Oleh
Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Memasuki tahun 2013, geliat Parpol menyiapkan diri jelang Pemilu 2014 semakin terasa. Ragam daya dan upaya dikerahkan guna mengambil hati publik. Sayangnya upaya mendapatkan simpati masyarakat dimaknai sempit sebagai praktek kampanye yang cenderung mahal. Parpol biasanya melakukan pendekatan dengan publikasi ‘mewah’ yang massif atau bahkan ‘derma terselubung’ dengan membagi-bagikan uang dan kebutuhan pokok jelang Pemilu. Besarnya biaya kampanye mendorong Parpol untuk mencari sebanyak-banyaknya pemasukan. Bukan tidak mungkin cara melawan hukum pun digunakan demi pemenangan dan didapatkannya kekuasaan. Lantas bagaimana sebenarnya tertib hukum Indonesia mengatur mengenai dana Parpol dan seberapa ketat aturan tersebut mencegah terjadinya praktek korup Parpol?.
Pengaturan yang lemah
Bukanlah hal yang sulit untuk menganalisis dana Parpol. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol. Dalam Pasal 34 ayat (1) UU Parpol menyatakan keuangan Parpol bersumber dari: iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Lebih lanjut, Pasal 35 ayat (1) UU Parpol mengatur pembatasan jumlah sumbangan per satu tahun anggaran: untuk perseorangan anggota Parpol yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART, perseorangan bukan anggota Parpol paling banyak senilai satu miliar rupiah/orang; dan perusahaan dan/ atau badan usaha paling banyak senilai empat miliar rupiah/ perusahaan dan/ atau badan usaha.
Mengacu pada aturan di atas, diketahui bahwa pembatasan jumlah sumbangan yang berasal dari perseorangan anggota Parpol menjadi kewenangan Parpol. Sehingga, barang siapa dapat memberikan paling banyak sumbangan tentu akan dapat ‘menguasai’ Parpol tersebut. Akibatnya, banyak Parpol dikendalikan oleh pengusaha yang bahkan sekaligus juga penguasa. Pengendalian Parpol oleh modal inilah yang menyebabkan pudarnya idealisme Parpol.
Selanjutnya, meskipun perusahaan dan/atau badan usaha dapat memberikan sumbangan, Pasal 40 ayat (3) huruf (d) melarang Parpol meminta atau menerima dana dari BUMN, BUMD, dan/atau BUMDes. Jika memang secara hukum Parpol terbukti melanggar Pasal tersebut maka akan diancam dengan Pasal 48 ayat (5) yakni pengurus Parpol yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Dalam Trend Corruption Report (TCR) 2012 dan Prediksi 2013, PUKAT Korupsi memandang ancaman tersebut sangat ringan untuk sebuah perbuatan curang Parpol yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang bersih dan adil.
Korupsi Parpol
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah masuknya hasil korupsi pengadaan barang dan jasa. Belajar dari korupsi wisma atlet, Parpol atau oknum Parpol terbukti membuat perusahaan-perusahaan ‘bodong’ guna memenangkan proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah. Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat menggunakan Grup Permai untuk ‘bertransaksi gelap’ dalam proyek pemerintah guna mendapat proyek pemerintah.
Untuk upaya pendanaan semacam itu, ancaman hukuman yang digunakan adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yakni setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Lebih jauh, dalam kasus Nazar, sayangnya penyidik tidak menerapkan Pasal 20 UU PTPK yang dapat memberikan hukuman pada koorporasi bodongnya. Selain itu, penyidik juga terkesan tidak berusaha lebih keras menelusuri aliran dana fee proyek tersebut agar bisa dikenakan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Karena sangat mungkin dana tersebut ‘dicuci’ agar tidak terdeteksi dan akhirnya bisa masuk sumbangan pribadi anggota Parpol atau sumbangan perusahaan.
Penutup
Dalam mengatasi peliknya persoalan dana Parpol, ada tiga hal yang perlu dilakukan dengan segera. Pertama, perubahan terhadap UU Parpol khususnya aturan pembatasan jumlah sumbangan dari perseorangan anggota Parpol dan sanksi pada Parpol yang meminta dana ke BUMN, BUMD, dan/atau BUMDes. Kedua, penegak hukum didorong mengungkap korupsi politik juga dengan menggunakan UU TPPU. Ketiga, dalam kaitan digunakannya perusahaan bodong oleh Parpol untuk berebut fee proyek maka Pasal 20 UU PTPK harus diterapkan. Konsekuensinya, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Artikel ini pernah diterbitkan Kedaulatan Rakyat Newspaper pada 23rd January 2013
It also can be read at @http://larassusanti.wordpress.com/2013/01/23/mencegah-korupsi-parpol-is-it-possible-to-save-the-national-funds-from-political-corruption/