga menerima Rp 5 miliar. Tak hanya Angie, I Wayan Koster dan ”sang menteri” juga diduga menerima, bahkan untuk ”sang menteri” mencapai 8 persen. Praktik inilah yang membuat negara rugi. Anggaran digelembungkan, tetapi pada implementasinya dana realisasi proyek ditekan. Selisihnya digunakan untuk bagi-bagi persenan. Akhirnya, proyek tidak diselesaikan tepat waktu dan spesifikasi pekerjaan yang telah ditentukan disimpangkan.

Meski telah jamak terjadi, tak mudah menjerat pemburu persenan. Tarik-menarik kepentingan amat kuat terasa. KPK harus melalui beragam rintangan untuk memulangkan dan meminta keterangan dari Nazaruddin.

Sejumlah rekayasa dilakukan guna melemahkan KPK, mulai dari tuduhan pertemuan dengan tersangka sampai penyiksaan terhadap Nazaruddin. Tujuannya jelas: menghalang-halangi penyidikan kasus tersebut. Ketertutupan Nazaruddin membuat penyidikan semakin sulit. Belum lagi drama ”lupa ingatan” yang dipertontonkan rekan-rekan Nazaruddin.

Tak hanya itu, rintangan pun datang dari tekanan politik yang dilakukan rekan sejawat mereka di DPR. Kita tentu tak pernah lupa pada ancaman potong anggaran dan pembubaran KPK yang keluar dari sejumlah anggota DPR. Pernyataan itu bertentangan dengan kehendak rakyat. Padahal, kita semua tahu bahwa DPR adalah wakil rakyat.

Logika yang digunakan justru berangkat dari kehendak terus berburu persenan untuk diri sediri dan golongan. Jika tertangkap saat berburu, segala upaya dilakukan. Upaya itu tentu saja kontraproduktif untuk pemberantasan korupsi. Akhirnya, tidak mudah bagi penegak hukum untuk mengungkap sindikat pemburu persenan di DPR.

Makin Gencar

Dalam 2012 ini bisa diprediksi gerakan berburu persenan akan semakin gencar dilakukan sebab Pemilu 2014 tinggal dua tahun lagi. Dibutuhkan banyak dana untuk ”bertempur” sebab politik di sini berbiaya mahal.

Kini rasanya sulit menemukan partai politik yang ideologis. Maka, langkah pragmatis bernama politik uang pun diayunkan. Dukungan rakyat diperoleh lewat bagi-bagi uang. Tidak tanggung-tanggung: ratusan juta sampai miliaran rupiah digelontorkan. Banyaknya jumlah uang yang dikeluarkan membuat partai politik harus berhitung dan mencari sebanyak-banyaknya pemasukan.

Tidak hanya itu. Tekanan terhadap penegak hukum akan semakin gencar. Semakin banyak yang dijerat oleh pasal korupsi, semakin khawatirlah partai politik. Gesekan antarpartai juga akan semakin kentara. Tindakan saling mengunci dilakukan guna mencegah munculnya pelaku kooperatif seperti Agus Condro.

Maka, penegak hukum harus bekerja ekstrakeras. Meskipun tidak mudah, bukan berarti penegak hukum tidak mampu mengungkap korupsi. Di sinilah batu uji untuk penegak hukum. Batu uji guna membuktikan penegakan hukum tidak terkooptasi oleh kepentingan politik.

Penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pada kasus Nazaruddin adalah sebuah terobosan yang patut didukung. Upaya mencegah terjadinya praktik berburu persenan harus dilakukan pula. Kita tentu berharap perubahan UU Partai Politik memungkinkan terobosan berarti. Terobosan yang tentu saja berpihak pada upaya mencegah politik uang itu.

Dua tahun rasanya menjadi masa yang cukup untuk menilai implementasi janji-janji partai politik memberantas korupsi. Tantangan kini ditawarkan: mampukah mereka menggunakan dua tahun ke depan untuk merealisasikan janji atau setidak-tidaknya tidak kembali menjadi bagian dari sindikat pemburu persenan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 21 April 2012

Menganulir Vonis Bebas Koruptor

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Mahkamah Agung bikin gebrakan. Beberapa putusan bebas koruptor dibatalkan oleh majelis hakim kasasi MA. Banyak pihak mengapresiasi positif putusan MA itu: berani mengoreksi putusan-putusan bermasalah pengadilan di bawahnya. MA memberi secercah harapan kembali tegaknya tiang pancang wibawa hukum.

Hingga saat ini tercatat empat vonis bebas koruptor yang dianulir MA: putusan terhadap Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad, mantan Wali Kota Kendari Mansyur Masie, Bupati Subang Eep Hidayat, dan Bupati Lampung Timur Satono. Semuanya merupakan putusan bebas yang dijatuhkan pengadilan tipikor daerah. MA memvonis bersalah para pejabat negara itu dan menjatuhkan pidana penjara paling singkat empat tahun dan terlama 15 tahun penjara.

Putusan MA ini bak oase di tengah gurun tandus penjeraan terhadap koruptor. Bagaimana tidak, selama ini kita disuguhi parodi pengadilan yang lebih berpihak kepada koruptor ketimbang upaya pemberantasan korupsi. Kecenderungan pengadilan tipikor daerah membebaskan para koruptor justru lebih buruk daripada pengadilan umum.

Sejak dibentuk 2010, pengadilan tipikor sudah menuai kontroversi. Hanya dalam satu tahun, pengadilan tipikor daerah sudah banyak membebaskan terdakwa korupsi. Pantauan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM menemukan bahwa hingga tahun 2011, lebih dari 40 terdak- wa korupsi telah dibebaskan pengadilan tipikor daerah. Penga- dilan Tipikor Surabaya, Samarinda, Bandung, dan Semarang tercatat sebagai pengadilan tipikor yang paling sering membebaskan koruptor.

Secara hukum memang tidak ada salahnya hakim menjatuhkan putusan bebas. Namun, banyaknya koruptor bebas telah menimbulkan pertanyaan akan kinerja pengadilan tipikor. Pengadilan yang awalnya diharapkan mampu memberi efek jera bagi koruptor justru menjadi surganya koruptor. Bahkan, kuat dugaan bahwa pengadilan tipikor daerah sudah menjadi zona nyaman mafia peradilan.

Dalam kondisi demikian, putusan MA ini selain berpihak pada penegakan hukum antikorupsi juga beraroma antimafia peradilan. Putusan MA memberi pesan tegas kepada pengadilan tipikor daerah dan pelaku mafia peradilan bahwa upaya memengaruhi putusan hakim melalui cara-cara koruptif akan percuma. MA sebagai pengadil tertinggi akan mengoreksi putusan-putusan yang menyimpang itu dan menghukum berat koruptor.

Tindak Lanjut

Meski patut diapresiasi, langkah MA menganulir vonis bebas koruptor belumlah sempurna jika MA tak mengambil langkah-langkah tindak lanjut, misalnya dengan memastikan bahwa putusannya dijalankan oleh kejaksaan. Rupanya banyak putusan pengadilan yang belum dieksekusi kejaksaan. Koruptor yang menjadi musuh negara dan masyarakat masih dibiarkan berkeliaran.

Alasan utama molornya eksekusi koruptor lebih oleh aspek administrasi daripada substansi hukum: belum diterimanya salinan putusan dari MA. Ini seharusnya menjadi kritik bagi MA. Seharusnya begitu putusan dibacakan, beberapa saat setelah itu, salinan putusan sudah bisa diakses baik oleh jaksa, pengacara, pihak yang beperkara, maupun publik. Jangan sampai hanya karena kelalaian administrasi salinan putusan, koruptor dibiarkan bebas begitu saja. Fakta bahwa banyak koruptor yang melarikan diri karena tak kunjung dieksekusi harus menjadi peringatan keras bagi penegak hukum.

Kejaksaan semestinya tidak perlu mengulur-ulur eksekusi. Jangan terlalu bergantung pada aspek administratif yang justru menegasikan substansi penegakan hukum. Jangan bersikap pasif menunggu salinan putusan dari MA. Ambil inisiatif dan, kalau perlu, lakukan terobosan hukum. Coba kita bandingkan upaya KPK dan kejaksaan dalam mengeksekusi koruptor. KPK bisa menangkap Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Muhammad dalam waktu singkat. Sementara itu, kejaksaan berlama-lama mengeksekusi putusan mantan Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin M Najamuddin. Padahal, putusan Agusrin sudah dijatuhkan pada 1 Januari 2012. Ini harus jadi evaluasi bagi Jaksa Agung.

Kemudian, putusan kasasi MA sejatinya menunjukkan adanya kesalahan penerapan hukum yang diterapkan hakim pengadil- an tipikor. Hakim tipikor menilai bahwa pidana korupsi para pejabat korup itu tak terbukti. Sementara itu, hakim agung MA menilai sebaliknya. Logika hukum hakim tipikor sama sekali dimentahkan hakim agung. Terlihat jelas bahwa pemahaman hakim pengadilan tipikor daerah dangkal mengenai substansi hukum pidana korupsi dan hukum acara.

Kekacauan logika hukum hakim pengadilan tipikor yang berujung pada bebasnya koruptor seharusnya dijadikan bahan oleh MA untuk mengevaluasi kinerja hakim itu. UU Kekuasaan Keha- kiman, UU MA, dan UU Pengadilan Tipikor sudah memberi kewenangan kepada MA untuk melakukan pengawasan, evaluasi, dan pemberhentian hakim yang terbukti tak cakap dan melakukan perbuatan tercela.

Selama ini hakim yang sering membuat putusan bermasalah berlindung di balik tameng prinsip independensi bahwa hakim bebas dan tak boleh diintervensi dalam membuat putusan. Pemahaman yang terlalu mengagung- agungkan independensi hakim itulah yang memicu terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Hakim merasa bebas membuat putusan meski putusan itu jelas-jelas menyalahi hukum materiil dan formil. Independensi koruptif itulah yang terlihat jelas dalam berbagai putusan bebas pengadilan tipikor daerah.

Karena itu, MA harus tegas. Tindakan evaluasi, sanksi, dan jika perlu pemberhentian, harus diambil terhadap hakim yang terbukti berkinerja buruk dan sering membuat putusan bermasalah. MA tak perlu berkompromi dengan hakim bermasalah itu.

artikel ini pernah diterbitan oleh koran KOMPAS pada 09 April 2012

Pasang Badan untuk Tuan Menteri

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Ada pertentangan menarik dalam persidangan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi meyakini uang suap dalam proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Rp 1,5 miliar memang benar untuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Namun Dadong Irbarelawan, salah satu terdakwa dalam kasus suap tersebut, menolak kesimpulan jaksa (Koran Tempo, 13 Maret 2012). Selain itu, Fauzi, salah satu saksi pada persidangan kasus suap proyek PPID, menyatakan hal serupa. Uang suap bukan ditujukan untuk Menteri Muhaimin. Fauzi mengatakan bahwa ia hanya mencatut nama menteri Muhaimin.

Pertentangan ini menarik dicermati. Di satu sisi, jaksa KPK yakin atas skema kasus yang didalaminya. Ada duit untuk Menteri Muhaimin, meski belum sempat diserahkan kepada yang bersangkutan. Di sisi yang lain, banyak saksi yang bilang uang bukan untuk Menteri Muhaimin. Apakah jaksa KPK keliru menyimpulkan? Ataukah Fauzi dan Dadong sedang “pasang badan” untuk tuan menteri?

Peta Kasus

Jaksa KPK tampak yakin sekali atas kesimpulannya. Jaksa menyatakan uang yang mengucur dari kuasa direksi PT Alam Raya Jaya Papua, Dharnawati, tak hanya berjumlah Rp 1,5 miliar. Tapi ada dana lain yang disiapkan sebesar Rp 2,001 miliar. Semua duit itu sebelumnya disiapkan sebagai komisi, karena PT Alam Raya Jaya Papua berhasil mendapatkan proyek PPID di empat kabupaten di Papua senilai Rp 73 miliar. Komisi yang akan diberikan adalah 10 persen dari nilai proyek.

Keyakinan jaksa KPK itu jauh-jauh hari sudah didengungkan. M. Jasin, mantan pemimpin KPK jilid II, tak menampik jika dikatakan duit suap akan diberikan kepada Menteri Muhaimin, meski belum sempat dilakukan. Farhat Abbas, pengacara Dharnawati, berucap serupa. Uang suap yang diberikan kliennya kepada I Nyoman Suisnaya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Transmigrasi, serta Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi, akan diteruskan kepada Menteri Muhaimin (Tempointeraktif, 3 September 2011).

Kalau benar uang yang diperuntukkan sebagai suap berjumlah 10 persen dari nilai proyek Rp 73 miliar, yang berarti Rp 7,3 miliar, angka Rp 3,501 miliar–Rp 1,5 miliar ditambah Rp 2,001 miliar–yang ada dalam berkas penuntutan jaksa masih kurang. Artinya, setidaknya ada duit Rp 3,8 miliar lagi yang akan diserahkan kepada Nyoman Suisnaya, Dadong, atau Fauzi sebagai bagian dari uang suap.

Agak susah meyakini bahwa uang Rp 7,3 miliar itu hanya akan dinikmati oleh oknum di bawah menteri, mengingat posisi yang sangat dekat antara oknum tersebut dan menteri yang bersangkutan. Tengok saja, Fauzi adalah salah satu anggota staf khusus menteri. Nyoman Suisnaya dan Dadong duduk sebagai pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Posisi yang sangat dekat tersebut memungkinkan mereka melakukan koordinasi dengan menteri.

Lagi pula program percepatan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal menjadi salah satu program Kementerian. Keterangan dalam pemeriksaan membuktikan ada program PPID di Kementerian Tenaga Kerja. Misalnya, keterangan Olly Dondokambey, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, yang disampaikan sesaat setelah dimintai keterangan oleh penyidik KPK, menjelaskan DPR menyetujui anggaran Rp 500 miliar untuk percepatan pembangunan infrastruktur daerah. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi Kementerian yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011.

Dengan menggunakan keterangan pengacara Dharnawati dan Olly sebagai bentuk cross-check keterangan, akan diperoleh peta kasus suap proyek PPID Kementerian Tenaga Kerja, yakni program PPID disetujui, sekaligus dengan anggaran Rp 500 miliar. Program tersebut menjadi bagian dari kegiatan Kementerian. Karena itu, setiap kebijakan yang terkait dengan PPID harus melewati menteri.

Dengan peta kasus itu, sulit kiranya meyakini bahwa duit suap dari Dharnawati yang diberikan kepada Nyoman Suisnaya dan Dadong tidak akan mengalir kepada Menteri Muhaimin. Namun, untuk membuktikan aliran duit suap tersebut, perlu pembuktian lebih lanjut di persidangan tindak pidana korupsi. Hakim harus mencermati setiap keterangan–yang boleh jadi direkayasa. Hakim tidak boleh terjebak dalam kebohongan pihak-pihak di persidangan.

Tiga Kemungkinan

Kalaupun duit suap dari Dharnawati tidak akan disampaikan kepada Menteri Muhaimin, dan jika benar Fauzi serta Dadong hanya mencatut nama Muhaimin, berarti ada tiga kemungkinan yang muncul. Pertama, memang tidak ada rencana pemberian duit kepada Menteri Muhaimin. Kedua, Fauzi dan Dadong sedang melakukan aksi “pasang badan” untuk Menteri Muhaimin. Ketiga, sedang terjadi sebuah skandal besar yang melanda Kementerian Tenaga Kerja.

Apabila kemungkinan pertama yang terjadi, sepertinya susah bagi akal sehat untuk menerimanya. Pasalnya, melihat kedekatan Fauzi dan Dadong dengan Menteri Muhaimin, sulit rasanya mengiyakan kemungkinan ini. Tapi kemungkinan demikian tetap ada. Kemungkinan tersebut menuntut jaksa lebih dalam menyidik kasus suap PPID Kementerian. Di samping itu, butuh kejelian hakim untuk bisa merunut setiap peristiwa sehingga dapat ditemukan ke mana akhir aliran dana suap PPID Kementerian.

Andai kemungkinan kedua yang didapat, apa yang dilakukan Fauzi dan Dadong, disadari atau tidak, telah menempatkan diri mereka dalam kungkungan hukuman yang berat. Ada beban luar biasa yang akan mereka tanggung, yaitu beban hukum dan beban moral. Beban hukum diperoleh dua kali lipat karena sangkaan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sekaligus memberikan kesaksian bohong di persidangan. Beban moral akan mengikuti diri mereka dalam status koruptor dan pembohong.

Tentu saja, untuk membuktikan kemungkinan kedua tersebut, sekali lagi menuntut jaksa agar lebih serius dan mendalam melakukan penyidikan kasus suap PPID Kementerian. Majelis hakim juga dipacu untuk membuka mata dan sensitif naluri supaya tidak tertipu oleh drama yang dimainkan para saksi serta terdakwa.

Terakhir, misalnya kemungkinan ketiga yang hadir, hal ini tak begitu membutuhkan analisis yang tajam. Tak dapat dimungkiri, kementerian adalah salah satu obyek paling cepat untuk mengeruk uang. Pundi-pundi duit dikumpulkan melalui komisi atau fee yang diperoleh dari proyek kementerian. Proses proyek, yang dieksekusi melalui tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, disulap sebagai wahana potensial untuk mendatangkan bergepok rupiah.

Pertanyaannya, siapa yang ambil untung dari skandal di kementerian itu. Jika dicermati, pola kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja sebenarnya mirip pola kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games, Palembang, Sumatera Selatan, yang menjerat pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga. Uang haram dari pelulusan proyek pemerintah diduga kuat dialirkan ke partai politik tertentu.

Diyakini atau tidak, partai politik membutuhkan biaya sangat besar untuk dapat berlaga di arena pemilihan umum. Pembiayaan partai politik yang sementara ini digunakan salah satunya dengan memanfaatkan kadernya, baik yang berada di lembaga legislatif maupun di lembaga eksekutif. Para kader ini kemudian akan mengelompokkan mana proyek yang dapat ditunggangi untuk dipererat. Pola demikian mafhum dimasukkan dalam area korupsi politik.

Sesungguhnya korupsi politik inilah yang susah diberantas. Mengingat sistem pemerintahan negara ini masih menempatkan partai politik sebagai aktor yang menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda negara, yang selanjutnya nakhoda negara itu menentukan siapa yang akan menjadi pembantu (menteri)-nya. Namun susah bukan berarti tidak mungkin. Korupsi politik bisa diputus. Syaratnya, ada pemimpin yang memiliki keberanian (political will) untuk memutusnya!

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 19 Maret 2012

Malapetaka yang Terkuak

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kembali menyangkal terlibat dugaan tindak pidana korupsi. Muhaimin mengatakan, program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah transmigrasi sama sekali tidak dirapatkan. Bahkan, tidak dilaporkan kepadanya (Kompas, 7 Maret 2012).

Pernyataan Muhaimin disampaikan terkait dengan kesaksian Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Perencanaan Evaluasi Program dan Pelaporan Ditjen P2KT Kemenakertrans, dalam persidangan kasus suap pencairan dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Dadong menyatakan, uang suap Rp 1,5 miliar dari Dharnawati sudah dikoordinasikan dengan Muhaimin.

Di lain waktu, dalam persidangan kasus yang sama, Sekretaris Jenderal Kemenakertrans Muchtar Lutfie membeberkan, anggaran PPID diusulkan oleh Kemenakertrans. Surat B97, yang disusul surat B73 pada 5 April 2011, adalah dokumen resmi yang dipakai untuk mengajukan pengucuran dana PPID.

Logika Kementerian

Ketentuan mengenai kementerian negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Adapun pembentukannya ataupun tugas menteri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. Dalam Perpres Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara disebutkan, salah satu fungsi kementerian adalah menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya (Pasal 26 Ayat 1 huruf c dan Ayat 2 huruf c).

Garis aturan tersebut tentu tidak dibentuk sembarangan. Ada norma yang dimaktubkan. Setiap kebijakan yang jadi cerminan tugas kementerian harus diawasi. Fungsi pengawasan itu terang: jangan sampai ada kesewenang-wenangan dan korupsi dalam membentuk kebijakan sehingga membuatnya keluar dari jalur pencapaian tujuan negara.

Berdasarkan norma Perpres No 47/2009, agak susah menerima keterangan Muhaimin yang menyatakan tidak tahu ada kebijakan PPID di Kemenakertrans, termasuk keberadaan surat pengajuan pencairan dana PPID. Segala kebijakan kementerian, apalagi bernilai strategis, seharusnya lewat meja menteri. Ini juga konsekuensi dari ketentuan ”Menteri mempunyai tugas memimpin kementerian sesuai dengan tugas bidang kementerian” (Pasal 28). Logika kementerian yang top-down dalam pembentukan kebijakan menolak keterangan Muhaimin tersebut.

Pernyataan Muhaimin yang mengaku tak tahu ada kebijakan PPID ataupun surat pengucuran dana PPID sebenarnya menunjukkan kepada kita secara gamblang adanya benih kehancuran. Ada malapetaka yang terkuak.

Implikasi menteri sebagai pemimpin kementerian adalah setiap jenjang jajaran yang ada di bawahnya harus bertanggung jawab kepadanya. Sebagaimana diatur dalam Perpres No 47/2009, pejabat di bawah menteri—mulai dari sekretaris jenderal (Pasal 29 Ayat 1), direktur jenderal (Pasal 33 Ayat 1), inspektorat jenderal (Pasal 37 Ayat 1), hingga kepala badan (Pasal 41 Ayat 1) dan kepala pusat (Pasal 41 Ayat 3)—harus bertanggung jawab kepada menteri. Intinya, segala kebijakan yang diterbitkan oleh anak buah menteri harus atau pasti diketahui oleh menteri.

Logika hukum kepemimpinan seorang menteri di kementerian mencantumkan, sebagai pimpinan puncak, menteri harus membaca dan mengetahui segala kebijakan kementerian. Kalau kemudian ada menteri yang menyatakan tidak tahu kebijakan di kementeriannya, ini bermakna ia tak tanggap dalam melaksanakan kinerjanya. Jadi, apa yang dilakukan menteri itu selama ini?

Selanjutnya, menteri jika tak tahu karena tak tanggap kinerja, bukankah menteri, hanya makan gaji buta? Bukankah berarti uang negara dihambur-hamburkan guna membayar sebuah kesia-sian? Jika iya, hal ini adalah malapetaka.

Absurd

Keterangan Muhaimin yang berbeda dengan anak buahnya secara tidak disadari akan menjadikan absurd kasus korupsi suap di Kemenakertrans. Bagaimana mungkin sebuah program kementerian yang anggarannya mencapai Rp 500 miliar tidak dirapatkan. Lebih parah lagi, anggaran program yang tak dirapatkan itu akan dicairkan. Sungguh tak masuk akal.

Namun, begitulah korupsi. Ia tak masuk akal. Korupsi mencibir akal sehat. Korupsi hanya masuk akal di kalangan para koruptor.

Jangan-jangan, keabsurdan kebijakan di Kemenakertrans juga terjadi di 33 kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Jika demikian, bukankah hal ini menunjukkan bahwa negara diurus dengan keabsurdan, negara dijalankan dengan ke-”tidak masuk akal”-an? Jika iya, ini benar-benar malapetaka.

Pencairan anggaran program pemerintah melibatkan, setidaknya, dua lembaga: Kementerian Keuangan dan lembaga pemerintah pemilik program. Apabila pernyataan Muhaimin benar, bahwa program PPID tak pernah dirapatkan sebelumnya, sehingga walau bukan menjadi program Kemenakertrans, anggaran program tersebut tetap turun, kemungkinan besar ada aktor lain. Dengan demikian, pernyataan Muhaimin memberikan sinyal bahwa suap untuk memuluskan rencana pembangunan infrastruktur transmigrasi di 19 kabupaten/kota itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah.

Namun, tak berarti menteri aman dari tanggung jawab hukum terhadap korupsi yang dilakukan anak buahnya. Tanggung jawab mahaberat ada di pundak KPK untuk membuktikan keterlibatan sang menteri. Jika cara konfrontasi keterangan antara menteri dan anak buahnya tak menemukan titik kait, cara lain bisa diambil. Misalnya, mencari bukti adanya peralihan wewenang secara mandatori dari menteri ke anak buahnya berkenaan dengan program kementerian.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 17 Maret 2012

1…5678910
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY