Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 9
Arsip:

Berita

Langkah Keliru PKS

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

KASUS korupsi impor daging sapi memasuki babak kisruh. PKS melaporkan penyidik dan juru bicara KPK ke Mabes Polri atas sikap yang dianggap tak senonoh. Ada dua delik yang digunakan.

Pertama; perbuatan tidak menyenangkan, dan kedua; perbuatan para penyidik KPK yang masuk ke kantor orang lain dengan cara melompati pagar. Sontak rencana pelaporan ini memicu kisruh antara PKS dan KPK. Partai yang konon mencirikan diri bersih harus berhadapan dengan komisi antirasuah.

Dalam kerangka pemberantasan korupsi, KPK adalah lembaga yang dirancang khusus memberantas suap. Meski demikian, hukum mengatur setiap tindak-tanduk komisi antikorupsi itu harus berdasarkan prinsip kepastian hukum. Pada penjelasannya, ketentuan tersebut memerintahkan jika komisi ini dalam menjalankan tugas tidak boleh keluar dari aturan perundang-undangan.

Sejak 2002, sudah lebih satu dekade lembaga antikorupsi yang dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 ini berdiri. Artinya, sudah lebih dari 10 tahun KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, termasuk penyitaan. Tentu pola penyitaan yang dijalankan sudah diatur sedemikian rupa dengan tidak melawan undang-undang.

Kalau sekarang ada tuduhan bahwa penyidik KPK tak membawa surat sita tatkala akan merampas harta yang diduga hasil korupsi, sungguh sangat sulit memercayai. Selanjutnya, agak aneh juga andaikata harus meyakini bahwa ada penyidik KPK yang lompat pagar ketika akan melaksanakan penyitaan. Ini benar-benar mirip dagelan.

Di sisi yang lain, tanpa disadari langkah PKS memolisikan KPK dalam kacamata politik merupakan pilihan yang salah, langkah yang keliru.
PKS sedang melakukan perjudian atas posisinya dalam kontestasi Pemilu 2014. Posisi bagus pada Pemilu 2009 cenderung sulit dipertahankan kala elite partai ini lebih memilih vis a vis dengan KPK dari pada bekerja sama dengan badan penangkap koruptor itu.

Elite PKS seperti ’’kebakaran jenggot’’ menghadapi pemeriksaan kasus korupsi dari KPK. Langkah kebakaran jenggot ini mengubur kepercayaan dan dukungan pemilih yang telah memenangkan partai bulan kembar ini pada pemilu sebelumnya.

Meski katakanlah, konsolidasi partai sangat luar biasa sehingga tidak mengurangi dukungan suara pada PKS, paling tidak partai itu telah menampakkan wajah sesungguhnya yang tidak lagi mampu dipercaya. Itu tentunya akan menghanguskan impian dan harapan besar akan kehadiran parpol berbasis agama yang punya kemampuan dan kemauan mengubah wajah Indonesia, dan bukan mengorupsi Indonesia.

Yang juga berbahaya dari langkah PKS melaporkan ke kepolisian adalah dapat dimaknai sebagai upaya partai tersebut untuk kembali membuka luka lama pola hubungan KPK-Polri yang memang tak pernah mesra.

Tapi apa lacur, PKS sudah keukeh mau laporkan KPK ke Mabes Polri. Pada bagian ini, pendulum menyelesaikan kisruh ada di tangan kepolisian. Dalam saga pemberantasan korupsi, Mabes Polri melalui Bareskrim pernah memiliki sejarah emas dukungan terhadap usaha pemberantasan korupsi. Pada 7 Maret 2005 Bareskrim menerbitkan surat nomor B/345/III/2005/ Bareskrim.

Langkah Benar

Layang itu pada pokoknya bicara, jika ada pemeriksaan kasus korupsi kemudian si terperiksa melaporkan balik pe-meriksaan tersebut, maka kepolisian harus mengutamakan penanganan tindak pidana ko-rupsinya. Laporan balik bisa ditangani dalam rangka dimanfaatkan untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang mendukung pengungkapan kasus korupsinya. Kita yakin Mabes Polri akan bersikap bijak menanggapi laporan PKS.

Apakah tidak ada pilihan langkah yang benar yang dapat dilakukan PKS guna menanggapi kasus korupsi impor daging sapi? Selalu ada pilihan rasional untuk menyelamatkan bahtera partai. Bila masih ingin menyitrakan diri sebagai partai yang benar-benar bersih, semestinya semua anggota dan kader korup ataupun berisiko korup dikeluarkan dari partai. Partai yang bersih tak akan membiarkan orang berkaki kotor karena kubangan korupsi masuk ke dalam pemikiran dan kebijakan partai.

Syahwat politik elite PKS yang tak bisa ditahan hanya akan membahayakan posisi partai di depan pemilih. Tidak lebih. Mungkin kengototan elite PKS dalam melawan KPK tak akan menggoyahkan kader fundamental di tubuh partai. Sayang, konstitusi ternyata mengakomodasi keberadaan Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu menyebutkan MK memiliki wewenang yang bersifat final untuk membubarkan partai.

Undang-Undang tentang Partai Politik mengamini kewenangan MK itu. Partai dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum. Partai dilarang menjadi sarana pencucian uang oleh elite, kader, atau anggota. Jika partai membangkang, ia akan dibekukan. Jika masih ngotot, ia akan dibubarkan.

Terakhir, menentukan pilihan yang benar dengan pilihan yang salah hanyalah soal keyakinan. Dengan keimanan yang sungguh-sungguh dan akal waras, rasa-rasanya bekerja sama dengan KPK adalah lebih baik dari pada membuka konfrontasi, yang cuma memuaskan syahwat elite partai.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 22 Mei 2013

Pasca-Mahfud dan Pasca-MK

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Besar atau kecil, Prof Mahfud MD sudah memberikan sesuatu dampak yang menarik dalam kiprahnya sebagai hakim konstitusi dan ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Dalam kapasitas ketua MK, Prof Mahfud sangat banyak mewarnai diskursus penegakan hukum. Banyak apresiasi walaupun tidak bisa dinafikan ada kritisi bahkan yang bersifat insinuasi. Dalam posisi di tengah ‘berbagai cahaya lampu’ wacana penegakan hukum, Prof Mahfud akan meninggalkan MK karena masa jabatan yang habis.

Saya termasuk yang percaya bahwa sangat mungkin Prof Mahfud akan memperoleh kesempatan yang kedua di MK. Pilihan yang harus dihormati tentunya. Pada saat yang sama, akan ada berbagai pertanyaan besar di kisaran dua hal dari habisnya masa jabatan Prof Mahfud. Pertama, bagaimana MK pasca-Prof Mahfud? Kedua, bagaimana Prof Mahfud pasca-berhenti sebagai ketua MK?

MK Pasca-Mahfud

Saya orang yang bersyukur karena ada Prof Mahfud di MK. Prof Mahfud, dalam beberapa kesempatan dan tentunya juga atas dukungan hakim-hakim MK lainnya, membawa MK menjadi solusi dari beberapa persoalan. Prof Mahfud dalam berbagai kesempatan tersebut telah ‘menggunakan’ nama MK untuk mengambil, menganalisis, dan mengomentari berbagai hal dalam konteks penegakan hukum dan problema politik di republik ini.

Di tengah berbagai hal “buntu” penegakan hukum seringkali Prof Mahfud mengambil posisi yang sangat dekat dengan kepentingan publik. Karena itu, para pencari keadilan sering melihat Prof Mahfud sebagai tawaran oase di tengah tandusnya penegakan hukum. Tingkah dan laku ini tentu tidak jauh dari kondisi Indonesia yang seringkali para pejabat tingginya tidak bersiap menyediakan solusi, tetapi lebih sering sebagai sumber masalah.

Hukum yang dilaksanakan para politisi yang menjadi pejabat publik sangat sering membuat hukum tersakiti. Bahkan ketika ada proses penegakan hukum atas tindakan itu, kembali seringkali uang dan pengaruh politik membunuh penegakan hukum yang seharusnya. Lagi perihal Indonesia, masalah besar politik hukum dan pelbagai persoalan yang berkelindan di antaranya memang berada pada ranah memusingkan sekaligus mencemaskan.

Kondisi yang mirip perkataan dalam analisis Zamboni bahwa substansi hukum tidak akan mungkin sepenuhnya independen dari kepentingan para pelaku politik. Organisasi politik dan aktor-aktor politik di parlemen dan pemerintahan akan sangat memengaruhi substansi dari suatu norma hukum. Dalam bahasa Roberto M Unger, ia sebut sebagai bureaucratic law, model hukum yang tersubordinasi di bawah kepentingan birokrasi kekuasaan dan institusi kapital.

Maka itu terjadi klientalistik dan begitu banyak pencarian rente (rent seeking) oleh para aktor berwajah negara yang menjadikan negara bayangan (pseudo state). Saya kira, sebagai ketua MK, Prof Mahfud sadar benar dalam kondisi itu. Maka itu, ia berteriak lantang dengan banalitas politik yang terus-menerus mengorupsi dan menggerus penegakan hukum dengan menggunakan “posisi tinggi” sebagai ketua MK.

Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud. Paling tidak bisa diindikasikan dari berbagai komentar yang pernah dikeluarkan oleh pejabat-pejabat negara yang terkena sindiran Prof Mahfud lalu dengan lantang balik menyerang Prof Mahfud.

Tetapi, tentu saja, tindakan Prof Mahfud bukan tanpa catatan yang seharusnya diberikan garis yang tebal. Entah sadar atau tidak, posisi Prof Mahfud sebagai hakim konstitusi membuat posisinya tidak bisa berbicara lepas selayaknya seorang pengamat. Dalam hal yang sangat potensial untuk menjadi perkara di MK, Prof Mahfud tentu dalam posisi yang sulit untuk berbicara dalam langgam tradisi intelektualnya ataukah kewajiban keprofesionalan sebagai hakim konstitusi.

Dalam hal tertentu, beberapa komentar Prof Mahfud sesungguhnya merupakan komentar yang menjadi tidak pas karena pada saat yang sama sangat mungkin hal tersebut akan menjadi sengketa di MK. Posisi yang sulit tentu karena MK itu merupakan lembaga peradilan hukum yang menyelesaikan banyak sengketa politik. Pada saat yang sama, wilayah keintelektualan Prof Mahfud memang berdiri di antara dua kaki tersebut, politik dan hukum.

Berdiri di dua kaki membuat Prof Mahfud sering melakukan pendekatan yang kurang lazim. Berbahasa politik meski dengan suara hukum. Pendekatan yang terkadang menyelesaikan masalah, tetapi sangat potensial mendatangkan masalah baru. Sepeninggal Prof Mahfud, menarik untuk membayangkan apa yang akan diperankan MK selanjutnya.

Tentu ini tugas para hakim saat ini, tetapi dalam harapan tentu saja kita tetap berharap ada hakim di MK yang mau, tetapi berbicara dalam kepentingan publik dan melakukan pembelaan publik. Meskipun pada saat yang sama harus lebih berhati-hati atas potensi berbicara hal yang tidak pas dan pantas selaku hakim konstitusi.

Mahfud Pasca-MK

Lain hal adalah apa yang akan dilakukan Prof Mahfud pasca-ketua MK. Dalam berhadapan dengan ini, kesadaran Prof Mahfud tentu menjadi sangat mungkin menjadi gamang. Jika mau terus melanjutkan pilihan metodis dia dalam memperbaiki kehidupan hukum di Indonesia, dia butuh “posisi tinggi” baru untuk mengganti posisi ketua MK yang sudah tidak dia jabat lagi.

Jika mau melanjutkan bakti menjadi pendorong perubahan yang terus meneriakkan lagu berbagai hal, tentu dia harus punya posisi yang pas dan rasanya itu hanya bisa dilakukan ketika berdekatan dengan partai politik. Menjadi apa pun kuasa negara di negeri ini harus “menikahi” partai politik. Padahal, dalam banyak hal, partai poltik lebih sering menjadi problem daripada solusi.

Jika memang Prof Mahfud akan melanjutkan posisi sebagai kuasa negara semisal melalui presiden atau wakil presiden, tentu Prof Mahfud akan kesulitan melanjutkan teriakan-teriakannya. Di MK sangat nikmat untuk melagukan itu karena memang sangat bercorak yang sama.

Tetapi dengan posisi sekarang, melanjutkan tradisi tersebut akan membuatnya semakin membuka jarak dengan pelakupelaku masalah, semisal partai dan kelompok kepentingan yang mereka inilah yang memiliki pengaruh cukup kuat untuk mengantarkan seseorang menjadi posisi kuasa negara. Ini memang akan menjadi tantangan besar untuk Prof Mahfud.

Hidup mengalirnya telah mengantarkan ke berbagai posisi yang sudah dia gunakan cukup baik dalam memihak publik, akankah terus mengalir hingga RI-1 atau RI-2? Tentu tak ada yang tahu minat sesungguhnya dari Prof Mahfud. Tetapi jika benar beriktikad menuju ke sana, mau tidak mau Prof Mahfud harus membangun kemandirian atas konsep politik yang membelenggu pemimpinnya.

Terserah apa pun caranya. Karena tanpa kemandirian itu, Prof Mahfud akan tidak lagi leluasa menjadi kebenaran, tetapi akan menjadi berposisi diametral dengan para pencari kebenaran. Hampir tak ada ruang dalam sistem pemerintahan negara yang tidak dihampiri oleh suaranya. Pola-pola hubungan antarinstitusi negara boleh jadi sering terusik dan panas mendengar kritikan dan catatan Prof Mahfud.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO pada 04 April 2013

Membaca Manuver Anas

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

SEJUMLAH politikus bertandang ke kediaman Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, pascapenetapan status sebagai tersangka kasus pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar. Salah satu dari mereka adalah Mahfud Md, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Kedatangan Mahfud mengejutkan khalayak, termasuk saya. Sebelumnya orang nomor satu di pengadilan konsitusi itu dikenal sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Dalam kepemimpinannya, skandal Anggodo Widjojo yang berencana menjahili dua mantan komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, berhasil dibongkar. Sejak itu, Mahfud mafhum dianggap sebagai salah satu panglima pemberantasan rasuah.

Hiruk-pikuk pertanyaan muncul di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin Mahfud memberikan ’’dukungan’’ kepada tersangka korupsi? Bukankah dia sebelumnya berdiri dalam kelompok antikorupsi? Apakah Anas tak bersalah sehingga Mahfud berani memberikan semangat? Atas kedatangannya itu, wajar publik bertanya.

Ternyata Mahfud Md meluruskan pemberitaan dan informasi yang beredar. Ia tak mendukung Anas, tapi mendukung KPK dalam menuntaskan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan pimpinan partai berlambang mercy itu. Hanya yang ia inginkan jangan sampai pemeriksaan hukum terhadap Anas berbalik jadi penghakiman politik.

Mahfud mengatakan, tak boleh ada intervensi politik dan kepentingan kekuasaan yang ambil untung dalam penetapan Anas sebagai tersangka korupsi dalam kasus Hambalang. Pada bagian ini, saya sepakat. Kekuasaan dan intervensi politik harus digeser keluar dari proses penegakan hukum antikorupsi.

Namun bukankah kubu Anas yang melancarkan manuver politik terkait penetapan status tersangka? Anas mengeluarkan dua pernyataan yang beraroma politik. Pertama; ia mengatakan bahwa penetapan dirinya hanyalah ’’halaman pertama’’ dari beberapa skandal besar.

Kedua; Anas juga berniat membongkar kasus Bank Century dan keterlibatan Eddy Baskoro Yudhoyono alias Ibas dalam kasus Hambalang. Dua pernyataan dengan tiga subtansi dari Anas itu kembali mengingatkan pada peristiwa serupa beberapa waktu lalu.

Waktu itu, Susno Duadji yang terjerat masalah terkait kasus ’’Cicak vs Buaya’’ juga berniat membongkar kasus besar dalam tubuh Mabes Polri. Hasilnya nihil. Entah apakah ketiadaan informasi ini bagian dari politik tawar-menawar atau tukar-menukar nasib agar kubu lain dalam Mabes Polri tak diganggu oleh komisi antirasuah.

Peristiwa kedua ada¬lah pengakuan M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat yang juga berkicau soal keterlibatan orang kuat dalam korupsi pembangunan wisma atlet di Palem¬bang, ataupun korupsi lainnya. Kala itu nama Anas juga disebut dan hasilnya kini KPK menetapkan Anas sebagai tersangka. Dalam posisi ini, Nazaruddin juga melakukan politik tukar nasib. Ia tak mau masuk bui sendirian.

Dari dua pelajaran, antara Susno Duadji dan Nazaruddin, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Anas dengan pernyataannya juga sedang menebar manuver politik. Ia sepertinya melempar jaring politik ’’halaman pertama’’; kasus Century; serta dugaan keterlibatan Ibas, anak Yudhoyono. Hanya yang menjadi soal, apakah manuver politik Anas akan berakhir seperti Susno atau Nazaruddin?

Nasib Aman

Saya mencatat ada tiga hal yang dapat menjadi referensi untuk menebak hasil akhir manuver politik Anas. Pertama; meski telah mengundurkan diri dari Demokrat, kedudukan Anas masih cukup, atau boleh dibilang sangat kuat dalam internal partai. Faktanya, banyak loyalis yang tak rela anutannya mundur atau dipaksa keluar dari partai.

Bahkan, entah ini diskenariokan atau tidak, loyalis Anas melaporkan kebocoran draf sprindik ke kepolisian (01/03/13) yang setidak-tidaknya diharapkan pemeriksaan korupsi terhadap Anas dihentikan sementara waktu sampai pemeriksaan kebocoran sprindik selesai. Dukungan kuat itu memungkinkan Anas bertahan di kancah politik.

Kedua; kontestasi Pemilu 2014 yang makin dekat memaksa Demokrat berbenah dan membersihkan diri. Posisi paling aman adalah dengan tidak membongkar skandal lebih dalam. Kasus yang beredar ke telinga publik harus berhenti di permukaan agar keterpilihan partai tidak makin jeblok. Artinya, potensi partai untuk tukar-menukar nasib aman dengan Anas terbuka lebar. Partai tak mau busuk boroknya makin tercium.

Ketiga; pola penghukuman kasus korupsi yang masih rendah menguntungkan tiap aktor korupsi. Acara pembuktian penegak hukum yang tidak cukup kuat di persidangan dan putusan yang rata-rata tak sampai setengah dari tuntutan tak menjerakan koruptor. Hal ini membuat tersangka korupsi memilih diam dengan menyimpan semua informasi dan berharap setelah keluar bisa meraup keuntungan korupsi.

Tiga referensi itu mengantarkan pada hipotesis bahwa manuver politik Anas berujung untung sama untung. Untung bagi Anas karena tekanan partai berhenti. Seandainya pun terbukti di persidangan atas tuduhan korupsi, hukuman mungkin tak begitu berat.

Juga untung bagi partai karena citranya tak makin jatuh ke dasar jurang keterpilihan. Jika demikian kita tidak akan dapati ’’halaman kedua’’. Namun, sejujurnya saya berharap hipotesis ini keliru.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 04 Maret 2013

Derita Mendera Dera

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Negeri ini kembali berduka. Pasalnya, seorang bayi bernama Dera Nur Anggraeni meregang nyawa. Ia menderita gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan intensif dan memadai.

Upaya keluarga Dera mencari rumah sakit tidak berbuah hasil. Meskipun berbekal surat keterangan tidak mampu (SKTM), Dera ditolak sejumlah rumah sakit pemerintah karena kamar sudah penuh. Rumah sakit lain berdalih tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk Dera. Sementara jika merujuk pada rumah sakit swasta, keluarga Dera diminta membayar deposit puluhan juta rupiah.

Jaminan Kesehatan

Peristiwa ini seharusnya tidak dipandang sambil lalu karena telah sejak lama pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan bagi warga. Ada beragam program yang dicanangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Bahkan, secara spesifik jaminan persalinan (Jampersal) hadir bagi ibu hamil dan anak. Lantas mengapa Dera dan mungkin banyak bayi lain ditolak? Benarkah sulit bagi pemerintah menyediakan fasilitas memadai bagi ibu dan anak?

Derita Dera bukanlah derita biasa. Deritanya menggambarkan ketakberdayaan pemerintah memberi pelayanan terbaik bagi warga negara terutama di bidang kesehatan. Setiap tahun pemerintah menganggarkan sejumlah dana untuk menjamin hak mendapat pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Contohnya Jamkesmas, program ini didanai dari APBN untuk warga miskin. Pada 2012, pemerintah menganggarkan Rp 7,8 triliun. Jumlah ini meningkat karena di tahun sebelumnya pemerintah hanya menggelontorkan Rp 6,9 triliun.

Realitasnya, pada 2010 Kementerian Kesehatan melansir hanya 10 persen dari total 76,4 juta warga miskin yang memanfaatkan Jamkesmas. Selain itu, setiap pemerintah daerah juga berkewajiban menjamin hak warganya dengan Jamkesda. Miliaran rupiah dikeluarkan dari kas daerah untuk program ini. Khusus untuk DKI Jakarta, Gubernur Joko Widodo melansirnya sebagai Kartu Sehat Jakarta.

Khusus untuk ibu hamil dan anak yang dikandung terdapat Jampersal. Tahun lalu, DPR menyepakati Rp 1,56 triliun untuk memberi layanan kesehatan kepada ibu hamil dan anak. Sayangnya, di banyak daerah penyerapan Jampersal bahkan di bawah 30 persen.
Seharusnya jaminan kesehatan ini memberi pelayanan pada masa kehamilan, persalinan, nifas (42 hari setelah melahirkan), dan bayi baru lahir (sampai usia 28 hari). Pembiayaan yang dijamin adalah pemeriksaan kesehatan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan program keluarga berencana pascapersalinan, dan pelayanan bayi baru lahir. Jaminan ini hanya dapat diberikan kepada keluarga yang tidak menerima jenis jaminan kesehatan lainnya.

Ini merupakan fenomena yang mengherankan. Dengan warga miskin berjumlah puluhan juta jiwa, seharusnya jaminan pelayanan kesehatan bisa terserap maksimal. Data penduduk miskin yang bermasalah, sosialisasi yang minim, birokrasi pengurusan yang berbelit, juga belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak rumah sakit dipandang menjadi biang kerok.

Serbuan Mafia

Dalam kondisi yang serba semrawut, miliaran rupiah dana yang dikucurkan bisa menjadi sasaran empuk koruptor. Contohnya, dugaan korupsi Jamkesmas di Binjai, Sumatera Utara, yang diperkirakan merugikan negara Rp 11,3 miliar. Jumlah fantastis yang seharusnya digunakan oleh warga yang sakit justru menjadi bancakan pejabat korup.

Kasus daerah sebenarnya cerminan dari bobroknya pengelolaan alokasi pelayanan kesehatan oleh pemerintah pusat. Indonesia Corruption Watch (ICW) memublikasikan, sepanjang 2008-2009 ada sekitar Rp 128 miliar dana kesehatan yang dikorupsi. Sejalan dengan temuan ICW, Pukat Korupsi mencatat, sepanjang semester pertama 2012 ada enam kasus korupsi kesehatan yang ditangani penegak hukum, termasuk yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Sudah pengetahuan umum bahwa program negara untuk menyejahterakan rakyat justru rebutan bagi pemburu proyek. Yang menjadi fokus, berapa banyak bayaran yang akan diterima sejumlah oknum ketimbang berapa besar manfaat yang dirasakan warga, khususnya mereka yang tak berpunya. Bagaimana mungkin memberi fasilitas maksimal jika pengadaan alat kese- hatan tak sesuai dengan perencanaan. Sebut saja korupsi pengadaan rontgen portable di puskemas daerah tertinggal, dana proyek digelembungkan bahkan alat itu tidak disalurkan.

Potret semrawut sistem jaminan kesehatan dan jamaknya korupsi setidaknya menggambarkan betapa sulit warga mendapat haknya. Mengacu pada kasus Dera, keluarganya hanya memiliki SKTM. Artinya, belum memiliki jaminan kesehatan apa pun. Seharusnya terbuka banyak peluang bagi pemerintah pusat dan daerah mencukupi kebutuhannya, termasuk Jampersal.

Nyatanya, tetap sulit bagi Dera mendapatkan pertolongan. Sejumlah pejabat boleh angkat bicara dan menjelaskan. Mereka tentu boleh memberi alasan. Namun, Dera telah berpulang. Rasanya pun sulit bagi kita menerima alasan para pejabat, alasan yang justru menunjukkan minimnya performa karena minimnya kemauan politik.

Terdengar kabar bahwa Presiden akan mengunjungi keluarga Dera. Sayang, kasus Dera menggambarkan pemerintah telah gagal melindungi hak warga negara, khususnya mereka yang tergolong kelompok rentan, yang hidup dalam kemiskinan dan tak punya cukup daya memperjuangkan hak-haknya.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 26 Februari 2013

Cuci Uang dan Cuci Dosa Suap

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

ADALAH benar bahwa setiap orang bisa berbuat salah dan berhak memperbaiki diri. Juga benar bahwa rakyat harus percaya kepada pemimpinnya agar pemerintahan dapat berjalan maksimal. Tapi, bukankah sejak lama Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa faith must be enforced by reason. When faith becomes blind, it dies. Intinya, kepercayaan harus didasarkan pada alasan. Jika kepercayaan diberikan tanpa alasan, ia akan menjadi buta. Tentu kita semua paham bahwa kepercayaan yang buta akan cenderung disalahgunakan oleh penerimanya.

Demikian halnya dengan kepercayaan kita sebagai rakyat kepada politisi. Rasanya sulit untuk kembali percaya kepada politisi karena sudah kali kesekian politisi tertangkap melakukan suap. Mulai korupsi wisma atlet, Hambalang, pengadaan Alquran, sampai korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID). Kini giliran Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), presiden PKS, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena dugaan suap sapi impor.

Penangkapan LHI merupakan langkah lebih lanjut KPK yang telah menangkap tangan Ahmad Fathanah yang diduga teman dekat LHI karena menerima suap dari pengurus PT Indoguna Utama. Ditengarai suap senilai Rp 1 miliar itu digunakan untuk memuluskan pemenangan tender sapi impor kepada PT Indoguna Utama.

Korupsi dan Korporasi

Kasus suap semacam ini bukanlah modus baru. Selama 2012, kita disuguhi drama berburu persenan parpol di sejumlah proyek kementerian. Sejumlah parpol menyatakan, biaya politik yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi. Syahwat mengeruk uang negara semakin menjadi pada 2012. Dalam Trend Corruption Report 2012, PuKAT Korupsi mencatat, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan politisi di lembaga perwakilan dan swasta dalam pemenangan tender. Berkaca pada suap wisma atlet, Nazaruddin (Nazar), politikus Partai Demokrat (PD), bekerja sama dengan oknum kementerian dan swasta. Dalam hal aktor swasta, Grup Permai menjadi perusahaan yang dikendalikan Nazar agar bisa memenangkan proyek wisma atlet dan memberikan sejumlah fee.

Pengungkapan kasus Nazar bukanlah hal yang mudah bagi KPK. Meski akhirnya bisa menghukum politikus kelas atas dan pejabat teras Kemenpora, korupsi wisma atlet masih menyisakan kerisauan. Nazar dan pelaku lainnya tidak didakwa atas tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan Grup Permai -yang nyata-nyata berdasar persidangan digunakan untuk motif jahat- sama sekali tidak diberi sanksi.

Padahal, pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) mengatur mengenai hukuman yang bisa diberikan kepada korporasi. Akhirnya, Nazar dan kawan-kawan dipidana dengan hukuman yang tidak maksimal dan perusahaannya masih eksis. Belum lagi, pernyataan Nazar soal aliran fee dalam konvensi PD sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.

Pasal Pencucian Uang

Mengacu pada pengalaman penanganan suap wisma atlet, seharusnya KPK dapat lebih cermat dalam mengusut suap impor sapi. Pertama, mata rantai pelaku harus bisa diungkap tuntas. LHI terbilang “orang luar” dalam pengadaan sapi impor. Tentu saja ada otoritas yang bertanggung jawab dalam pengadaan sapi impor. Sebut saja Kementerian Pertanian (Kementan). Sangat mungkin, sejumlah oknum Kementan juga terlibat dalam pemulusan jalan berburu persenan tersebut. Tak hanya itu, politisi PKS dan politisi lainnya, baik yang ada di DPR maupun fungsionaris, harus diperiksa.

Kedua, KPK harus berani menggunakan pasal 20 UU PTPK dan TPPU karena bisa jadi telah terjadi permufakatan jahat untuk mencuci uang (money laundering) dari fee tersebut agar tidak bisa diketahui penyidik. Ataufee itu patut diduga bukanlah yang pertama karena sejak lama publik mencium adanya praktik kotor impor sapi. Sebelum pelaku kasus tersebut tertangkap tangan, gelagat kongkalikong dalam impor sapi sudah diberitakan media.

Ketiga, parpol mana pun yang politisinya kedapatan menerima suap seharusnya malu dan berbesar hati. Malu karena mereka melalaikan janji-janji pemberantasan korupsi. Dan berbesar hati mendukung segala proses hukum berjalan untuk “cuci dosa”. Sebab, di sinilah komitmen parpol diuji, benarkah mereka punya niat baik untuk memberantas korupsi di dalam tubuhnya sendiri. Demikian halnya dengan PKS, suap impor sapi bisa dijadikan media untuk membersihkan diri dari praktik kotor. PKS harus mau membuka diri, bukan justru melawan proses hukum terhadap LHI. Sekali lagi, membuktikan jargon pemberantasan korupsi juga bisa diterapkan ke dalam dirinya.

Menjelang Pemilu 2014, praktik korupsi politik diprediksi semakin marak dan terang-terangan. Kita sebagai masyarakat harus terus waspada, jangan sampai kembali terbujuk rayuan parpol korup. Publik harus memberikan pelajaran kepada parpol. Bukan berarti parpol harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengawas yang baik, memberikan masukan dan kritik. Bukan tidak mungkin, kelak korupsi politik berkurang karena publik tidak lagi permisif dan larut dalam fanatisme semu kepada parpol.

artikel ini pernah diterbitkan oleh JAWA POS pada 07 Februari 2013

Pengindependenan Penyidik KPK

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada galibnya harus bisa membuahkan pembelajaran dan penghindaran agar tidak jatuh pada lubang sama.
Salah satu problem yang sekian lama mendera Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah perihal penyidik. Praktik yang terjadi adalah pemaknaan atas Undang-Undang tentang KPK dengan horizon yang terbatas sehingga penyidik KPK menjadi tidak independen dan terbatas. Keterbatasan ini telah mendera KPK dan menjadikan KPK sering kali ”tersandera” dalam kerja- kerjanya memberantas korupsi.
Peristiwa penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian pada 12 September 2012, dengan tidak memperpanjang masa tugas yang diperbantukan di KPK, jelas merepotkan KPK yang sedang menyidik kasus-kasus korupsi yang menjadi perhatian luas masyarakat.
Tidak lama berselang, enam penyidik Kepolisian juga mengundurkan diri dan memilih kembali ke institusi asalnya. Bahkan, pada 13 Desember 2012, Polri kembali tidak memperpanjang 13 penyidiknya, tepat ketika KPK menahan Irjen Djoko Susilo, tersangka korupsi simulator surat izin mengemudi yang merugikan negara Rp 100 miliar.
Kejadian serupa ini telah berulang. Penyidik tiba-tiba ditarik kembali dengan berbagai alasan. Karena itu, tidak terbantahkan bahwa penarikan penyidik menjadi krisis laten yang akan setiap saat bisa menjadi aktual menimpa KPK. Fakta tarik ulur penyidik dan tidak mesranya pola hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan adalah buah dari pohon persoalan yang sama, keterbatasan pemaknaan UU KPK perihal penyidik.
Memaknai UU KPK dalam kaitan dengan pengindependenan penyidiknya sesungguhnya berada di antara posisi kuat KPK sebagai lembaga negara independen, pemaknaan lebih lebar atas UU KPK, dan pemihakan yang kuat untuk agenda pemberantasan korupsi. Ketiga hal yang memadu dan secara serempak menjadikan para penyidik KPK independen adalah bagian dari upaya luar biasa negeri ini menghalau korupsi. Karena itu, menjadi kebutuhan besar ketersediaan sarana dan keandalan penyelidik, penyidik, dan penuntut KPK yang selama ini masih rekrutan dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan.
Memaknai Penyidik KPK
Eksistensi penyidik KPK pada hakikatnya dimungkinkan menurut Pasal 45 UU KPK, bahwa (1) Penyidik adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK; (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Hal yang bisa dianalisis adalah penyidik di KPK yang diangkat oleh KPK, serta diberhentikan oleh KPK yang menjalankan fungsi penyidikan terhadap tindakan korupsi yang menjadi ranah kewenangan KPK.
Meskipun ada juga Pasal 39 Ayat (2) UU KPK yang mencantumkan bahwa ”Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK”, ketentuan ini sama sekali tidak bisa dikatakan dengan tafsiran tunggal bahwa keseluruhan penyidik haruslah dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa?
Menggunakan tafsiran historis atas pasal ini sangat erat dengan ketentuan awal ketika KPK dibentuk dan belum memiliki penyidik sama sekali. Apalagi, kemudian Pasal 45 Ayat (1) dan (2) di atas dengan jelas telah menentukan kemungkinan adanya penyidik yang secara lebih independen diangkat dan diberhentikan KPK.
Belum lagi, dengan menggunakan metode tematis, jika merujuk ke Pasal 21 Ayat (4) yang mengatakan para pemimpin KPK juga sebagai penyidik dan penuntut umum. Jelas, para komisioner KPK bukanlah polisi dan jaksa yang harus diberhentikan dari Kepolisian dan Kejaksaan dulu baru mereka dapat memegang fungsi penyidikan dan penuntutan.
Artinya, Pasal 21 Ayat (4) dapat dipakai menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam Pasal 39 Ayat (2) adalah ketentuan yang khusus untuk penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang ”dipinjam” dari Kejaksaan dan Kepolisian. Artinya, sama sekali tak bisa dipakai untuk mengatakan semua penyidik haruslah dari Kejaksaan dan Kepolisian.
Independensi Fungsi
Jimly Asshiddiqie (2008) menganalisis bahwa secara subtantif kelembagaan, independensi yang harus dimiliki itu ada dalam tiga bentuk. (1) Independensi institusional atau struktural; (2) Independensi fungsional yang tecermin dalam proses pengambilan keputusan yang secara tujuan independen dan instrumen independennya bisa ditetapkan oleh lembaga itu sendiri secara independen; (3) Independensi administratif dalam bentuk independensi keuangan dan independensi personalia.
Artinya, selain independen secara institusional, satu hal yang paling tidak bisa dilupakan adalah membuat lembaga tersebut secara fungsionalnya juga independen. Jadi, bukan hanya secara kelembagaan, tetapi juga dalam kerangka operasional dan kerja secara fungsional seharusnya independen.
KPK tentulah lembaga negara independen yang idealnya haruslah disematkan ke semua jenis keindependenan tersebut. KPK yang independen adalah KPK yang secara institusi, fungsi, dan administrasinya adalah independen. Termasuk dalam fungsi penyidikan.
Karena itu, independensi penyidik KPK perlu dimaknai pada pelaksanaan fungsi penyidikan KPK, termasuk hingga keindependenan dalam term administratif. Jika selama ini secara administratif nasib para penyidik KPK masih bergantung ke lembaga asalnya, pengukuhan keindependenan KPK memutlakkan kebutuhan agar KPK memiliki penyidik sendiri yang tidak lagi ”meminjam” dari lembaga lain. Independensi penyidik KPK adalah konsekuensi logis dari KPK sebagai lembaga negara independen.
Pekerjaan yang tertinggal tentu saja adalah kemauan menguatkan KPK dengan penyidik internal yang lebih independen. Dan, itu hanya bisa hadir melalui pemihakan yang kuat atas agenda pemberantasan korupsi. Negara harus berpikir menguatkan penyidik internal ini dengan memberikan ruang yang besar bagi KPK untuk segera melakukan rekrutmen dan memfungsikan para penyidik internal KPK.
Itu hanya bisa terjadi jika KPK diberi kesempatan luas untuk merekrut, mendidik, dan memfungsikannya dengan dukungan yang kuat dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Kita semua paham bahwa problem di KPK salah satunya adalah jumlah penyidik yang jauh dari kesan berimbang dengan jumlah laporan perkara ataupun jumlah perkara yang sedang ditangani KPK. Tidak sekadar itu, penyidik internal yang diangkat oleh KPK sendiri akan mengakhiri ketergantungan KPK pada Kejaksaan dan Kepolisian.
Mengakhiri ketergantungan itu akan menjadi jawaban dan penghindaran yang tepat atas persoalan penyidik KPK. Pada saat yang sama tentu saja akan berpotensi mendorong pemberantasan korupsi ke jalur yang lebih cepat.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 01 Februari 2013

Dicari, Caleg Antikorupsi

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Tahun 2013 adalah tahun politik. Tahun di saat proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dimulai. Sekarang seluruh partai politik sibuk menyiapkan dan menjaring calon anggota legislatif (caleg). Daftar bakal caleg itu harus sudah diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) maksimal April 2013.
Para calon legislator tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR, 2.137 kursi DPRD provinsi, dan belasan ribu kursi DPRD kota/kabupaten. Beragam cara dilakukan partai politik untuk menggaet caleg. Ada yang mendekati artis-artis terkenal, ada yang mendekati pejabat negara, kepala daerah, pengusaha, juga mantan aktivis. Semua upaya dilakukan dengan tujuan utama meraup suara terbanyak pada pemilu mendatang.
Tahapan penentuan caleg ini adalah masa yang krusial bagi partai. Karena wajah caleg setidaknya akan menggambarkan wajah partai politik tersebut. Apakah caleg yang diajukan menggambarkan komitmen partai untuk menuntaskan agenda reformasi atau tidak. Sebab, caleg adalah calon anggota DPR dan DPRD, yakni di pundak merekalah rakyat menitipkan amanat untuk menjadi bagian dari pengelola negara ini demi kemakmuran rakyat.
Secara hukum, syarat untuk menjadi caleg telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Di dalam pasal 51 dijelaskan bahwa caleg minimal berumur 21 tahun, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, serta setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi.
Kemudian ada larangan rangkap jabatan, yakni seorang caleg harus bersedia untuk tidak rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi atau komisaris pada badan usaha milik negara/daerah. Mereka juga harus bersedia tidak berpraktek sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, serta hak sebagai anggota DPR dan DPRD.
Satu hal yang baru dalam UU Pemilu ini adalah bahwa seorang kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri, anggota TNI dan polisi, serta direksi dan komisaris BUMN/D harus mundur dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon legislator. Pengunduran diri tersebut bersifat permanen, tidak dapat ditarik kembali. Selanjutnya, caleg haruslah mereka yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Ketentuan UU Pemilu tersebut memang telah memberikan rambu-rambu dalam penentuan caleg. Namun persyaratan tersebut masih sangat normatif dan belum cukup. Rakyat membutuhkan sesuatu yang lebih dari itu. Rakyat membutuhkan caleg yang berkualitas, berintegritas, dan antikorupsi! Kenapa? Karena salah satu masalah utama yang dihadapi oleh lembaga perwakilan rakyat dan partai politik saat ini adalah minimnya integritas dan maraknya korupsi. Lihat saja pemberitaan media, hampir setiap hari ada berita perihal keterlibatan para anggota Dewan dalam kasus korupsi.
Data Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM menunjukkan bahwa terdapat sekitar 59 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi selama 2012. Angka itu di luar nama-nama yang sering disebut-sebut terlibat suatu kasus. Boleh jadi angkanya lebih besar karena sifat korupsi politik itu adalah berjemaah. Melibatkan banyak pihak, baik yang ada di legislatif, eksekutif, maupun pengusaha. Mayoritas mereka terlibat permainan mafia anggaran dan korupsi proyek yang didanai APBN dan APBD. Sebut saja beberapa contoh kasus, seperti korupsi proyek Hambalang, pengadaan Al-Quran, penyelenggaraan PON, dan lain sebagainya.
Berbagai kasus korupsi politikus itu membuktikan bahwa ada yang salah pada pola rekrutmen dan pembinaan kader partai politik. Bahkan terkesan parpol asal-asalan dalam merekrut kader. Yang diutamakan adalah uang dan popularitas tanpa memikirkan integritas. Hal ini diperparah oleh sikap parpol yang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai. Akibatnya, parpol gagal membuktikan diri sebagai pilar demokrasi. Sebaliknya, menjadi pilar korupsi.
Parpol seharusnya mulai sadar bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis. Masyarakat akan berpikir ulang untuk menaruh kepercayaan kepada partai yang dinilai kerap menyalahgunakan wewenang. Karena itu, parpol harus segera berbenah memperbaiki diri. Tidak ada pilihan lain bagi parpol, selain menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.
Momentum rekrutmen caleg harus dijadikan sebagai ajang pembuktian komitmen antikorupsi parpol. Caranya sederhana, parpol harus teliti dalam melihat rekam jejak para caleg. Parpol harus berani menolak caleg yang terlibat korupsi atau disebut-sebut terindikasi terlibat suatu kasus korupsi. Seleksi caleg harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Setiap parpol harus membuka diri dalam proses pemilihan caleg. Uji publik dan masukan masyarakat harus dipertimbangkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses pencalonan anggota legislatif dengan politik uang. Jangan sampai ada transaksional.
Kemudian, syarat lain yang bisa diterapkan adalah laporan harta kekayaan. Sebagai calon pejabat publik, caleg harus bersedia melaporkan harta kekayaannya. Hal ini diwajibkan oleh UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam pasal 5 poin 2 dan 3 ditegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Laporan harta kekayaan ini dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan dan pengontrol agar politikus tidak korupsi.
Terakhir, penting untuk membuat semacam pakta integritas dan kesediaan mengundurkan diri dari keanggotaan DPR dan DPRD jika menjadi tersangka korupsi. Sebab, kita tidak ingin ada lagi kejadian di mana ada anggota DPR yang sudah dihukum tapi masih tercatat sebagai anggota DPR dan masih menikmati gaji yang tinggi setiap bulan. Komitmen yang sama harus diusung oleh partai politik, yakni akan memecat setiap kadernya yang menjadi tersangka korupsi. Dengan demikian, kita masih bisa berharap Pemilu 2014 melahirkan politikus antikorupsi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 29 Januari 2013

Final Pemakzulan Aceng Pasca Putusan MA

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

MAHKAMAH Agung (MA) akhirnya merestui pemakzulan terhadap Bupati Garut Aceng Fikri. Lewat putusannya, MA membenarkan usul dan pendapat DPRD yang menyatakan bahwa sang bupati telah melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah. Yakni, menabrak ketentuan hukum UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan ini bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk melawan putusan MA tersebut. Suka atau tidak suka, putu-san MA ini harus diterima dan dilaksanakan. Walaupun kuasa hukum Aceng berencana melayangkan gugatan senilai Rp 5 triliun kepada pemerintah, gugatan itu pun tidak akan menghalangi pelaksanaan putusan MA.

Publik tentu masih ingat awal mula kasus ini. Kontroversi bermula dari persoalan nikah kilat sang bupati dan berbagai pernyataan “nyeleneh” yang mengundang kritik publik. Luasnya kritik publik dan derasnya desakan masyarakat membuat DPRD bersikap yang berujung pada proses pemakzulan.

Pertimbangan Hukum dan Politik

Ada perbedaan mendasar terkait proses pemakzulan kepala daerah pasca berlakunya UU Pemda yang baru. Sebelumnya, pertimbangan politik menjadi faktor dominan. Kewenangan sepenuhnya ada di tangan DPRD. Alasan pemakzulan pun sangat politis. Biasanya terkait dengan penolakan terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah atau krisis kepercayaan terhadap kepala daerah.

Sementara, UU Pemda yang baru menekankan pada aspek pertimbangan hukum sebagai syarat memakzulkan kepala daerah. Seorang kepala daerah hanya dapat diberhentikan jika melanggar hukum. Prosedur yang ditempuh kombinasi antara prosedur hukum melalui MA dan prosedur politik melalui DPRD.

Sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU Pemda dan PP Nomor 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bahwa ada 6 (enam) alasan pemberhentian kepala daerah. Yaitu, berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dan melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Di antara enam alasan di atas, hanya dua alasan yang dapat digunakan DPRD untuk memakzulkan kepala daerah. Yakni, jika kepala daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban.

Terkait dengan kasus Bupati Aceng, dia dinyatakan telah melanggar sumpah/janji jabatan. Pasal 110 UU Pemda menjelaskan, sumpah jabatan seorang kepala daerah itu antara lain berisi tentang ketaatan menjalankan segala UU de¬ngan selurus-lurusnya. Poin inilah yang menurut DPRD dilanggar karena Aceng melanggar UU Perkawinan. Inilah yang dijadikan pintu masuk pemakzulan.

Boleh jadi ada yang menganggap alasan hukum pemakzulan Aceng sangat lemah. Namun, putusan DPRD tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial politik. Realitas sosial politik masyarakat menghendaki Bupati Aceng dimakzulkan.

Tindak Lanjut

Dengan keluarnya putusan MA, langkah hukum sudah berakhir. Langkah berikutnya masuk pada proses politik. DPRD harus segera menggelar rapat paripurna yang sekurang-kurangnya dihadiri 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Kemudian, presiden wajib memproses usul pemberhentian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.

Proses politik di sidang paripurna DPRD lah yang akan menentukan nasib Bupati Aceng. Pada tahap ini, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Meski MA telah menyatakan Bupati Aceng melanggar sumpah janji jabatan, bisa saja proses politik di DPRD memutuskan untuk tidak mencopot Aceng. Tetapi, tampaknya DPRD tidak akan berani mengambil langkah ekstrem tersebut. Alasannya, DPRD bisa dianggap tidak konsisten dan masuk angin, sehingga bisa menjadi sasaran protes publik.

Karena itu, penting untuk mengawal proses pemakzulan ini. Hal ini sekaligus akan menjadi preseden baik bagi penye¬lengaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kasus yang menimpa Bupati Aceng Fikri memberikan pelajaran penting bagi pejabat negara. Bahwa seorang pejabat negara tidak bisa sewenang-wenang dalam melakukan tugasnya. Walaupun kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya, bukan berarti mereka bisa semena-mena melakukan perbuatan tercela dan melanggar hukum. Itulah pesan kuatnya.

artikel ini pernah diterbitkan oleh JAWA POS pada 28 Januari 2013

Dagelan Politik Pemerasan

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PERKEMBANGAN laporan Menteri BUMN Dahlan Iskan mengenai beberapa anggota DPR yang memeras beberapa BUMN memasuki babak konfrontasi. Badan Kehormatan DPR akan melakukan konfrontasi karena pemeriksaan terhadap sejumlah pihak memperoleh hasil yang berbeda (SM, 27/11/12).

Perbedaan hasil pemeriksaan itu misalnya, didapat dari pemeriksaan dugaan kasus di PT Merpati Nusantara Airlines (Merpati). Mantan Dirut Merpati Jhoni Tjitrokusumo mengatakan tidak ada pemerasan. Sebelumnya, Dirut sekarang Rudy Setyopurnomo mengemukakan kepada Menteri BUMN bahwa ada pemerasan. Tudingan ini dibantah oleh Jhoni, bahkan dia telah melaporkan Rudy ke kepolisian karena diduga memfitnah.

Muhammad Hatta, anggota Komisi XI DPR, menengarai tuduhan adanya anggota parlemen yang memeras BUMN yang dilontarkan Dahlan Iskan karena mantan Dirut PLN itu terpojok saat ditanya pertanggungjawaban inefisiensi Rp 37,6 triliun. Perusahaan itu diduga merugikan keuangan negara kala dipimpin oleh Dahlan.

Sepertinya, keadaan berkait keberadaan tukang peras akan bertambah panas. Para politikus saling serang. Kabar tukang peras masih menghasilkan cahaya suram. Lalu, siapa yang benar? Siapa yang memfitnah? Atau siapa yang keliru sekaligus menyerang kehormatan seseorang?

Tuduhan pemerasan terhadap seseorang, diakui atau tidak, sedikit atau banyak, merontokkan kehormatan seseorang. Apalagi tuduhan itu disampaikan oleh menteri kepada anggota DPR. Nilainya tak seperti tuduhan rakyat miskin terhadap tetangganya, yang juga miskin. Tuduhan pejabat negara kepada pejabat negara yang lain, harus disertai cukup bukti sebab hal ini akan menjadi pembelajaran bagi rakyat kebanyakan.

Bayangkan, kalau menteri berani buka-bukaan nama ataupun inisial serta partai yang disangka sebagai tukang peras, niscaya sikap buka-bukaan itu akan diikuti oleh rakyat. Masyarakat tidak lagi takut bersuara. Publik akan berani melaporkan pejabat korup.

Saling Sandera

Tetapi tatkala tuduhan itu tidak menyertakan cukup bukti alias sekadar omong kosong, nilainya tak lebih dari dagelan politik. Sekarang lapor, besok lupa. Besok lapor, lusa lupa.

Tampaknya, aroma Pemilu 2014 mulai tercium oleh para politikus nasional. Segala persiapan dilakukan. Strategi disusun. Dalam dunia politik, kebutuhan untuk meminimalisasi rival dalam percaturan mendapatkan kursi kekuasaan adalah sepertinya menjadi perihal yang niscaya.

Menyebar isu dugaan korupsi diyakini akan mudah menggeser lawan politik. Selain itu, langkah ini juga secara tidak langsung akan menaikkan citra si penyebar isu di mata pemilih. Bukankah yang diharapkan oleh politikus sebelum pemilihan, salah satunya adalah citra dan nama baik?

Dugaan balik yang disampaikan oleh anggota Komisi XI DPR Muhammad Hatta terhadap Dahlan Iskan mengenai inefisiensi anggaran PLN Rp 37,6 triliun juga harus dibaca dengan seksama. Jika benar karena kasus ini, kemudian Dahlan Iskan menebar isu pemerasan oleh anggota DPR, jangan-jangan memang sedang berjalan kondisi “saling sandera” kasus di antara para politikus. Kalau sungguh ini yang terjadi maka pemeriksaan terhadap dugaan tukang peras bakal lebih menjadi dagelan politik saja.

Supaya tidak dibaca sebagai dagelan politik, tuduhan adanya tukang peras anggaran harus segera dibuktikan. Perlu ada sinergi dan kerja sama antara DPR, pemerintah, dan penegak hukum dalam membongkar keberadaan tukang peras. Selain juga tidak boleh menafikan dugaan inefisiensi anggaran di PLN. Dua-duanya harus diperiksa oleh penegak hukum.

Dalam kaitannya ada rencana pelaporan balik pencemaran nama baik atau fitnah oleh beberapa orang terkait dugaan pemerasan, para pelapor dugaan pemerasan tidak perlu kecil hati. Berdasarkan Surat Bareskrim Mabes Polri Nomor B/345/III/ 2005/Bareskrim bertanggal 7 Maret 2005, tiap ada laporan dugaan korupsi yang kemudian dibalas dengan laporan pencemaran nama baik maka yang diprioritaskan penanganannya adalah laporan dugaan korupsi.

Bahkan Surat Bareskrim menyatakan, penanganan kasus pencemaran nama baik dimanfaatkan untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang diperlukan dalam proses pembuktian kasus korupsi sebagai masalah pokoknya. Artinya, tiap orang sekarang tidak perlu takut menyampaikan laporan korupsi, dengan syarat disertai bukti permulaan yang cukup agar tidak ditarik ke panggung dagelan politik semata.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 29 November 2012

Si Tukang Peras Anggaran

Berita Tuesday, 20 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

DPR sekali lagi digoyang isu tak sedap. Ada anggotanya yang diduga sebagai oknum pemeras badan usaha milik negara.
Awalnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/ IX/2012 perihal Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Hal yang sangat jelas menginginkan dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan pengelolaan uang negara.
Tak lama berselang, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyerukan agar direksi BUMN tidak ”main mata” dengan anggota DPR. Seperti efek domino, setelah surat edaran Seskab serta seruan Menteri BUMN, inisial nama politisi Senayan yang disangka sering memeras BUMN beredar melalui pesan berantai.
Beberapa anggota DPR yang kebetulan berinisial nama sama dengan isi SMS berantai itu kebakaran jenggot. Mereka meminta Dahlan Iskan menjelaskan dengan terang siapa si pemilik inisial. Badan Kehormatan DPR juga berencana memanggil Menteri BUMN terkait desas-desus si anggota dewan pemeras.
Sebetulnya tak sulit meramal maujudnya tukang peras dari Senayan, khususnya dalam pembahasan anggaran. Mereka eksis. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) mungkin bisa menjelaskan kehadiran si tukang peras. Juga bisa mengiaskan bagaimana pemerasan berlangsung.
Salah satu hasil pemeriksaan KPK menyebut ada simbol dan warna tertentu dalam pembahasan anggaran untuk pengembangan daerah. Partai politik yang disebut dalam inisial, minus Partai Gerindra, semua masuk dalam simbol dan warna pembahasan anggaran DPID. Wa Ode Nurhayati, terdakwa yang sudah dihukum dalam kasus itu, seperti mengonfirmasi simbol dan warna dimaksud. Dia menyatakan dalam eksepsinya, semua daerah calon penerima dana sudah ditentukan besaran potongannya.
Namun, menyangka oknum si tukang peras hanya ada di DPR sepertinya tak adil. Pemerintah patut dicurigai pula. Pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, DPR dan pemerintah.
Pemerasan terjadi kemungkinan karena tiga hal. Pertama, syahwat korup lembaga perwakilan membuncah setiap dimulai bahasan soal duit.
Kedua, pemerintah sendiri yang menyediakan diri, membuka jalur korupsi. Kalau benar-benar dari dulu diperas, kenapa tidak memboikot?
Ketiga, DPR dan pemerintah sama korupnya. Korupsi dihasilkan dari pertukaran mandat antara pemegang politik dan pemegang kekuasaan administratif. Kekuasaan dan pengaruh mereka diturunkan dalam kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan (John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy).
Katakanlah info yang sedang beredar adalah perilaku korup para anggota dewan, tetapi juga tak boleh dilupakan pemerintah juga kerap berkorupsi. Bahkan, menyediakan diri agar disuap. Kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang bisa jadi tamsilnya.
Langkah Pembersihan
Artinya, kalau mau membersihkan kotoran korupsi, mengusir si tukang peras anggaran, DPR dan pemerintah, harus segera dibersihkan.
Langkah pertama, Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam waktu dekat harus menjelaskan kepada publik siapa si empunya inisial itu. Kalaupun tidak, memberikan keterangan ke penegak hukum adalah seminimal-minimalnya penjelasan. Namun, agaknya pilihan untuk menjelaskan kepada masyarakat lebih cocok diambil mengingat keterangan itu akan jadi pertimbangan bagi rakyat untuk tidak salah pilih di pemilihan umum. Sekaligus sebagai vonis politik bagi partai nakal pelindung si tukang peras.
Kemudian, DPR dan partai politik tidak boleh tutup mata. Jika nama terang sudah muncul, sanksi tegas harus diambil. Memberhentikan sementara merupakan cara konkret untuk memudahkan pemeriksaan. Pengalaman pemberhentian Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan anggota DPR lain yang lambat merupakan contoh buruk tidak tegasnya sikap pimpinan DPR ataupun petinggi partai politik.
AF Pollard menyinggung sejarah lembaga perwakilan dalam karyanya, The Evolution of Parliament (1926). Bahwa, lembaga perwakilan bisa menjadi the preventive of revolution as well as the promoter of reform. Ini saat yang tepat bagi DPR menunjukkan sejatinya lembaga perwakilan, jadi inisiator perubahan republik ke arah lebih baik. Jika senoktah noda anggota bermasalah tak dibersihkan, tak diberi sanksi, DPR akan cenderung mengarah ke institusi gagal.
Sikap tegas DPR dan partai politik mesti diimbangi dengan sikap pemerintah. Presiden juga perlu terus konsisten mendorong pemberantasan korupsi di internal pemerintah. Dalam hal ini, relevan membicarakan pengubahan surat edaran Sekretaris Kabinet dengan meningkatkannya menjadi peraturan pemerintah. Setidaknya, baju hukum peraturan pemerintah akan memiliki kekuatan hukum lebih dari sekadar surat edaran.
Terakhir, sapu koruptor ada di tangan penegak hukum. Institusi hukum pemberantas korupsi tidak boleh terjebak dalam intervensi kekuasaan politik. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan politik tidak boleh mengobok-obok kinerja institusi hukum. Termasuk pada bagian ini, koordinasi antarpenegak hukum dan menghindari cekcok antarpenegak hukum menjadi ”rukun iman” pemberantasan korupsi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 03 November 2012

1…789101112
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY