Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • 2020
Arsip:

2020

Diskusi dan Diseminasi Publik: “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara”

Berita Monday, 21 December 2020

Adanya problem regulasi dalam perundang-undangan menyebabkan penghitungan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi pada sektor-sektor tertentu menjadi belum maksimal. Hal inilah yang melatarbelakangi PUKAT FH UGM mengadakan Diseminasi dan Diskusi Publik dengan Tema “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara” pada Selasa (8/12/2020) secara daring. Diskusi ini selain diisi oleh Tim Peneliti dari PUKAT UGM yaitu Oce Madril dan Agung Nugroho, juga turut menghadirkan beberapa akademisi seperti Prof. Dr. Bambang Hero S.,M.Agr. (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB); Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. (Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP); Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Administrasi Negara UAJY Yogyakarta).

Oce Madril mengatakan bahwa kerugian keuangan negara di sektor-sektor seperti lingkungan, kelautan, dan sebagainya harus memiliki regulasi yang jelas dan sinkron. Oce Madril juga mengungkapkan bahwa Tim Peneliti mendiskusikan 3 hal dalam Penelitiannya. 3 hal tersebut adalah konsep kerugian Negara, mekanisme penghitungan kerugian keuangan Negara, dan otoritasi pihak yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan Negara.  Mengenai mekanisme, Oce menambahkan bahwa hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara metode yang digunakan oleh akademisi, BPK, akuntan, dan penegak hukum. “Mereka memiliki mekanisme sendiri-sendiri untuk menghitung itu, dengan perspektif yang berbeda-beda, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan atau kebijakan”, tambahnya.

Sementara itu, Agung Nugroho yang juga merupakan Tim Peneliti PUKAT menambahkan bahwa sebenarnya MK telah membuka kemungkinan penghitungan bisa dilakukan oleh lembaga, penegak hukum dan non-pemerintah (ahli), sepanjang diterima oleh majelis hakim. Agung juga mengatakan bahwa UU Tindak Pidana Korupsi saat ini belum mendefinisikan kerugian keuangan Negara secara jelas. Ia mencontohkan dalam Pasal 32 dimana terdapat norma yang mengatur suatu keadaan kerugian keuangan Negara secara nyata dan pasti. “kata dapat sebelum frasa kerugian keuangan Negara tidak menentukan akibat kerugian keuangan Negara menjadi penekanan dari tindak pidana korupsi”, paparnya.

Agung N_Pukat UGM

Kemudian, Riawan Tjandra dalam paparannya menyinggung mengenai Putusan MK yang membahas mengenai kewenangan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan(BPK). Menurutnya MK tidak cukup tegas dalam berpendapat mengenai legal reasoning kewenangan PDTT. “Hanya norma mengenai PDTT yang merupakan satu-satunya pintu masuk untuk menelusuri dugaan kerugian keuangan negara”, paparnya. Ia juga menyinggung Perma Nomor 1/2020 yang membuat klasifikasi bobot pemidanaan yang disesuaikan dengan jumlah kerugian Negara. Menurutnya ini cukup bertentangan dengan pola di Kejaksaan dimana range kerugian keuangan Negara ini sudah tidak dipakai lagi. Mengenai aset, Riawan memaparkan ada 7 hal yang harus dicermati yaitu inventarisasi aset, perencanaan aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi aset, sistem informasi manajemen aset dalam pengawasan dan pengendalian aset, dan relasi dengan strategi manajemen.

Riawan Tjandra_UAJY Yogyakarta

Selanjutnya, Bambang Hero menerangkan bahwa Pengembalian aset lintas batas memerlukan kerjasama berbagai instansi secara terintegrasi. Guru Besar IPB ini mengatakan bahwa saat ini Undang-Undang yang mendukung pengembalian aset belum digunakan secara maksimal. Hal ini menyebabkan proses pelacakan, pengamanan, dan proses-proses lainnya belum berjalan dengan baik. Ia juga memaparkan beberapa permasalahan terkait aset yang mana pengelolaannya belum maksimal, barang sitaan tidak terawat, serta penjualan aset yang belum optimal. Padahal di saat yang sama, lingkungan semakin lama semakin rusak.

Bambang Hero_IPB

Sesi pemaparan dilanjutkan dengan paparan Pujiyono yang juga merupakan dosen di Fakultas Hukum UNDIP. Ia mengatakan bahwa korupsi tidak ada habisnya, semakin ditekan semakin meluas. Mengenai korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), ia juga mengungkapkan pemberitaan mengenai korupsi di sektor ini masih sepi dibanding kerugian berupa uang, padahal kerugiannya juga besar. Hal ini lantaran ketika alam rusak, maka akan berdampak luar biasa bagi masyarakat secara luas. Tindakan korupsi di sektor SDA tidak hanya merugikan negara tapi juga menghambat pembangunan, sehingga harus ditangani secara luar biasa sebagai sebuah extraordinary crime.

 

 Penulis: Sadam Afian Richwanudin

Diskusi dan Diseminasi Publik: Studi Valuasi Aset Negara dan Penghitungan Kerugian Negara

Berita Monday, 21 December 2020

Pasca keluarnya konvensi PBB melawan korupsi atau dikenal dengan UNCAC, paradigma pemberantasan korupsi kini mulai berubah bukan lagi penjeraan  individu melainkan pada pengembalian aset-aset/kerugian negara. Hal tersebut diungkapkan oleh Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJKAKI KPK) dalam sambutannya pada acara Diskusi dan Diseminasi Publik dengan tema “Studi Valuasi Aset Negara dan Penghitungan Kerugian Negara”. Diskusi ini selain untuk memaparkan hasil penelitian dari Tim Riset PUKAT FH UGM yang bekerjasama dengan KPK, juga untuk memberikan pemahaman publik mengenai pentingnya progresifitas hukum dalam menangani pengembalian aset pada kasus korupsi. Hal ini ditegaskan oleh Oce Madril, Direktur PUKAT UGM yang mengatakan bahwa Indonesia tertinggal jauh dengan negara lain terutama terkait korupsi yang merugikan aset negara. “Pendekatan harus semakin progresif, aspek-aspek regulasi harus diperhatikan dan melihat hal-hal kedepannya”, paparnya.

Diskusi yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (8/12/2020) ini menghadirkan Prof. Zuzy Anna (Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD), Sujanarko (Direktur DJKAKI KPK) dan Tim Riset PUKAT UGM yang diwakili oleh Oce Madril dan Eka Nanda R dengan moderator adalah Hanifah Febriani (PUKAT UGM). Tim Riset PUKAT UGM menyoroti tentang pengaturan terkait valuasi aset negara yang hingga saat ini masih tumpang tindih dan tidak sinkron. Bahkan hingga saat ini belum ada pengaturan spesifik yang menjelaskan terkait penggolongan aset negara. “Aset negara kemungkinan bisa dikategorikan sebagai kekayaan negara atau aset negara adalah BMN (Barang Milik Negara),” paparnya.

Eka Nanda lebih lanjut menerangkan bahwa hingga saat ini tidak ditemukan definisi yang clear mengenai valuasi aset. Definisi valuasi aset selama ini lebih awam didengar dalam konteks perusahaan.  Apabila definisi ini diasumsikan ke kekayaan negara, maka konteks perusahaan tinggal diganti dengan konteks negara. Namun lantaran tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka valuasi ini diasumsikan sebagai “penilai” dalam Peraturan Pemerintah Pengelolaan Barang Milik Negara. Permasalahannya, dengan metode seperti ini penilaian barang hanya terbatas pada tanah atau bangunan, hal ini sangat sempit mengingat definisi ini tidak dapat mencakup lingkungan hidup dan kerugian negara. “Penting untuk melakukan valuasi dan inventarisasi untuk memformalkan/mencatatkan aset negara dalam bentuk neraca kekayaan Negara” pungkas Eka.

Eka Nanda R_Pukat UGM

Sementara itu Prof. Zuzy Anna menjelaskan bahwa pertama memang harus didefinisikan terlebih dahulu mengenai aset negara. Dalam ilmu ekonomi, aset negara dapat dikategorikan sebagai public property right atau hak kepemilikan publik yang diserahkan kepada pemerintah dan biasanya tidak dimiliki oleh siapapun. Ia juga menekankan bahwa saat ini penting untuk melakukan pemetaan aset.  Sedangkan terkait valuasi aset, Prof. Zuzy memaparkan jika intinya terletak pada teknik valuasinya. Selama ini yang sering dilakukan bersifat direct impact maupun indirect. Hal ini penting diatur dalam Undang-Undang. Menurutnya saat ini masih banyak hal yang menjadi polemik, termasuk belum ada kesepahaman terkait metode yang dapat digunakan dan kompleksitasnya. Ia mencontohkan valuasi aset pada hutan tidak saja terkait pohonnya, juga terkait service dan berbagai faktor lainnya yang mengikuti. Lebih lanjut ia menuturkan pentingnya penggunaan metode yang tepat dalam melakukan valuasi aset. “Harus bisa dipertanggungjawabkan, harus menggunakan kaidah-kaidah yang tepat, jangan sembarangan”, ungkapnya.

Suzzy Anna_SDGs UNPAD

 Penulis: Sadam Afian Richwanudin

Bedah Buku: “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus

Berita Monday, 30 November 2020

Sabtu, (28/11) Pukat UGM menggelar bedah buku dengan tajuk “Menjerat Korupsi Korporas” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Diskusi yang diselenggarakan secara daring melalui aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM turut dihadiri para penulis buku yaitu Dr. Oce Madril, dan Eka Nanda Ravizki, S.H., LL.M. serta para penanggap Yunus Husein (Ketua PPATK Periode 2002-2011) dan Laode M. Syarif (Pimpinan KPK periode 2015-2019. Diskusi dipandu oleh Dika Putri Vindi (Asisten Peneliti Pukat FH UGM). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Anti Korupsi yang diperingati setiap tanggal 9 Desember.

Pada awal diskusi, Oce Madril selaku ketua PUKAT FH UGM sekaligus penulis buku menyampaikan sambutannya dan beberapa relevansi terkait buku “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Oce Madril mengungkapkan bahwa penerbitan buku tersebut berangkat dari kegundahan terhadap fakta yang jamak ditemui bahwa tidak sedikit korporasi yang terlibat dalam berbagai bentuk kejahataan, namun negara terkesan abai dan tidak memberikan perhatian serius dalam penegakkan hukum terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Ia juga menyinggung terkait korupsi oleh korporasi. Menurutnya, korupsi di bidang perizinan serta pengadaan barang dan jasa merupakan dua kasus yang mendominasi praktik korupsi oleh korporasi saat ini. “Kami berupaya berupaya mencari alternatif terbaik agar penegakkan hukum terhadap korporasi dapat efektif dilakukan.” pungkasnya.

Lebih lanjut untuk memperdalam penyampaian substansi buku tersebut, Eka Ravizki menuturkan bahwa buku yang diterbitkan memiliki 5 bab. Menurutnya, diantara bab yang ada, yang paling menarik adalah bab yang membahas tentang studi kasus. Hal ini dikarenakan bab lainnya berkutat pada sisi normatif dan sedikit mengkritisi pemberlakuan Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi yang belum dapat dilihat keefektifannya. Dari kasus yang pernah ada, Ia hanya menemukan satu kasus yang mennggunakan Perma tersebut, yaitu kasus korupsi oleh PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE). Selain studi kasus PT NKE, ia juga mengulas studi kasus yang lain seperti PT Giri Jaladhi Wana (GJW) dan PT Duta Graha Indah (DGI) yang turut menyeret nama politikus Partai Demokrat , Nazaruddin. Di akhir penyampaiannya, ia mengusulkan langkah kebijakan alternatif yang dapat diambil, yaitu dengan menerapkan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Non-prosecution agreements (NPA).

Eka Nanda_Pukat UGM

Diskusi dilanjutkan dengan tanggapan oleh Laode M. Syarif dilanjutkan oleh Yunus Husein selaku penaggap dalam forum ini. Laode M. Syarif merespon substansi buku dengan memberikan contoh penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di negara lain. Ia menyebutkan bahwa sejak tahun 1846 telah dikenal pertanggungjawaban tindak pidana korporasi. Sementara, di Negara Belanda yang dikenal konservatif pada tahun 1951 muncul kebijakan baru yaitu undang-undang tentang kejahatan ekonomi. Dimana dalam pasal 15 Undang-Undang tersebut, secara jelas mengatakan bahwa badan hukum dapat dituntut dan dapat dihukum. Kemudian secara tegas pada Tahun 1976 ketentuan tersebut  masuk dalam KUHP Belanda. Sedangkan di Indonesia sendiri, kasus korupsi korporasi baru terjadi pada tahun 2017 yaitu 1 tahun pasca diberlakukannya Perma No. 13 Tahun 2016. Padahal, sebanyak lebih dari 80 Undang-Undang existing, telah mengenal tindak pidana korporasi.

Yunus Husein_Ketua PPATK Periode 2002-2011)

Terakhir, Yunus Husein memberikan beberapa catatan terhadap  “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Ia menyarankan agar di akhir pembahasan dapat ditambahkan statement bahwa undang-undang yang ada menunjukkan ketidakjelasan politik hukum, misalnya ketidakjelasan mengenai pelaku, culpabilitas, syarat penerapan, teori yang digunakan, tambahan hukuman yang terlalu bervariasi sehingga menimbulkan suatu ketidak pastian. Ia juga sepakat apabila diterapkan konsep DPA dan NPA sebagai upaya pemberantasan korupsi, mengingat penanganan terhadap korupsi korporasi memakan biaya yang tinggi. Lebih lanjut, ia menyarankan agar DPA model amerika dapat diterapkan dengan mengaitkan upaya pencegahan dan perbaikan.

 

 

Penulis:

Girli Ron M, SH. 

RILIS: Politik Gelang Karet Pemberantasan Korupsi dalam UU Cipta Kerja

Berita Sunday, 18 October 2020

Pemerintah dalam salah satu argumentasinya menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja memberikan kontribusi bagi upaya pemberantasan korupsi, terutama pada aspek yang berkaitan dengan penyederhanaan prosedur perizinan usaha. Lebih lanjut, Pemerintah mengatakan bahwa selama ini izin usaha berbelit-belit, sangat panjang prosedurnya, dan penuh dengan praktek pungutan liar dan setoran ilegal. Dengan mengatur prosedur secara lebih sederhana, diharapkan berbagai titik rawan pungutan liar dan setoran ilegal untuk mempercepat keluarnya izin dapat dihilangkan.

Salah satu indikator atas rendahnya skor Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia menyangkut soal birokrasi dan prosedur perizinan berusaha yang panjang dan berbelit. Biaya mengurus izin juga dianggap lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun skor EoDB Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini pula yang menyebabkan arus investasi tidak lancar, dan Indonesia tidak dilirik sebagai tempat untuk berinvestasi oleh investor global. Semua aspek diatas tak terbantahkan merupakan masalah tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki.

Namun pemberantasan korupsi sebagai sebuah strategi komprehensif tidak bisa diperlakukan secara parsial atau sepotong-sepotong, sesuai dengan kehendak Pemerintah. Apalagi raport atas kinerja pemberantasan korupsi itu dilihat dari berbagai indikator, bukan hanya indikator perbaikan pada tata kelola sektor usaha belaka.

Sebagai misal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter yang lebih luas daripada sekedar menyoroti perbaikan pada sektor bisnis saja, namun juga pada aspek penegakan hukum, perbaikan sektor politik, demokrasi serta proteksi atas hak masyarakat, termasuk pers dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan. Sejumlah data pendukung dalam CPI mengafirmasi bahwa problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik, ketegasan penegakan hukum dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.

Pada konteks itu, kita melihat bahwa Pemerintah hanya mengambil sebagian kecil yang dapat menaikkan reputasi atas usaha pemberantasan korupsi, tapi pada sisi lain justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Sebagai misal revisi UU KPK yang membuat badan anti korupsi ini menjadi tumpul, tak bergigi dan kehilangan dukungan publik. Kemudian, Pemerintah juga tidak memberikan perhatian serius untuk membenahi lembaga penegakan hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan sehingga berbagai masalah masih muncul di lembaga tersebut.

Singapura sebagai contoh sangat menyadari reformasi di sektor bisnis hanya akan dapat berjalan jika penegakan hukum yang tegas menyertai upaya itu. Mereka sangat memahami bahwa keran berinvestasi yang dibuka lebar hanya akan efektif apabila para investor percaya pemerintah memiliki sistem dan cara yang objektif untuk menangani masalah  hukum, termasuk korupsi. Sistem koreksi yang efektif juga akan memberikan tingkat kepercayaan tinggi bagi para pelaku usaha ketika berhadapan dengan ketidakpastian kebijakan.

Lebih lanjut, memasukkan isu pemberantasan korupsi sebagai konteks dalam UU Cipta Kerja sejatinya menegasikan berbagai potensi kebijakan koruptif yang dilahirkan dari berbagai pasal kontroversial pada UU tersebut. Misalnya, royalti 0 persen yang diberikan kepada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi industri batu bara mencerimkan fenomena institutional corruption, dimana cara-cara legal digunakan untuk memberikan keuntungan finansial bagi kelompok bisnis tertentu saja.

Selanjutnya, ketentuan mengenai pemindahtanganan aset negara (serta aset Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka investasi pemerintah, dilakukan tanpa mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat. Pemindahtanganan aset negara tersebut dapat dilakukan langsung oleh Lembaga Pengelola Investasi tanpa ada keterlibatan pengawasan dari Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat.

Mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat, terutama untuk aset stratgeis, yang sebelumnya ada dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, dihilangkan oleh UU Cipta Kerja. Ada banyak jenis aset negara dan aset BUMN dengan nilai strategis dapat berpindahtangan ke pihak lain dan kehilangan status sebagai aset negara. Aset-aset negara tersebut berpotensi hilang dan Lembaga Pengelola Investasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara tersebut.

Demikian halnya, perumusan materi UU Cipta Kerja jauh dari semangat dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengingat proses pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja yang sangat tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat. Belum lagi keterlibatan berbagai pihak sebagai tim inti perumus materi UU Cipta Kerja yang tidak lepas dari konflik kepentingan. Bagaimana mungkin pemerintah dapat mengklaim punya semangat anti korupsi apabila dalam berbagai praktek kebijakan, mereka menegasikan berbagai prinsip penting dari tata kelola pemerintahan yang baik?

Dari berbagai alasan diatas, kami menyimpulkan bahwa Pemerintah sedang menggunakan politik gelang karet dalam pemberantasan korupsi, dimana agenda anti korupsi hanya akan diterapkan apabila memberikan kontribusi langsung bagi perbaikan sektor ekonomi dan tidak menimbulkan konflik antar elit. Selebihnya, konsekuensi yang merugikan Pemerintah (baca: elit) dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi dihindari, meskipun Pemerintah menyadari, hal itu merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi Indonesia untuk jangka panjang.***

Narahubung:
1. Adnan Topan Husodo (ICW)
2. Oce Madril (PUKAT UGM)
3. Wawan (TII)

 

Download Rilis:

Press Release_OL_Pemb_Korupsi.docx

RILIS: Catatan PUKAT UGM Terhadap RUU CIPTA KERJA  

Berita Tuesday, 6 October 2020

Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR. Selama ini, proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. PUKAT UGM telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berikut catatan PUKAT UGM terhadap RUU Cipta Kerja:

  1. RUU Cipta Kerja dan State Capture

Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan. Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup.

Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha. Fenomena ini erat dengan state capture yang oleh Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001) didefinisikan sebagai “so-called oligarchs manipulating policy formation and even shaping the emerging rules of the game to their own, very substantial advantage.”

Rilis selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut:

Catatan Pukat UGM Terhadap RUU Cipta Kerja

DIKSI Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi

Berita Sunday, 27 September 2020

Pada Senin, 21 September 2020, PUKAT FH UGM menggelar diskusi edisi spesial dengan tema Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM), Asfinawati (Ketua YLBHI), Busyro Muqoddas (Pimpinan KPK 2011-2014), Zainal A. Mochtar (Dosen FH UGM), dan Alissa Wahid (Koordinator Gusdurian). Diskusi PUKAT Edisi Spesial ini diselenggarakan dalam rangka satu tahun revisi UU KPK, mencakup refleksi serta harapannya agar ke depannya KPK tetap dapat bekerja optimal.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Oce Madril. Oce  menerangkan catatan perjalanan UGM menolak perubahan UU KPK yang telah dimulai sejak tahun 2012. Oce juga menyampaikan bahwa publik dapat menilai produk-produk legislasi yang semakin hari kian mengancam kebebasan sipil dan HAM.

Oce Madril

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas. Busyro menitikberatkan pada perubahan KPK lama dan KPK hasil revisi UU. “Satu tahun dengan DNA dan chemistry baru ditandai dengan status independen yang sengaja dihapuskan, sehingga KPK tidak lebih dari aparat pemerintahan”, tuturnya. Busyro pun membahas mengenai adanya digdaya bisnis dan politik oleh oligarki, yang tidak lepas dari pelumpuhan KPK.

Busyro Muqoddas

Selanjutnya Asfinawati memaparkan materi diskusi yang berjudul “Refleksi Proses Pengawalan Publik terhadap Revisi UU KPK”. Presentasi tersebut diawali dengan foto yang menunjukan isu KPK sangat masif pada September 2019 lalu. Asfinawati juga menyebutkan poin dimana kebebasan sipil menyempit. Poin tersebut dibuktikan dengan data kebebasan di Indonesia (data berdasarkan Freedom House Index), dari tahun 1998 hingga 2019.

Asfinawati

Pemaparan dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal menyebut KPK hasil revisi dengan istilah KPK Kenormalan Baru. “KPK menurut saya mengalami kenormalan baru. KPK yang dulu memberantas korupsi, tidak bersahabat dengan korupsi, dan bergaya sederhana sekarang terbalik. Pulang kampung dengan helikopter dan banyak kasus menunjukan ‘persahabatan’ dengan korupsi”, tuturnya. Kemudian, Zainal mengajak publik untuk tetap mengawal pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai faktor yang penting. “Rasanya aktivis antikorupsi harus berpikir bagaimana caranya memberantas korupsi tanpa mengharapkan KPK dan Presiden Jokowi”, lanjutnya.

Zainal Arifin M

Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Alissa Wahid. Pemantik diskusi tersebut diawali dengan kutipan, change happens at the speed of trust. Alissa menjelaskan bahwa kepercayaan adalah hal yang utama dalam konteks publik. Alissa pun menuturkan jika paradigma terhadap pemberantasan korupsi tidak bisa semudah embel-embel korupsi bisa diberantas, namun butuh partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Paradigma baru yang dapat dilakukan adalah dengan rethinking, dimana akibat dari korupsi pun dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Penulis: Erma Nuzulia S

Rilis Media: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai dan Optimalisasi Pendapatan Negara

Berita Thursday, 10 September 2020

Pada 8 September lalu Pukat UGM telah menyelenggarakan Diskusi Publik Penataan Kebijakan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi. Pada kegiatan tersebut Pukat UGM mendorong pentingnya penyederhanaan Struktur Tarif Cukai bagi Optimalisasi Pendapatan Negara.

Berikut adalah rilis Diseminasi Publik:

Berdasarkan prinsip dalam Undang-Undang tentang Cukai, maka segala kebijakan cukai perlu didorong untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Strategi optimalisasi termasuk di antaranya dengan menutup sekecil mungkin celah kebijakan yang dapat menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara di sektor cukai.

Celah kebijakan yang akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara terlihat dari Permenkeu No. 152/PMK.010/2019. Peraturan itu menetapkan tarif cukai berdasarkan golongan-golongan yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi dalam satu tahun. Problematikanya, tarif yang ditetapkan per golongan tersebut berpotensi menimbulkan praktik koruptif. Hal tersebut terlihat dari gap (perbedaan) tarif antar golongan yang begitu lebar.

(….)

Unduh rilis selengkapnya melalui tautan di bawah ini:

rilis diseminasi publik – cukai -Pukat UGM

Diskusi Publik PUKAT UGM: Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi

Berita Tuesday, 8 September 2020

Pada Selasa, 8 September 2020, Pukat FH UGM menggelar diskusi publik dengan tema Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara, dan Pencegahan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM), Danang Widoyoko (Sekjen Transparency International Indonesia), Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Tim Stranas Pencegahan Korupsi) dan Dicky Alfarisi (Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Oce Madril. Dalam pemaparan tersebut, Oce Madril menyampaikan poin catatan dari Pukat UGM mengenai Eksaminasi Peraturan Menteri Keuangan tentang Cukai Hasil Tembakau dalam rangka optimalisasi pendapatan negara. Secara garis besar, pemaparan ini menjelaskan mengenai masalah dalam peraturan perundangan cukai di Indonesia dan isu terkait road map yang dibuat oleh pemerintah. Pembuatan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah tidak sejalan dengan road map yang bertujuan untuk simplifikasi tarif cukai yang ada di Indonesia. Oce Madril juga menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan layer dan gap tarif cukai yang masih banyak.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Danang Widoyoko. Danang menjelaskan urgensi dari penyederhanaan tarif cukai di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai instansi. Kemudian, Danang juga menjelaskan patahan argumen dari alasan pembatalan simplifikasi tarif cukai, seperti merugikan produsen kecil dan menengah, merusak iklim investasi dan kesiapan hasil tembakau, dan struktur tarif cukai mendorong peredaran rokok ilegal. Menurutnya, alasan tersebut tidak benar “Justru simplifikasi tarif cukai dapat meningkatkan penerimaan negara, insentif untuk tax avoidance, mendorong iklim bisnis lebih setara dan adil, dan mengurangi konsumsi rokok,”terangnya.

Danang W_Sekjend TII

Selanjutnya, pembahasan mengenai penataan kebijakan cukai dipaparkan oleh Bimo Wijayanto. Bimo mengawali pemaparan dengan menjelaskan pergeseran konsumsi tembakau dari tahun ke tahun, yang dimulai dari rokok secara manual sampai rokok elektrik. Selain itu, Bimo juga menjelaskan bahwa Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), walaupun hukum nasional Indonesia sudah mengarah ke kontrol tembakau seperti di dalam FCTC. Bimo juga menjelaskan dasar bagi pemberian golongan cukai, seperti jenis hasil tembakau; jenis industri; golongan produksi pabrikan; dan kandungan bahan baku dalam negeri.

Pemantik diskusi terakhir disampaikan oleh Dicky Alfarisi. Dicky menyampaikan hasil kajian KPK mengenai sistem pengawasan dan pelayanan cukai di direktorat jenderal cukai. Selain itu, Dicky juga menjelaskan mengenai Corruption Risk Assessment (CRA) yang digunakan untuk menganalisis dan menilai faktor penyebab korupsi dalam UU, peraturan lain, maupun peraturan yang masih dalam bentuk rancangan. “Terdapat empat kriteria asesmen dalam CRA, yaitu compliance, execution, administrative procedure, dan corruption control,”ujarnya.

Dicky A_Litbang KPK

Penulis: Erma Nuzulia S

 

Download link materi:

Diskusi Cukai Pukat UGM_Bimo W

 

Diskusi dapat diakses melalui:

Video: Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas

Berita Thursday, 13 August 2020

Video “Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas” berisi dampak korupsi, pengertian korupsi, faktor yang mempengaruhi perilaku koruptif dan contoh perilaku koruptif yang terdapat di sekitar kita, terutama di lingkungan kampus.

Disajikan dengan animasi sederhana dan menarik, video ini diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi dan berkontribusi dalam membangun integritas khalayak luas, tekhusus bagi mahasiswa.

Selengkapnya:

Rilis Diksi #8 RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”

Berita Wednesday, 22 July 2020

Unduh Rilis Diksi #8 pada tautan di bawah ini:

Rilis Diksi 8

123
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY