Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Pos oleh
  • page. 3
Pos oleh :

pukat

Putusan Sesat Pra-Peradilan

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Hakim pra-peradilan akhirnya memenangkan tersangka kasus korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwenang mengusut kasus tersebut karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum, serta tidak ada kerugian negara yang timbul.

Tentu saja putusan ini menyentak akal sehat kita. Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolak belakang dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara, yang bukan merupakan obyek pra-peradilan.

Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal adalah pernyataan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas penegak hukum. Dalam doktrin hukum, dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara, yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum.

Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Kedudukan polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945, bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Polisi, menurut konstitusi, bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat sekaligus sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satutugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum.

Di tingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah menegakkan hukum.

Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun polisi tidak hanya sebagai penegak hukum. Pada saat bersamaan, mereka juga berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan, polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan.

Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota kepolisian, saat itulah yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwa ada pembagian tugas dalam organisasi kepolisian, itu semata-mata merupakan bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau bukan. Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK juga ditujukan bagi tiga profesi/institusi penegak hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim.

Kekeliruan lain yang dilakukan hakim pra-peradilan adalah ihwal kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat ditangani KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu, dinyatakan bahwa salah satu kriteria yang berlaku terkait dengan kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Secara utuh, ketentuan itu berbunyi,KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Harus digarisbawahi, ada kata-kata “dan/atau” pada poin b.Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung “dan/atau” dapat diperlakukan sebagai “dan”, tapi dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung makna “pilihan”. Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11 itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara alternatif.

Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian masyarakat, asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian negara, tapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang boleh jadi tidak menimbulkan kerugian negara yang nyata di dalamnya.

Tampak jelas bahwa hakim pra-peradilan tidak memahami UUD 1945, UU KUHAP, UU Kepolisian, dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karena itu, putusan sesat ini harus dikoreksi. Upayahukum luar biasa melalui peninjauan kembali ke Mahkamah Agung dapat ditempuh KPK.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 18 Februari 2015

Berdiri Bersama Memberantas Korupsi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Malam, 3 Februari 2015, sebuah pesan pendek dari Ahmad Syafii ”Buya” Maarif masuk pukul 19.28. Isinya singkat, ”Baru Presiden telepon saya; BG tidak akan dilantik, cari waktu yang tepat. Mohon disampaikan kepada teman-teman. Trims. Maarif.”

Simpel, tetapi kuat kesannya. Pesan itulah yang kemudian secara cepat menjalar, beredar luas dan akhirnya menjadi salah satu polemik keesokan paginya.

Beberapa hari terakhir, barangkali itulah salah satu pesan yang ditunggu publik. Pesan yang menyiratkan kepastian penolakan Presiden Joko Widodo atas pencalonan seorang tersangka menjadi Kapolri. Kepastian yang entah akan menguap atau tidak. Dijalankan atau tidak.

Memang, tindakan dalam ranah kenegaraan, sering kali tak ada yang pasti kecuali telah memiliki beschikking sebagai bentuk formal keputusan negara akan hal itu. Seperti halnya Tim 9 yang terbentuk, tetapi tak memiliki keppres, rekomendasinya seperti khotbah di hadapan presiden dan khalayak. Diikuti atau tidak, terserah pada niat dan pilihan penerima khotbah.

Akan tetapi, melalui pesan tersebut, sedikit-banyak seharusnya punya sentimen yang berarti atas pilihan berdiri bersama pemberantasan korupsi. Setidaknya, Presiden Jokowi telah menegaskan posisi tidak akan melantik seorang tersangka menjadi kepala penegakan hukum. Artinya, Presiden telah berjanji berdiri bersama publik menegakkan moralitas antikorupsi.

Langkah penting

Berikutnya, perlu setidaknya ada tiga langkah lanjutan yang penting. Pertama, jika BG tak dilantik, muncul pertanyaan lanjutan, siapa yang akan mengisi pucuk pimpinan kepolisian?

Ini penting karena jika kembali diisi oleh orang yang bermasalah dan berkeinginan kuat menyelesaikan masalahnya dengan cara menyerang KPK, serangan terhadap KPK tetaplah bahaya laten. Bahaya potensial yang bisa muncul setiap saat.

Presiden pada tataran ini harus mau ber-tungkus lumus, bersungguh-sungguh mencari sosok yang tepat. Orang itu harus tidak tersangkut berbagai kasus dan dendam lama yang bisa kembali mengaktualkan posisi laten KPK dan Polri yang berhadap-hadapan.

Presiden harus bersungguh-sungguh membuka rekam jejak kandidat. Tidak hanya berdasarkan pada satu atau dua lembaga, apalagi lembaga internal kepolisian yang sangat besar konflik kepentingannya.

Membuka seluas-luasnya ruang masukan adalah sebaik-baiknya cara untuk mendapatkan orang yang tepat. Hal ini juga demi janji Jokowi saat kampanye, akan memilih jabatan Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih dan berintegritas.

Tidak hanya posisi Kapolri. Jabatan-jabatan penting lain—yang biasanya dan selayaknya sepengetahuan Presiden—juga harus dikontrol dengan baik. Semisal jabatan Kabareskrim. Presiden tak boleh lagi dikangkangi dalam pengisian jabatan tersebut. Kebiasaan konstitusional untuk meminta pandangan dan posisi Presiden untuk jabatan tersebut harus dikedepankan. Apalagi, Polri langsung di bawah ”ketiak” Presiden.

Kedua, Presiden Jokowi masih berhadapan dengan kebutuhan untuk menyelesaikan posisi silang kepolisian yang sedang berhadap-hadapan dengan KPK. Dan dalam posisi itulah kebijakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan dibutuhkan. Jokowi harus segera membuat peta jalan agar posisi berhadap-hadapan ini berakhir dan tak perlu menjadi laten
lagi.

Jika pilihan pertama lebih bersifat individual mengganti orang, yang kedua ini haruslah dalam kerangka yang lebih institusional dan operasional.

Reformasi di tubuh Polri sudah menjadi keniscayaan. Sekian lama kata sakti ini didengungkan, tetapi tak kunjung direalisasikan. Telah ada berbagai dokumen peta jalan dan pemikiran untuk membantu menghela reformasi di tubuh Polri, tetapi hingga kini masih ditumpuk di meja tidak dijalankan. Presiden Jokowi harus mulai mendorong kepolisian untuk memperbaiki peningkatan performa kepolisian.

Pastikan KPK berjalan

Begitu juga terhadap KPK. Presiden selayaknya mengambil langkah-langkah untuk memastikan kerja KPK tidak terganggu oleh tindakan yang tak perlu. Meski intervensi Presiden ke KPK terbatas mengingat komisi negara ini independen, Presiden sangat mungkin membuat perubahan terbatas atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketiga, dalam hal perubahan terbatas atas UU KPK, Presiden berkesempatan mengambil langkah penting untuk menyelamatkan KPK dan pemberantasan korupsi. Gejala semua pimpinan KPK segera dijadikan tersangka menunjukkan, KPK akan dilumpuhkan. Jelas, tanpa komisioner KPK tak akan bisa bertindak karena putusan tindakan hukum ada pada komisioner KPK, bukan pada pegawai lainnya.

KPK yang lumpuh hanya menguntungkan para koruptor. Karena itu, Presiden dapat bertindak cepat. Ide yang berkembang, misalnya, adalah mendorong perppu untuk menunjuk pelaksana tugas sementara komisioner KPK. Ide ini tentu saja akan mendatangkan penolakan besar, seperti zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditolak oleh DPR.

Apalagi, ide menunjuk pelaksana tugas tak ada aturannya di UU KPK. Memberikan wewenang serupa dengan komisioner biasa juga bisa merusak doktrin pelaksana tugas yang biasanya memiliki keterbatasan wilayah kewenangan.

Jika pun mendorong perppu, pilihan yang bijak tentu saja adalah melakukan percepatan seleksi atau dapat juga menunjuk Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata, kandidat yang telah terseleksi, tetapi masih menunggu uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Pengangkatan mereka untuk sementara waktu hingga proses seleksi kelima penggantian kelima komisioner secara bersamaan di akhir tahun, akan lebih mulus dibandingkan dengan menunjuk orang luar yang tiba-tiba masuk ke KPK.

Bahkan, jika dalam kondisi mendesak, perppu percepatan seleksi komisioner KPK masih lebih menarik daripada mendorong model pelaksana tugas untuk jabatan komisioner KPK.

Masih dalam kerangka mendorong perlindungan atas KPK, pemikiran untuk menerbitkan aturan perlindungan atas pekerja pemberantasan korupsi juga menjadi besar. Langkah ini tak menunjukkan pelanggaran atas apa pun. Secara peraturan perundang-undangan, konsep kewajiban negara untuk melindungi pekerjaan pemberantasan korupsi ada dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Undang-Undang Nomot 7 Tahun 2006.

Konsep perlindungan yang sama juga ada di berbagai UU, semisal UU Ombudsman untuk melindungi kerja-kerja para komisioner di lembaga seperti Ombudsman. Hal-hal yang artinya akan menambah daya perlindungan atas penegakan hukum dan anti korupsi.

Semua itu akan mewujudkan janji Presiden untuk mendukung dan menguatkan KPK, memberantas korupsi, dan tentu saja untuk berdiri bersama penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Janji yang saat ini menunggu untuk dilaksanakan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 11 Februari 2015

Solusi Bekas Koruptor Nyaleg

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

BELAKANGAN ini sedang ramai dibincangkan dalam pembahasan RUU Pemilu mengenai satu poin penting: apakah mantan narapidana, khususnya mantan narapidana tindak pidana korupsi, boleh mencalonkan diri menjadi anggota legislatif? Perbedaan pendapat mengalir ke hadapan publik. Ada yang berpendapat, menjadi calon legislatif (caleg) adalah hak setiap warga negara, termasuk bekas napi. Lagi pula, salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) menggariskan bahwa bekas napi boleh maju nyaleg sepanjang memenuhi empat persyaratan.

Putusan MK itu diterbitkan setelah memeriksa permohonan pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat caleg pusat ataupun daerah. Amar putusan itu membolehkan bekas napi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pusat atau daerah sepanjang, pertama; tak berlaku untuk jabatan publik.

Kedua; berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman. Ketiga: dikecualikan terpidana yang secara jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya bekas napi. Keempat; napi itu bukan pelaku kejahatan yang berulang (hukumonline, 25/03/09).
Di sisi yang lain, tak sedikit kelompok masyarakat menolak bekas napi maju jadi calon anggota legislatif. Alasannya, dia berisiko mengulangi perbuatannya.

Terutama, bagi napi tindak pidana korupsi. Tatkala bekas koruptor itu memenangi pemilihan, ia akan memegang kewenangan besar. Ketika ada kekuasaan di tangannya, sangat mungkin kembali melakukan perbuatan kotornya. Bukankah sifat kekuasaan cenderung untuk korup?

Perdebatan boleh tidaknya bekas napi, dalam hal ini bekas koruptor, nyaleg sama-sama memiliki argumentasi kuat. Yang berpendapat bekas koruptor boleh nyaleg, mendasarkan pada ketentuan bahwa tiap warga negara perlu dijamin haknya, termasuk hak untuk memilih dan dipilih.

Adapun pendapat yang menolak juga sama; hak untuk hidup dengan baik dan sejahtera harus dilindungi dengan meminimalisasi risiko kerusakan yang disebabkan oleh tipikor. Artinya, sampai pada titik argumentum, dua pendapat itu sama-sama kuat. Apakah tak ada jalan keluar untuk memutus perdebatan itu?

Jalan Keluar

Menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya adalah tindakan yang patut dihindari. Alangkah naifnya ketika kita bicara soal pemenuhan HAM, namun pada satu fase kemudian menciptakan batu penghalang untuk mencapai hak tersebut. Putusan MK yang inkonstitusional bersyarat itu sebenarnya sudah jadi jalan keluar yang mengakomodasi tiap kepentingan hukum dan asasi tiap warga negara. Tidak ada larangan untuk bisa maju menjadi caleg. Tentunya dengan empat syarat yang telah ditetapkan melalui putusan MK tersebut.

Kalau mau merunut ketentuan hukum pileg, mekanisme pencalonan anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, harus melalui partai politik. Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 menulis, ’’Partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.’’

Dengan ketentuan pasal tersebut, tanggung jawab untuk memfilter bakal calon ataupun calon berada di tangan partai. Kebijakan internal partai menentukan apakah bekas koruptor bisa menjadi calon anggota legislatif atau tidak. Jadi perdebatan untuk menolak atau menerima bekas koruptor yang mau nyaleg, bukan lagi berada di ranah melanggar atau tidak melanggar hak asasi melainkan ditujukan kepada wajah partai politik. Jalan keluarnya ada di kebijakan internal partai.

Partai yang pedalamannya bersih tentu akan berpikir seribu kali untuk menerima seseorang menjadi calon legislatif dari pintu partainya. Begitu sebaliknya, bagi partai yang menerima, apalagi ngotot meminta bekas koruptor sebagai calegnya, tak keliru bila kita menilai partai itu menerima asupan dana dari bekas koruptor itu.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 3 Februari 2012

Ke(tak)jelasan Sikap Presiden

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Ketika terjadi prahara perselisihan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir semua mata berpaling ke arah Presiden Jokowi. Presiden di mana? Demikian pertanyaan publik yang ramai didorong di media sosial. Pertanyaan yang tentu wajar mengingat Presiden Jokowi adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang sah di negeri ini. Kontrol dan tanggung jawab atas pemerintah dan negara juga sebagian berada di pundaknya. Sesungguhnya, sikapPresiden Jokowi sudah sedikit tergambar dalam cara pandang beberapa menterinya yang kemudian nyaris tanpa koreksi sama sekali.

Menteri yang menjadi pembantu Presiden beberapa kali menyatakan pernyataan yang memberikan kesan bahwa Presiden tak akan mengambil langkah langsung, memberikan kesempatan kepada penegakan hukum, bahkan perkataan yang menyalahkan dukungan kepada KPK adalah bentuk kekanak-kanakan dan dilakukan oleh rakyat yang tak jelas. Dengan Presiden membiarkan berbagai ucapan ini, dapat dibaca bahwa Presiden sesungguhnya merestui ucapan-ucapan tersebut.

Pidato Ambigu

Tak hanya melalui para menterinya, Presiden Jokowi sendiri akhirnya menyampaikan pidatonya. Dua kali. Pertama tentu saja pada hari penangkapan Bambang Widjoyanto (BW). Kala itu, Presiden menyatakan bahwa tak boleh ada pergesekan antara Polri dan KPK. Hal yang tentu saja membingungkan karena seakan menghindari kasus konkret yang terjadi.

Seakanakan Polri dan KPK jangan bergesekan, padahal pada faktanya sudah terjadi perbenturan. Paling diingat, pidato tersebut sama sekali tidak menyentuh perkara yang ingin diselesaikan. Tak lama berselang, ada pidato kedua. Kali ini diimbuhi dengan mengenalkan tujuh orang yang katanya akan menjadi tim dalam penyelesaian kasus ini. Perkembangan terkini, tak lagi tujuh, tetapi sembilan orang.

Bahkan masih ada lagi kemungkinan berbagai tambahan lain. Sembari kemudian dia menjelaskan dan menegaskan jangan lagi ada kriminalisasi terhadap KPK maupun terhadap Polri. Atas dua pidato tersebut, satu hal yang sama adalah keduanya melahirkan ambigu. Posisi yang tidak jelas.

Pertama, pidato ambigu yang tak menjelaskan apa-apa. Posisi Presiden hanya menegaskan bahwa jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi. Tapi, dalam hal itu, siapa pun paham itu. Jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi adalah hal yang semua orang paham. Itu adalah pernyataan normatif yang senilai dengan pernyataan; “Ayo kita semua berbuat baik!” Siapa pun tahu akan hal tersebut.

Tapi tidak jelas, gesekan itu apa, siapa yang melaku-kan dan sebagainya. Begitu juga pernyataan soal kriminalisasi. Siapa atas siapa, dan berbagai pertanyaan lainnya hilang tak terjawab. Kedua, membentuk tim yang belum terlalu jelas. Pembentukan tim independen tentu adalah hal yang sangat menarik. Akan tetapi, tim ini sendiri masih akan bergantung pada sekian banyak faktor.

Salah satunya adalah formalisasi tim. Tanpa adanya keputusan Presiden yang mendasari pembentukannya, maka tetap dikatakan mustahil tim ini diharapkan bisa bekerja. Keppres adalah landasan hidup untuk sebuah kerja tim. Landasan individual dan konkret yang akan menjadi sandaran bagi para anggota tim untuk melakukan sesuatu yang seharusnya.

Sekali lagi, tanpa aturan dasar tentu mustahil dapat dikatakan dapat bekerja dengan benar. Selain dasar hukum, faktor yang paling penting adalah isi dari dasar hukum tersebut. Jika dasar hukum ini berisi hal-hal yang menjelaskan keniscayaan sebuah tim dibentuk, tentu menjadi hal yang menarik. Akan tetapi jika tidak, sangat percuma membentuk tim. Artinya, pertanyaan mendasar jika tim ini dibentuk adalah apa kewenangannya?

Sejauh mana daya jelajahnya? Apa saja yang menjadi ranah yang akan dikerjakannya? Tanpa daya jelajah yang kuat, kemungkinan solutif untuk menyelesaikan perkara menjadi mengecil. Makanya, jika kemudian tim ini memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan penegakan hukum, bahkan memiliki hal luar biasa semisal melakukan verifikasi terhadap dugaan kriminalisasi dan penangkapan dan penahanan tidak wajar tentu akan menjadi menarik.

Selain itu, kerja-kerja yang membuktikan adanya rekayasa kasus akan sangat berfungsi menyelesaikan. Termasuk jika rekomendasi tim yang dikeluarkan nanti punya daya mengikat yang tidak hanya sekedar rekomendasi tanpa ikatan. Artinya, pada faktor ini, andai timnya dibuat kuat dan taktis, akan sangat kuat digunakan untuk mendorong penyelesaian perkara.

Selain itu, komposisi orang yang ada di tim, serta tata cara kerja mereka juga akan sangat menentukan kedalaman hasil pemeriksaan yang dapat berujung pada kesimpulan yang memadai dan solutif. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, tim ini belum kunjung diformalisasi.

Belum ada kepastian akan hadirnya dan berbagai pernik-pernik menentukan seperti yang dituliskan di atas. Makanya, dalam hal ini, Presiden Jokowi masih menawarkan rencana yang masih jauh dari hitungan solutif atau tidaknya hasil yang akan dicapai oleh tim.

Harga Ketakjelasan

Salah satu yang jadi faktor kuat dalam dugaan ketakjelasan sikap Presiden ini tentunya patut diduga adalah sumbangsih dari beban politik yang terlalu kuat mendera Presiden Jokowi. Padahal, sebagai pemilik suara dengan dukungan terbanyak pada pemilihan umum lalu, Presiden Jokowi harusnya jauh lebih pede dalam bertindak.

Sekadar mengingatkan, posisi yang menjadi prahara ini juga diakibatkan ketakjelasan Presiden dalam menentukan posisi kepala Polri. Ketidakcermatan Presiden Jokowi dalam memilih kapolri, sedikit-banyak, telah mengakibatkan posisi mengunci saat ini. Kelambanan sikap, telah memberikan implikasi yang tidak kecil.

Dan inilah harga besar yang harus dibayarkan. Keberpihakan Jokowi pada kepentingan partai, telah memberikan label harga yang teramat tinggi, sangat mahal. Dapat dibayangkan, andai sedari awal Presiden Jokowi bersikap tegas dengan usulan pengajuan Budi Gunawan yang lebih mendapatkan restu politik dibanding restu publik, maka sebagian besar kisruh yang ada sekarang ini tidak akan terjadi.

Faktor penyebab dari berbagai posisi yang membuat saling mengunci ini menjadi hilang. Lagi-lagi, akibatnya adalah harga mahal dan kemudian posisi yang sudah semakin sulit. Jika dikembalikan ke berbagai pidato dan janji kampanye yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ketika menjadi kontestanpemiluuntukmemenangkan hati rakyat Indonesia, rasanya, Jokowi telah terlampau laju meninggalkan janji tersebut.

Belum kering sesungguhnya ludah yang diucapkan Jokowi ketika dengan lantang mengatakan bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia hanya akan bekerja untuk dan atas nama rakyat. Hanya akan tunduk pada kehendak konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia. Tidak ada yang selain itu.

Dalam konteks inilah lecutan peringatan dan terapi kejut mesti diberikankepada PresidenJokowi untuk segera siuman dalam kerja yang sudah menjauh dari suara konstitusi dan kehendak rakyat secara hukum dan moral. Ia harus mengembalikan esensi awal dalam tunduk pada kata rakyat dan bukan kata partai politik. Dan ketika mampu berdiri tegak di hadapan partai politik dan mengatakan lantang akan keinginan untuk mengikuti kehendak rakyat, saya yakin, kejelasan tindakan akan kembali hadir.

Kejelasan yang akan menyelesaikan perkara. Bentuk tim independen yang akan menyelesaikan perkaraperkara kriminalisasi ini. Lalu jalankan rekomendasinya agar penyelesaiannya menjadimudah. Dan dalam hal itu juga segera tegakkan moralitas konstitusi dengan mencari kapolri yang bukan tersangka kasus korupsi.

Serangkaian kerja yang sebenarnya bukan hanya berguna untuk rakyat Indonesia dan masa depan Indonesia, tetapi juga untuk diri dan masa depan Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO, pada 28 Januari 2015

Wantimpres

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PRESIDEN Joko Widodo melantik anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Senin (19/1). Hanya saja, publik kurang begitu berkenan dengan pelantikan itu. Pasalnya, lebih dari setengah jumlah anggota berasal dari unsur partai politik.
Beschikking Presiden Nomor 6/P/2015 bertanggal 19 Januari menetapkan sembilan orang. Komposisinya, lima orang dari unsur partai koalisi pendukung pengajuan Jokowi sebagai calon presiden 2014. Satu orang dari PPP yang belakangan juga masuk gerbong partai koalisi pemerintah. Dua orang mewakili dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Anggota terakhir diambil dari kalangan akademisi.

Berdasarkan komposisi keanggotaan, banyak yang menilai, pemilihan penasihat kepala negara itu jadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan. Tak ubahnya pemilihan menteri, Jaksa Agung, dan kepala Polri—selama ini.

Sifat kenegarawanan

Konstitusi pasca amandemen mengatur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebagai sebuah dewan yang memiliki dua tugas: memberikan nasihat dan memberikan pertimbangan kepada presiden. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memerintahkan tafsir atas dua tugas tersebut ke dalam UU. Terbitlah UU No 19/2006.

Tak semua orang dapat diangkat sebagai anggota Wantimpres. Salah satu syarat yang termuat dalam Pasal 8 UU No 19/2006, si calon anggota harus mempunyai sifat kenegarawanan. Penjelasan norma sifat kenegarawanan adalah, ”bersikap konsisten mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.” Pasal 8 huruf d ini sebenarnya merupakan rumusan pembatas agar calon anggota Wantimpres tidak diambil dari unsur parpol.

Wantimpres, apabila merujuk sejarah ketatanegaraan Indonesia, terlebih pasca Orde Lama dan pra-Orde Reformasi, sebenarnya mirip—meski tak sama persis—dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dalam konstitusi pra amandemen, DPA diberi kewajiban menjawab pertanyaan presiden dan juga diberi hak untuk mengajukan usul kepada pemerintah. Bedanya, DPA adalah lembaga sejajar dengan presiden, sedangkan Wantimpres berada di bawah presiden.

Dalam hal komposisi anggota DPA, UU No 3/1967 dan UU No 4/1978 menyatakan, susunan anggota DPA terdiri dari tokoh politik, tokoh karya, tokoh daerah, dan tokoh nasional.

Implikasi yang dihasilkan dari norma mengenai komposisi anggota DPA—khususnya tokoh politik dan tokoh karya—tampaknya dipakai oleh rezim saat itu demi mengamankan kekuasaannya.

Pola pemilihan dari unsur tokoh politik dan tokoh karya itulah yang ingin digeser dengan diberlakukannya UU No 19/2006. Diharapkan, tak ada lagi penasihat presiden yang berasal

dari unsur parpol. Maka, guna mencegah agar anasir partai tidak masuk ke Wantimpres, syarat adanya sifat kenegarawanan dimunculkan. Penasihat presiden harus konsisten mengutamakan kepentingan negara dan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.

Lalu, kenapa Presiden Jokowi melantik anggota Wantimpres yang 50 persen lebih berasal dari parpol? Bagaimana menjamin anggota Wantimpres agar memberi nasihat dan memberi pertimbangan kepada presiden berlandaskan kepentingan rakyat (negara dan umum) daripada kepentingan parpol (ketua umum partai, elite partai, atau parpol itu sendiri)?

Menjaga kebijaksanaan

Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Anggota Wantimpres sudah dilantik. UU No 19/2006—yang menjadi amanat dari Pasal 16 UUD NRI 1945— memerintahkan, Wantimpres harus dilantik paling lama tiga bulan sejak presiden dilantik. Artinya, presiden tak punya banyak waktu untuk menentukan sembilan orang dari ratusan juta penduduk Indonesia yang dianggap memiliki sifat kenegarawanan sebagai penasihatnya di tengah penataan struktur pemerintahannya.

Namun, bukan berarti singkatnya masa dijadikan sebagai pleidoi untuk mendudukkan perwakilan partai ke kursi advisor of president. Sebab, posisi penasihat, walau tak seterkenal anggota DPR, sangatlah strategis. Apalagi di bagian membentengi program negara atau pemerintah dari intervensi kepentingan busuk elite partai. Tak banyak negara memiliki dewan seperti DPA atau Wantimpres. Bagir Manan (2003: 85-92) mencatat, Raad van Indie pada zaman kolonial, Raad van State di Kerajaan Belanda (1814), Conseil d’Etat di Perancis (1789), dan Privy Council di Thailand dan Korea adalah contoh dari negara yang melahirkan lembaga serupa DPA atau Wantimpres.

Sebenarnya, penjelasan pasal 16 konstitusi Indonesia pra amandemen menggambarkan DPA layaknya Council of State yang wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah. Raad van State, misalnya, bertugas memberikan jawaban atas usul membentuk UU, peraturan pemerintah, ratifikasi, dan melakukan penyelidikan sengketa administrasi. Conseil d’Etat juga sama, pemerintah diwajibkan agar mengindahkan lembaga penasihat negara itu dalam pembentukan RUU dan peraturan pemerintah. Ada tugas menjaga kebijaksanaan kepala pemerintahan di sana.

Meski tugas Wantimpres tak persis dengan Raad van State dan Conseil d’Etat—karena tidak spesifik dalam pemberian pertimbangan atas usul pembentukan RUU, peraturan pemerintah, maupun penyelidikan administrasi—anggota Wantimpres tetap wajib menjaga kebijaksanaan presiden. Caranya, nasihat yang diberikan ke presiden jangan untuk memuluskan kepentingan kotor elite parpol.

Selain mengatur batas maksimal pelantikan anggota Wantimpres, berita baiknya adalah, hukum juga mengatur mekanisme pemecatan anggota Wantimpres. Pasal 11 UU No 19/2006 menggariskan, penasihat presiden diberhentikan apabila tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 8. Salah satu isi pasal 8 adalah sifat kenegarawanan. Jika sedikit saja anggota Wantimpres terbukti bekerja untuk kepentingan partai, bukan untuk presiden dan rakyat, presiden wajib memberhentikannya. Dan, pada tahap ini tak boleh ada istilah penundaan pemberhentian.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 27 Januari 2015

Kriminalisasi KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

KATA krimininalisasi kembali muncul. Sudah ”diwanti-wanti” supaya tak muncul lagi namun tanpa dinyana-nyana kata itu menyeruak secara tiba-tiba. Pemicunya adalah Bambang Widjojanto yang diinisialkan BW oleh beberapa pihak, salah satu pimpinan KPK, yang ditangkap penyidik Bareskrim Mabes Polri (23/1/15).

Saya bukan ahli bahasa yang bisa tepat mendefinisikan kata kriminalisasi. Hanya imbuhan ”isasi” pada kata kriminal saya maknai adanya proses untuk mengkriminalkan. Kriminal berarti berkait kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang (KBBI; 2008: 819). Pendek kata, ada usaha mencari-cari atau mengada-adakan perbuatan kriminal terhadap seseorang/lembaga, yang sebenarnya tidak ada.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa penangkapan BW sampai pada asumsi adanya kriminalisasi terhadap KPK? Bukankah penangkapan itu juga bagian dari penegakan hukum? Setidak-tidaknya ada tiga alasan runtut, sebagai satu kesatuan, untuk menilainya.

Pertama; penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK (13/1/15). Jenderal bintang tiga itu disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 Huruf b, atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia diduga menerima hadiah dan suap selama melaksanakan tugas kepolisiannya.

Penetapan tersangka dilakukan KPK setelah mendalami hasil penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening mencurigakan milik beberapa jenderal polisi tahun 2010. Artinya, langkah hukum ini bukan ujug-ujug. Ada waktu hampir 4 tahun bagi penyidik KPK untuk mempelajari dan meyakinkan lidik-sidiknya.

Setelah penetapan status tersangka itu, tampaknya ada usaha dari Komjen Budi untuk menyoal kebijakan hukum KPK. Kabarnya, Ketua KPK Abraham Samad dan BW dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Tujuannya jelas supaya komisi antirasuah kesusahan memeriksa karena pimpinannya dijerat hukum.

Ternyata strategi pelaporan penyalahgunaan wewenang meleset. Alhasil, dicari jalan lain. Jangan-jangan, yang memungkinkan adalah menetapkan BW sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu. Artinya, penangkapan BW adalah strategi sampingan untuk memperlambat kinerja KPK. Bila benar demikian, bukankah Bareskrim sedang mengada-ada?

Kemudian, langkah yang mengada-ada itu dikuatkan dengan alasan kedua bahwa ternyata pelaporan kembali dugaan kasus kesaksian palsu atas nama BW (dan lainnya) sudah dicabut. Bupati Kota Waringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah, Ujang Iskandar menuturkan (23/1/15), laporan kasus kesaksian palsu itu dulu memang pernah disampaikan ke Bareskrim. Pelapornya Sugianto alias Yusuf Sugianto alias Sugianto Sabran, pesaingnya di pilkada Kobar. Sugianto menuduh para saksi Ujang Iskandar —BW ada di dalamnya— telah memberikan kesaksian palsu di depan sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan keterangan Ujang, ada 68 saksi yang dituduh Sugianto memberikan kesaksian palsu. Bareskrim Mabes Polri pun memeriksanya. Hasilnya nihil. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, Sugianto mencabut laporannya.

Proses Supercepat

Namun, pada 19 Januari 2015, Sugianto Sabran kembali melaporkan kasus itu ke Bareskrim sebagaimana dicatat dengan laporan bernomor LP/67/I/2015/ Bareskrim. Sehari setelahnya, 20 Januari 2015, terbit surat perintah penyidikan bernomor SP.Sidik/53/I/2015/ Dittipideksus. Bagai mendapat angin segar menghantam KPK, penyidik Bareskrim pun menangkap BW tiga hari setelahnya. Sungguh proses yang supercepat.

Ketiga; proses penangkapan tidak diawali prosedur yang layak oleh penyidik Bareskrim. Setelah proses administratif di Bareskrim selesai, penyidik langsung bergerak menggelandang BW tanpa mengindahkan misalnya Pasal 19 Ayat (2) KUHAP. Berdasarkan pasal itu, penyidik semestinya memanggil dulu tersangka secara sah maksimal dua kali. Faktanya, tak ada pemanggilan yang layak kepada BW. Bahkan satu kali pun tidak. Bukankah ini menyimpang?

Tiga alasan tersebut tak bisa dipisahkan satu per satu mengingat semuanya harus dirunutkan. Hasilnya, seperti ada usaha melemahkan KPK melalui penangkapan salah satu pimpinannya. Ada usaha sistematis dan merajalela (rampant) untuk mempereteli gerakan pemberantasan korupsi melalui kriminalisasi pimpinan KPK.

Memang, kolektif kolegial dalam Pasal 21 Ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 bisa diartikan: pokoknya lebih dari satu masih bisa dianggap kolektif. Tapi tak bisa dimungkiri bila pimpinan KPK berkurang satu maka sedikit banyak bakal mengganggu kinerja komisi antikorupsi.

Kriminalisasi terhadap KPK berarti perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Saya kira, rakyat Indonesia tidak akan membiarkan kriminalisasi ini terus berlangsung mengingat korupsi adalah musuh bersama. Cita-cita memiliki negara yang bersih dari korupsi bukan lagi jadi kewajiban, melainkan kebutuhan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 27 Januari 2015

Mengurai Sengkarut Plt Kapolri

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

PILIHAN Presiden Joko Widodo menjadikan Badrodin Haiti, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai Pelaksana Tugas Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mendatangkan banyak catatan.

Ada apresiasi, tetapi ada juga sejumlah pertanyaan besar mengiringi. Konsekuensi yang memang harus diterima karena langkah yang diambil sebelumnya memang kurang pas.

Presiden telah memilih mengajukan secara tunggal Budi Gunawan (BG), sosok yang kemudian terbukti ada masalah. Ada kesempatan untuk menarik pencalonan ini, tetapi tidak dilakukan Presiden. Situasi ini semakin sengkarut akibat cara DPR memperlakukan usulan ini. Logikanya, DPR harus menjadi pihak yang mengingatkan dalam kapasitas sebagai pengawas eksekutif. Namun, walau telah ditetapkan sebagai tersangka, DPR tetap menyatakan BG fit dan proper untuk diangkat menjadi Kapolri. Padahal, dengan menjadi tersangka di KPK, yang berarti akan menjadi pesakitan di pengadilan, sudah mengindikasikan ketidaklayakan seseorang sebagai Kapolri.

Mencari solusi

Posisi sudah saling mengunci saat ini. Dengan ”mengambangkan” pengangkatan BG, pada hakikatnya Presiden berseberangan dengan apa yang diinginkan DPR. Namun, pada saat yang sama, ada banyak pertanyaan, termasuk sampai kapan BG diambangkan? Sampai kapan Wakapolri menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri? Tahapan awal yang dilakukan Presiden dan DPR seakan-akan sudah selesai.

Tak mungkin lagi Presiden menolak. Dia dihadapkan pada pilihan sulit. Setidaknya, ada dua pilihan yang berseberangan secara diametral yang dihadapi Jokowi. Pertama, tak melanjutkan pencalonan BG. Dengan tidak melanjutkan pencalonan BG, ada banyak pilihan jalan yang tersaji, tetapi akan mendatangkan konsekuensi berbeda.

Misalnya, tetap mengambangkan BG dan memilih melanjutkan Badrodin sebagai Plt Kapolri. Namun, ini tentu saja jauh dari ideal karena banyaknya kerja-kerja Kapolri yang harus diambil dalam kapasitas Kapolri dan bukan selaku Plt yang memang pada hakikatnya memiliki keterbatasan bertindak atas nama Kapolri. Artinya, pada langkah pertama ini Presiden lebih baik memilih menguatkan moral dan etika publik dengan tak melantik BG, lalu mengajukan calon baru dengan menggunakan mekanisme Pasal 11 Ayat 1 dan 2 yang kemudian kembali ke proses persetujuan di DPR.

Sesungguhnya, pada langkah ini bukan hanya alasan etika yang menjadi pertimbangan. Ada fondasi ”kecil” hukum, yakni itikad Presiden mengisi dan menghindari stagnannya pemerintahan karena suatu kondisi. Tindakan ini semacam diskresi administratur sebagaimana diatur di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Tidak hanya itu, tindakan ini juga menegakkan prinsip penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana dikembangkan di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.

Namun, bukan berarti tanpa kritik. Langkah ini dapat dinilai beragam. Bisa dianggap ketidakpatuhan Jokowi atas UU Polri atau pembangkangan Presiden atas persetujuan yang telah dikeluarkan DPR. Namun, lewat langkah ini, Presiden akan mendapatkan dukungan moral publik yang lebih kuat.

Pilihan kedua, meneruskan pelantikan BG. Namun, setelah dilantik, demi menjaga semangat pemberantasan korupsi di publik, Presiden dapat langsung memberhentikannya dengan alasan-alasan yang memang dimungkinkan dalam penjelasan pasal-pasal di UU Polri. Presiden dapat memilih memberhentikan BG setelah pengangkatannya dengan mekanisme yang tersedia di dalam UU Polri.

Dalam hal ini, Presiden dapat langsung memberhentikan BG dengan pemberhentian definitif seperti diatur Pasal 11 Ayat 2 atau pemberhentian sementara seperti diatur Pasal 11 Ayat 5. Artinya, Presiden bisa memilih antara mengajukan Kapolri definitif baru sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 dan 2 atau Plt Kapolri yang tunduk pada aturan Pasal 11 Ayat 5. Baik calon baru maupun Plt harus dikirimkan konfirmasinya ke DPR.

Langkah kedua ini lebih fit ke aturan hukum, tetapi sangat deras menggerus moral publik yang sedari awal menuntut negara tak boleh melantik pejabat negara yang melakukan korupsi. Di jalur ini, boleh jadi pertanyaan politiknya jauh lebih kecil, tetapi Presiden akan dihadapkan pada kritikan publik.

Pilihan antinomis

Pada titik inilah Presiden Jokowi harus memilih. Pilihan hukum, secara teoretis, memang sering memberikan nuansa membingungkan karena ada ”penyakit” hukum bernama antinomi. Antinomi adalah pertentangan yang mendera hukum karena adanya dua hal yang bertentangan, tetapi harus dijaga oleh hukum secara bersamaan. Moral publik yang dalam konsepsi hukum Grotius adalah sesuatu yang harus dijaga, tetapi pada saat yang sama kepastian hukum proses pelantikan telah disepakati Presiden dan DPR sebagaimana tertera di UU Polri.

Posisi pilihan yang tentunya tidak sederhana. Wolfgang Friedmann menyebutkan, pertentangan antinomi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu sendiri, yang berdiri di antara nalar filsafati dan kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan. Dan, pada titik itulah Presiden harus segera mengambil langkah untuk tak memperpanjang debat publik yang sudah mulai ngawur dan melangkah terlalu jauh hingga ke isu impeachment.

Di sinilah kenegarawanan Presiden dibutuhkan. Ambillah langkah antara pilihan satu dan pilihan dua yang bisa jadi adalah simalakama, tetapi paling tidak menuju ke jawaban permasalahan. Apa pun langkah Presiden harus diikuti dengan tindakan penegas agar siapa pun di negeri ini paham dengan posisi Jokowi yang sesungguhnya dalam relasi penegakan hukum anti korupsi.

Baik pilihan pertama maupun kedua mendatangkan konsekuensi, Presiden akan memilih orang baru. Oleh karena itu, proses yang lebih baik dari ketika mencalontunggalkan BG harus dilakukan. Libatkan KPK, PPATK, dan lembaga penting lain. Presiden juga dapat mengingatkan institusi Polri agar tak melawan KPK secara kelembagaan. Melakukan pra-peradilan atas KPK secara kelembagaan tentu hal aneh mengingat tuduhan terhadap BG adalah individual dan bukan terhadap institusi Polri. UU Polri jelas menyatakan Polri berada di bawah Presiden. Dengan membiarkan Polri melakukan perlawanan institusional atas KPK hanya akan menampar muka Presiden Jokowi yang sejak awal telah menegaskan itikadnya untuk memperkuat penegakan hukum anti korupsi di negeri ini.

Catatan bagi siapa pun yang tidak menginginkan sengkarut ini berlanjut, sesungguhnya yang dibutuhkan adalah kenegarawanan kepada siapa pun yang terlibat di dalam sengkarut ini, termasuk untuk BG sendiri. Andai BG mau menegakkan etika publik bahwa siapa pun yang berstatus tersangka harus mau mundur dari jabatan dan pencalonan, sesungguhnya sebagian besar dari sengkarut ini akan selesai. Jika BG mundur, amat sangat meringankan posisi antinomis yang dihadapi Jokowi dan DPR yang terlibat dalam sengkarut ini. Presiden dan DPR harus duduk bersama. Polri juga harus menyadari pentingnya dorongan penyelesaian persoalan ini. Tindakan tak penting dan tidak pas hanya akan memperkeruh situasi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 24 Januari 2015

Cicak Versus Buaya, Lagi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan. Kata serangan ini tak menggunakan tanda kutip. Artinya, serangan dalam arti yang sebenarnya. Tanpa basa-basi, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto, pemimpin KPK, sesaat setelah mengantarkan anaknya ke sekolah, Jumat pagi (23/1/2015).

Padahal, belum berselang lama, sudah ada serangan dari Mabes Polri. Bukan satu, tapi dua sekaligus. Pra-peradilan atas kebijakan KPK diajukan karena Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK.

Sekarang sedang terjadi lagi pentas Cicak versus Buaya jilid ketiga. Dan, eskalasinya semakin besar. Setidaknya ada tiga indikasinya. Pertama, konflik kelembagaan yang saat ini muncul dibawa dari konflik personal secara pribadi. Sejarah sudah lama mengajarkan.

Tengok saja kasus Anggodo Widjojo (2009) dan Djoko Susilo (2012). Koran Tempo (21/1), misalnya, memberikan informasi. Pada kasus Anggodo, dua anggota KPK waktu itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, pernah dipersangkakan dalam kasus dugaan suap Rp 5,1 miliar. Hubungan Mabes Polri dan KPK hampir retak. Dugaan kasus tersebut ternyata abal-abal. Sebab, Presiden SBY membentuk Tim Delapan guna memeriksa kasus terkait. Hasilnya, pimpinan KPK tak terbukti terima duit haram dari Anggodo. Kasus selesai.

Pada kasus Djoko Susilo, Mabes Polri-melalui Polda Lampung dan Metro Jaya-seperti unjuk kekuatan ke KPK dengan dalih ingin menahan penyidiknya, Novel Baswedan. Suasana panas. Pemicunya, KPK keukeh memeriksa jenderal bintang dua atas dugaan korupsi pengadaan alat simulasi kemudi roda empat dan roda dua. Berdasarkan hasil pemeriksaan, mantan Kakorlantas itu terbukti melakukan korupsi.

Dari dua kasus spesifik tersebut, meski ada sistem (antibodi) kelembagaan antar-penegak hukum dalam menyelesaikan konflik antar-kelembagaan, kali ini eskalasinya sangat besar. Pernyataan Presiden pun tak memberi ketenangan. Hanya normatif belaka. Konflik yang dipicu urusan personal tak boleh dibiarkan menghancurkan langkah pemberantasan korupsi.

Kedua, serangan ini kelihatannya buntut dari adonan politik. Bagaimana bisa? Hal ini dimulai dari langkah Presiden Jokowi menyodorkan nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke Komisi III DPR, lalu KPK menetapkannya sebagai tersangka. Namun, DPR tetap mengafirmasi mantan Kapolda Bali itu. Terakhir, Presiden menerbitkan keputusan untuk menunda pelantikan-bukan mencabut-calon Kapolri.

Jika dicermati dengan saksama, semua alur di atas-kecuali penetapan tersangka-adalah alur politik. Ditambah lagi dengan ancaman DPR yang ingin menginterplasi Presiden bila gagal melantik Budi Gunawan. Semua tampak seperti adonan politik. Drama Cicak versus Buaya saat ini lebih besar karena mengikutsertakan kekuasaan politik di dalamnya. Tak hanya urusan hukum seperti drama dua dan empat tahun lalu.

Ketiga, seperti terdapat friksi dalam tubuh Mabes Polri. Sempat muncul isu soal keberadaan mereka yang dianggap “pengkhianat” dalam tubuh Trunojoyo. Kemudian, muncul isu tandingan bahwa yang menuduh “pengkhianat” itu adalah pengkhianat sebenarnya. Beberapa aib seakan membuka jendela dalam tubuh Polri bahwa sedang terjadi friksi yang sangat kuat di antara para jenderal. Ditambah dengan mutasi jenderal yang terkesan sangat mendadak, keadaan yang kurang harmonis semakin terasa.

Suasana tak bahagia dalam tubuh Mabes Polri dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk sekaligus memberi kode bahwa pilihan mengusik kekuasaan mahal harganya. Dengan menangkap Bambang Widjojanto, pada bagian ini, pesannya samar mengarah ke kejelasan. Pihak eksternal sekelas KPK saja bisa dihantam, apalagi internal, apalagi hanya perseorangan. Di samping itu, ada rasa politik dalam penangkapan komisioner KPK itu.

Tiga hal di atas menunjukkan bahwa potensi tumbuhnya benih Cicak versus Buaya kali ini sangat dahsyat. Benih ini tak bisa dibiarkan terlalu lama. Gerakan publik pemberantasan korupsi masih sangat kuat untuk mengubur lagi benih terkutuk itu. Lihat saja, rakyat berbondong-bondong datang ke Jalan Rasuna Said, berdiri di belakang pemberantasan korupsi. Mereka mengecam langkah keliru polisi dalam menangkap Bambang Widjojanto. Tidak hanya di Jakarta, di daerah seperti di Yogyakarta, rakyat tak tinggal diam. Rakyat melawan kriminalisasi yang ditujukan ke pemberantasan korupsi.

Terlepas dari itu, rakyat tetap berhak memiliki asa untuk mendapatkan penegak hukum, khususnya polisi, yang jujur dan berintegritas. Jenderal Hoegeng Iman Santoso mengajarkan, “Polisi adalah polisi, bukan politisi.” Polisi perlu tahu tentang politik, tapi tak harus ber(main) politik.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 24 Januari 2015

A suitable interpellation

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Certain members of the House of Representatives (DPR), all of whom are from the opposition Red-and-White Coalition, have filed an interpellation motion to question the policy of raising fuel prices.

This is not an unorthodox measure considering fuel is a key commodity, especially after the fuel-price rise.

Moreover, the Red-and-White Coalition positions itself as the government’s opposition.

Yet as Indonesia practices a presidential government system, would interpellation be suitable? Let’s look at the implication of this right to raise opinion toward impeachment.

Interpellation is the right of DPR members to request information from the government concerning imperative and strategic governmental policies widely affecting the lives of the people.

That is how Article 20A of the 1945 Constitution grants the right to House members, which is regulated further under the provisions in the Legislative Institution Law No. 17/2014, known as the MD3 Law. Interpellation provides the right for DPR members to compel the government to elucidate an undertaken policy.

Interestingly, interpellation is closer to the parliamentary system, where it is an instrument used by parliament to control policies run by the primus inter pares and his or her cabinet. However, interpellation is also found in countries with a presidential system.

Scott Mainwaring (1994) was reluctant to define interpellation as a trait distinguishing the parliamentary from the presidential system.

Indeed many presidential countries use interpellation as part of the checks and balances between the government and parliament. Thus it is wrong to reject the existence of interpellation, as it is not a proscribed practice in a presidential system.

However, there are some basic distinctions between interpellation in the parliamentary and presidential systems. Within the parliamentary system, interpellation is an initial process that can lead to a motion of no confidence that could dissolve a government with its cabinet, as interpellation assesses a government’ policies; one erroneous policy may result in a motion of no confidence.

Unlike in a parliamentary system, interpellation in a presidential system is used to request detailed elucidation of a policy, and only when the questioned policy meets the clauses for the removal of the president can the impeachment process be initiated.
Under our Constitution, interpellation may lead to impeachment if the president is found to have committed the deeds regulated by Article 7A of the Constitution — proven guilty of violation of the law through an act of treason, corruption, bribery or other acts of grave criminal nature, or through moral turpitude, and/or no longer meeting the qualifications to serve as president. Thus impeachment is constitutionally impossible on the grounds of a policy, unless the policy contains elements of legal violation.

This means that the notion that interpellation might lead to impeachment is an excessive fear. Interpellation in our presidential system is more of a control instrument and means of public deliberation of a certain policy, and is not a route heading toward impeachment.

Regrettably, though impeachment is legally unviable, it is not politically impossible. In Indonesia, politics repeatedly finds its own logic through unlawful means in many cases. And fear materializes itself in such a context; the Red-and-White Coalition as the very locomotive
of opposition is considerably hazardous in light of its recurring political maneuvers.

The fact that interpellation is a common conduct is inevitable. Fuel is a strategic commodity and has wide effects when its price rises. Currently, its wide effects are visible; rises in prices and tariffs, and other consequences. Requesting certain information is undeniably the constitutional right of DPR members.

Back to politics, it would be overly ambitious if interpellation were used as an instrument to initiate impeachment. Many suspect that DPR members will frantically seek justification to relate to Article 7A and then foster attempts for the freedom of opinion rights that will culminate in impeachment.

This is the point where legal consciousness and political maturity are required from both the government and the House. The government should not deny the existence of interpellation. It must be aware that interpellation is a constitutional mechanism provided to extend the checks-and-balances principle between the branches of power.

At the same time, the House should not treat interpellation as a mere political tool and forget the origin of its juridical significance in the 1945 Constitution.

Only through legal consciousness and political maturity can interpellation be a good solution in maintaining our presidential system. Otherwise its use would disrupt the image of Indonesia and its presidential system, and eventually, lead to increasing divisions in the House, the government and society.

artikel ini pernah diterbitkan oleh JAKARTA POST, pada 09 Desember 2014

Jaksa Agung dan Penegakan Hukum

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

PENUNJUKAN HM Prasetyo menjadi jaksa agung oleh Presiden Joko Widodo memunculkan banyak keraguan di kalangan masyarakat menyangkut prospek penegakan hukum pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketika nama tersebut diumumkan, tak kurang dari delapan telepon kolega yang saya terima intinya mempertanyakan tiga hal utama. Pertama, apakah penunjukan tersebut melanggar aturan hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kedua, apa alasan sesungguhnya di balik penunjukan HM Prasetyo. Ketiga, bagaimana nasib penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung jika dikomandoi orang yang berlatar belakang partai politik, seperti HM Prasetyo

Melanggar UU Kejaksaan?

Jika dibaca detail dalam UU Kejaksaan, syarat menjadi Jaksa Agung memang hampir serupa dengan syarat untuk menjadi jaksa. Karena itu, ini hanya diatur secara minimalis dalam Pasal 20 UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa syarat menjadi Jaksa Agung adalah, sebagaimana poin- poin khusus yang diatur dalam syarat menjadi jaksa, warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berlatar belakang sarjana hukum, sehat jasmani dan rohani, serta berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Selebihnya, posisi Jaksa Agung mutlak menjadi hak presiden untuk memilih siapa yang ingin dia tunjuk untuk menakhodai ”Gedung Bundar”. Sepanjang tidak merangkap jabatan-jabatan yang ditentukan di Pasal 21, sosok tersebut dapat dipilih sebagai Jaksa Agung.
Menarik untuk mencermati siapa HM Prasetyo. Adalah benar dia anggota DPR dari Partai Nasdem, yang berarti ia pejabat negara atau penyelenggara negara yang diatur menurut UU. Namun, apakah itu berarti ia melanggar Pasal 21 tersebut? Tentu saja tidak! Begitu dia dipilih dan sebelum dilantik, ia sudah mengundurkan diri sebagai anggota partai sehingga otomatis ia berhenti menjadi anggota DPR.

Artinya jelas tak ada rangkap jabatan yang terjadi. Pelanggaran atas UU Kejaksaan tidak terjadi. Menunjuk HM Prasetyo selaku Jaksa Agung adalah sah secara hukum.

Walau memang benar tidak ada aturan hukum yang dilanggar secara diametral oleh JKW-JK, pertanyaan tentang alasan penunjukan itu tetap menjadi penting. Hal ini mengingat karena sebelumnya terdapat sejumlah nama lain yang juga sempat digadang-gadang menjadi Jaksa Agung dan beberapa di antaranya cukup diterima publik.

Setidaknya ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan menyangkut HM Prasetyo. Pertama, apa prestasi utama yang telah ditorehkan serta mendapatkan apresiasi publik secara berarti. Rasanya sulit untuk bisa melacaknya dengan detail. Jejak dari Kepala Kejaksaan Negeri Kotabumi (Lampung) hingga menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Agung telah dilewati dan nyaris tak terendus prestasi yang cukup menonjol. Demikian pula dalam hal pemikiran dan terobosan. Hanya Presiden yang bisa menjelaskan alasan yang melatarbelakangi sehingga akhirnya dia yang dipilih. Prestasi adalah perlambang penting dari kapabilitas untuk menduduki jabatan Jaksa Agung.

Kedua, rekam jejak. Rekam jejak adalah perlambang penting integritas. Integritas adalah faktor yang tak bisa ditawar-tawar, sebagaimana ditegaskan dalam persyaratan menjadi Jaksa Agung berdasarkan UU Kejaksaan, yaitu berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. Syarat ini syarat mutlak karena tanpa ini, seorang Jaksa Agung dapat diberhentikan dari jabatannya.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah mengapa memilih orang yang punya akseptabilitas politik sangat tinggi. Hal yang boleh jadi, melebihi akseptabilitas publiknya. Harus diingat, posisi Jaksa Agung adalah penegak hukum. Konsep penegak hukum sesungguhnya adalah tidak boleh berpihak ke mana pun, kecuali pada keadilan yang jadi esensi dari hukum itu sendiri.

Sebagai sosok yang dekat dengan kepentingan politik, Jaksa Agung kali ini bukan tak mungkin terjerat dengan kepentingan politik sehingga menghilangkan esensi penegak hukum yang seharusnya berpihak semata-mata pada keadilan. Pada era pemerintahan pasca Soeharto, tercatat hanya satu Jaksa Agung yang berlatar partai politik kental.

Menyalakan sistem peringatan dini

Pilihan politik pada jabatan hukum ini menambah panjang keraguan terhadap tim penegakan hukum pemerintahan JKW-JK. Dalam posisi sebagai pemerintah, Presiden punya tiga posisi kunci yang berkaitan dengan penegakan hukum: Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri. Sayangnya, JKW-JK telah memercayakan dua di antaranya kepada tokoh dengan latar belakang partai politik yang sangat kental. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap prospek penegakan hukum pada masa pemerintahan JKW-JK.

Dalam hal itulah, sistem peringatan dini sudah harus dinyalakan keras dan tegas kepada tim hukum pada pemerintahan JKW-JK. Saatnya kita memberikan daftar pekerjaan rumah yang dapat menjadi indikator penegakan hukum dan keadilan pada era pemerintahan baru ini.

Kasus-kasus yang sudah dijanjikan untuk diselesaikan pada masa pemerintahannya oleh JKW-JK, misalnya pelanggaran HAM pada masa lalu, adalah salah satunya. Kita juga perlu menagih penyelesaian kasus hukum yang ditengarai melibatkan aktor-aktor politik. Selain itu, juga realisasi dari komitmen untuk segera melakukan bersih-bersih kejaksaan mengingat belum banyaknya kemajuan yang dibuat dalam reformasi internal kejaksaan selama ini.

Terakhir, salah satu yang paling penting adalah kemampuan kejaksaan untuk segera berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika kejaksaan mau menguatkan pola kerja sama dengan KPK dan juga mau mengerjakan dengan sungguh-sungguh beberapa pekerjaan rumah di atas, bisa jadi kekhawatiran akan terjadi ”penegakan hukum rasa parpol” akan mereda.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 22 November 2014

12345…10
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY