Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 1
Pos oleh :

hanifah.febriani

Writer and Editor at https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/ | researcher

SIARAN PERS: Evaluasi Dua Tahun Kinerja KPK dan Implikasinya bagi Sektor Sumber Daya Alam

Berita Tuesday, 28 December 2021

 Evaluasi Dua Tahun Kinerja KPK

dan Implikasinya bagi Sektor Sumber Daya Alam

Tepat pada tanggal 20 Desember 2021 lalu, genap sudah dua tahun, lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik sebagai pemimpin di lembaga anti rasuah tersebut. Namun alih-alih bisa menunjukkan prestasi, baik Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron justru banyak memperlihatkan kontroversi di tengah masyarakat.

 Mulai dari rentetan pelanggaran etik, kepemimpinan yang dipenuhi gimmick politik, hingga terakhir pemberhentian paksa puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Alhasil, tak berlebihan rasanya jika menganggap bahwa pimpinan KPK saat ini telah banyak membawa kemunduran dan menjatuhkan marwah lembaga yang selama ini dianggap garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak heran jika sejumlah lembaga survei menunjukkan adanya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang cukup drastis.

 Penting diingat, polemik pelemahan KPK saat ini juga tidak terlepas dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dan DPR. Tak dapat dipungkiri, sejak akhir tahun 2019, Revisi UU KPK telah mengubah total wajah lembaga antikorupsi itu. Perlahan namun pasti, dampak perubahan regulasi itu semakin menurunkan kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Argumentasi ini setidaknya terkonfirmasi melalui Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020. Transparency International menyebutkan, baik poin maupun peringkat, Indonesia merosot tajam.

Berangkat dari hal tersebut, Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PuKAT UGM), menyusun kajian evaluasi dua tahun KPK. Tujuan utama dari evaluasi kinerja KPK ini untuk menghasilkan informasi penilaian kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, termasuk di dalamnya tentang implikasi UU KPK baru dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk pelemahannya. Setidaknya terdapat lima hal yang akan diulas dalam laporan hasil pemantauan ini.

Pertama, ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah. Pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan. Itu pun didominasi oleh jargon tanpa menginisiasi suatu program sistemik yang berdampak signifikan untuk membawa perubahan.

Pemerintah, DPR, dan para pimpinan KPK tampak semakin alergi dengan penindakan. Penting digarisbawahi, pemberantasan korupsi dalam konteks penindakan bukan tidak dilakukan sama sekali, namun pelaksanaanya masih tergolong biasa-biasa saja. Praktis tidak terlihat adanya target yang jelas dan terukur, bahkan intervensi ke area prioritas juga minim dilakukan.

 Tak cukup itu, paket legislasi untuk menyokong penegak hukum juga tidak kunjung diundangkan, seperti Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan harmonisasi UU Tipikor dengan ketentuan UNCAC. Akibatnya, upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara akan semakin sulit terlaksana. Ketiadaan orientasi politik hukum anti korupsi yang konkret sudah barang tentu menjadi penghambat agenda pemberantasan korupsi ke depan. Dengan kata lain, narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh Pemerintah dan DPR selama ini hanya ilusi semata.

Kedua, implikasi revisi UU KPK. Dampak perubahan regulasi di KPK sudah dapat dirasakan setidaknya dalam dua tahun terakhir ini. Substansi UU 19/2019 pada faktanya memang ditujukan untuk mengendurkan tugas KPK dalam memberantas korupsi. Mulai dari merobohkan independensi kelembagaan menjadi bagian dari rumpun eksekutif, menghentikan penyidikan perkara korupsi BLBI dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun, hingga mengubah status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketiga, kinerja sektor penindakan yang semakin mengkhawatirkan. Catatan ini setidaknya dapat dilihat dari sejumlah hal, misalnya mandeknya supervisi terhadap perkara besar seperti kasus korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung yang melibatkan Djoko S Tjandra serta Jaksa Pinangki S Malasari. Lalu jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang anjlok sejak dua tahun terakhir dan minimnya penanganan perkara strategis yang melibatkan penegak hukum.

Siaran Pers: Hari Lahir Pancasila, KPK Tak Sakti

Berita Tuesday, 1 June 2021

Pameran Poster dan Diskusi “Berani Jujur Hebat Pecat!”

Hari Lahir Pancasila, KPK Tak Sakti

Yogyakarta- Jaringan masyarakat sipil di Yogyakarta menggelar acara bertajuk menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui serangkaian diskusi, pentas musik, dan pameran seni.

Acara itu bagian dari protes terhadap pelantikan pegawai komisi antirasuah sebagai Aparatur Sipil Negara pada 1 Juni 2021, bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila. Serangkaian acara berlangsung di warung teh Umran atau Wikiti di Kabupaten Sleman, Yogyakarta pada 1-18 Juni 2021.

Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Connecting Design Studio, Koperasi Edukarya Negeri Lestari, dan Potluck Studio berkolaborasi menggagas kegiatan tersebut.

Mereka mengajak publik menjaga sikap antikorupsi dan melawan pelemahan komisi antirasuah. “Partisipasi publik penting untuk mendorong pemegang kekuasaan memperbaiki jalan pemberantasan korupsi,” kata Ketua Pukat Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, Senin, 31 Mei 2021.

Diskusi untuk membuka pameran menghadirkan Direktur Direktorat Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK, Sujanarko. Ada juga Ketua Pukat UGM Totok Dwi Diantoro, Aktivis Perempuan Indonesia Antikorupsi Wasingatu Zakiah, dan Direktur Biennale Yogyakarta Alia Swastika.

Alia Swastika_Yayasan Biennale Yogyakarta
Sujanarko_KPK dan Efek Rumah Kaca

Selain diskusi, kelompok musik Efek Rumah Kaca yang lagu-lagunya kental dengan kritik sosial akan tampil membawakan lagu. Ada juga penampilan kelompok musik indie lainnya.

Untuk mendukung kampanye menolak pelemahan KPK, kolaborasi antar jaringan masyarakat sipil ini juga menyuguhkan pameran 55 poster seni hasil kurasi seniman Anang Saptoto. “Seni menjadi medium untuk melawan pelemahan KPK,” kata Anang.

Pameran seni yang berlangsung hingga 15 Juni ini akan ditutup dengan diskusi yang menghadirkan narasumber yakni mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang dan Dekan Fakultas Hukum Sigit Riyanto. Pembicara lainnya adalah Dosen Sanata Dharma St. Sunardi dan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Allisa Wahid (dalam konfirmasi).

Narasumber diskusi selama ini dikenal sebagai orang-orang yang aktif menyuarakan perlawanan terhadap pelemahan KPK dalam berbagai forum maupun media massa. Pelemahan KPK tergambar melalui tes wawasan kebangsaan terhadap 75 pegawai KPK. Tes yang bernada seksis, diskriminatif, dan dengan pelabelan radikalisme ini menyingkirkan pegawai berintegritas.

Sejumlah pertanyaan diskriminatif tersebut misalnya pendapat pegawai tentang Partai Komunis Indonesia, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam serta membaca doa qunut atau tidak saat menunaikan salat subuh. Ada juga pertanyaan alasan belum menikah, apa saja yang dilakukan saat pacaran, dan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT.

Tes itu mengingatkan orang pada kekuasaan pemerintahan Orde Baru, misalnya penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan proses penelitian khusus. Pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK menunjukkan sinyal kuat.

Pegiat antikorupsi mengkritik KPK yang tidak lagi memiliki taring yang kuat untuk melawan praktek tindak pidana korupsi sejak pengesahan Revisi Undang-Undang KPK. Tahun 2019 menjadi titik balik KPK tak lagi bertaji memberantas korupsi.

Proses pemilihan pimpinan KPK yang punya rekam jejak bermasalah membuka jalan KPK makin lemah. Ketua KPK, Komisaris Jenderal Firli Bahuri memiliki beberapa catatan buruk. Firli diduga terlibat dalam kasus suap saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 2019.

Firli juga terbukti melanggar etik dengan bergaya hidup mewah ketika pulang kampung ke Baturaja, Sumatera Selatan menggunakan helikopter. Tapi, Dewan Pengawas KPK hanya menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis.

Selain itu, proses revisi UU KPK berlaangsung secara tertutup, tergesa- gesa, dan mengabaikan prinsip partisipasi publik. Kekacauan revisi UU KPK semakin bertambah parah dengan munculnya pasal-pasal yang melemahkan KPK dari sisi kelembagaan maupun kewenangan menegakkan hukum tindak pidana korupsi.

KPK juga minim prestasi dalam menangani kasus korupsi. Situasi itu menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga yang selama ini dikenal berintegritas. Upaya menggerus gerakan pemberantasan korupsi berhasil. Transparency International Indonesia merilis Indeks persepsi korupsi IPK Indonesia pada 2020. Skornya turun dari 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020.

Penanganan perkara korupsi KPK setahun terakhir cenderung tak memuaskan. Jumlah operasi tangkap tangan KPK pada masa pimpinan menurun drastis. Dari sisi kualitas, KPK luput menuntaskan kasus korupsi skala besar, misalnya dalam korupsi yang melibatkan suap komisioner KPU, benih lobster, dan bantuan sosial Covid-19. KPK bahkan menghentikan kasus korupsi BLBI yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar.

Suramnya pemberantasan korupsi juga terwujud melalui pencurian barang bukti dan kasus perdagangan perkara yang melibatkan penyidik

KPK. Putusan judicial review Mahkamah Konstitusi juga turut melegitimasi upaya penghancuran KPK.

 

RILIS: “Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi”

Berita Saturday, 6 March 2021

OTT Nurdin Abdullah menambah panjang daftar praktik korupsi kepala daerah. Modus yang digunakan juga relatif sama, yaitu suap dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan jual-beli jabatan. Terus berulangnya kasus korupsi kepala daerah menunjukkan pencegahan korupsi di daerah tidak berjalan efektif. Selain itu ada persoalan sistem politik yang menyeret para kepala daerah ke dalam perilaku korupsi.

Korupsi kepala daerah tidak lepas dari faktor biaya politik yang tinggi. Pilkada langsung diwarnai politik uang, baik dalam bentuk mahar untuk parpol maupun vote buying. Modal calon kepala daerah berasal dari kantong pribadi dan lebih banyak lagi dari para cukong. Kepala daerah terpilih melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan.

Partai politik yang seharusnya menjadi sarana pencegahan korupsi para kadernya, justru menjadi bagian dari masalah. Korupsi kepala daerah sering terkait dengan kepentingan partai politik. Perlu ada perubahan fundamental untuk mencegah korupsi di daerah. Baik perubahan dalam sistem politik maupun sistem pengawasan daerah.

Dalam diskusi “Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi” yang diadakan oleh PUKAT FH UGM (5/3/2021), Peneliti PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar, memaparkan fakta adanya ratusan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi menunjukkan bahwa ada kegagalan sistem pengawasan pemerintah pusat.  Bahkan kadangkala korupsi di daerah juga merupakan kreasi dari pusat. Dalam kondisi ini, jangan sampai pemerintah justru memunculkan solusi dengan konsep yang ajaib, seperti konsep resentralisasi karena hal tersebut belum tentu menjadi jawaban atas persoalan korupsi di daerah. “Saya termasuk yang mengatakan bahwa separuh korupsi di daerah itu di-driven oleh Pusat. Pertama, gagalnya pemerintah pusat membangun konsep pengawasan yang baik dan kedua, dalam beberapa hal kasus yang terdapat di daerah itu juga dimainkan oleh pemerintah pusat,”ujarnya

Sementara Anggota Dewan Pengarah Perludem Titi Anggraini menyebut bahwa praktik elektoral yang berbiaya tinggi telah berkontribusi meningkatkan praktik korupsi. Sayangnya, sistem akuntabilitas dan transparansi dana pencalonan tidak mendukung untuk menunjukkan realitas di lapangan mengenai besarnya biaya politik kepala daerah. Lebih lanjut Titi menerangkan bahwa mengganti menjadi sistem pemilihan tidak langsung adalah pilihan tergesa-gesa karena hulu permasalahannya ada di partai politik. “Justru dengan pemilihan tidak langsung rakyat semakin ditinggalkan. Pemilihan di DPRD hanya memindahkan tempat dan waktu saja, tidak menuntaskan persoalan yang terjadi,”terangnya.

Mada Sukmajati Dosen Fisipol UGM mengatakan bahwa reformasi parpol adalah agenda yang mendesak untuk dilakukan sebelum pemilu serentak 2024. Sudah banyak bukti bahwa parpol memiliki kontribusi yang besar dalam mempengaruhi sistem politik dan pemerintahan, termasuk tindak pidana korupsinya. Mada menambahkan, “Sudah ada beberapa draft UU Partai Politik, tetapi sejak 2011 tidak pernah menjadi Prolegnas. Jika tidak ada kemauan baik dari para politisi, maka kita dari masyarakat sipil yang harus mendorong ini.”

Berdasarkan diskusi dapat dicatat beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Pertama, mendorong pemerintah untuk membangun sistem pencegahan korupsi yang kuat di sektor yang rawan korupsi serta membuat inovasi kebijakan pencegahan korupsi. Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu membuat kebijakan yang lebih efektif untuk mengawasai dana kampanye calon kepala daerah sehingga menutup kemungkinan adanya “politik balas budi” bagi kepala daerah yang terpilih. Ketiga, mendorong partai politik untuk dapat berbenah diri melalui sistem partai politik yang berintegritas sebagai upaya meningkatkan peran partai politik dalam mencegah korupsi kepala daerah.

 

Yogyakarta, 5 Maret 2021

Totok Dwi Diantoro

(Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM)

 

 

Contact Person:

Hanifah Febriani (0857 9988 5430);

Eka Nanda (0812 3459 4641)

 

Rilis Selengkapnya:

Rilis Pers PUKAT UGM Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi (1)-1

RILIS: “Terjun Bebas” Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020

Berita Saturday, 30 January 2021

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2020 menggambarkan kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. IPK Indonesia mengalami penurunan 3 angka, dari 40 menjadi 37. Penurunan tiga poin tersebut menjadi catatan buruk, karena terhitung sejak 2008, tren IPK Indonesia cenderung naik “tipis-tipis”.

Penurunan IPK Indonesia menjadi gambaran bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pemberantasan korupsi dalam kurun waktu satu tahun kebelakang. Menurut catatan PUKAT UGM, IPK Indonesia yang menurun sebenarnya telah dapat diprediksi dikarenakan berbagai fenomena yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir seperti pelemahan kelembagaaan antikorupsi; regulasi dan kebijakan ekonomi yang gagal mendorong proses bisnis yang bersih; dan kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia.

Terhadap hal tersebut, PUKAT menanggapi tiga hal sebagai berikut.

Pertama, melemahnya kelembagaan antikorupsi. Revisi UU KPK terbukti secara signifikan telah menurunkan kinerja KPK dalam hal penindakan pemberantasan korupsi. Selain itu, semangat pemberantasan korupsi dicederai oleh praktik korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Integritas penegakan hukum anti korupsi semakin melemah, karena lembaga yang seharusnya menegakan korupsi justru digerogoti dengan praktik-praktik koruptif. Hal tersebut juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, regulasi dan kebijakan sektor bisnis kurang mendorong proses bisnis yang bersih  Penyumbang penurunan signifikan berasal dari indikator yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi. Indikator Global Insights turun 12 poin dan PRS turun 8 poin. Penurunan tersebut dipicu oleh relasi korupsi antara pebisnis dengan pemberi layanan publik untuk mempermudah proses memulai usaha atau mendapatkan izin berusaha dan praktik korupsi politik yang melibatkan penyelenggara negara dengan pebisnis.

Salah satu kebijakan yang didorong satu tahun terakhir adalah kemudahan berusaha untuk mendatangkan investasi, salah satunya melalui UU Cipta Kerja. Namun undang-undang tersebut tidak disertai dengan upaya pencegahan korupsi yang baik. Justru dalam beberapa hal cenderung hanya berfokus pada kemudahan berbisinis dengan menerobos beberapa katup pengaman yang sejatinya menjadi sistem pendukung pencegahan korupsi. Sistem yang dibangun terbukti masih belum mampu menanggulangi relasi korup antara pebisnis dan pejabat publik.

Ketiga, terdapat kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia  Secara umum, regulasi yang dibentuk dalam satu tahun belakang tidak mencerminkan prinsip-prinsip antikorupsi, seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Beberapa UU yang lahir dengan meregresi prinsip tersebut diantaranya adalah UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Proses legislasi yang buruk menjadi indikator kuat yang menyebabkan IPK Indonesia menurun.

Berdasarkan hal tersebut, PUKAT UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Memperkuat kembali kelembagaan antikorupsi di Indonesia dengan melakukan evaluasi terhadap revisi UU KPK yang secara terang telah melemahkan KPK.
  2. Mendorong pemerintah untuk mengatur strategi pemberantasan korupsi yang telah diamanatkan UNCAC seperti kejahatan memperdagangkan pengaruh, perampasan aset serta pengelolaan konflik kepentingan demi mendukung pencegahan korupsi berjalan efektif dalam dunia usaha dan iklim bisnis di Indonesia
  3. Membenahi proses legislasi dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam menyusun kebijakan.

Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM

Contact Person:

Hanifah (085799885430)

Yuris Rezha (081215775644)

 

Lebih lanjut:

Rilis PUKAT UGM_IPK Indonesia 2020

Diskusi dan Diseminasi Publik: “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara”

Berita Monday, 21 December 2020

Adanya problem regulasi dalam perundang-undangan menyebabkan penghitungan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi pada sektor-sektor tertentu menjadi belum maksimal. Hal inilah yang melatarbelakangi PUKAT FH UGM mengadakan Diseminasi dan Diskusi Publik dengan Tema “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara” pada Selasa (8/12/2020) secara daring. Diskusi ini selain diisi oleh Tim Peneliti dari PUKAT UGM yaitu Oce Madril dan Agung Nugroho, juga turut menghadirkan beberapa akademisi seperti Prof. Dr. Bambang Hero S.,M.Agr. (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB); Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. (Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP); Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Administrasi Negara UAJY Yogyakarta).

Oce Madril mengatakan bahwa kerugian keuangan negara di sektor-sektor seperti lingkungan, kelautan, dan sebagainya harus memiliki regulasi yang jelas dan sinkron. Oce Madril juga mengungkapkan bahwa Tim Peneliti mendiskusikan 3 hal dalam Penelitiannya. 3 hal tersebut adalah konsep kerugian Negara, mekanisme penghitungan kerugian keuangan Negara, dan otoritasi pihak yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan Negara.  Mengenai mekanisme, Oce menambahkan bahwa hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara metode yang digunakan oleh akademisi, BPK, akuntan, dan penegak hukum. “Mereka memiliki mekanisme sendiri-sendiri untuk menghitung itu, dengan perspektif yang berbeda-beda, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan atau kebijakan”, tambahnya.

Sementara itu, Agung Nugroho yang juga merupakan Tim Peneliti PUKAT menambahkan bahwa sebenarnya MK telah membuka kemungkinan penghitungan bisa dilakukan oleh lembaga, penegak hukum dan non-pemerintah (ahli), sepanjang diterima oleh majelis hakim. Agung juga mengatakan bahwa UU Tindak Pidana Korupsi saat ini belum mendefinisikan kerugian keuangan Negara secara jelas. Ia mencontohkan dalam Pasal 32 dimana terdapat norma yang mengatur suatu keadaan kerugian keuangan Negara secara nyata dan pasti. “kata dapat sebelum frasa kerugian keuangan Negara tidak menentukan akibat kerugian keuangan Negara menjadi penekanan dari tindak pidana korupsi”, paparnya.

Agung N_Pukat UGM

Kemudian, Riawan Tjandra dalam paparannya menyinggung mengenai Putusan MK yang membahas mengenai kewenangan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan(BPK). Menurutnya MK tidak cukup tegas dalam berpendapat mengenai legal reasoning kewenangan PDTT. “Hanya norma mengenai PDTT yang merupakan satu-satunya pintu masuk untuk menelusuri dugaan kerugian keuangan negara”, paparnya. Ia juga menyinggung Perma Nomor 1/2020 yang membuat klasifikasi bobot pemidanaan yang disesuaikan dengan jumlah kerugian Negara. Menurutnya ini cukup bertentangan dengan pola di Kejaksaan dimana range kerugian keuangan Negara ini sudah tidak dipakai lagi. Mengenai aset, Riawan memaparkan ada 7 hal yang harus dicermati yaitu inventarisasi aset, perencanaan aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi aset, sistem informasi manajemen aset dalam pengawasan dan pengendalian aset, dan relasi dengan strategi manajemen.

Riawan Tjandra_UAJY Yogyakarta

Selanjutnya, Bambang Hero menerangkan bahwa Pengembalian aset lintas batas memerlukan kerjasama berbagai instansi secara terintegrasi. Guru Besar IPB ini mengatakan bahwa saat ini Undang-Undang yang mendukung pengembalian aset belum digunakan secara maksimal. Hal ini menyebabkan proses pelacakan, pengamanan, dan proses-proses lainnya belum berjalan dengan baik. Ia juga memaparkan beberapa permasalahan terkait aset yang mana pengelolaannya belum maksimal, barang sitaan tidak terawat, serta penjualan aset yang belum optimal. Padahal di saat yang sama, lingkungan semakin lama semakin rusak.

Bambang Hero_IPB

Sesi pemaparan dilanjutkan dengan paparan Pujiyono yang juga merupakan dosen di Fakultas Hukum UNDIP. Ia mengatakan bahwa korupsi tidak ada habisnya, semakin ditekan semakin meluas. Mengenai korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), ia juga mengungkapkan pemberitaan mengenai korupsi di sektor ini masih sepi dibanding kerugian berupa uang, padahal kerugiannya juga besar. Hal ini lantaran ketika alam rusak, maka akan berdampak luar biasa bagi masyarakat secara luas. Tindakan korupsi di sektor SDA tidak hanya merugikan negara tapi juga menghambat pembangunan, sehingga harus ditangani secara luar biasa sebagai sebuah extraordinary crime.

 

 Penulis: Sadam Afian Richwanudin

Diskusi dan Diseminasi Publik: Studi Valuasi Aset Negara dan Penghitungan Kerugian Negara

Berita Monday, 21 December 2020

Pasca keluarnya konvensi PBB melawan korupsi atau dikenal dengan UNCAC, paradigma pemberantasan korupsi kini mulai berubah bukan lagi penjeraan  individu melainkan pada pengembalian aset-aset/kerugian negara. Hal tersebut diungkapkan oleh Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJKAKI KPK) dalam sambutannya pada acara Diskusi dan Diseminasi Publik dengan tema “Studi Valuasi Aset Negara dan Penghitungan Kerugian Negara”. Diskusi ini selain untuk memaparkan hasil penelitian dari Tim Riset PUKAT FH UGM yang bekerjasama dengan KPK, juga untuk memberikan pemahaman publik mengenai pentingnya progresifitas hukum dalam menangani pengembalian aset pada kasus korupsi. Hal ini ditegaskan oleh Oce Madril, Direktur PUKAT UGM yang mengatakan bahwa Indonesia tertinggal jauh dengan negara lain terutama terkait korupsi yang merugikan aset negara. “Pendekatan harus semakin progresif, aspek-aspek regulasi harus diperhatikan dan melihat hal-hal kedepannya”, paparnya.

Diskusi yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (8/12/2020) ini menghadirkan Prof. Zuzy Anna (Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD), Sujanarko (Direktur DJKAKI KPK) dan Tim Riset PUKAT UGM yang diwakili oleh Oce Madril dan Eka Nanda R dengan moderator adalah Hanifah Febriani (PUKAT UGM). Tim Riset PUKAT UGM menyoroti tentang pengaturan terkait valuasi aset negara yang hingga saat ini masih tumpang tindih dan tidak sinkron. Bahkan hingga saat ini belum ada pengaturan spesifik yang menjelaskan terkait penggolongan aset negara. “Aset negara kemungkinan bisa dikategorikan sebagai kekayaan negara atau aset negara adalah BMN (Barang Milik Negara),” paparnya.

Eka Nanda lebih lanjut menerangkan bahwa hingga saat ini tidak ditemukan definisi yang clear mengenai valuasi aset. Definisi valuasi aset selama ini lebih awam didengar dalam konteks perusahaan.  Apabila definisi ini diasumsikan ke kekayaan negara, maka konteks perusahaan tinggal diganti dengan konteks negara. Namun lantaran tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka valuasi ini diasumsikan sebagai “penilai” dalam Peraturan Pemerintah Pengelolaan Barang Milik Negara. Permasalahannya, dengan metode seperti ini penilaian barang hanya terbatas pada tanah atau bangunan, hal ini sangat sempit mengingat definisi ini tidak dapat mencakup lingkungan hidup dan kerugian negara. “Penting untuk melakukan valuasi dan inventarisasi untuk memformalkan/mencatatkan aset negara dalam bentuk neraca kekayaan Negara” pungkas Eka.

Eka Nanda R_Pukat UGM

Sementara itu Prof. Zuzy Anna menjelaskan bahwa pertama memang harus didefinisikan terlebih dahulu mengenai aset negara. Dalam ilmu ekonomi, aset negara dapat dikategorikan sebagai public property right atau hak kepemilikan publik yang diserahkan kepada pemerintah dan biasanya tidak dimiliki oleh siapapun. Ia juga menekankan bahwa saat ini penting untuk melakukan pemetaan aset.  Sedangkan terkait valuasi aset, Prof. Zuzy memaparkan jika intinya terletak pada teknik valuasinya. Selama ini yang sering dilakukan bersifat direct impact maupun indirect. Hal ini penting diatur dalam Undang-Undang. Menurutnya saat ini masih banyak hal yang menjadi polemik, termasuk belum ada kesepahaman terkait metode yang dapat digunakan dan kompleksitasnya. Ia mencontohkan valuasi aset pada hutan tidak saja terkait pohonnya, juga terkait service dan berbagai faktor lainnya yang mengikuti. Lebih lanjut ia menuturkan pentingnya penggunaan metode yang tepat dalam melakukan valuasi aset. “Harus bisa dipertanggungjawabkan, harus menggunakan kaidah-kaidah yang tepat, jangan sembarangan”, ungkapnya.

Suzzy Anna_SDGs UNPAD

 Penulis: Sadam Afian Richwanudin

Bedah Buku: “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus

Berita Monday, 30 November 2020

Sabtu, (28/11) Pukat UGM menggelar bedah buku dengan tajuk “Menjerat Korupsi Korporas” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Diskusi yang diselenggarakan secara daring melalui aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM turut dihadiri para penulis buku yaitu Dr. Oce Madril, dan Eka Nanda Ravizki, S.H., LL.M. serta para penanggap Yunus Husein (Ketua PPATK Periode 2002-2011) dan Laode M. Syarif (Pimpinan KPK periode 2015-2019. Diskusi dipandu oleh Dika Putri Vindi (Asisten Peneliti Pukat FH UGM). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka menyambut Hari Anti Korupsi yang diperingati setiap tanggal 9 Desember.

Pada awal diskusi, Oce Madril selaku ketua PUKAT FH UGM sekaligus penulis buku menyampaikan sambutannya dan beberapa relevansi terkait buku “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Oce Madril mengungkapkan bahwa penerbitan buku tersebut berangkat dari kegundahan terhadap fakta yang jamak ditemui bahwa tidak sedikit korporasi yang terlibat dalam berbagai bentuk kejahataan, namun negara terkesan abai dan tidak memberikan perhatian serius dalam penegakkan hukum terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Ia juga menyinggung terkait korupsi oleh korporasi. Menurutnya, korupsi di bidang perizinan serta pengadaan barang dan jasa merupakan dua kasus yang mendominasi praktik korupsi oleh korporasi saat ini. “Kami berupaya berupaya mencari alternatif terbaik agar penegakkan hukum terhadap korporasi dapat efektif dilakukan.” pungkasnya.

Lebih lanjut untuk memperdalam penyampaian substansi buku tersebut, Eka Ravizki menuturkan bahwa buku yang diterbitkan memiliki 5 bab. Menurutnya, diantara bab yang ada, yang paling menarik adalah bab yang membahas tentang studi kasus. Hal ini dikarenakan bab lainnya berkutat pada sisi normatif dan sedikit mengkritisi pemberlakuan Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi yang belum dapat dilihat keefektifannya. Dari kasus yang pernah ada, Ia hanya menemukan satu kasus yang mennggunakan Perma tersebut, yaitu kasus korupsi oleh PT Nusa Konstruksi Enjineering (NKE). Selain studi kasus PT NKE, ia juga mengulas studi kasus yang lain seperti PT Giri Jaladhi Wana (GJW) dan PT Duta Graha Indah (DGI) yang turut menyeret nama politikus Partai Demokrat , Nazaruddin. Di akhir penyampaiannya, ia mengusulkan langkah kebijakan alternatif yang dapat diambil, yaitu dengan menerapkan Deferred Prosecution Agreement (DPA) dan Non-prosecution agreements (NPA).

Eka Nanda_Pukat UGM

Diskusi dilanjutkan dengan tanggapan oleh Laode M. Syarif dilanjutkan oleh Yunus Husein selaku penaggap dalam forum ini. Laode M. Syarif merespon substansi buku dengan memberikan contoh penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di negara lain. Ia menyebutkan bahwa sejak tahun 1846 telah dikenal pertanggungjawaban tindak pidana korporasi. Sementara, di Negara Belanda yang dikenal konservatif pada tahun 1951 muncul kebijakan baru yaitu undang-undang tentang kejahatan ekonomi. Dimana dalam pasal 15 Undang-Undang tersebut, secara jelas mengatakan bahwa badan hukum dapat dituntut dan dapat dihukum. Kemudian secara tegas pada Tahun 1976 ketentuan tersebut  masuk dalam KUHP Belanda. Sedangkan di Indonesia sendiri, kasus korupsi korporasi baru terjadi pada tahun 2017 yaitu 1 tahun pasca diberlakukannya Perma No. 13 Tahun 2016. Padahal, sebanyak lebih dari 80 Undang-Undang existing, telah mengenal tindak pidana korporasi.

Yunus Husein_Ketua PPATK Periode 2002-2011)

Terakhir, Yunus Husein memberikan beberapa catatan terhadap  “Menjerat Korupsi Korporasi” Analisis Regulasi dan Studi Kasus. Ia menyarankan agar di akhir pembahasan dapat ditambahkan statement bahwa undang-undang yang ada menunjukkan ketidakjelasan politik hukum, misalnya ketidakjelasan mengenai pelaku, culpabilitas, syarat penerapan, teori yang digunakan, tambahan hukuman yang terlalu bervariasi sehingga menimbulkan suatu ketidak pastian. Ia juga sepakat apabila diterapkan konsep DPA dan NPA sebagai upaya pemberantasan korupsi, mengingat penanganan terhadap korupsi korporasi memakan biaya yang tinggi. Lebih lanjut, ia menyarankan agar DPA model amerika dapat diterapkan dengan mengaitkan upaya pencegahan dan perbaikan.

 

 

Penulis:

Girli Ron M, SH. 

RILIS: Politik Gelang Karet Pemberantasan Korupsi dalam UU Cipta Kerja

Berita Sunday, 18 October 2020

Pemerintah dalam salah satu argumentasinya menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja memberikan kontribusi bagi upaya pemberantasan korupsi, terutama pada aspek yang berkaitan dengan penyederhanaan prosedur perizinan usaha. Lebih lanjut, Pemerintah mengatakan bahwa selama ini izin usaha berbelit-belit, sangat panjang prosedurnya, dan penuh dengan praktek pungutan liar dan setoran ilegal. Dengan mengatur prosedur secara lebih sederhana, diharapkan berbagai titik rawan pungutan liar dan setoran ilegal untuk mempercepat keluarnya izin dapat dihilangkan.

Salah satu indikator atas rendahnya skor Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia menyangkut soal birokrasi dan prosedur perizinan berusaha yang panjang dan berbelit. Biaya mengurus izin juga dianggap lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun skor EoDB Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini pula yang menyebabkan arus investasi tidak lancar, dan Indonesia tidak dilirik sebagai tempat untuk berinvestasi oleh investor global. Semua aspek diatas tak terbantahkan merupakan masalah tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki.

Namun pemberantasan korupsi sebagai sebuah strategi komprehensif tidak bisa diperlakukan secara parsial atau sepotong-sepotong, sesuai dengan kehendak Pemerintah. Apalagi raport atas kinerja pemberantasan korupsi itu dilihat dari berbagai indikator, bukan hanya indikator perbaikan pada tata kelola sektor usaha belaka.

Sebagai misal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter yang lebih luas daripada sekedar menyoroti perbaikan pada sektor bisnis saja, namun juga pada aspek penegakan hukum, perbaikan sektor politik, demokrasi serta proteksi atas hak masyarakat, termasuk pers dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan. Sejumlah data pendukung dalam CPI mengafirmasi bahwa problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik, ketegasan penegakan hukum dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.

Pada konteks itu, kita melihat bahwa Pemerintah hanya mengambil sebagian kecil yang dapat menaikkan reputasi atas usaha pemberantasan korupsi, tapi pada sisi lain justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Sebagai misal revisi UU KPK yang membuat badan anti korupsi ini menjadi tumpul, tak bergigi dan kehilangan dukungan publik. Kemudian, Pemerintah juga tidak memberikan perhatian serius untuk membenahi lembaga penegakan hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan sehingga berbagai masalah masih muncul di lembaga tersebut.

Singapura sebagai contoh sangat menyadari reformasi di sektor bisnis hanya akan dapat berjalan jika penegakan hukum yang tegas menyertai upaya itu. Mereka sangat memahami bahwa keran berinvestasi yang dibuka lebar hanya akan efektif apabila para investor percaya pemerintah memiliki sistem dan cara yang objektif untuk menangani masalah  hukum, termasuk korupsi. Sistem koreksi yang efektif juga akan memberikan tingkat kepercayaan tinggi bagi para pelaku usaha ketika berhadapan dengan ketidakpastian kebijakan.

Lebih lanjut, memasukkan isu pemberantasan korupsi sebagai konteks dalam UU Cipta Kerja sejatinya menegasikan berbagai potensi kebijakan koruptif yang dilahirkan dari berbagai pasal kontroversial pada UU tersebut. Misalnya, royalti 0 persen yang diberikan kepada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi industri batu bara mencerimkan fenomena institutional corruption, dimana cara-cara legal digunakan untuk memberikan keuntungan finansial bagi kelompok bisnis tertentu saja.

Selanjutnya, ketentuan mengenai pemindahtanganan aset negara (serta aset Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka investasi pemerintah, dilakukan tanpa mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat. Pemindahtanganan aset negara tersebut dapat dilakukan langsung oleh Lembaga Pengelola Investasi tanpa ada keterlibatan pengawasan dari Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat.

Mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat, terutama untuk aset stratgeis, yang sebelumnya ada dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, dihilangkan oleh UU Cipta Kerja. Ada banyak jenis aset negara dan aset BUMN dengan nilai strategis dapat berpindahtangan ke pihak lain dan kehilangan status sebagai aset negara. Aset-aset negara tersebut berpotensi hilang dan Lembaga Pengelola Investasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara tersebut.

Demikian halnya, perumusan materi UU Cipta Kerja jauh dari semangat dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengingat proses pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja yang sangat tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat. Belum lagi keterlibatan berbagai pihak sebagai tim inti perumus materi UU Cipta Kerja yang tidak lepas dari konflik kepentingan. Bagaimana mungkin pemerintah dapat mengklaim punya semangat anti korupsi apabila dalam berbagai praktek kebijakan, mereka menegasikan berbagai prinsip penting dari tata kelola pemerintahan yang baik?

Dari berbagai alasan diatas, kami menyimpulkan bahwa Pemerintah sedang menggunakan politik gelang karet dalam pemberantasan korupsi, dimana agenda anti korupsi hanya akan diterapkan apabila memberikan kontribusi langsung bagi perbaikan sektor ekonomi dan tidak menimbulkan konflik antar elit. Selebihnya, konsekuensi yang merugikan Pemerintah (baca: elit) dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi dihindari, meskipun Pemerintah menyadari, hal itu merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi Indonesia untuk jangka panjang.***

Narahubung:
1. Adnan Topan Husodo (ICW)
2. Oce Madril (PUKAT UGM)
3. Wawan (TII)

 

Download Rilis:

Press Release_OL_Pemb_Korupsi.docx

RILIS: Catatan PUKAT UGM Terhadap RUU CIPTA KERJA  

Berita Tuesday, 6 October 2020

Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR. Selama ini, proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. PUKAT UGM telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berikut catatan PUKAT UGM terhadap RUU Cipta Kerja:

  1. RUU Cipta Kerja dan State Capture

Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan. Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup.

Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha. Fenomena ini erat dengan state capture yang oleh Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001) didefinisikan sebagai “so-called oligarchs manipulating policy formation and even shaping the emerging rules of the game to their own, very substantial advantage.”

Rilis selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut:

Catatan Pukat UGM Terhadap RUU Cipta Kerja

DIKSI Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi

Berita Sunday, 27 September 2020

Pada Senin, 21 September 2020, PUKAT FH UGM menggelar diskusi edisi spesial dengan tema Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM), Asfinawati (Ketua YLBHI), Busyro Muqoddas (Pimpinan KPK 2011-2014), Zainal A. Mochtar (Dosen FH UGM), dan Alissa Wahid (Koordinator Gusdurian). Diskusi PUKAT Edisi Spesial ini diselenggarakan dalam rangka satu tahun revisi UU KPK, mencakup refleksi serta harapannya agar ke depannya KPK tetap dapat bekerja optimal.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Oce Madril. Oce  menerangkan catatan perjalanan UGM menolak perubahan UU KPK yang telah dimulai sejak tahun 2012. Oce juga menyampaikan bahwa publik dapat menilai produk-produk legislasi yang semakin hari kian mengancam kebebasan sipil dan HAM.

Oce Madril

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas. Busyro menitikberatkan pada perubahan KPK lama dan KPK hasil revisi UU. “Satu tahun dengan DNA dan chemistry baru ditandai dengan status independen yang sengaja dihapuskan, sehingga KPK tidak lebih dari aparat pemerintahan”, tuturnya. Busyro pun membahas mengenai adanya digdaya bisnis dan politik oleh oligarki, yang tidak lepas dari pelumpuhan KPK.

Busyro Muqoddas

Selanjutnya Asfinawati memaparkan materi diskusi yang berjudul “Refleksi Proses Pengawalan Publik terhadap Revisi UU KPK”. Presentasi tersebut diawali dengan foto yang menunjukan isu KPK sangat masif pada September 2019 lalu. Asfinawati juga menyebutkan poin dimana kebebasan sipil menyempit. Poin tersebut dibuktikan dengan data kebebasan di Indonesia (data berdasarkan Freedom House Index), dari tahun 1998 hingga 2019.

Asfinawati

Pemaparan dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal menyebut KPK hasil revisi dengan istilah KPK Kenormalan Baru. “KPK menurut saya mengalami kenormalan baru. KPK yang dulu memberantas korupsi, tidak bersahabat dengan korupsi, dan bergaya sederhana sekarang terbalik. Pulang kampung dengan helikopter dan banyak kasus menunjukan ‘persahabatan’ dengan korupsi”, tuturnya. Kemudian, Zainal mengajak publik untuk tetap mengawal pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai faktor yang penting. “Rasanya aktivis antikorupsi harus berpikir bagaimana caranya memberantas korupsi tanpa mengharapkan KPK dan Presiden Jokowi”, lanjutnya.

Zainal Arifin M

Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Alissa Wahid. Pemantik diskusi tersebut diawali dengan kutipan, change happens at the speed of trust. Alissa menjelaskan bahwa kepercayaan adalah hal yang utama dalam konteks publik. Alissa pun menuturkan jika paradigma terhadap pemberantasan korupsi tidak bisa semudah embel-embel korupsi bisa diberantas, namun butuh partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Paradigma baru yang dapat dilakukan adalah dengan rethinking, dimana akibat dari korupsi pun dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Penulis: Erma Nuzulia S

123
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY