Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 2
Pos oleh :

hanifah.febriani

Writer and Editor at https://pukatkorupsi.ugm.ac.id/ | researcher

Rilis Media: Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai dan Optimalisasi Pendapatan Negara

Berita Thursday, 10 September 2020

Pada 8 September lalu Pukat UGM telah menyelenggarakan Diskusi Publik Penataan Kebijakan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi. Pada kegiatan tersebut Pukat UGM mendorong pentingnya penyederhanaan Struktur Tarif Cukai bagi Optimalisasi Pendapatan Negara.

Berikut adalah rilis Diseminasi Publik:

Berdasarkan prinsip dalam Undang-Undang tentang Cukai, maka segala kebijakan cukai perlu didorong untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Strategi optimalisasi termasuk di antaranya dengan menutup sekecil mungkin celah kebijakan yang dapat menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara di sektor cukai.

Celah kebijakan yang akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara terlihat dari Permenkeu No. 152/PMK.010/2019. Peraturan itu menetapkan tarif cukai berdasarkan golongan-golongan yang ditentukan berdasarkan jumlah produksi dalam satu tahun. Problematikanya, tarif yang ditetapkan per golongan tersebut berpotensi menimbulkan praktik koruptif. Hal tersebut terlihat dari gap (perbedaan) tarif antar golongan yang begitu lebar.

(….)

Unduh rilis selengkapnya melalui tautan di bawah ini:

rilis diseminasi publik – cukai -Pukat UGM

Diskusi Publik PUKAT UGM: Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara dan Pencegahan Korupsi

Berita Tuesday, 8 September 2020

Pada Selasa, 8 September 2020, Pukat FH UGM menggelar diskusi publik dengan tema Penataan Kebijakaan Cukai, Optimalisasi Pendapatan Negara, dan Pencegahan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM), Danang Widoyoko (Sekjen Transparency International Indonesia), Bimo Wijayanto (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Tim Stranas Pencegahan Korupsi) dan Dicky Alfarisi (Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK).

Pemaparan pertama disampaikan oleh Oce Madril. Dalam pemaparan tersebut, Oce Madril menyampaikan poin catatan dari Pukat UGM mengenai Eksaminasi Peraturan Menteri Keuangan tentang Cukai Hasil Tembakau dalam rangka optimalisasi pendapatan negara. Secara garis besar, pemaparan ini menjelaskan mengenai masalah dalam peraturan perundangan cukai di Indonesia dan isu terkait road map yang dibuat oleh pemerintah. Pembuatan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah tidak sejalan dengan road map yang bertujuan untuk simplifikasi tarif cukai yang ada di Indonesia. Oce Madril juga menjelaskan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan layer dan gap tarif cukai yang masih banyak.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Danang Widoyoko. Danang menjelaskan urgensi dari penyederhanaan tarif cukai di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai instansi. Kemudian, Danang juga menjelaskan patahan argumen dari alasan pembatalan simplifikasi tarif cukai, seperti merugikan produsen kecil dan menengah, merusak iklim investasi dan kesiapan hasil tembakau, dan struktur tarif cukai mendorong peredaran rokok ilegal. Menurutnya, alasan tersebut tidak benar “Justru simplifikasi tarif cukai dapat meningkatkan penerimaan negara, insentif untuk tax avoidance, mendorong iklim bisnis lebih setara dan adil, dan mengurangi konsumsi rokok,”terangnya.

Danang W_Sekjend TII

Selanjutnya, pembahasan mengenai penataan kebijakan cukai dipaparkan oleh Bimo Wijayanto. Bimo mengawali pemaparan dengan menjelaskan pergeseran konsumsi tembakau dari tahun ke tahun, yang dimulai dari rokok secara manual sampai rokok elektrik. Selain itu, Bimo juga menjelaskan bahwa Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), walaupun hukum nasional Indonesia sudah mengarah ke kontrol tembakau seperti di dalam FCTC. Bimo juga menjelaskan dasar bagi pemberian golongan cukai, seperti jenis hasil tembakau; jenis industri; golongan produksi pabrikan; dan kandungan bahan baku dalam negeri.

Pemantik diskusi terakhir disampaikan oleh Dicky Alfarisi. Dicky menyampaikan hasil kajian KPK mengenai sistem pengawasan dan pelayanan cukai di direktorat jenderal cukai. Selain itu, Dicky juga menjelaskan mengenai Corruption Risk Assessment (CRA) yang digunakan untuk menganalisis dan menilai faktor penyebab korupsi dalam UU, peraturan lain, maupun peraturan yang masih dalam bentuk rancangan. “Terdapat empat kriteria asesmen dalam CRA, yaitu compliance, execution, administrative procedure, dan corruption control,”ujarnya.

Dicky A_Litbang KPK

Penulis: Erma Nuzulia S

 

Download link materi:

Diskusi Cukai Pukat UGM_Bimo W

 

Diskusi dapat diakses melalui:

Video: Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas

Berita Thursday, 13 August 2020

Video “Mengenal Anti Korupsi, Membangun Integritas” berisi dampak korupsi, pengertian korupsi, faktor yang mempengaruhi perilaku koruptif dan contoh perilaku koruptif yang terdapat di sekitar kita, terutama di lingkungan kampus.

Disajikan dengan animasi sederhana dan menarik, video ini diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai antikorupsi dan berkontribusi dalam membangun integritas khalayak luas, tekhusus bagi mahasiswa.

Selengkapnya:

Rilis Diksi #8 RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”

Berita Wednesday, 22 July 2020

Unduh Rilis Diksi #8 pada tautan di bawah ini:

Rilis Diksi 8

Diksi #8: RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”

Berita Wednesday, 22 July 2020

Selasa, (21/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #8: RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM. Narasumber diskusi ini adalah Fira Mubayyinah (Direktur Pusat Pendidikan dan Kajian Antikorupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indoneisa), Iqbal Felisiano (Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga), Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada), dan Eka Nanda Ravizki (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada).

Diskusi ini dimulai dengan pemaparan dari Rimawan Pradiptyo. Rimawan menjelaskan RUU Cipta Kerja dari perspektif ilmu ekonomi dan perbandingannya dengan beberapa negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Rimawan juga menyampaikan pembahasan mengenai kesiapan Indonesia dalam mengaplikasikan pendekatan berbasis resiko- risk based approach dalam RUU Cipta Kerja juga disampaikan dengan baik. Rimawan menyimpulkan bahwa aspek Indonesia belum siap menerapkan pendekatan berbasis resiko mengingat masih lemahnya database yang dimiliki pemerintah.

Rimawan P_Dosen FEB UGM

Pembahasan selanjutnya disampaikan oleh Fira Mubayyinah. Dalam pemaparannya yang berjudul “Melemahnya Nilai-nilai Antikorupsi & Potensi Kerugian Sosial dalam RUU Cipta Kerja”, Fira menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja tidak mencerminkan nilai antikorupsi. RUU Cipta Kerja yang dibuat terburu-buru dan tidak terbuka telah melanggar nilai-nilai antikorupsi, yaitu transparansi dan keadilan. Fira juga memaparkan terdapat nuansa lemahnya nilai-nilai antikorupsi dalam RUU Cipta Kerja yang membuka perilaku koruptif seperti yang tercermin dalam praktik orde baru.

Fira M_Dosen UNUSIA

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Eka Nanda Ravizki. Eka menyampaikan diskusi dengan menjelaskan beberapa prinsip-prinsip dalam hukum pidana, khususnya konsep strict liability dan kaitannya dengan Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pasal a quo, RUU Cipta Kerja menghilangkan klausa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, sehingga penegak hukum harus membuktikan unsur kesalahan dalam kerusakan lingkungan. Selain itu, Eka juga memaparkan problematika mengenai sanksi administratif yang diterapkan dalam RUU Cipta Kerja yang jauh dari efek jera. Penerapan sanksi administratif yang sembarangan memberi kesan sentralisasi sanksi ke pemerintah pusat.

Eka Nanda_Pukat UGM

Masih terkait dengan bidang pidana pada RUU Cipta Kerja, Iqbal Felisiano membahas mengenai ancaman pidana yang terdapat pada RUU tersebut. Iqbal menyatakan bahwa terdapat potensi “bancakan” pejabat pemberi persetujuan lingkungan hidup dan melemahkan penegakkan UU Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat juga potensi disparitas putusan yang menimbulkan ketidakadilan dengan adanya denda administratif ini. Iqbal menutup diskusi dengan memaparkan ketidakjelasan dalam sanksi pidana dan pemulihan lingkungan hidup jika wewenang tersebut ditarik ke pemerintah pusat seperti yang tercermin pada Pasal 82 (1).

Penulis: Erma Nuzulia S

Link Download Materi:

Eka Nanda_Pemidanaan UU Cipta Kerja

Fira M_ MELEMAHNYA NILAI-NILAI ANTIKORUPSI (1)

Rimawan P_ Risk Based Approach NA OL

Rilis Diksi #7, RUU Cipta Kerja “Problem Legislasi dan Ancaman Korupsi Kebijakan”

Berita Saturday, 18 July 2020

Download rilis diksi #7 pada tautan berikut:

Rilis Diksi 7_Pukat UGM

Diksi #7: RUU Cipta Kerja, “Problem Legislasi & Ancaman Korupsi Kebijakan”

Berita Saturday, 18 July 2020

Kamis, (16/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #7: RUU Cipta Kerja: “Problem Legislasi & Ancaman Korupsi Kebijakan”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Direktur PUKAT FH UGM), Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember), Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas), Gita Putri Damayana (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), dan Danang Widoyoko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia).

Diskusi ini dimulai dengan pemantik dari Danang Widoyoko yang menjelaskan ancaman korupsi kebijakan dalam RUU Cipta Kerja. Danang menjelaskan bahwa iklim investasi di Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk, malah ada peningkatan dari tahun ke tahun. Danang pun menggarisbawahi bahwa permasalahan dalam berinvestasi di Indonesia adalah korupsi yang terjadi pada lembaga peradilan dan korupsi politik. Menurutnya, RUU Cipta Kerja justru berpotensi menurunkan akuntabilitas praktik bisnis dan investasi yang dapat menarik modal global masuk ke Indonesia.

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan pembahasan dari Gitra Putri Damayana. Gita memulai diskusi dengan membahas banyaknya jumlah regulasi yang ada di Indonesia yang saling tumpang tindih secara vertikal maupun horizontal. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyebutnya dengan hiper-regulasi. Gita juga menjelaskan bahwa tujuan simplifikasi peraturan perundangan yang menjadi latar belakang RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan kenyataannya. Justru, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini akan menambahkan 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah.

Gita Putri D_PSHK

Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Oce Madril. Oce menjelaskan pemusatan kekuasaan ke presiden dari daerah yang banyak ditarik oleh RUU Cipta Kerja ini. Secara konseptual, Oce menjelaskan bahwa penarikan kekuasaan ke pusat ini tepat jika suatu negara menganut konsep negara kesatuan dan presidensial. Namun, secara praktik, dapat menyebabkan president heavy, atau bahasa lainnya adalah pemberatan wewenang pada presiden. Oce pun menerangkan bahwa RUU Cipta Kerja ini seakan-akan adalah ‘cek kosong’, karena banyak norma dalam pasal-pasal di RUU ini yang berimplikasi luas dan mendelegasikan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

 

Selanjutnya, Bayu Dwi Anggono memaparkan materi berkaitan dengan kaidah tertib pembentukan perundang-undangan secara formil dan materil. Kaidah tertib tersebut kemudian dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja. Bayu menjelaskan bahwa permasalahan dalam RUU Cipta Kerja bukan hanya masalah dalam teknik penyusunan peraturan tersebut, namun juga landasan filosofis dari masing-masing undang-undang yang dicabut maupun direvisi oleh RUU ini. Rancangan ini memiliki landasan filosofis dalam memudahkan investasi, dan berbahaya jika landasan ini dijadikan patokan dalam perubahan beberapa pasal dalam, misalnya, UU Perairan, UU Kehutanan, dan UU Ketenagakerjaan.

Bayu Dwi_Puskapsi UNEJ

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Feri Amsari dengan materi yang berjudul “Omnibus Law Bahaya Laten terhadap Nilai-Nilai Pancasila”. Feri menyampaikan bahwa teknik pembentukan perundang-undangan dengan omnibus law hanya dapat digunakan pada topik yang sama. Hal ini selaras dengan praktik omnibus law di negara lain seperti Michigan dan Kanada. Selain itu, Feri pun menyampaikan bahwa konsep omnibus law dikenal sebagai UU yang anti demokrasi dan cenderung mengabaikan suara publik. Model omnibus law sejenis yang sedang didiskusikan di DPR, memang tidak diakui di UU No. 12 Tahun 2011. “Kalau dianggap salah prosedur, ya memang benar. Tidak mungkin bisa disahkan kalau prosedurnya saja bermasalah”, ungkapnya.

Feri Amsari_Pusako Unand

Penulis: Erma Nuzulia S

 

Download materi:

Feri amsari_presentasi omnibus

Danang_Presentation Omnibus Pukat UGM (1)

Gita Putri_Presentation Omnibus Pukat UGM (2)

Rilis Diksi #6: State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan

Berita Tuesday, 14 July 2020

Download Siaran Pers:

Rilis Diksi 6 PUKAT UGM_State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan

Diksi #6: State Capture dan Sentralisasi Kekuasaan

Berita Monday, 13 July 2020

Senin, (13/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #6: RUU Cipta Kerja: “State Capture & Sentralisasi Kekuasaan”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM. Narasumber diskusi ini adalah Siti Rakhma Mary (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Nur Hidayati (Wahana Lingkungan Hidup), Herdyansyah Hamzah (Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman) dan Zainal Arifin Mochtar (Peneliti PUKAT UGM dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada).

Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Siti Rakhma Mary yang membahas mengenai RUU Omnibus Law dan pembacaan terhadap hidden agenda negara. Permasalahan yang terdapat pada RUU Cipta Kerja pun dijelaskan dari berbagai sektor, seperti perizinan, agraria dan tata ruang, sampai perburuhan. Rakhma menjelaskan permasalahan yang ada dalam RUU ini dan implikasinya terhadap masyarakat Indonesia, antara lain: perlebaran gap antara pengusaha dan buruh, kemiskinan yang parah, perbudakan buruh, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hukum dan HAM. Pada akhir pemaparan, Rakhma menjelaskan, “Pemerintah seperti ‘tidak kuasa’ untuk memenuhi keinginan pengusaha dengan menghabisi semua hal yang dianggap menghambat investasi. Di sini banyak aturan yang ditabrak tanpa merasa bersalah, dan diganti dengan aturan baru seolah-olah ini hukum baru.”

Rahma_Ylbhi

Pemaparan dilanjutkan oleh Nur Hidayati yang menjelaskan mengenai isu sumber daya alam yang terdapat pada RUU Cipta Kerja. Beliau memulai diskusi dengan ilustrasi yang digambar oleh akun instagram @gumpnhell, dimana ada pejabat yang mengiming-imingi investasi, lapangan kerja, dan kesejahteraan kepada petani. Padahal dengan adanya RUU ini, air, hutan dan lahannya dapat tercemar dan dirampas sehingga petani tersebut jadi tidak punya pekerjaan. Nur Hidayati juga memaparkan permasalahan SDA dan kaitannya dengan pelaku usaha.

Nur Hidayati_Walhi

Pemaparan disusul oleh Herdyansyah Hamzah, yang memantik diskusi dengan membandingkan proses Revisi UU KPK dan RUU Cipta Kerja. Herdyansyah menjelaskan bahwa terdapat lima kesamaan yang terdapat dalam kedua UU tersebut, yaitu state capture dengan aktor yang sama, yaitu DPR RI; nir-partisipasi dan tertutup (cacat prosedural); anti dialog yang jauh dari prinsip demokrasi liberatif; cenderung anti kritik dan represif; dan memperlemah gerakan anti korupsi.

Herdi_Pukat Unmul

Diskusi dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal membahas mengenai dampak negatif sentralisasi kekuasaan dari perspektif korupsi. Selain itu, ia juga memaparkan mengenai sentralisasi dan dampaknya terhadap pengawasan. Zainal menegaskan bahwa RUU ini tidak bisa hanya dibaca pasal-perpasal, namun harus secara keseluruhan dengan pendekatan beyond the law dan aspek socio-legal. Beliau pun berpendapat bahwa penyusunan UU harus melihat paradigma seperti hukum, publik, politik hukum, kemampuan mekanisme, relasinya dengan masyarakat, dan lain sebagainya.

Penulis: Erma Nuzula

 

Link materi:

Materi Herdyansah_Pukat Unmul

Materi Rahma_YLBHI

Materi WALHI-PUKAT_UGM

Diksi #5: “Novel Baswedan Mencari Keadilan, Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” (2)

Berita Tuesday, 23 June 2020

Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #5: Novel Baswedan Mencari Keadilan “Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” selain menghadirkan Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, dan Suparman Marzuki, juga menghadirkan Sri Wijayanti Eddyono (Dosen FH UGM), Maradona (Dosen FH Universitas Airlangga) dan Yuris Rezha (Peneliti PUKAT UGM).

Sri Wiyanti Eddyono mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang viktimologi dan hak asasi manusia. Sri Wiyanti memaparkan bahwa dari sudut pandang viktimologi, hak korban meliputi: hak perlindungan, hak reparasi dan hak yang paling sering diabaikan yaitu hak partisipasi. “Indonesia masih menganut keadilan retributive yang mengutamakan kepentingan publik, kepentingan pelaku, tetapi tidak bagi kepentingan korban,” ujarnya.

Sri Wiyanti Eddyono-Dosen FH UGM

Hal tersebut yang menjadi akar permasalahan yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum dan keadilan bagi korban. Menurutnya, kasus Novel Baswedan termasuk dalam kasus yang perlu memperhatikan hak-hak korban, termasuk hak untuk mendapatkan informasi serta hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perkaranya.

Materi selanjutnya disampaikan oleh Maradona. Ia memberikan catatan-catatan selama proses persidangan, termasuk tuntutan jaksa dalam kasus Novel Baswedan. Menurutnya, niat memang dalam beberapa literatur disamakan dengan kesengajaan, tetapi tidak identik karena niat masih ada dalam hati pelaku belum ditunaikan menjadi suatu kesengajaan. Dalam suatu proses hukum, hakim harus melihat berdasarkan fakta yang ada untuk menentukan pasal berapa yang  dijatuhkan beserta vonis akhirnya. Dari putusan hakim nantinya baru dapat didiskusikan kembali bagaimana perspektif hakim dalam melihat kasus ini.

Maradona-Dosen FH UNAIR

Catatan PUKAT

Narasumber terakhir, Yuris Rezha menjabarkan catatan-catatan dari PUKAT serta dampak kasus Novel Baswedan ini pada agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa catatan dari PUKAT yang berkaitan dengan tuntutan jaksa, yakni: menyatakan ketiadaan niat dari pelaku, pengenaan pasal penganiayaan biasa, tidak dipanggilnya saksi yang ditengarai menjadi kunci pengungkapan perkara, tuntutan satu tahun bagi pelaku yang menciderai rasa keadilan, serta tidak terungkapnya aktor intelektual dan motif pelaku. Yuris menyampaikan bahwa tuntutan jaksa terhadap pelaku merupakan lanjutan dari rentetan kejanggalan selama proses penegakan hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, preseden yang buruk menjadi ancaman bagi warga negara khususnya pegiat antikorupsi, bisa jadi kejadian seperti ini dapat berulang. Transparansi, akuntabilitas dan pengendalian benturan kepentingan di institusi penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menjamin pelindungan hukum bagi warga negara, menjaga etika serta mencegah perilaku korupstif penegak hukum.

Yuris Rezha-Pukat UGM

Penulis: Dhika Putri

123
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY