Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Berita
  • page. 8
Arsip:

Berita

Putusan beraroma Kepentingan

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

BELUM lama ini, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup aneh perihal pemilu serentak. Dalam putusan itu, salah satu yang mendapatkan perhatian besar adalah perihal pemilu serentak yang dijadikan pada 2019 karena menurut MK tidaklah tepat secara waktu untuk dilakukan pada 2014 berhubung waktu persiapan mengadakan pemilu yang sudah sangat mepet. Hal yang kemudian mendapatkan sorotan tajam karena mepetnya waktu sesungguhnya diciptakan sendiri oleh MK. Dengan menunda pembacaan putusan hingga lebih dari delapan bulan, putusan itu sendiri tiba-tiba menjadi hambar dan kehilangan makna.

Apalagi MK mengeluarkan surat penjelasan soal agenda persidangan yang alih-alih menjelaskan, sebaliknya malah semakin membingungkan. MK mengaku telah mengambil kesepakatan soal pemilu serentak pada 26 Maret 2013, tetapi kemudian masih membicarakan perihal ambang batas (threshold) kandidat capres. Hal yang sangat mengherankan mengingat dalam penalaran hukum yang wajar ketika memutuskan menyerentakkan pemilu berarti dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan adanya ambang batas. Artinya, sulit membayangkan ambang batas seperti apa yang dibicarakan MK sehingga memakan waktu berbulan-bulan.

Beberapa keanehan

Belum kering ludah dan tinta untuk membicarakan keanehan tersebut, MK kembali mengeluarkan putusan yang aneh, bahkan dapat dikesankan ajaib, yakni melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK).

Keanehan terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi. Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya berdasarkan basis motif kepentingan.

Salah satu keanehannya perihal waktu yang dibutuhkan MK untuk memutus perkara ini. Terkait putusan mengenai pemilu serentak, MK perlu lebih dari setahun (tepatnya satu tahun dan 13 hari) untuk menyidangkannya, sedangkan untuk kasus ini MK hanya perlu waktu satu bulan (tepatnya 37 hari). Tentu saja mudah bagi MK untuk berdalih bahwa ini hanya soal panjang waktu pembahasan pengujian UU. Tetapi, ini akan menyisakan pertanyaan susulan yang akan sulit dijawab oleh MK perihal konsentrasi berlebih yang dituangkan MK untuk UU ini dibandingkan soal pemilu serentak.

Dari putusan ini, kita tidak hanya melihat inkonsistensi MK dalam menggunakan jadwal waktu membuat putusan, tetapi juga adanya masalah substantif.

Pertama, MK seakan lupa bahwa ia punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Bahwa ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu—khususnya terkait alasan kegentingan yang memaksa— memang jadi hal yang diperdebatkan. Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan dalam bentuk UU. Konstitusi menggariskan bahwa subyektivitas presiden sesungguhnya telah diobyektivikasi oleh DPR dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU.

Kedua, MK membuat banyak penalaran yang terkesan dangkal. Misalnya, ketika MK membangun argumen hukum untuk membenarkan penolakannya terhadap kewajiban calon hakim konstitusi untuk berhenti dari parpol sekurang-kurangnya tujuh tahun sebelum dicalonkan sebagai hakim konstitusi. Argumen MK: adalah keliru mengatakan parpol berarti koruptif berdasarkan stigma yang dibuat masyarakat. Melarang parpol sama saja dengan diskriminasi yang dilarang konstitusi.

Pandangan ini aneh. Terlalu naif menyamakan parpol dekat dengan korupsi. Hal paling esensial melarang parpol masuk ke MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang terkait konflik kepentingan hakim konstitusi yang berasal dari parpol tertentu. Jadi, sifatnya di sini adalah preventif. Sejak awal harus ada larangan orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan menjadi bagian dari pengambil kebijakan.

Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011. MK memberikan makna atas pasal tentang frasa ”mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik… pada saat mendaftar sebagai calon” dengan menafsirkan itu harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun dari keanggotaan parpol saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, ataupun DKPP.

Di sini, MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran, ”pemain” tidaklah boleh menjadi ”wasit”. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang-kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK dalam putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim, yang jadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggara pemilu, menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki oleh parpol.

Ketiga, hal yang penting bagaimana MK menempatkan diri berhadapan dengan UU ini. Jika mau jujur, teori dan perspektif dunia hukum menyediakan semua analisis untuk membenarkan suatu pasal atau malah menyalahkan suatu pasal. Artinya, sesungguhnya tersedia banyak perspektif untuk mendukung suatu aturan atau malah tidak mendukungnya. Di sini, konteks sering kali menjadi penting untuk dipertimbangkan. E Whinney (1954) menyatakan, salah satu hal penting adalah pemahaman akan konteks mengapa UU itu dikeluarkan. Bruce Ackerman (1991) mengatakan, jika hanya berharap pada penafsiran dari cognitive talent sembilan hakim konstitusi, ini akan menempatkan konstitusionalisme kita jauh dari kepentingan publik yang seharusnya dijaga oleh konstitusi publik.

Seleksi hakim konstitusi

Para hakim MK seharusnya ingat pemihakan akan makna sesungguhnya penting. Terlepas dari adanya cacat bawaan dalam UU No 4/2014, ada keinginan luhur untuk memperbaiki keterpurukan MK. MK jangan lupa, ia memiliki problem Akil Mochtar karena kualitas proses seleksi hakim konstitusi yang tidak disertai koridor yang berarti dan pas. MK juga tidak bisa menutup diri dari putusan PTUN yang dengan jelas mengungkapkan adanya kekeliruan tata cara seleksi hakim konstitusi.

Melalui cara MK memperlakukan UU No 4/2014, mudah menangkap kesan alergi MK terhadap pengawasan dan perbaikan proses seleksi hakim MK. Padahal, itulah esensi UU No 4/2014. Sikap tunakonteks ini sungguh mengherankan bagi MK yang sering mengagungkan keadilan substantif. Jangan salahkan publik yang mengatakan, seperti di pemilu serentak, putusan soal penyelamatan MK juga lahir dari nalar kepentingan, bukan logika hukum.

Artikel ini pernah diterbitkan Harian Kompas pada 15 Februari 2014

Swasta Kotor dalam Korupsi

Berita Tuesday, 10 November 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

“Masyarakat, sebagai penjawab terakhir, mesti memiliki keberanian dan ketulusan dalam memerangi korupsi”

ADAKAH peran kotor swasta dalam kasus korupsi? Pertanyaan tersebut muncul setelah membaca hasil kajian Trend Corruption Report yang dirilis oleh Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM pada 27/1/14. Laporan kecenderungan korupsi memaparkan tiga besar pelaku korupsi yang dicatat pada semester II/2013 meliputi aktor kalangan swasta sebanyak 22 orang (33 persen), pejabat atau pegawai pemerintah daerah 18 orang (27 persen), dan pejabat atau pegawai BUMN 10 orang (15 persen).

Peringkat aktor korupsi semester II berbeda dari semester sebelumnya pada tahun yang sama. Dalam semester I aktor korupsi ditempati tiga besar oleh pejabat atau pegawai pemerintah daerah dengan 39 orang (27,27 persen), swasta 36 orang (25,17 persen), dan anggota DPRD 16 orang (11,19 persen). Meski ada perubahan, tidaklah ekstrem. Pasalnya, peringkat dua teratas hanya bergeser di antara pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta.

Ada tiga hal yang dapat dibaca dari pemeringkatan pelaku korupsi tersebut. Pertama; mau mengakui atau tidak, swasta ternyata memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam laju pemerintah daerah. Hal tersebut tampak pada kongkalikong korupsi yang dilakukan di antara keduanya. Pemerintah daerah tidak dapat melakukan sendiri pembangunan daerah yang berkaitan dengan infrastruktur. Khususnya untuk infrasturktur fisik. Pemerintah daerah membutuhkan peran pihak ketiga.

Masuknya pihak ketiga inilah yang mengawali peran swasta dalam korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai pemerintah daerah. Pertanyaannya, siapa yang membuka pintu korupsi terlebih dahulu, internal pemerintah daerah atau justru swasta? Sebenarnya jawaban atas soal ini bersifat kasuistis. Hanya pola yang tersedia adalah start korupsi cenderung berasal dari internal pemerintah daerah.
Alasannya sederhana, pemerintah daerahlah yang memiliki informasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pada bagian ini, kendali permainan korupsi ada di tangan pemerintah daerah.

Kedua; sayangnya semakin jauh perselingkuhan jahat antara pejabat/pegawai pemerintah daerah dan swasta, semakin sulit pula dikendalikan oleh oknum internal pemerintah daerah. Korupsi membutuhkan biaya teknis yang sangat besar. Padahal dana itu ada di kantong swasta karena mereka yang menyediakan.

Tanpa uang pelicin, mustahil mesin korupsi dapat bekerja maksimal. Kendali korupsi mulai bergeser. Tidak lagi di tangan internal pemerintah, tapi dipegang swasta. Tanpa disadari, swasta berlaku bak negara (pseudostate). Swasta mulai turut campur menentukan kebijakan. Misalnya ikut memengaruhi keputusan untuk siapa yang dapat proyek apa; kapan dikerjakannya; dan berapa jumlah anggarannya.

Ketiga; ketika swasta memegang kendali korupsi maka filosofinya adalah keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pihak swasta. Efeknya, pengerjaan pembangunan kurang atau malah tidak lagi memikirkan aspek keselamatan, kekuatan, dan kegunaan. Apakah pascaselesai pembangunan, infrastruktur tersebut dapat dipakai dengan aman atau nyaman oleh publik, tak lagi jadi prioritas.

Uang Pelicin

Dari segi pelayanan jasa, realitas itu akan mendorong biaya pada harga yang sangat tinggi. Pelayanan pendidikan dan kesehatan menjadi sangat mahal. Tujuannya, selisih bayar pemanfaatan infrastruktur atau jasa yang disediakan digunakan untuk menutup neraca minus uang yang sebelumnya difungsikan sebagai dana pelicin korupsi.

Dalam gambaran lebih lanjut, perselingkuhan antara oknum pemerintah daerah dan swasta mengakibatkan korban sangat banyak. Publik dan rakyat menjadi korban yang sungguh-sungguh nyata. Lalu bagaimana menghentikan perselingkuhan jahat ini? Sebagai pertanyaan retorika —dan juga teknis— yang dapat menjawabnya adalah masing-masing pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta. Susah menghentikan persekutuan hitam itu tanpa mereka sendiri memiliki keinginan untuk menghentikannya.

Andai pejabat atau pegawai pemerintah daerah dan swasta tak sanggup menjawab maka jawaban dialihkan ke penegak hukum dan masyarakat. Jika unsur dan syarat pencegahan tindak pidana korupsi tak mampu lagi dijalani pemerintah daerah dan swasta maka langkah penindakan oleh penegak hukum harus diambil. Seperti halnya seorang resi, penegak hukum tak boleh tercemari, apalagi terseret, pada persekutuan hitam korupsi.

Masyarakat, sebagai penjawab terakhir, mesti memiliki keberanian dan ketulusan dalam memerangi korupsi, seberapa pun kecil indikasi korupsinya. Hukum sudah menjamin mekanisme pelaporan dan keamanan pelapor kasus korupsi. Tinggal mau menggunakannya atau tidak. Pilihannya jelas, membiarkan sengsara karena korupsi yang melanda atau melawan korupsi dan mempersilakan kesejahteraan datang.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 14 Februari 2014

Vonis Banding Djoko Susilo

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PENGADILAN Tinggi Jakarta menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar kepada Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang pengadaan alat simulasi uji klinik pengemudi roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 (19/12/13). Tak hanya itu, majelis hakim tinggi juga mewajibkan mantan kepala Korlantas itu membayar uang pengganti Rp 32 miliar.

Bahkan, mencabut hak politik jenderal polisi tersebut. Putusan itu lebih berat ketimbang vonis pengadilan tingkat pertama dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Juga tanpa mencabut hak politik. Sontak, kabar vonis banding sang jenderal menjadi kabar gembira dalam pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, sepertinya tak ada yang mengira, pengadilan tinggi akan menghukum mantan gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang itu dengan pidana yang sesuai dengan tuntutan jaksa. Publik perlu mengapresiasi, tapi jangan terlalu berlebihan mengingat memang demikian seharusnya. Hakim, sebagai wakil Tuhan di bumi, harus menjadi pengadil yang memberikan keadilan seadiladilnya. Keadilan bagi korban korupsi, yakni rakyat.

Dulu, tatkala sanksi pidana pada pengadilan tipikor Jakarta untuk sang jenderal dibacakan (4/9/13), saya terheran-heran. Kok bisa majelis hakim mengirim Djoko Susilo ke bui dengan masa penjara kurang dari 2/3 tuntutan jaksa. Sepertinya, korps meja hijau sedang masuk angin. Makanya melalui harian ini edisi 9 September 2013, saya mengkeritik putusan tingkat pertama. Rakyat pun marah.

Jangan-jangan ada yang sedang bermain-main dalam olahalih putusan. Namun, tidak hanya sang majelis, bisa jadi jaksa juga tak begitu ngotot dan meyakinkan dalam mengonstruksi kasus korupsi pengadaan simulator alat kemudi. Akibatnya penghitungan kerugian keuangan negara secara substitusi muncul dalam pertimbangan hakim.

Antara jaksa dan hakim, boleh jadi keduanya sama-sama sedang masuk angin. Putusan tingkat banding itu bagaikan telaga yang mengaliri dahaga perang melawan korupsi yang sempat mengering. Semoga lantaran vonis banding Djoko Susilo ini, efek jera menjalar ke masyarakat, khususnya aparat penegak hukum, agar tidak coba-coba, apalagi melakukan, korupsi.

Hak Politik

Hal membanggakan lainnya dari vonis banding Djoko Susilo adalah majelis hakim sudah mau menerapkan pencabutan hak politik pelaku korupsi.
Mencabut hak politik ini bukan tanpa dasar. Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi yang mencantolkan pada Kitab- Kitab Undang Hukum Pidana dengan jelas mencantumkannya. Pasal 35 Ayat (1) KUHPAngka 4, misalnya mengatakan, hak politik terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya adalah: hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

Jadi sudah cetha wela-wela, bahwa terdakwa korupsi pun dapat dicabut hak politiknya. Ada beberapa orang berujar, tindakan majelis hakim yang menjatuhkan pencabutan hak politik koruptor terlalu berlebihan, lebay, dan cuma cari sensasi. Pencabutan itu adalah pengebirian hak mendasar seseorang.

Saya, secara pribadi, menolak ujaran beberapa orang tersebut. Kalau bicara soal mendestruksi hak, lalu di mana harus ditempatkan destruksi yang dilakukan oleh koruptor terhadap hak rakyat untuk sejahtera, hidup tentram, dan aman berkelanjutan yang semua itu hancur tak berbekas karena korupsi para pencuri uang rakyat? Pencabutan hak politik koruptor harus segera dibiasakan dan masuk dalam putusan majelis hakim berikutnya. Kita wajib memahami bahwa koruptor adalah penjahat yang pintar. Ia melakukan kejahatan terhadap harta publik karena didorong keserakahan. Ketika kepintaran dan keserakahan bersatu, dijamin akan sangat susah memberantasnya.

Bayangkan, kalau terdakwa korupsi yang pintar dan serakah itu masih diberikan kesempatan untuk menduduki kursi jabatan, terutama jabatan publik, atau terpilih, misalnya menjadi anggota DRPD atau DPR maka peluang untuk korupsi dan menyelewengkan lagi kekuasaannya, pasti akan terbuka lebar.

Jika demikian, kenapa tidak dicegah lebih dulu? Lagi pula, hukum telah memberi kekuatan untuk memprevensinya. Bukankah pencegahan tempatnya selalu harus di depan, bukan di belakang? Vonis bertujuan untuk menghukum perbuatan yang melekat pada orang, bukan menghukum orang. Ketika hak politiknya dicabut, diharapkan perbuatan koruptor yang dihukum tak bisa diterapkan lagi ke harta publik dan harta negara melalui kebijakan yang dibentuk oleh si koruptor.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 26 Desember 2013

Boediono di Kelindan Hukum dan Politik

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

JIKA dibuat dalam babakan, sudah sulit untuk menentukan kasus Century itu sesungguhnya sudah memasukkan babakan apa.

Serialnya sudah terlalu banyak dengan cerita yang nyaris berputar di masalah yang sama, antara hukum atau politik. Yang banyak bersisa dan dipertontonkan saat ini sesungguhnya ialah akrobat yang hanya diberi packaging hukum atau malah dianggap tipuan politik.

Pemanggilan Boedino oleh Tim Pengawas Century (Timwas) bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sesungguhnya berkutat pada masalah yang kurang lebih sama. Timwas Centu merasa berhak melakukan pemanggilan oleh karena DPR memiliki kewenangan untuk memanggil orang maupun pejabat mana pun dalam hal dimintai keterangan. keteranga Bahkan jika tidak datang, Timwas merasa memiliki ke miliki kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk melaksanakan tindakan paksa sebagaimana yang diatur di UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Kewenangan Timwas

Dalam konsep negara hukum, tidak ada satu pun yang boleh melakukan suatu kuasa tanpa adanya basis kewenangan hukum. Hanya dapat dikatakan berwenang, ketika memang memiliki kewenangan untuk melakukan hal itu. Makanya, lahirlah teori tentang bagaimana kewenangan itu bisa lahir, yakni secara atributif, distributif, ataupun mandat.

Akan halnya Timwas Century, tim ini lahir dari Sidang Paripurna DPR. Artinya, Timwas Century dan DPR bukanlah lembaga yang sama dan identik. DPR mendapatkan kewenangan yang teratribusi secara langsung kepada UUD `45 dan perundang-undangan lainnya, sedangkan Timwas lahir dari bentukan Sidang Paripurna DPR. Kewenangannya tentu juga jauh berbeda. DPR tentu memiliki kewenangan untuk semua hal yang dimiliki karena teratribusi, sedangkan Timwas memiliki kewenangan berdasarkan paripurna yang limitatif berdasarkan hal yang mau dimintakan kepada Timwas oleh DPR.

Dalam keputusan Sidang Paripurna DPR, kewenangan Timwas dengan jelas termaktub ten tang kewenangan untuk melakukan pengawasan atas rekomendasi DPR perihal penanganan kasus Bank Century, yang mana isinya telah menyerahkan prosesnya ke proses penegakan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kepolisian, dan kejaksaan. Dengan kata lain, kewenangan Timwas ialah mengawasi pelaksanaan penegakan hukum yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum itu. Apalagi, dalam rekomendasi Pansus Century ketika itu sudah dengan jelas menyebutkan bahwa Boediono adalah orang nomor wahid yang harus bertanggung jawab di kasus Century.

Artinya, secara hukum, tidak terlalu besar kemungkinan untuk dapat membenarkan tindakan pemanggilan oleh Timwas Century, apalagi jika hingga mau melakukan tindakan paksa jika Boediono menolak pemanggilan tersebut. Karena kewenangan Timwas Century tidak lagi berada pada ranah permintaan keterangan yang berkaitan dengan kasus Century, tetapi lebih pada keterangan soal penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum.

Terlebih, yang paling mengherankan dari tindakan pemanggilan dan ancaman tindakan paksa ialah urgensi dan hal apa yang mau didapatkan oleh Timwas Century dari Boediono. Bukankah DPR sudah berkesimpulan soal Boediono bersalah dan harus bertanggung jawab, dan karenanya menjadi bagian yang harus diperiksa oleh lembaga penegak hukum. DPR yang sudah melahirkan kesimpulan Boediono harus bertanggung jawab dan membentuk tim untuk hal itu. Timwas Century tentu saja tidak perlu mengulangi hal itu karena sudah menjadi keputusan DPR.

Aborsi hak menyatakan pendapat

Pertanyaan sederhana nya, bolehkah Timwas Century kemudian berbeda pendapat dengan rekomendasi DPR soal kedudukan Boediono? Tentu tidak, karena Timwas hanyalah perpanjangan tangan rekomendasi DPR dalam kaitan posisi Boediono di dalam skandal Century. Karena itu, lagi-lagi sulit untuk mendapatkan alasan pembenar perihal keterangan apa yang dimaui oleh Timwas Century atas Boediono ini.

Yang harus diingat juga oleh publik ialah adanya partai tertentu yang sesungguhnya sangat terlihat bermain-main dan tidak serius dalam penyelesaian skandal Century. Partai tersebut seakan-akan menjadikan skandal Century menjadi `layangan politik’ yang menentukan ditarik atau direnggangkannya hanya akan mengikuti hasrat politik. Sekadar membalik catatan kita ketika itu, yakni adanya pilihan partai-partai tersebut untuk tidak melakukan hak menyatakan pendapat (HMP) soal pelanggaran yang dilakukan oleh Boediono.

Padahal, UUD `45 secara jelas menyebutkan bahwa dalam hal DPR menganggap telah terjadi pelanggaran hukum semacam tindakan koruptif pada skandal Century yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, maka terdapat adanya kewenangan DPR untuk melanjutkannya ke proses pemakzulan via Mahkamah Konstitusi (MK). Jika memang ada anggapan serius dan matang soal kesalahan yang dilakukan oleh Boediono dan berakibat pada kerugian negara, menjadi perta nyaan yang paling mendasar ialah mengapa HMP malah diboikot oleh partai-partai tersebut.

Jangan-jangan, skandal Century yang memang peristiwa hukum telah digan daikan menjadi komoditas politik sehingga ketika akomodasi politik sudah terjadi, semisal dengan membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) ketika itu, maka partai-partai ter tentu tersebut sudah menarik diri dari proses HMP dan terjadi diri dari proses HMP dan terjadi lah proses aborsi HMP. Proses yang sesungguhnya konstitusional malah dinihilkan oleh tindakan partai-partai tertentu tersebut.

Karena itu, jangan salahkan publik jika mencurigai keinginan-keinginan pemanggilan atas Boediono hanyalah `kayu bakar’ politik yang ingin dinyalakan sebagai pemanasan menuju kontestasi politik 2014. Jangan salahkan jika masyarakat akan menjadi muak dengan tontonan politik karena yang dinanti-nantikan publik ialah penyelesaian secara hukum yang elegan dan benar.

Kemungkinan deadlock

Masalahnya sekarang ialah apabila kedua pendapat tersebut tidak bertemu. Antara perasaan memiliki kewenangan Timwas Century dan keengganan Boediono untuk menghadiri pemanggilan tersebut. Karena, kita sama sekali tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk menyelesaikan sengketa kewenangan atau ketidakwenangan dalam hal ini. Kita hanya memiliki mekanisme sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan di UUD `45 yang akan dibawa ke MK untuk memutuskan kewenangan atau ketidakwenangan. Itu pun seungguhnya tidak begitu pas karena sengketa antara Boediono dan Timwas Century bukanlah sengketa kewenangan yang diambil oleh salah satunya. Bahkan, perlu ada pengayaan wacana yang mendalam untuk bisa mengatakan Boediono dan Timwas Century adalah lembaga negara yang disebutkan di konstitusi dan karenanya dapat bersengketa di MK.

Jika mau menghindari kemungkinan dead lock, memang harus ada keinginan Boediono maupun DPR untuk tidak melanjutkan `pertikaian’ tersebut di hadapan publik. Jika DPR mengatakan bahwa pemanggilan itu untuk menggali hasil pemeriksaan KPK yang sudah dilakukan atas Boediono yang mana ia kemudian melakukan konferensi pers, rasanya tidak membutuhkan pemanggilan terbuka dalam tingkat sidang di DPR.

Bisa saja Timwas Century melakukan apa yang sering mereka lakukan melalui silaturahim ke tokoh-tokoh semisal Jusuf Kalla. Mengapa Timwas Century tidak menyambangi saja Istana Wakil Presiden untuk saling berdiskusi atas konferensi pers yang dilakukan Boediono? Hal itu sangat mungkin dilakukan dengan prasyarat Boediono juga mau memahami bahwa ini sekadar permintaan silaturahim dan menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ia sampaikan dalam konferensi pers.

Hal-hal itu akan jauh lebih elegan dan meninggalkan kesan skandal Century hanya disajikan dalam rangka memanaskan suhu politik 2014. Kesan yang harus segera dihilangkan karena yang dinantikan ialah terselesaikannya secara hukum. Tindakan-tindakan yang lebih layak, yakni mendorong proses politik ke arah hukum, merupakan tindakan yang jauh lebih diinginkan saat ini. Salah satunya melalui proses HMP untuk melayangkan pendapat DPR menuju ke MK.

Hari ini merupakan tahun kelima perayaan Hari Antikorupsi, ketika kita masih berkutat pada hal yang sama soal skandal Century. Jengah rasanya ketika kasus itu terus-menerus hanya terlihat pada proses politik. Dorong segera dalam proses hukum, tanpa perlu manuver pemanggilan, apalagi tindakan paksa.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 09 Desember 2013

Berhentinya Negara di Musim Gugur

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

TAHUN ini, musim gugur di Amerika Serikat terasa semakin kelabu setelah Kongres AS tidak meloloskan anggaran pemerintah federal. Pemerintahan federal ”diberhentikan” sementara menunggu hasil negosiasi presiden dan Kongres AS. Ratusan ribu pegawai pemerintahan federal dalam status tak jelas, dapat lanjut bekerja atau dirumahkan. Meski banyak urusan diserahkan kepada negara bagian, berhentinya pemerintah federal berdampak pada urusan lintas negara bagian.

Ternyata tidak hanya AS yang diliputi awan kelabu, Indonesia juga sedang menghadapi ”musim gugur”: ”gugurnya” petinggi lembaga peradilan oleh dugaan kasus korupsi.

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan bertransaksi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Chairun Nisa.
Peristiwa tangkap tangan ini, meski mengejutkan, sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan sebagian besar masyarakat lainnya karena sebenarnya dugaan korupsi di tubuh MK telah tercium sejak beberapa tahun lalu. Sekitar Oktober 2010, Refli Harun menulis opini bertajuk MK Masih Bersih?” di Harian Kompas.

Ia mengungkapkan rawannya perkara pilkada disusupi oleh praktik korup oknum MK karena hanya tiga hakim yang memeriksa perkara.
Godaan uang miliaran rupiah sangat mungkin meruntuhkan kenegarawanan hakim-hakim MK.

Tak banyak orang percaya bahwa mafia telah merasuki MK saat itu. Namun, kini fakta berbicara lain, wibawa rumah keadilan telah ternodai.

Pola perekrutan

Walaupun hanya satu hakim yang terjerat dugaan korupsi, kita patut mempertanyakan pola perekrutan dan pengawasan internal hakim MK. Secara teoretis, pola pemilihan yang dilakukan sangatlah baik.

Pada Pasal 24 Ayat (3) dinyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim yang ditetapkan oleh presiden, diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh presiden.

Hal itu lazim di dunia. Hakim pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi—pengadilan tertinggi—dipilih berdasar implementasi check and balances system.

Sistem yang menjamin para pemegang kekuasaan dalam saling mengontrol dan mengawasi.

Dengan pola perekrutan tersebut, hakim di pengadilan tertinggi adalah negarawan yang juga tak terlepas dari kepentingan politik. Di AS, polarisasi kepentingan politik hakim di Supreme Court terlihat saat mereka memutuskan perkara-perkara kontroversial. Contohnya, musim semi tahun ini, mereka memutuskan perkara perkawinan sejenis dan affirmative actions pada penerimaan mahasiswa.

Mayoritas publik AS berpendapat, hakim di Supreme Court cenderung liberal ketimbang konservatif. Publik AS bisa berdebat soal putusan-putusan kontroversial, tetapi mereka tetap memercayai hakim Supreme Court telah melaksanakan strict scrutiny.

Sebuah metode tertinggi yang memastikan hukum yang berlaku memenuhi government interest dan sesedikit mungkin potensi melanggar hak-hak individu. Sejauh ini Supreme Court AS berhasil membuktikan kewibawaannya.

Artinya, tidak ada masalah dengan pola perekrutan yang ada di Indonesia sekarang. Kita tentu berharap presiden, DPR, dan MA mengusulkan nama negarawan-negarawan terbaik di negeri ini dan meminimalisasi kepentingan pribadi atau golongan.

Meskipun dipilih dengan proses politik, MK seharusnya mampu menjaga wibawa dengan pengawasan internal yang maksimal. Pengawasan yang menjaga martabat dan wibawa hakim dan seluruh perangkat di dalamnya.
Akhirnya, kita menyaksikan salah seorang penjaga konstitusi ”gugur” di hadapan godaan harta. Tak hanya itu, berkali-kali kita dilukai oleh ulah anggota DPR yang mempermainkan kewenangan atas dasar kepentingan golongan.

Penangkapan ini tentu bukan akhir dari upaya pembersihan negeri ini. KPK harus mampu membongkar pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini.
Tentu pedih rasanya melihat para petinggi negeri ini ”gugur” dan masuk bui karena korupsi.

Akan tetapi, bukankah optimisme harus selalu dibangun. Negeri ini, dalam hal ini MK, tidak boleh ”berhenti” melayani masyarakat. Sembari menunggu proses hukum yang berjalan, hak-hak warga negara harus diutamakan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 22 November 2013

Pengadilan Tipikor Antidemokrasi

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hasrul Halili (Pengajar Ilmu Hukum; Direktur Eksekutif PUKAT FH UGM)

Bisakah kualitas demokrasi suatu negara dinilai dari performa pengadilannya? Kajian mutakhir ternyata memungkinkannya. De- ngan menyelisik berbagai proses di pengadilan hingga hasil kepu- tusannya, diperoleh parameter dalam menakar kualitas demo- krasi suatu negara. Singkatnya, cara pengadilan bekerja merupakan refleksi dari kualitas demokrasi di suatu negara.

Logika berpikirnya, dalam demokrasi, salah satu hal yang dijunjung tinggi adalah prinsip rule of law (supremasi hukum), di mana di dalam prinsip tersebut terdapat bagian law enforcement (penegakan hukum). Pengadilan diandaikan sebagai institusi pelaksana penegakan hukum. Namun, dalam pelaksanaannya, pengadilan bisa berperilaku konsisten atau tidak konsisten dengan semangat demokrasi.
Ekspresi konsistensi dalam penegakan hukum yang dianggap ”beraroma” demokrasi, antara lain, dilihat dari kapasitas pengadilan menyerap rasa keadilan masyarakat menjadi bagian dari rasa keadilan hakim melalui putusan pengadilan. Jika putusan pengadilan mencerminkan rasa keadilan masyarakat, berarti pengadilan demokratis. Sebaliknya, jika terdapat kesenjangan, patut diduga bahwa pengadilan berwatak antidemokrasi.
Jadi indikator
Marijke Malsch pernah melakukan kajian dengan pendekatan model ini dan membukukannya menjadi Democracy in the Court: Lay Participation in European Criminal Justice Systems (2009). Malsch menggunakan instrumen demokrasi: representasi, deliberasi, dan partisipasi, sebagai alat untuk menilai kecenderungan demokratis tidaknya beberapa pengadilan negara di Eropa.
Fokus telaahnya adalah apakah pengadilan di beberapa negara Eropa sudah merepresentasikan apa yang dipersepsikan oleh masyarakat ketika merumuskan keadilan, melakukan proses deliberatif saat pembuatan putusan, serta memberikan fasilitas berpartisipasi secara luas kepada lay person (orang kebanyakan) dalam proses peradilan.
Dalam beberapa hal, pendekatan Malsch bisa digunakan untuk menakar kapasitas dan komitmen pengadilan tipikor di Indonesia dalam menyerap aspirasi publik, terutama terhadap harapan terciptanya momentum optimalisasi pemidanaan bagi koruptor.
Jika kapasitas dan komitmen pengadilan dengan harapan publik berjalan paralel, berarti pengadilan tipikor telah bekerja dalam spirit demokrasi. Namun, jika kontradiktif, stigma antidemokrasi kemungkinan akan dinisbatkan kepada pengadilan tipikor.
Situasi Indonesia
Bagaimana situasi pengadilan tipikor saat ini?
Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sinyal ”darurat” mengenai pengadilan tipikor. Dalam hasil penelitiannya pada Juli 2013, ICW mengidentifikasi, sejak tahun pendiriannya, 2009, pengadilan tipikor ternyata tidak maksimal dalam hal penjatuhan vonis kepada koruptor.
ICW memantau 344 kasus dengan 756 terdakwa. Hasilnya, 143 orang divonis bebas, 185 orang divonis di bawah 1 tahun, 167 orang dihukum 1 tahun 1 bulan hingga 2 tahun, dan 217 orang dihukum 2 tahun 1 bulan hingga 5 tahun. Hanya 35 terdakwa yang dihukum di atas 5 tahun dengan maksimal 10 tahun penjara dan hanya 5 orang yang divonis di atas 10 tahun.
Meneguhkan temuan ICW, putusan pengadilan tipikor pada kasus Djoko Susilo ternyata setali tiga uang. Terdakwa yang terbukti korupsi menerima uang Rp 32 miliar dan melakukan tindak pidana pencucian uang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Padahal, jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Putusan itu tentu saja meninggalkan tanda tanya besar bagi publik, melukai rasa keadilan masyarakat, dan sekaligus membangkitkan sikap skeptis terhadap komitmen pengadilan tipikor dalam memaksimalkan hukuman bagi koruptor.
Putusan paradoks
Kasus Djoko Susilo menjadi paradoks ketika disandingkan dengan putusan pengadilan tipikor pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan. Pada kasus suap senilai Rp 6,1 miliar, putusannya 20 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.
Ada juga yang mengontraskan putusan Djoko Susilo dengan putusan Pengadilan Tipikor Yogyakarta yang menjatuhkan vonis 2 bulan penjara dan denda Rp 2 juta kepada terdakwa Saidi (pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunung Kidul) pada kasus suap senilai Rp 120.000. Pengadilan tipikor hanya bertaji di kasus ecek-ecek, tetapi tidak berdaya di kasus kakap.
Perhatikan pula putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang menganulir hukuman 15 tahun penjara atas Sudjiono Timan, yang awalnya dinyatakan terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun dan dalam posisi daftar pencarian orang.
Pada kasus tersebut, pengadilan PK tidak hanya ganjil karena menyidangkan terpidana yang melarikan diri, tetapi juga memperlihatkan aksi menjilat ludah sendiri ketika mengacuhkan Surat Edaran MA Nomor 1 Tahun 2012 yang melarang pengadilan secara in absentia.
Temuan ICW menunjukkan, pengadilan tipikor telah mencederai aspirasi publik yang amat berharap koruptor dihukum seberat-beratnya. Dalam perspektif demokrasi, pencederaan semacam itu tidak boleh dilokalisasi hanya sebatas isu penegakan hukum, tetapi juga perlu dibaca sebagai ancaman serius terhadap demokrasi.
Tidak berlebihan kiranya jika orang mulai khawatir bahwa pengadilan tipikor sudah menjelma menjadi mahkamah antidemokrasi!

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 17 Oktober 2013

Gratifikasi

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Akhirnya, dugaan kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membongkar perselingkuhan pejabat korup dengan mafia minyak yang menyebabkan jebolnya anggaran negara.
Rudi Rubiandini, tersangka dugaan kasus suap Kernel Oil Pte Ltd ke mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, membantah menerima suap. Menurut dia, yang betul adalah gratifikasi, bukan korupsi atau suap (Tempo.co, 14 Agustus 2013). Apakah bantahan ini dapat mempengaruhi hasil penyidikan sehingga aturan hukum antikorupsi tak dapat menjeratnya?
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan bunyi Pasal 12B ayat (1), gratifikasi dianggap suap apabila berkaitan dengan jabatan. Dalam penjelasannya, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Bisa berupa uang, barang, rabat, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pendek kata, gratifikasi dapat berupa barang atau jasa.
Tetapi ketentuan Pasal 12B dikecualikan oleh Pasal 12C ayat (1) UU No. 20 Tahun 2011. Tidak dianggap gratifikasi apabila dilaporkan ke KPK maksimal 30 hari setelah diterimanya barang atau jasa. Setelah pelaporan, KPK dalam waktu paling lama 30 hari berkewajiban menentukan apakah gratifikasi itu menjadi milik negara atau si penerima.
Niat
Dari aturan pemberantasan korupsi, menurut saya, setidaknya ada tiga batasan agar gratifikasi tidak dianggap sebagai suap. Pertama, waktu pelaporan. Undang-undang memberikan jangka waktu bagi penerima gratifikasi melaporkan barang, fasilitas, atau pemberian apa pun yang mungkin saja berkaitan dengan jabatan, tanggung jawab, dan kewenangannya. Tenggat 30 hari diberikan sebagai jeda supaya penerima gratifikasi memiliki kesempatan yang cukup untuk memberitahukan ke KPK. Artinya, semestinya term waktu tak bisa lagi dijadikan alasan untuk menghindari sangkaan suap.
Kedua, penilaian KPK. Yang berhak menilai apakah sebuah gratifikasi bisa dianggap suap atau tidak hanyalah KPK. Lembaga antikorupsi ini adalah satu-satunya pemegang otoritas. Tujuan utamanya, supaya pengawasan terhadap kewenangan tersebut mudah. Di samping itu, tak adil kiranya jika seandainya pemberian kepada pejabat yang tak berkaitan dengan jabatannya dilarang. Meski demikian, idealnya pejabat tak boleh menerima apa pun dari pihak mana pun untuk menjaga integritasnya.
Unsur ketiga yang sangat penting adalah niat dari penerima gratifikasi. Batas tempo yang ditentukan, lembaga penilai yang sudah ada tidak akan berjalan dalam mengontrol gratifikasi kalau si penerima tak memiliki niat melaporkan sebuah pemberian ke KPK. Di sinilah kemudian aturan delik suap berlaku. Apabila tidak ada laporan sampai batas waktu yang dipatok oleh undang-undang, otomatis delik suap berlaku. Untuk gratifikasi di bawah harga Rp 10 juta, jaksa penuntut umum yang berkewajiban membuktikan. Sebaliknya, di atas Rp 10 juta, si penerima yang membuktikannya. Pada titik ini, ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian dapat dikenakan.
Lantas, apakah Rudi dapat lepas dari jerat hukum? Dalam hal ini, hasil pemeriksaan penyidik masih harus ditunggu. Tetapi tak ada kelirunya kalau mencoba mensimulasi kemungkinan proses pemeriksaannya. Minimal ada tiga langkah yang bisa ditapak untuk membuat terang apakah pemberian uang dan barang dari Kornel Oil kepada dosen teladan dua kali itu merupakan suap atau gratifikasi.
Motif
Langkah pertama, merekonstruksi waktu. Dari informasi yang dilansir media dan keterangan KPK, operasi tangkap tangan terhadap Rudi dilakukan pada Selasa malam, 13 Agustus 2013, pukul 22.30 WIB. Operasi dilakukan karena ada sangkaan suap sebesar US$ 700 ribu yang diberikan sebanyak dua kali. US$ 300 ribu sebelum Lebaran dan US$ 400 ribu setelah Lebaran (tempo.co, 14 Agustus 2013).
Simulasi waktu yang tersedia adalah titik tengah untuk kasus itu, yakni hari Idul Fitri 1434 Hijriah, yang bertepatan dengan 8 Agustus 2013. Katakanlah jangka maksimal waktu pemberian uang sebelum Lebaran adalah 7 Agustus 2013, dan 12 Agustus 2013 adalah batas maksimal pemberian uang setelah Lebaran, maka ada waktu enam hari bagi berlangsungnya dugaan perbuatan pidana.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12C ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, batas maksimal hari pelaporan gratifikasi adalah 30 hari. Waktu enam hari kurang dari 30 hari. Dengan demikian, Rudi bisa jadi tidak dapat dijerat dengan ketentuan pasal gratifikasi. Namun, jika pemberian US$ 300 ribu dilakukan pada 14 Juli 2013 atau sebelumnya, sistem hukum gratifikasi dapat dijatuhkan tanpa terkecuali, tanpa syarat apa pun alias wajib.
Langkah kedua, menakar besaran gratifikasi. Sangat susah meyakini bahwa gratifikasi kepada Rudi bukan suap. Sebab, nilainya bukan puluhan ribu, melainkan miliaran rupiah. Ada juga motor gede. Selanjutnya, Kernel Oil, sebagai pemberi gratifikasi, juga tak memiliki hubungan darah apa pun dengannya. Pada bagian ini, kemungkinan besar Rudi tidak lagi dijerat dengan pasal gratifikasi, melainkan pasal suap-menyuap.
Apakah ada gratifikasi yang tidak masuk kategori suap dan karenanya tak perlu dilaporkan? Jawabannya sementara ini ada. Imbauan pimpinan KPK bernomor B. 143/01-13/01/2013 bertanggal 21 Januari 2013 mengemukakan, ada sepuluh poin bentuk dan asal pemberian gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan. Misalnya, hadiah undian, bunga bank, pemberian keluarga yang tidak memiliki konflik kepentingan, seminar kits, dan sajian yang berlaku umum dari acara resmi.

Langkah ketiga, memeriksa motif. Jika nyata atau samar pemberian sejumlah uang dan barang dari Kernel Oil ternyata berkaitan dengan jabatan Rudi dan kemudian mengubah kebijakan SKK Migas yang secara langsung atau tidak langsung menguntungkan atau akan menguntungkan Kernel Oil, patut diduga pemberian itu adalah suap, bukan gratifikasi. Akhirnya, dugaan kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membongkar perselingkuhan pejabat korup dengan mafia minyak yang menyebabkan jebolnya anggaran negara. Semoga.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 24 Agustus 2013

Memperketat Remisi Koruptor

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Remisi untuk koruptor kembali diperdebatkan. Pasca-kerusuhan di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta, Sumatera Utara, wacana pemberian remisi bagi koruptor kembali mencuat. Perdebatan mengarah pada dicabutnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan pemerintah inilah yang dituding sebagai pemicu protes. Sebab, PP ini memperketat pemberian remisi bagi koruptor dan narapidana kejahatan khusus lainnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang memperketat pemberian remisi bagi koruptor bukan kali ini saja terjadi. Tercatat, berbagai upaya telah dilakukan untuk menolak kebijakan ini. Hampir setiap tahun usaha untuk mendongkel kebijakan ini dilakukan. Pada 2011, serangan terhadap kebijakan ini datang dari politikus DPR. Beberapa anggota Komisi III DPR menggalang interpelasi untuk membatalkan kebijakan pengetatan remisi. Namun usaha mereka kandas. Pada 2012, jalur pengadilan digunakan. Melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), keputusan menteri yang berkaitan dengan pembatalan remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor digugat. Kali ini penggugat dimenangkan dan pengadilan menuai kecaman.
Pada tahun ini, tampaknya jalur politik dan pengadilan digunakan secara bersamaan. Hal ini terlihat dari upaya salah satu Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang dengan cekatan memfasilitasi aspirasi koruptor agar PP pengetatan remisi dicabut. Sedangkan upaya hukum ditempuh melalui judicial review PP 99 Tahun 2012 ke Mahkamah Agung. Berbagai upaya tersebut menggambarkan bahwa kekuatan pro-aspirasi koruptor berusaha keras menggunakan berbagai cara untuk menganulir kebijakan pengetatan remisi.
Landasan yuridis
Secara hukum, pemberian remisi bagi narapidana memang dibenarkan. Remisi merupakan hak narapidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 14 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Namun, menurut pasal 14 ayat (2), hak tersebut tidak serta-merta dapat diberikan kepada narapidana. Ada syarat-syarat dan tata cara yang wajib dipenuhi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hak memperoleh remisi adalah hak yang terbatas, yakni dibatasi oleh syarat dan tata cara tertentu. Hak remisi bisa diperoleh jika syarat dan tata cara dipenuhi oleh narapidana. Jika tidak, narapidana tidak akan pernah memperoleh hak tersebut.
UU kemudian memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaannya. Dari sini lah pemerintah memperoleh kewenangan atribusi untuk mengatur perihal tersebut. Sehingga pemerintah mengeluarkan PP yang secara teknis memberikan panduan berkaitan dengan syarat dan tata cara pemberian remisi. Karena pemerintah diberi landasan yuridis oleh UU, pemerintah berwenang menentukan syarat dan tata cara pemberian remisi. Di sini lah pemerintah membuat kebijakan hukum. Pilihan kebijakan pemerintah boleh jadi mempermudah atau mempersulit pelaksanaan remisi.
Secara umum, remisi diberikan berdasarkan dua syarat, yakni berkelakuan baik selama di penjara dan telah menjalani hukuman minimal enam bulan. Namun, bagi terpidana korupsi, pemerintah memberlakukan ketentuan khusus. Pasal 34A PP 99/2012 mengatur bahwa remisi dapat diberikan jika terpidana bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan bagi narapidana korupsi. Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana kasus terorisme, narkotik, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya.
Jika dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, PP 99/2012 memberikan syarat baru yang harus dipenuhi narapidana korupsi untuk mendapatkan remisi. Penambahan syarat baru tersebut tidaklah bertentangan dengan UU. Sebab, PP ini tidaklah meniadakan hak remisi. Lagi pula, perubahan hukum merupakan hal yang lumrah. Sebuah peraturan harus mengakomodasi nilai keadilan masyarakat selama tidak bertentangan dengan UU di atasnya. Peraturan remisi telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali. Sebelumnya, diatur dengan PP 32/1999 dan PP 28/2006. Setiap perubahan berimplikasi pada berubahnya syarat dan tata cara pelaksanaan hak narapidana.
Tolak remisi
Pada masa mendatang, koruptor tidak perlu diberikan remisi. Revisi UU Pemasyarakatan perlu dilakukan untuk meninjau kembali hak remisi bagi koruptor. Sebab, koruptor tidaklah sama dengan para terpidana kejahatan kriminal umum. Korupsi adalah kejahatan kriminal luar biasa (extraordinary crime). Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Korupsi menimbulkan kerusakan dalam skala yang sangat luas. Karenanya, upaya yang luar biasa patut diterapkan kepada koruptor. Salah satu bentuknya adalah menghapus remisi bagi koruptor.
Memang, penjara bukanlah tempat untuk balas dendam. Namun penjara juga bukan tempat seorang penjahat boleh menikmati keistimewaan, termasuk mendapatkan remisi. Menghukum seorang koruptor secara maksimal bukan hanya pembelajaran bagi terpidana itu sendiri, tapi juga terutama bagi jutaan orang di luar tembok penjara agar mengurungkan niat merampok uang negara.
Hukuman penjara bagi koruptor tidak akan menimbulkan efek jera bila berbagai kemudahan terus diberikan. Apalagi selama ini Pengadilan Tipikor rata-rata hanya memberi hukuman 3 atau 4 tahun kepada koruptor. Hukuman yang ringan tersebut masih bisa dipotong dengan remisi dan pembebasan bersyarat. Sejak 2007 hingga awal Desember 2011, terdapat 1.767 koruptor yang mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Hukuman yang ringan ditambah dengan fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat telah memanjakan koruptor di negeri ini. Mereka tak pernah benar-benar merasa jera. Karenanya, hak remisi patut ditinjau kembali. Minimal saat ini, pengetatan pemberian remisi harus tetap dilakukan pemerintah dan kita berharap MA menolak permohonan judicial review untuk membatalkan PP 99/2012.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 30 Juli 2013

Calon Kapolri Berekening “Gendut”

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Hasrul Halili (Pengajar Ilmu Hukum; Direktur Eksekutif PUKAT FH UGM)

Perhatian publik kembali menyoroti institusi kepolisian. Kali ini terkait momentum pergantian posisi Kepala Polri, yang saat ini dijabat Timur Pradopo dan sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya. Maka, calon pengganti mulai ditimbang-timbang.

Berdasarkan undang-undang, kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri berada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR. Adapun yang dicalonkan adalah para perwira tinggi Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Momentum pergantian ini kemudian melahirkan ”bursa panas” para calon pengganti. Beberapa nama disebut sebagai kandidat potensial. Namun, pemicu panasnya bursa persaingan ternyata tidak hanya terkait soal siapa yang memenuhi kualifikasi, melainkan karena di antara riuh rendah pencalonan itu muncul kembali persoalan lama mengenai rekening ”gendut”.

Kasus rekening gendut

Dari sembilan jenderal yang belakangan positif ikut meramaikan bursa pencalonan, dua di antaranya Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, yang notabene pernah tersandung masalah rekening gendut.

Sebagaimana diketahui, isu rekening gendut pernah mencuat ke publik pada tahun 2010. Saat itu Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta Polri untuk menjelaskan keberadaan 17 rekening yang diduga kuat merupakan milik sejumlah petinggi kepolisian. Disebut rekening gendut karena uang yang disimpan jumlahnya fantastis.

Sengkarut rekening ”jumbo” kemudian berujung pada sengketa informasi antara ICW dan Polri. Sengketa itu dipungkasi dengan putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengabulkan permohonan ICW. Dengan demikian, Polri wajib membeberkan kepada publik mengenai keberadaan dan para pemilik dari rekening jumbo tersebut.

Namun, apa lacur, tindak lanjut atas putusan KIP tersebut hingga saat ini tidak jelas juntrungannya. Tidak cuma putusan KIP yang tidak digubris, ”janji- janji angin surga” Polri mengenai pengusutan rekening gendut itu juga menghilang.

Perlu perhatian

Kenapa rekening jumbo perlu menjadi perhatian serius pada momen pergantian kepala Polri? Setidaknya ada beberapa alasan yang perlu dibahas di bawah ini.

Pertama, beberapa preseden pembongkaran praktik koruptif yang dilakukan sejumlah pejabat publik—tak terkecuali pejabat Polri—pintu masuknya antara lain dengan penelisikan terhadap rekening, terutama jika ada indikasi nominal besar dan transaksi yang mencurigakan.

Sebagai ilustrasi, publik tentu masih ingat pemberitaan di media massa beberapa tahun lalu ketika Mabes Polri menelusuri laporan PPATK mengenai rekening seorang kapolda di Kalimantan Timur, yang berisikan uang Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tidak tak jelas.

Rekening tersebut kemudian ditutup dan dipindahkan oleh pemiliknya ke rekening lain. Namun, ternyata untuk selanjutnya dana ditarik dan disetorkan kembali ke deposito sang kapolda.

Kedua, rekening gendut, pada sisi yang lain juga bisa menjadi alat untuk menakar besaran (magnitude) dari suatu tindakan korupsi. Maka, dari suatu hasil pelacakan, bisa disimpulkan apakah secara kuantitatif korupsi yang dilakukan oleh seorang pejabat publik itu termasuk berskala kecil, sedang, atau besar.

Penyitaan aset senilai Rp 100 miliar atas dugaan korupsi simulator (Djoko Susilo), misalnya, mengindikasikan bahwa harta koruptor, selain disembunyikan dalam bentuk pembelian aset, sebagian tetap disimpan dalam bentuk uang di rekening. Inilah yang kemudian menciptakan rekening gendut.

”Seloroh” di kalangan sebagian pegiat antikorupsi yang mengatakan, ”Jika seorang jenderal bintang 2 korup saja bisa membeli aset dan menyimpan uang di rekening dengan jumlah yang begitu besar, bayangkan saja jika jenderal bintang 3 atau 4 yang korup.”

Meski sekadar kelakar, hal itu membawa pesan implisit mengenai magnitude korupsi yang dilakukan seorang petinggi kepolisian.

Dengan memperhatikan sejumlah proyek pengadaan di kepolisian yang rata-rata besar dan masif, mungkin sekali jika magnitude korupsinya juga berbanding lurus dengan itu.

Menjadi radar

Ketiga, dengan perpaduan metode follow the money (mengikuti aliran uang) dan follow the asset (mengikuti aliran aset) pada pelacakan harta koruptor, yang antara lain dilakukan dengan penelusuran sejumlah transaksi mencurigakan pada rekening, posisi dari rekening gendut menjadi strategis. Rekening itu tidak lagi sekadar menjadi alat perburuan harta koruptor, tetapi juga bisa menjadi radar untuk menemukan pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Tentu masih segar dalam ingatan publik, kasus suap PT Salmah Arowana Lestari dan pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Kasus tersebut menjadikan mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji sebagai ”pesakitan”. Namun, apa yang melibatkan Susno ternyata ”beririsan” dengan kasus rekening gendut di kalangan petinggi Polri.

Bongkar rekening gendut

Pada waktu itu, sebagai mantan Wakil Ketua PPATK, Susno sempat didorong oleh beberapa pihak supaya menjadi whistleblower yang membongkar keberadaan rekening gendut yang dimiliki pejabat dan mantan pejabat Polri.

Selain sebagai argumentasi, tiga hal di atas—serta penjelasan sebelumnya—setidaknya menggambarkan suatu situasi pelik, yakni kelindan institusi kepolisian dengan persoalan rekening gendut. Kepelikan ini terjadi dan berlangsung sebagai akibat dari ketidakseriusan Polri menyelesaikan persoalan rekening gendut. Kini, dalam momentum pencalonan kepala Polri, isu itu muncul menjadi ”bola liar”.

Maka, jika benar-benar ingin mendapatkan figur berintegritas dan berkomitmen untuk lahirnya institusi kepolisian yang tidak korup, pencalonan pengganti kepala Polri sebaiknya digunakan sebagai momentum untuk merampungkan pekerjaan rumah menuntaskan soal rekening gendut, sesuatu yang sebenarnya ditunggu publik selama ini seperti halnya ”menunggu godot”.

artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 30 Juli 2013

Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan

Berita Wednesday, 21 October 2015

oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Dalam hal pemilihan anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti pemilihan pejabat negara lainnya, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR.
Dewan Perwakilan Rakyat segera memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengganti Taufiequrachman Ruki, yang berakhir masa jabatannya. Pemilihan kali ini mendapat sorotan karena, di antara daftar calon, terdapat nama kandidat yang pernah tersangkut kasus hukum. Kewenangan DPR yang terlalu besar dalam proses seleksi pejabat negara juga mulai dipertanyakan.
Berdasarkan konstitusi, pemilihan anggota BPK merupakan kewenangan DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 23F UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketentuan ini merupakan aturan baru yang diperkenalkan dalam konstitusi pasca-amendemen. Sebelumnya, kewenangan memilih anggota BPK ada di tangan presiden.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan BPK menyatakan bahwa kewenangan pemilihan ketua, wakil ketua, dan anggota BPK ada pada presiden. Berdasarkan undang-undang ini, anggota BPK sebanyak-banyaknya terdiri atas 21 anggota yang mewakili partai politik, wakil angkatan bersenjata, wakil organisasi massa revolusioner, atau orang-orang yang punya dukungan masyarakat yang terorganisasi.
Kewenangan Presiden kembali ditegaskan dalam UU No. 5/1973 tentang BPK. Tetapi dengan sedikit perubahan karena adanya keterlibatan DPR, bahwa ketua, wakil ketua, dan anggota BPK diangkat oleh presiden atas usul DPR. Undang-undang ini mulai mengakomodasi keterlibatan DPR, di mana DPR mengusulkan tiga orang calon untuk setiap lowongan keanggotaan BPK.
Kewenangan Presiden beralih sepenuhnya ke DPR setelah amendemen konstitusi dan ditetapkannya UU No. 15/2006 tentang BPK. Walaupun hanya memberi pertimbangan, DPD ikut dilibatkan dalam proses pemilihan. Tiga model mekanisme pemilihan yang pernah diterapkan memiliki nilai tambah dan kekurangan masing-masing. Namun, satu yang harus dihindari, adanya monopoli satu lembaga dalam proses pemilihan. Monopoli ini cenderung akan melahirkan kekuasaan yang dominan yang tidak bisa dikontrol dan berujung pada penyalahgunaan.
Dalam hal pemilihan anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti dalam pemilihan pejabat negara lainnya, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR. Memang ada keterlibatan DPD. Tetapi DPD hanya sebatas memberi rekomendasi yang dengan mudahnya dapat diabaikan oleh DPR. Artinya, kewenangan ada di tangan DPR sepenuhnya. Model inilah yang rentan disalahgunakan.
Apalagi, faktanya, proses seleksi pejabat publik di DPR selalu tidak transparan. Proses fit and proper test selama ini hanya sebagai ajang transaksi politik. Bahkan, tak jarang, proses itu menjadi ajang transaksi suap. Pertimbangan pemilihan calon juga sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terkadang DPR justru memilih calon yang berkualitas dan berintegritas rendah. Alasan-alasan politis lebih mendominasi daripada pertimbangan kompetensi dan integritas.
Politisasi inilah yang seharusnya dihindari dalam pemilihan anggota BPK, karena BPK bukanlah lembaga politik. BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain. Anggota BPK merupakan jabatan strategis. Betapa tidak, anggota BPK punya kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK juga berperan besar dalam pemberantasan korupsi, karena berwenang melakukan audit investigasi ihwal penyimpangan keuangan negara yang berdampak pada kerugian negara. Hasil audit BPK sangat menentukan pengungkapan berbagai kasus korupsi kelas kakap, misalnya kasus Century, Hambalang, dan kuota impor sapi.
Namun, sayangnya, mekanisme seleksi anggota BPK di DPR sangat mengkhawatirkan. Prosesnya berlangsung tertutup, tidak partisipatif, dan tidak serius. Kesalahan paling fatal DPR adalah meloloskan calon yang pernah tersangkut kasus korupsi. Padahal telah jelas dan tegas dinyatakan dalam UU BPK bahwa mereka yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih tidak boleh menjadi calon. Lolosnya calon yang pernah terlibat korupsi jelasmenunjukkan ketidakseriusan DPR dalam melakukan seleksi.
DPR juga terlihat enggan berkoordinasi dengan lembaga lain untuk menelusuri rekam jejak calon. Misalnya dengan KPK dan PPATK. Kerja sama dengan KPK dan PPATK penting dilakukan minimal untuk menelusuri kewajaran harta kekayaan dan transaksi keuangan para calon. Hal ini diwajibkan oleh UU No. 28/1999 bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
Dengan proses seleksi yang buruk, bagaimana mungkin kita akan menemukan calon anggota BPK yang mumpuni. Publik pasti akan ragu terhadap kredibilitas calon terpilih hasil seleksi DPR.
Kekuasaan DPR
Buruknya proses seleksi anggota BPK membuka perdebatan perihal besarnya kekuasaan DPR dalam pemilihan pejabat negara. Peraturan perundang-undangan pasca-amendemen konstitusi memang memberikan kewenangan yang besar kepada DPR. Tidak hanya terkait dengan fungsi-fungsi pokok parlemen, seperti legislasi, pengawasan, dan anggaran, DPR juga diberi kewenangan yang luas dalam hal pemilihan pejabat negara, anggota sebuah komisi negara, dan berbagai jabatan strategis lainnya.
Pengisian jabatan publik, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Informasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta anggota komisi negara lainnya dilakukan oleh DPR. Tidak hanya itu, DPR juga ikut menentukan pemilihan hakim agung, Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia, anggota BPK, kepala kepolisian, dan Panglima TNI.
Salah satu alasan utama kenapa DPR diberi kewenangan yang luas dalam pengisian jabatan publik adalah untuk melakukan fungsi checks and balances atas kewenangan presiden. Sebagaimana kita ketahui, sebelum amendemen konstitusi, presiden memiliki kewenangan yang sangat besar. Presiden bahkan memonopoli kekuasaan parlemen. Dan pada masa itu, parlemen hampir tidak punya kekuatan untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan presiden.
Alasan lainnya adalah sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik. Terkait dengan hal ini, Peter Waller dan Mark Chalmers, dalam sebuah laporan penelitian berjudul An Evaluation of Pre-Appointment Scrutiny Hearings (2010), menyatakan bahwa pelibatan parlemen dalam proses pemilihan pejabat publik bertujuan melindungi hak dan kepentingan publik. Hak dan kepentingan publik itu dapat dicapai dengan sebuah prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Proses pemilihan di parlemen biasanya dilakukan secara terbuka, dan rakyat dapat menyaksikan, bahkan ikut terlibat memberi masukan.
Tetapi berbagai alasan di atas mulai dipertanyakan. Perpindahan kewenangan ini berimplikasi pada membengkaknya kekuasaan. DPR menjadi tidak terkontrol. Akibatnya, terjadi pergeseran penyalahgunaan dari kekuasaan eksekutif ke legislatif, sebagaimana terjadi pada kasus suap dalam pemilihan mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom.
Bagaimanapun, kekuasaan absolut cenderung koruptif. Kekuasaan penuh DPR dalam pemilihan anggota BPK harus diimbangi kekuasaan lain. Upaya minimal sesuai dengan konstitusi adalah memperkuat keterlibatan DPD. Rekomendasi dan pertimbangan DPD harus benar-benar diperhatikan oleh DPR. Lebih ideal jika DPR memilih dari daftar nama calon yang direkomendasikan DPD.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 27 Juni 2013

1…678910…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY