Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Pukat UGM
  • Pukat UGM
Arsip:

Pukat UGM

RILIS: “Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi”

Berita Saturday, 6 March 2021

OTT Nurdin Abdullah menambah panjang daftar praktik korupsi kepala daerah. Modus yang digunakan juga relatif sama, yaitu suap dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan jual-beli jabatan. Terus berulangnya kasus korupsi kepala daerah menunjukkan pencegahan korupsi di daerah tidak berjalan efektif. Selain itu ada persoalan sistem politik yang menyeret para kepala daerah ke dalam perilaku korupsi.

Korupsi kepala daerah tidak lepas dari faktor biaya politik yang tinggi. Pilkada langsung diwarnai politik uang, baik dalam bentuk mahar untuk parpol maupun vote buying. Modal calon kepala daerah berasal dari kantong pribadi dan lebih banyak lagi dari para cukong. Kepala daerah terpilih melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan.

Partai politik yang seharusnya menjadi sarana pencegahan korupsi para kadernya, justru menjadi bagian dari masalah. Korupsi kepala daerah sering terkait dengan kepentingan partai politik. Perlu ada perubahan fundamental untuk mencegah korupsi di daerah. Baik perubahan dalam sistem politik maupun sistem pengawasan daerah.

Dalam diskusi “Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi” yang diadakan oleh PUKAT FH UGM (5/3/2021), Peneliti PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar, memaparkan fakta adanya ratusan kepala daerah yang terlibat kasus korupsi menunjukkan bahwa ada kegagalan sistem pengawasan pemerintah pusat.  Bahkan kadangkala korupsi di daerah juga merupakan kreasi dari pusat. Dalam kondisi ini, jangan sampai pemerintah justru memunculkan solusi dengan konsep yang ajaib, seperti konsep resentralisasi karena hal tersebut belum tentu menjadi jawaban atas persoalan korupsi di daerah. “Saya termasuk yang mengatakan bahwa separuh korupsi di daerah itu di-driven oleh Pusat. Pertama, gagalnya pemerintah pusat membangun konsep pengawasan yang baik dan kedua, dalam beberapa hal kasus yang terdapat di daerah itu juga dimainkan oleh pemerintah pusat,”ujarnya

Sementara Anggota Dewan Pengarah Perludem Titi Anggraini menyebut bahwa praktik elektoral yang berbiaya tinggi telah berkontribusi meningkatkan praktik korupsi. Sayangnya, sistem akuntabilitas dan transparansi dana pencalonan tidak mendukung untuk menunjukkan realitas di lapangan mengenai besarnya biaya politik kepala daerah. Lebih lanjut Titi menerangkan bahwa mengganti menjadi sistem pemilihan tidak langsung adalah pilihan tergesa-gesa karena hulu permasalahannya ada di partai politik. “Justru dengan pemilihan tidak langsung rakyat semakin ditinggalkan. Pemilihan di DPRD hanya memindahkan tempat dan waktu saja, tidak menuntaskan persoalan yang terjadi,”terangnya.

Mada Sukmajati Dosen Fisipol UGM mengatakan bahwa reformasi parpol adalah agenda yang mendesak untuk dilakukan sebelum pemilu serentak 2024. Sudah banyak bukti bahwa parpol memiliki kontribusi yang besar dalam mempengaruhi sistem politik dan pemerintahan, termasuk tindak pidana korupsinya. Mada menambahkan, “Sudah ada beberapa draft UU Partai Politik, tetapi sejak 2011 tidak pernah menjadi Prolegnas. Jika tidak ada kemauan baik dari para politisi, maka kita dari masyarakat sipil yang harus mendorong ini.”

Berdasarkan diskusi dapat dicatat beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Pertama, mendorong pemerintah untuk membangun sistem pencegahan korupsi yang kuat di sektor yang rawan korupsi serta membuat inovasi kebijakan pencegahan korupsi. Kedua, pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu membuat kebijakan yang lebih efektif untuk mengawasai dana kampanye calon kepala daerah sehingga menutup kemungkinan adanya “politik balas budi” bagi kepala daerah yang terpilih. Ketiga, mendorong partai politik untuk dapat berbenah diri melalui sistem partai politik yang berintegritas sebagai upaya meningkatkan peran partai politik dalam mencegah korupsi kepala daerah.

 

Yogyakarta, 5 Maret 2021

Totok Dwi Diantoro

(Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM)

 

 

Contact Person:

Hanifah Febriani (0857 9988 5430);

Eka Nanda (0812 3459 4641)

 

Rilis Selengkapnya:

Rilis Pers PUKAT UGM Kepala Daerah dalam Lingkaran Korupsi (1)-1

RILIS: “Terjun Bebas” Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2020

Berita Saturday, 30 January 2021

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2020 menggambarkan kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. IPK Indonesia mengalami penurunan 3 angka, dari 40 menjadi 37. Penurunan tiga poin tersebut menjadi catatan buruk, karena terhitung sejak 2008, tren IPK Indonesia cenderung naik “tipis-tipis”.

Penurunan IPK Indonesia menjadi gambaran bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pemberantasan korupsi dalam kurun waktu satu tahun kebelakang. Menurut catatan PUKAT UGM, IPK Indonesia yang menurun sebenarnya telah dapat diprediksi dikarenakan berbagai fenomena yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir seperti pelemahan kelembagaaan antikorupsi; regulasi dan kebijakan ekonomi yang gagal mendorong proses bisnis yang bersih; dan kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia.

Terhadap hal tersebut, PUKAT menanggapi tiga hal sebagai berikut.

Pertama, melemahnya kelembagaan antikorupsi. Revisi UU KPK terbukti secara signifikan telah menurunkan kinerja KPK dalam hal penindakan pemberantasan korupsi. Selain itu, semangat pemberantasan korupsi dicederai oleh praktik korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Integritas penegakan hukum anti korupsi semakin melemah, karena lembaga yang seharusnya menegakan korupsi justru digerogoti dengan praktik-praktik koruptif. Hal tersebut juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kedua, regulasi dan kebijakan sektor bisnis kurang mendorong proses bisnis yang bersih  Penyumbang penurunan signifikan berasal dari indikator yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi. Indikator Global Insights turun 12 poin dan PRS turun 8 poin. Penurunan tersebut dipicu oleh relasi korupsi antara pebisnis dengan pemberi layanan publik untuk mempermudah proses memulai usaha atau mendapatkan izin berusaha dan praktik korupsi politik yang melibatkan penyelenggara negara dengan pebisnis.

Salah satu kebijakan yang didorong satu tahun terakhir adalah kemudahan berusaha untuk mendatangkan investasi, salah satunya melalui UU Cipta Kerja. Namun undang-undang tersebut tidak disertai dengan upaya pencegahan korupsi yang baik. Justru dalam beberapa hal cenderung hanya berfokus pada kemudahan berbisinis dengan menerobos beberapa katup pengaman yang sejatinya menjadi sistem pendukung pencegahan korupsi. Sistem yang dibangun terbukti masih belum mampu menanggulangi relasi korup antara pebisnis dan pejabat publik.

Ketiga, terdapat kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia  Secara umum, regulasi yang dibentuk dalam satu tahun belakang tidak mencerminkan prinsip-prinsip antikorupsi, seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Beberapa UU yang lahir dengan meregresi prinsip tersebut diantaranya adalah UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Proses legislasi yang buruk menjadi indikator kuat yang menyebabkan IPK Indonesia menurun.

Berdasarkan hal tersebut, PUKAT UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut:

  1. Memperkuat kembali kelembagaan antikorupsi di Indonesia dengan melakukan evaluasi terhadap revisi UU KPK yang secara terang telah melemahkan KPK.
  2. Mendorong pemerintah untuk mengatur strategi pemberantasan korupsi yang telah diamanatkan UNCAC seperti kejahatan memperdagangkan pengaruh, perampasan aset serta pengelolaan konflik kepentingan demi mendukung pencegahan korupsi berjalan efektif dalam dunia usaha dan iklim bisnis di Indonesia
  3. Membenahi proses legislasi dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam menyusun kebijakan.

Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM

Contact Person:

Hanifah (085799885430)

Yuris Rezha (081215775644)

 

Lebih lanjut:

Rilis PUKAT UGM_IPK Indonesia 2020

Kuliah Online Pukat dan KPK: Gratifikasi, Benturan Kepentingan, dan Korupsi

Berita Friday, 1 May 2020

Pukat UGM bekerja sama dengan Direktorat Gratifikasi, Direktorat Litbang, dan Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK pada 23 April 2020 telah mengadakan kuliah online “Gratifikasi, Benturan Kepentingan, dan Korupsi”. Kuliah online tersebut diselenggarakan melalui aplikasi zoom dengan pengajar dari perwakilan KPK dan Pukat UGM.

Materi seputar gratifikasi disampaikan oleh Sugiarto dari Direktorat Gratifikasi KPK. Ia menuturkan bahwa gratifikasi akan mempengaruhi pejabat publik serta merusak sistem dan prosedur yang telah ada. Hal ini dikarenakan gratifikasi menimbulkan hubungan istimewa antara pejabat publik dengan orang yang memberinya. Untuk itu, ia menghimbau kepada pegawai negeri maupun penyelenggara negara  untuk menolak setiap gratifikasi, “Apabila dalam kondisi tertentu tidak dapat ditolak, maka pemberian tersebut wajib dilaporkan,” terangnya.

Materi kedua tentang konflik kepentingan disampaikan oleh Wahyu Susilo dari Direktorat Litbang KPK. Ia menerangkan konflik kepentingan dapat berpengaruh terhadap kepercayaan publik. “Konflik kepentingan akan menimbulkan dilema moral yang dapat mempengaruhi pertimbangan pejabat publik dalam mengambil keputusan,” ujarnya.

Terakhir, Direktur Pukat UGM Oce Madril menerangkan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan menggunakan barbagai pendekatan. “Pemberantasan korupsi tidak hanya dengan membangun struktur dan regulasi saja, tetapi juga perlu memangun tradisi dalam pemerintahan,” terangnya.

 

Selengkapnya dapat diakses melalui kanal yutub kami:

Diskusi Seputar Korupsi (Diksi) #3: Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi

Berita Thursday, 9 April 2020

Menanggapi wacana pemberian remisi bagi narapidana korupsi, PUKAT UGM menyelenggarakan diskusi online bertema “Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi” pada 7 April 2020. Diskusi ini tidak hanya membahas seputar remisi bagi napi korupsi, tetapi juga mengupas korupsi bencana dan kehadiran Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Tersambung sebagai narasumber adalah Kurnia Ramadhana (Peneliti Indonesian Corruption Watch), Wawan Suyatmiko (Peneliti Transparency Internasional Indonesia) dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM).

Kurnia Ramadhana menerangkan, jika wacana membebaskan 300 terpidana korupsi merupakan upaya mencari celah di tengah-tengah situasi pelik Covid-19 ini. “Kami tidak menemukan adanya korelasi antara merebaknya wabah Covid-19 dengan keharusan negara membebaskan narapidana korupsi,”ujar Kurnia. Menurutnya napi korupsi hanya 1,8 % dari total narapidana yang ada dan napi tersebut mendiami sel khusus dimana setiap sel hanya dihuni oleh satu orang. Sehingga logika pembebasan napi korupsi untuk mengurangi jumlah tahanan dan mencegah merebaknya wabah Covid 19 dianggap tidak pas.

Kurnia Ramadhana-ICW

Kurnia menambahkan, meskipun wacana pemberian remisi bagi napi korupsi ditolak oleh Presiden, masyarakat tetap tidak boleh lengah. “Ada gerakan dari Pemerintah yang mencoba untuk mengganggu konstelasi gerakan antikorupsi di situasi pandemik saat ini. RUU Permasyarakatan pembahasannya terus jalan dan sangat menguntungkan bagi narapidana korupsi karena PP 99/2012 ingin dicabut,” terangnya.

Wawan Suyatmiko- TII

Selain hal tersebut, hal lain yang harus diwaspadai di tengah pandemic Covid-19 adalah potensi korupsi bencana. Wawan Suyatmiko menjelaskan jika dalam situasi seperti ini pemerintah perlu mengupayakan keterbukaan data dan informasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, dan penanganan asimetri informasi dengan seksama. Lebih lanjut Wawan menyesalkan upaya kontra-produktif yang dilakukan selama situasi pandemik ini. “Saat ini terus dibahas penyusunan regulasi yang tidak sensitif bencana, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan RUU Permasyarakatan.”ujarnya.  Padahal dalam kondisi seperti ini, masyarakat lebih mengharapkan wakil-wakil rakyat mampu merumuskan kebijakan yang dapat menanggulangi Covid-19 secara efektif dan efisien.

Zaenur Rohman- Pukat UGM

Pembahasan terakhir terkait Perppu 1/2020 diutarakan oleh Zaenur Rohman. Zaen, mengapresiasi kehadiran Perppu 1/2020. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan terutama berkaitan dengan Pasal 27. “Saya melihat Pasal 27 ini berangkat dari trauma ketika menangani krisis ekonomi 1998 dan 2008,” terangnya. Zaen lebih lanjut menerangkan jika Pasal 27 ayat (1) ini harus dibaca sepanjang tidak melawan hukum, tidak memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan juga tidak merugikan keuangan negara. Di samping itu, Zaen menuturkan jika dalam situasi seperti ini KPK dapat mengambil peran salah satunya dengan memberikan pendampingan kepada pemerintah melalui Deputi Pencegahan.

Diskusi Seputar Korupsi (Diksi) #2: Omnibus Law dan Korupsi Legislasi

Berita Wednesday, 8 April 2020

Menanggapi isu Omnibus Law yang  tengah ramai diperbincangkan, Pukat UGM mengadakan diskusi bertema Omnibus Law dan Korupsi Legislasi. Acara ini berlangsung pada Rabu (26/02) bertempat di kantor PUKAT UGM

Sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah AB Widyanta (Sosiolog UGM), Shinta Maharani (Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta), Lutfy Mubarok (Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta) dan Yuris Rezha Kurniawan (Peneliti PUKAT UGM). Diskusi diawali dengan sambutan dan pengantar diskusi dari Oce Madril, Direktur Pukat UGM. Dalam pemaparannya, Oce menuturkan bahwa Omnibus Law memuat terlalu banyak pasal dan berpotensi tabrakan dengan UU lain. Dari segi teknik pembentukan peraturan perundang-undangan, UU ini akan sulit ditarik kembali apabila telah disahkan. “Karena masih dalam bentuk draft, saat ini adalah momentum yang tepat untuk mengkritisi Omnibus Law,”ujar Oce.

Materi pertama disampaikan oleh AB Widyanta. AB menerangkan bahwa fenomena pembentukan peraturan yang tidak demokratis dan tidak transparan ini semakin tampak sejak ambisi pemerintah untuk memindahkan ibukota. Dilihat dari sudut pandang sosiologi, demokrasi selama ini dianggap sebagai penghambat pembangunan. “Sekarang praktik tersebut tidak ditutup-tutupi lagi. Peraturan sekarang merugikan rakyat dan menguntungkan market.”tuturnya.

Pada kesempatan ini, Shinta Maharani membagikan catatannya terhadap Omnibus Law. Shinta menerangkan bahwa Omnibus Law akan berdampak buruk pada kebebasan pers di Indonesia. Ia menilai campur tangan pemerintah terhadap kebebasan pers semakin besar dalam Omnibus Law. “RUU Omnibus Law mewajibkan perusahaan pers mendaftarkan diri sebagai perusahaan pers berbadan hukum. Campur tangan pemerintah ini mengancam keberadaan jurnalisme warga, media komunitas, start up media, serta pers mahasiswa.”kata Shinta

Sedangkan dampak Omnibus Law terhadap lingkungan diutarakan oleh Lutfy Mubarok. Dalam catatannya, UU ini menghapus konsep strict liability dan ada pembatasan akses masyarakat kepada informasi, partisipasi, dan keadilan. “UU ini menghapus izin lingkungan. Sepanjang pembangunan sesuai dengan tata ruang, maka kegiatan pembangunan dapat terus berjalan,” ujarnya.

Menanggapi fenomena-fenomena di atas, Yuris Rezha memandang bahwa pembentukan UU Omnibus Law ini dapat dikaitkan dengan potensi korupsi legislasi. “Korupsi legislasi adalah korupsi yang dilakukan pada saat pembuatan kebijakan,”tuturnya. Lebih lanjut Yuris menerangkan bahwa kriteria korupsi legislasi misalnya dengan tidak adanya keterbukaan informasi dan  transparansi dalam perumusan kebijakan.  Hanya saja, secara hukum, korupsi legislasi baru dapat dikatakan sebagai sebuah korupsi manakala telah terjadi tindak pidana contohnya suap.

Mencatat 2019 dalam Sejarah: Kilas Balik Agenda Selamatkan Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Berita Wednesday, 8 April 2020

Sepanjang tahun 2019, PUKAT UGM terus mengawal isu upaya sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai gejolak terus meliputi KPK yang dimulai sejak pemilihan panitia seleksi calon pimpinan KPK, pemilihan calon pimpinan KPK, hingga puncaknya pada revisi UU KPK.

PUKAT UGM telah melaksanakan beberapa kegiatan untuk mengawal isu tersebut. Tentu saja, PUKAT UGM tidak bergerak sendiri. Beberapa kegiatan merupakan hasil kerja keras bersama mahasiswa, jaringan anti korupsi, pusat studi anti korupsi se Indonesia, masyarakat sipil, dll

Kegiatan-kegiatan sepanjang tahun 2019 ini adalah ikhtiar kami untuk tetap menjaga semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan menyelematkan KPK:

  • Pernyataan Sikap Tokoh dan Masyarakat Jogja Dalam Seleksi Pimpinan KPK yang dilanjutkan dengan Aksi Coret Capim KPK Bermasalah

Kegiatan ini diinisiasi oleh Jaringan Anti Korupsi Yogyakarta. Acara berlangsung pada 30 Agustus 2019 pukul 13.00 bertempat di PP Muhammadiyah dan dilanjutkan dengan longmarch aksi yang bertempat di 0 kilometer.

 

  • Konferensi Pers: Pengiriman Nota Keberatan Pusat Kajian Anti Korupsi

Belum redam isu pemilihan capim KPK, publik kembali dikejutkan dengan wacana revisi UU KPK. Sebagai respon atas kejadian tersebut, PUKAT UGM yang tergabung dalam Perwakilan 30 Pusat Kajian Hukum dan Anti Korupsi dari berbagai Perguruan Tinggi mengirimkan Nota Keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Nota Keberatan tersebut berisi pernyataan sikap menolak pembahasan RUU KPK dan segala upaya pelemahan KPK.

   

Acara ini dihadiri pula oleh Pimpinan KPK saat itu ,Agus Raharjo, dan Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof. Sigit Riyanto. Agus Raharjo juga menyatakan revisi UU KPK ini merupakan langkah mundur agenda pemberantasan korupsi Indonesia.

  • Aksi civitas akademika UGM menolak pelemahan KPK

Pada saat UU KPK tengah dalam tahapan pembahasan, civitas akademika UGM menggelar aksi bersama menolak Pelemahan KPK. Aksi ini dihadiri oleh civitas akademika UGM mulai dari guru besar, dosen, hingga mahasiswa.

  • Konferensi Pers: Mendesak Presiden Keluarkan Perppu

Pasca revisi UU KPK, PUKAT UGM menyatakan sikapnya dalam konferensi pers ini. Terdapat beberapa hal yang menjadi catatan PUKAT UGM terhadap UU 19/2019. Pertama, bahwa Presiden perlu menerbitkan Perppu. Kedua, Perppu tersebut  bertujuan untuk membatalkan revisi UU KPK dan mengembalikan pada UU KPK yang lama. Ketiga, Presiden harus berkomitmen mendukung pemberantasan korupsi dengan menjaga KPK dari segala bentuk pelemahan.

 

  • Konferensi Pers: Menjelang UU KPK, Perppu Tinggal Janji

Senin (14/10/19) atau tiga hari menjelang berlakunya UU KPK, PUKAT UGM mengadakan konferensi pers yang pada intinya menagih komitmen Presiden untuk menerbitkan Perppu. Perppu merupakan hak konstitusional Presiden. Tanpa tanda tangan dari Presiden, UU KPK akan berlaku otomatis pada 17 Oktober 2019.

Diskusi Peringatan Hari Anti Korupsi: Korupsi Mengancam HAM

Berita Saturday, 29 February 2020

Sabtu (7/12) Pukat FH UGM, BEM KM UGM dan Aliansi Masyarakat Peduli HAM (AMPUH) menyelenggarakan satu rangkaian acara dengan tema Anti Corruption and Human Rights.

Diskusi Pertama telah berlangsung di 4.1.1FH UGM dengan tema Korupsi mengancam HAM. Hadir sebagi pembicara adalah Tama S Langkung (Peneliti ICW), Oce Madril (Direktur Pukat ) dan Eko Prasetyo ( Pendiri SMI).

Tama menerangkan bahwa isu korupsi ini dekat dengan HAM. Bahkan menurutnya korupsi merupakan pelanggaran HAM. Praktek-praktek korupsi membuat masyarakat sulit mendampatkan akses pelayanan publik seperti dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Contoh sederhana, korupsi dana e-KTP membuat masyarakat sampai saat ini ada yang belum memiliki e-KTP.

Keterkaitan antara HAM dan korupsi kembali dipertegas oleh Oce Madril. Menurutnya, korupsi tidak hanya mengancam HAM tetapi juga mengancam nilai-nilai demokrasi dan sistem politik yang saat ini berjalan. Lebih lanjut ia menuturkan bahwa saat ini ada upaya sistematis yang memberi angin segar bagi koruptor. Hal tersebut termasuk “korting” hukuman bagi koruptor, pemberian grasi serta pelemahan KPK. “Di akhir tahun 2019 ini, kita harus mempertanyakan betul apakah bangsa ini serius memberantas korupsi? Termasuk apakah bangsa ini justru sedang mengubah perspektifnya dan memandang korupsi ini sebagai kejahatan yang biasa saja?”ujar Oce.


Menanggapi kondisi seperti itu, Eko Prasetyo menyatakan pentingnya membangun budaya kritis masyarakat. Gerakan anti korupsi harus menjadi gerakan akar rumput, untuk itulah isu korupsi harus disederhanakan agar dekat dengan masyarakat. “Korupsi ini harus dipandang tidak lagi sebagai musuh bersama, melainkan harus dimaknai sebagai rasa malu bersama,” terangnya. Ia menambahkan bahwa korupsi tidak akan hilang tanpa adanya perbaikan sistem, termasuk sistem pendidikan.

Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY