Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Rubuhnya Pengadilan Kami
  • Beranda
  • Berita
  • page. 2
Arsip:

Berita

RILIS: Politik Gelang Karet Pemberantasan Korupsi dalam UU Cipta Kerja

Berita Sunday, 18 October 2020

Pemerintah dalam salah satu argumentasinya menyebutkan bahwa UU Cipta Kerja memberikan kontribusi bagi upaya pemberantasan korupsi, terutama pada aspek yang berkaitan dengan penyederhanaan prosedur perizinan usaha. Lebih lanjut, Pemerintah mengatakan bahwa selama ini izin usaha berbelit-belit, sangat panjang prosedurnya, dan penuh dengan praktek pungutan liar dan setoran ilegal. Dengan mengatur prosedur secara lebih sederhana, diharapkan berbagai titik rawan pungutan liar dan setoran ilegal untuk mempercepat keluarnya izin dapat dihilangkan.

Salah satu indikator atas rendahnya skor Ease of Doing Business (EoDB) di Indonesia menyangkut soal birokrasi dan prosedur perizinan berusaha yang panjang dan berbelit. Biaya mengurus izin juga dianggap lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun skor EoDB Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Hal ini pula yang menyebabkan arus investasi tidak lancar, dan Indonesia tidak dilirik sebagai tempat untuk berinvestasi oleh investor global. Semua aspek diatas tak terbantahkan merupakan masalah tata kelola pemerintahan yang harus diperbaiki.

Namun pemberantasan korupsi sebagai sebuah strategi komprehensif tidak bisa diperlakukan secara parsial atau sepotong-sepotong, sesuai dengan kehendak Pemerintah. Apalagi raport atas kinerja pemberantasan korupsi itu dilihat dari berbagai indikator, bukan hanya indikator perbaikan pada tata kelola sektor usaha belaka.

Sebagai misal Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter yang lebih luas daripada sekedar menyoroti perbaikan pada sektor bisnis saja, namun juga pada aspek penegakan hukum, perbaikan sektor politik, demokrasi serta proteksi atas hak masyarakat, termasuk pers dan masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan. Sejumlah data pendukung dalam CPI mengafirmasi bahwa problem korupsi di sektor birokrasi pelayanan publik, ketegasan penegakan hukum dan korupsi politik adalah penghambat utama bagi proses kemudahan berusaha di Indonesia.

Pada konteks itu, kita melihat bahwa Pemerintah hanya mengambil sebagian kecil yang dapat menaikkan reputasi atas usaha pemberantasan korupsi, tapi pada sisi lain justru memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Sebagai misal revisi UU KPK yang membuat badan anti korupsi ini menjadi tumpul, tak bergigi dan kehilangan dukungan publik. Kemudian, Pemerintah juga tidak memberikan perhatian serius untuk membenahi lembaga penegakan hukum yakni Kepolisian dan Kejaksaan sehingga berbagai masalah masih muncul di lembaga tersebut.

Singapura sebagai contoh sangat menyadari reformasi di sektor bisnis hanya akan dapat berjalan jika penegakan hukum yang tegas menyertai upaya itu. Mereka sangat memahami bahwa keran berinvestasi yang dibuka lebar hanya akan efektif apabila para investor percaya pemerintah memiliki sistem dan cara yang objektif untuk menangani masalah  hukum, termasuk korupsi. Sistem koreksi yang efektif juga akan memberikan tingkat kepercayaan tinggi bagi para pelaku usaha ketika berhadapan dengan ketidakpastian kebijakan.

Lebih lanjut, memasukkan isu pemberantasan korupsi sebagai konteks dalam UU Cipta Kerja sejatinya menegasikan berbagai potensi kebijakan koruptif yang dilahirkan dari berbagai pasal kontroversial pada UU tersebut. Misalnya, royalti 0 persen yang diberikan kepada perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi industri batu bara mencerimkan fenomena institutional corruption, dimana cara-cara legal digunakan untuk memberikan keuntungan finansial bagi kelompok bisnis tertentu saja.

Selanjutnya, ketentuan mengenai pemindahtanganan aset negara (serta aset Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka investasi pemerintah, dilakukan tanpa mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat. Pemindahtanganan aset negara tersebut dapat dilakukan langsung oleh Lembaga Pengelola Investasi tanpa ada keterlibatan pengawasan dari Pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat.

Mekanisme persetujuan dan pengawasan yang ketat, terutama untuk aset stratgeis, yang sebelumnya ada dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara, dihilangkan oleh UU Cipta Kerja. Ada banyak jenis aset negara dan aset BUMN dengan nilai strategis dapat berpindahtangan ke pihak lain dan kehilangan status sebagai aset negara. Aset-aset negara tersebut berpotensi hilang dan Lembaga Pengelola Investasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian negara tersebut.

Demikian halnya, perumusan materi UU Cipta Kerja jauh dari semangat dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik mengingat proses pembahasan dan penyusunan UU Cipta Kerja yang sangat tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat. Belum lagi keterlibatan berbagai pihak sebagai tim inti perumus materi UU Cipta Kerja yang tidak lepas dari konflik kepentingan. Bagaimana mungkin pemerintah dapat mengklaim punya semangat anti korupsi apabila dalam berbagai praktek kebijakan, mereka menegasikan berbagai prinsip penting dari tata kelola pemerintahan yang baik?

Dari berbagai alasan diatas, kami menyimpulkan bahwa Pemerintah sedang menggunakan politik gelang karet dalam pemberantasan korupsi, dimana agenda anti korupsi hanya akan diterapkan apabila memberikan kontribusi langsung bagi perbaikan sektor ekonomi dan tidak menimbulkan konflik antar elit. Selebihnya, konsekuensi yang merugikan Pemerintah (baca: elit) dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi dihindari, meskipun Pemerintah menyadari, hal itu merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi Indonesia untuk jangka panjang.***

Narahubung:
1. Adnan Topan Husodo (ICW)
2. Oce Madril (PUKAT UGM)
3. Wawan (TII)

 

Download Rilis:

Press Release_OL_Pemb_Korupsi.docx

RILIS: Catatan PUKAT UGM Terhadap RUU CIPTA KERJA  

Berita Tuesday, 6 October 2020

Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR. Selama ini, proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. PUKAT UGM telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berikut catatan PUKAT UGM terhadap RUU Cipta Kerja:

  1. RUU Cipta Kerja dan State Capture

Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan. Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup.

Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha. Fenomena ini erat dengan state capture yang oleh Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001) didefinisikan sebagai “so-called oligarchs manipulating policy formation and even shaping the emerging rules of the game to their own, very substantial advantage.”

Rilis selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut:

Catatan Pukat UGM Terhadap RUU Cipta Kerja

DIKSI Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi

Berita Sunday, 27 September 2020

Pada Senin, 21 September 2020, PUKAT FH UGM menggelar diskusi edisi spesial dengan tema Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM), Asfinawati (Ketua YLBHI), Busyro Muqoddas (Pimpinan KPK 2011-2014), Zainal A. Mochtar (Dosen FH UGM), dan Alissa Wahid (Koordinator Gusdurian). Diskusi PUKAT Edisi Spesial ini diselenggarakan dalam rangka satu tahun revisi UU KPK, mencakup refleksi serta harapannya agar ke depannya KPK tetap dapat bekerja optimal.

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Oce Madril. Oce  menerangkan catatan perjalanan UGM menolak perubahan UU KPK yang telah dimulai sejak tahun 2012. Oce juga menyampaikan bahwa publik dapat menilai produk-produk legislasi yang semakin hari kian mengancam kebebasan sipil dan HAM.

Oce Madril

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas. Busyro menitikberatkan pada perubahan KPK lama dan KPK hasil revisi UU. “Satu tahun dengan DNA dan chemistry baru ditandai dengan status independen yang sengaja dihapuskan, sehingga KPK tidak lebih dari aparat pemerintahan”, tuturnya. Busyro pun membahas mengenai adanya digdaya bisnis dan politik oleh oligarki, yang tidak lepas dari pelumpuhan KPK.

Busyro Muqoddas

Selanjutnya Asfinawati memaparkan materi diskusi yang berjudul “Refleksi Proses Pengawalan Publik terhadap Revisi UU KPK”. Presentasi tersebut diawali dengan foto yang menunjukan isu KPK sangat masif pada September 2019 lalu. Asfinawati juga menyebutkan poin dimana kebebasan sipil menyempit. Poin tersebut dibuktikan dengan data kebebasan di Indonesia (data berdasarkan Freedom House Index), dari tahun 1998 hingga 2019.

Asfinawati

Pemaparan dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal menyebut KPK hasil revisi dengan istilah KPK Kenormalan Baru. “KPK menurut saya mengalami kenormalan baru. KPK yang dulu memberantas korupsi, tidak bersahabat dengan korupsi, dan bergaya sederhana sekarang terbalik. Pulang kampung dengan helikopter dan banyak kasus menunjukan ‘persahabatan’ dengan korupsi”, tuturnya. Kemudian, Zainal mengajak publik untuk tetap mengawal pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai faktor yang penting. “Rasanya aktivis antikorupsi harus berpikir bagaimana caranya memberantas korupsi tanpa mengharapkan KPK dan Presiden Jokowi”, lanjutnya.

Zainal Arifin M

Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Alissa Wahid. Pemantik diskusi tersebut diawali dengan kutipan, change happens at the speed of trust. Alissa menjelaskan bahwa kepercayaan adalah hal yang utama dalam konteks publik. Alissa pun menuturkan jika paradigma terhadap pemberantasan korupsi tidak bisa semudah embel-embel korupsi bisa diberantas, namun butuh partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Paradigma baru yang dapat dilakukan adalah dengan rethinking, dimana akibat dari korupsi pun dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Penulis: Erma Nuzulia S

Rilis Media: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai dan Optimalisasi Pendapatan Negara

Berita Thursday, 10 September 2020

Pada 8 September lalu Pukat UGM telah menyelenggarakan Diskusi Publik Penataan Kebijakan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi. Pada kegiatan tersebut Pukat UGM mendorong pentingnya penyederhanaan Struktur Tarif Cukai bagi Optimalisasi Pendapatan Negara.

Berikut adalah rilis Diseminasi Publik:

Berdasarkan prinsip dalam Undang-Undang tentang Cukai, maka segala kebijakan cukai perlu didorong untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Strategi optimalisasi termasuk di antaranya dengan menutup sekecil mungkin celah kebijakan yang dapat menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara di sektor cukai.

Celah kebijakan yang akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara terlihat dari Permenkeu No. 152/PMK.010/2019. Peraturan itu menetapkan tarif cukai berdasarkan golongan-golongan yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi dalam satu tahun. Problematikanya, tarif yang ditetapkan per golongan tersebut berpotensi menimbulkan praktik koruptif. Hal tersebut terlihat dari gap (perbedaan) tarif antar golongan yang begitu lebar.

(….)

Unduh rilis selengkapnya melalui tautan di bawah ini:

rilis diseminasi publik – cukai -Pukat UGM

Diskusi Publik PUKAT UGM: Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi

Berita Tuesday, 8 September 2020

Pada Selasa, 8 September 2020, Pukat FH UGM menggelar diskusi publik dengan tema Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara, dan Pencegahan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM), Danang Widoyoko (Sekjen Transparency International Indonesia), Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Tim Stranas Pencegahan Korupsi) dan Dicky Alfarisi (Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Oce Madril. Dalam pemaparan tersebut, Oce Madril menyampaikan poin catatan dari Pukat UGM mengenai Eksaminasi Peraturan Menteri Keuangan tentang Cukai Hasil Tembakau dalam rangka optimalisasi pendapatan negara. Secara garis besar, pemaparan ini menjelaskan mengenai masalah dalam peraturan perundangan cukai di Indonesia dan isu terkait road map yang dibuat oleh pemerintah. Pembuatan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah tidak sejalan dengan road map yang bertujuan untuk simplifikasi tarif cukai yang ada di Indonesia. Oce Madril juga menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan layer dan gap tarif cukai yang masih banyak.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Danang Widoyoko. Danang menjelaskan urgensi dari penyederhanaan tarif cukai di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai instansi. Kemudian, Danang juga menjelaskan patahan argumen dari alasan pembatalan simplifikasi tarif cukai, seperti merugikan produsen kecil dan menengah, merusak iklim investasi dan kesiapan hasil tembakau, dan struktur tarif cukai mendorong peredaran rokok ilegal. Menurutnya, alasan tersebut tidak benar “Justru simplifikasi tarif cukai dapat meningkatkan penerimaan negara, insentif untuk tax avoidance, mendorong iklim bisnis lebih setara dan adil, dan mengurangi konsumsi rokok,”terangnya.

Danang W_Sekjend TII

Selanjutnya, pembahasan mengenai penataan kebijakan cukai dipaparkan oleh Bimo Wijayanto. Bimo mengawali pemaparan dengan menjelaskan pergeseran konsumsi tembakau dari tahun ke tahun, yang dimulai dari rokok secara manual sampai rokok elektrik. Selain itu, Bimo juga menjelaskan bahwa Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), walaupun hukum nasional Indonesia sudah mengarah ke kontrol tembakau seperti di dalam FCTC. Bimo juga menjelaskan dasar bagi pemberian golongan cukai, seperti jenis hasil tembakau; jenis industri; golongan produksi pabrikan; dan kandungan bahan baku dalam negeri.

Pemantik diskusi terakhir disampaikan oleh Dicky Alfarisi. Dicky menyampaikan hasil kajian KPK mengenai sistem pengawasan dan pelayanan cukai di direktorat jenderal cukai. Selain itu, Dicky juga menjelaskan mengenai Corruption Risk Assessment (CRA) yang digunakan untuk menganalisis dan menilai faktor penyebab korupsi dalam UU, peraturan lain, maupun peraturan yang masih dalam bentuk rancangan. “Terdapat empat kriteria asesmen dalam CRA, yaitu compliance, execution, administrative procedure, dan corruption control,”ujarnya.

Dicky A_Litbang KPK

Penulis: Erma Nuzulia S

 

Download link materi:

Diskusi Cukai Pukat UGM_Bimo W

 

Diskusi dapat diakses melalui:

Video: Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas

Berita Thursday, 13 August 2020

Video “Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas” berisi dampak korupsi, pengertian korupsi, faktor yang mempengaruhi perilaku koruptif dan contoh perilaku koruptif yang terdapat di sekitar kita, terutama di lingkungan kampus.

Disajikan dengan animasi sederhana dan menarik, video ini diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi dan berkontribusi dalam membangun integritas khalayak luas, tekhusus bagi mahasiswa.

Selengkapnya:

Rilis Diksi #8 RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”

Berita Wednesday, 22 July 2020

Unduh Rilis Diksi #8 pada tautan di bawah ini:

Rilis Diksi 8

Diksi #8: RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”

Berita Wednesday, 22 July 2020

Selasa, (21/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #8: RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM. Narasumber diskusi ini adalah Fira Mubayyinah (Direktur Pusat Pendidikan dan Kajian Antikorupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indoneisa), Iqbal Felisiano (Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga), Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada), dan Eka Nanda Ravizki (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada).

Diskusi ini dimulai dengan pemaparan dari Rimawan Pradiptyo. Rimawan menjelaskan RUU Cipta Kerja dari perspektif ilmu ekonomi dan perbandingannya dengan beberapa negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Rimawan juga menyampaikan pembahasan mengenai kesiapan Indonesia dalam mengaplikasikan pendekatan berbasis resiko- risk based approach dalam RUU Cipta Kerja juga disampaikan dengan baik. Rimawan menyimpulkan bahwa aspek Indonesia belum siap menerapkan pendekatan berbasis resiko mengingat masih lemahnya database yang dimiliki pemerintah.

Rimawan P_Dosen FEB UGM

Pembahasan selanjutnya disampaikan oleh Fira Mubayyinah. Dalam pemaparannya yang berjudul “Melemahnya Nilai-nilai Antikorupsi & Potensi Kerugian Sosial dalam RUU Cipta Kerja”, Fira menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja tidak mencerminkan nilai antikorupsi. RUU Cipta Kerja yang dibuat terburu-buru dan tidak terbuka telah melanggar nilai-nilai antikorupsi, yaitu transparansi dan keadilan. Fira juga memaparkan terdapat nuansa lemahnya nilai-nilai antikorupsi dalam RUU Cipta Kerja yang membuka perilaku koruptif seperti yang tercermin dalam praktik orde baru.

Fira M_Dosen UNUSIA

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Eka Nanda Ravizki. Eka menyampaikan diskusi dengan menjelaskan beberapa prinsip-prinsip dalam hukum pidana, khususnya konsep strict liability dan kaitannya dengan Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pasal a quo, RUU Cipta Kerja menghilangkan klausa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, sehingga penegak hukum harus membuktikan unsur kesalahan dalam kerusakan lingkungan. Selain itu, Eka juga memaparkan problematika mengenai sanksi administratif yang diterapkan dalam RUU Cipta Kerja yang jauh dari efek jera. Penerapan sanksi administratif yang sembarangan memberi kesan sentralisasi sanksi ke pemerintah pusat.

Eka Nanda_Pukat UGM

Masih terkait dengan bidang pidana pada RUU Cipta Kerja, Iqbal Felisiano membahas mengenai ancaman pidana yang terdapat pada RUU tersebut. Iqbal menyatakan bahwa terdapat potensi “bancakan” pejabat pemberi persetujuan lingkungan hidup dan melemahkan penegakkan UU Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat juga potensi disparitas putusan yang menimbulkan ketidakadilan dengan adanya denda administratif ini. Iqbal menutup diskusi dengan memaparkan ketidakjelasan dalam sanksi pidana dan pemulihan lingkungan hidup jika wewenang tersebut ditarik ke pemerintah pusat seperti yang tercermin pada Pasal 82 (1).

Penulis: Erma Nuzulia S

Link Download Materi:

Eka Nanda_Pemidanaan UU Cipta Kerja

Fira M_ MELEMAHNYA NILAI-NILAI ANTIKORUPSI (1)

Rimawan P_ Risk Based Approach NA OL

Rilis Diksi #7, RUU Cipta Kerja “Problem Legislasi dan Ancaman Korupsi Kebijakan”

Berita Saturday, 18 July 2020

Download rilis diksi #7 pada tautan berikut:

Rilis Diksi 7_Pukat UGM

Diksi #7: RUU Cipta Kerja, “Problem Legislasi & Ancaman Korupsi Kebijakan”

Berita Saturday, 18 July 2020

Kamis, (16/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #7: RUU Cipta Kerja: “Problem Legislasi & Ancaman Korupsi Kebijakan”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Direktur PUKAT FH UGM), Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember), Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas), Gita Putri Damayana (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), dan Danang Widoyoko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia).

Diskusi ini dimulai dengan pemantik dari Danang Widoyoko yang menjelaskan ancaman korupsi kebijakan dalam RUU Cipta Kerja. Danang menjelaskan bahwa iklim investasi di Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk, malah ada peningkatan dari tahun ke tahun. Danang pun menggarisbawahi bahwa permasalahan dalam berinvestasi di Indonesia adalah korupsi yang terjadi pada lembaga peradilan dan korupsi politik. Menurutnya, RUU Cipta Kerja justru berpotensi menurunkan akuntabilitas praktik bisnis dan investasi yang dapat menarik modal global masuk ke Indonesia.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan pembahasan dari Gitra Putri Damayana. Gita memulai diskusi dengan membahas banyaknya jumlah regulasi yang ada di Indonesia yang saling tumpang tindih secara vertikal maupun horizontal. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyebutnya dengan hiper-regulasi. Gita juga menjelaskan bahwa tujuan simplifikasi peraturan perundangan yang menjadi latar belakang RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan kenyataannya. Justru, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini akan menambahkan 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah.

Gita Putri D_PSHK

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Oce Madril. Oce menjelaskan pemusatan kekuasaan ke presiden dari daerah yang banyak ditarik oleh RUU Cipta Kerja ini. Secara konseptual, Oce menjelaskan bahwa penarikan kekuasaan ke pusat ini tepat jika suatu negara menganut konsep negara kesatuan dan presidensial. Namun, secara praktik, dapat menyebabkan president heavy, atau bahasa lainnya adalah pemberatan wewenang pada presiden. Oce pun menerangkan bahwa RUU Cipta Kerja ini seakan-akan adalah ‘cek kosong’, karena banyak norma dalam pasal-pasal di RUU ini yang berimplikasi luas dan mendelegasikan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

 

Selanjutnya, Bayu Dwi Anggono memaparkan materi berkaitan dengan kaidah tertib pembentukan perundang-undangan secara formil dan materil. Kaidah tertib tersebut kemudian dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja. Bayu menjelaskan bahwa permasalahan dalam RUU Cipta Kerja bukan hanya masalah dalam teknik penyusunan peraturan tersebut, namun juga landasan filosofis dari masing-masing undang-undang yang dicabut maupun direvisi oleh RUU ini. Rancangan ini memiliki landasan filosofis dalam memudahkan investasi, dan berbahaya jika landasan ini dijadikan patokan dalam perubahan beberapa pasal dalam, misalnya, UU Perairan, UU Kehutanan, dan UU Ketenagakerjaan.

Bayu Dwi_Puskapsi UNEJ

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Feri Amsari dengan materi yang berjudul “Omnibus Law Bahaya Laten terhadap Nilai-Nilai Pancasila”. Feri menyampaikan bahwa teknik pembentukan perundang-undangan dengan omnibus law hanya dapat digunakan pada topik yang sama. Hal ini selaras dengan praktik omnibus law di negara lain seperti Michigan dan Kanada. Selain itu, Feri pun menyampaikan bahwa konsep omnibus law dikenal sebagai UU yang anti demokrasi dan cenderung mengabaikan suara publik. Model omnibus law sejenis yang sedang didiskusikan di DPR, memang tidak diakui di UU No. 12 Tahun 2011. “Kalau dianggap salah prosedur, ya memang benar. Tidak mungkin bisa disahkan kalau prosedurnya saja bermasalah”, ungkapnya.

Feri Amsari_Pusako Unand

Penulis: Erma Nuzulia S

 

Download materi:

Feri amsari_presentasi omnibus

Danang_Presentation Omnibus Pukat UGM (1)

Gita Putri_Presentation Omnibus Pukat UGM (2)

1234…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY