Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Beranda
  • Uncategorized
Arsip:

Uncategorized

Memperlakukan Narapidana Korupsi

Uncategorized Monday, 19 October 2015

oleh : Zainal Arifin Mochtar, (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

Genderang perang terhadap para koruptor sudah lama ditabuh.Tapi selama ini, harus diakui, jarang ditabuh oleh pasukan Istana. Karena itu, gebrakan memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tahanan koruptor, paling tidak, telah memberi sedikit harapan akan adanya efek gema tabuhan perang tersebut. Meski terkesan lamat-lamat, tapi nyata sudah ada.

Sejujurnya ini ide yang sudah cukup uzur. Berbagai fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada banyak koruptor, bahkan sering kali dengan melanggar aturan, sudah memberi perlakuan menyenangkan bagi para koruptor. Berbagai usulan sudah dibicarakan dan diberikan mengiringi. Kini ia menemukan jalan birokratif dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui tangan pemegang tampuk pemimpin Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru.

Logika kebijakannya “kurang-lebih terbaca”begini. Pertama, remisi dan pembebasan bersyarat tidak dihentikan, melainkan lebih diketatkan syaratnya. Kedua, pengetatan syarat itu dilakukan dengan menambahkan penafsiran terhadap ketentuan di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, khususnya perihal remisi di Pasal 34 ayat 3 yang menyebutkan adanya syarat “berkelakuan baik”. Sebagai syarat mendapatkan remisi, maka “berkelakuan baik”diterjemahkan sebagai syarat yang, antara lain, mau menjadi justice collaborator. Sedangkan untuk pembebasan bersyarat, maka ditambahkan interpretasi baru atas klausul di pasal 43 ayat 5 tentang syarat mendapatkannya, yakni “wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat”.Ketiga, kebijakan ini akan berlaku prospektif, berlaku ke depan, sehingga di kemudian hari siapa pun harus tunduk kepada ketentuan baru tersebut.

Beberapa catatan

Kenapa kebijakan ini masih harus diberi tanda “kurang-lebih terbaca”, karena memang tidak ada satu pun dokumen, apalagi produk hukum, yang dipakai untuk menjelaskan bingkai besar kebijakan ini. Dengan demikian, siapa pun terpaksa memang harus “meraba”mengenai syaratsyarat baru yang merupakan pengetatan untuk menjerakan para koruptor ini.

Ada beberapa hal besar yang mudah menjadi sorotan. Pertama, mengapa hanya membicarakan remisi dan pembebasan bersyarat? Bagaimana dengan program asimilasi ataupun cuti? Hal yang bisa menegaskan, jangan-jangan Kementerian Hukum memang mempunyai ide bernas ini tapi masih dalam tahapan kajian. Sejujurnya koruptor tak hanya mendapatkan hal istimewa dari remisi dan pembebasan bersyarat, tapi juga kemungkinan mendapatkan anugerah yang sama dari asimilasi. Kalau memang akan diketatkan, semuanya harus diperhatikan.

Kedua, memberi interpretasi baru tanpa menguatkannya secara produk hukum yang bisa terbaca dan menjadi alat ukur yang jelas bagi siapa saja yang akan mengaksesnya. Yang namanya kebijakan tentu harus punya standar yang baku. Misalnya siapa saja yang boleh dan tidak boleh diberi remisi serta pembebasan bersyarat. Kalau yang mencuat baru sebatas sebagai justice collaborator, bagaimana dengan ide yang lainnya? Bagaimana dengan para terpidana koruptor yang telah membayar denda dan uang pengganti sebagai bagian dari cita-cita negara untuk melakukan asset recovery? Bisakah diperinci apa saja syarat baru pengetatan itu?

Sebuah kebijakan harus diperinci secara detail tentang apa saja yang akan dijadikan sandaran untuk pemberian atau penolakan remisi dan pembebasan bersyarat. Mustahil membiarkan hal itu menjadi ranah penafsiran oleh direktur jenderal yang memberi pertimbangan kepada menteri semata. Sebab, jika penafsiran itu hanya diberikan kepada menteri untuk digunakan tanpa adanya standar baku, bisa terjebak ke ketidaksamaan perlakuan. Sebab, penafsiran dirjen dalam memberi pertimbangan kepada menteri bisa berubah-ubah seiring dengan cognitive talent-nya. Standar yang berubah-ubah tentu saja akan menjadi pertanyaan besar dalam term negara hukum. Jika tidak ingin berubah-ubah, segera perinci apa saja yang akan menjadi syarat baru yang ketat untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat tersebut.

Pilihan yang mungkin

Karena itu, tak dapat dimungkiri bahwa ide luar biasa inilah yang harus diselamatkan sekarang. Diselamatkan dari kemungkinan dipermasalahkan dan dirusak oleh orang yang berpikir hukum tanpa mengimbuhinya dengan pemihakan kepada agenda besar pemberantasan korupsi.

Caranya tentu saja sederhana.Kementerian Hukum dan HAM bisa memilih satu di antara tiga pilihan yang mungkin untuk menguatkan ide besar buat memberi efek jera bagi para koruptor. Pertama, dan ini langkah paling ideal, adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Paling tidak, menambahkan syarat pengetatan yang diinginkan sebagai bagian untuk memerinci penafsiran atas klausul “berkelakuan baik”dan “memperhatikan rasa keadilan masyarakat”. Jangan lupa, PP Nomor 28 Tahun 2006 sudah merupakan bagian dari “pengetatan”terhadap para koruptor. Maka, kalau idenya adalah pengetatan yang sama, paling ideal adalah dengan menuangkannya ke dalam revisi atas peraturan pemerintah.

Atau bisa memilih pilihan kedua, yakni dengan mengeluarkan peraturan presiden sebagai bagian dari penjelasan yang terperinci terhadap aturan mengenai syarat mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Pasal 35 PP Nomor 28 Tahun 2006 sudah menegaskan soal pendelegasian peraturan lebih lanjut soal remisi di peraturan presiden. Sedangkan untuk pembebasan bersyarat dapat diperinci lebih jelas di keputusan menteri, sebagaimana yang diperintahkan di Pasal 47 ayat 3 PP Nomor 32 Tahun 1999 yang tidak diganti melalui PP Nomor 28 Tahun 2006.

Atau sekurang-kurangnya memilih jalan yang ketiga, yakni menjelaskan secara detail tafsiran baru yang menjadi pilihan baru Kementerian Hukum melalui surat edaran bagi para kepala lembaga pemasyarakatan dalam mengusulkan pemberian remisi patokan buat dirjen dalam memberi pertimbangan kepada menteri. Paling tidak, bisa menjadi patokan yang berarti ketika akan memutuskan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Intinya, ide besar untuk memperlakukan narapidana korupsi dengan lebih pas yang kemudian sudah berubah menjadi kebijakan luar biasa ini harus diselamatkan. Inilah bagian dari upaya luar biasa melawan kejahatan yang luar biasa yang sudah lama kita impikan. Dan inilah pembuktian untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: apakah ia mau dan mampu menguatkan pemberantasan korupsi dengan mendorong hal ini dengan kuat, termasuk menguatkan aturan hukum yang dibutuhkan? Sebab, memang hal ini sungguh sebuah kebijakan yang patut diselamatkan.

Artikel ini pernah diterbitkan KORAN TEMPO, pada 07 November 2011

Polisi Bukan Penegak Hukum

Uncategorized Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Tak semua polisi adalah penegak hukum. Kira-kira begitu petikan kesimpulan ketika mendengar hakim Sarpin Rizaldi, hakim tunggal dalam praperadilan permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, membacakan putusan (16/2/2015). Pernyataan itu menjadi bagian dari pertimbangan hukum vonis.

Seakan tak percaya, sejak kapan ada dua model polisi: satunya dianggap sebagai penegak hukum, lainnya bukan penegak hukum? Apakah memang demikian adanya?

Tak ada satu pun judul undang-undang tentang penegak hukum. Bahkan dalam konstitusi sebelum diamendemen atau sesudahnya, juga tidak memuat dengan jelas apa dan siapa penegak hukum itu. Penjelasan tentang bab Pertahanan Negara, misalnya, hanya ditulis “cukup jelas.”

Hukum tidak mengatur secara spesifik istilah penegak hukum. Pengertian mengenai penegak hukum disebar dalam banyak undang-undang. Meskipun begitu, mari menengok kembali cantolan keyakinan makna yang dianut selama ini dalam negara hukum Republik Indonesia. Karena yang dipersoalkan di sini apakah ada polisi yang bukan penegak hukum, pertama sekali yang harus dirujuk adalah UUD 1945.

Pasal 30 ayat (4) Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara UUD 1945 menyatakan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Aturan ini menunjukkan bahwa tugas kepolisian salah satunya adalah menegakkan hukum. Meski bunyi konstitusi sangat terang, apakah semua polisi dalam kepolisian adalah penegak hukum?

UUD memerintahkan pengaturan lebih lanjut perihal susunan, kedudukan, dan kewenangan kepolisian dalam sebuah undang-undang. Lalu terbitlah UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan fungsi penegakan hukum kepolisian ternyata diulangi dalam Pasal 2 UU No. 2/2002. Sebagian bunyi Pasal 2 tersebut, yaitu, “Fungsi kepolisian adalah…penegakan hukum…”

Yang menarik dari UU Kepolisian termaktub dalam Pasal 3 ayat (1), “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.” Ketentuan pasal ini bermakna dua hal. Pertama, kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian. Kedua, ada pengemban fungsi kepolisian yang bukan berasal dari kepolisian.

Demi menguatkan Pasal 3 ayat (1), dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 2/2002 ditekankan kembali fungsi kepolisian sebagai alat negara yang menegakkan hukum. Ternyata, sampai pada pasal terakhir dalam UU Kepolisian, tidak ada satu pun ketentuan yang membedakan bahwa polisi ada yang penegak hukum dan ada yang bukan. Artinya, berdasarkan undang-undang, semua anggota kepolisian adalah penegak hukum.

Apakah berhenti sampai di sini, bagaimanakah undang-undang lain menyebutkan tentang penegak hukum? Setali tiga uang. Aturan hukum lain juga meyakini polisi sebagai penegak hukum. Contohnya, Pasal 31 ayat (3) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur intersepsi (penyadapan). Pasal itu menyebutkan, selain kepolisian dan kejaksaan, penegak hukum lain boleh melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang.

UU ITE mengamanatkan bahwa kegiatan penegakan hukum-dalam hal ini penyadapan-harus dilakukan oleh penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Penyebutannya bukan menunjuk ke orang per orang, melainkan kelembagaan. Artinya, setiap polisi dalam institusi kepolisian adalah penegak hukum. Tak kurang, tak lebih.

Adanya anggapan bahwa polisi harus dibedakan menjadi penegak hukum dan bukan penegak hukum harus dinilai sebagai bentuk penurunan derajat kehormatan kepolisian. Sebuah penilaian yang tak dapat diterima akal sehat. Dalam sejarahnya, polisi sebagai penegak hukum memberikan banyak konstribusi yang menemani tumbuhnya negara Indonesia.

Awaloedin Djamin, mantan Kapolri, dalam tulisannya yang berjudul “Struktur Kelembagaan dan Profesionalisme Polisi” (1995) memaparkan garis historis kepolisian. Di Indonesia diakui fungsi kepolisian telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Setelah Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memerintahkan negara menggunakan kembali UUD 1945, dua tahun kemudian, terbit UU No. 13/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Konsideran menimbang undang-undang itu dengan sangat gamblang menulis, “…agar supaya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara penegak hukum, dalam menyelesaikan revolusi…”

Para pendiri bangsa bersepakat bahwa kepolisian dibentuk sebagai penegak hukum. Maka pada 1 Juli 1955, sekaligus sebagai hari lahir kepolisian atau Hari Bhayangkara, Presiden Sukarno meresmikan pedoman hidup kepolisian: Tribrata. Isi Tribrata yang ketiga adalah Yana anucasaradharma. Polisi wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat. Semua polisi merupakan penegak hukum. Jika demikian, masihkah ada pikiran bahwa ada polisi yang bukan penegak hukum?

Artikel ini pernah diterbitkan Koran Tempo pada 21 Februari 2015

Memartabatkan KPK

Uncategorized Tuesday, 3 March 2015

Oleh

Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

PRESIDEN Joko Widodo telah mengambil kebijakan terkait dengan kriminalisasi KPK. Tiga orang ditunjuk mengisi kursi pimpinan yang kosong si komisi antirasuah itu.

Taufiequrachman Ruki diangkat sebagai ketua sementara menggantikan Abraham Samad, sedangkan Johan Budi Sapto Prabowo menggantikan sementara Bambang Widjojanto. Adapun Indiryanto Seno Adji mengisi tempat Busyro Muqoddas, yang memang sudah berakhir masa baktinya. Harapannya, tiga orang pilihan Presiden itu mampu menjaga martabat atau marwah KPK sebagai pemberantas korupsi.

Namun yang mengagetkan, setelah pelantikan, Ruki mengeluarkan pendapat bahwa bisa saja kasus Komjen Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kenapa mengagetkan? Karena komisi antikorupsi itu tak biasa, atau bahkan belum pernah, mengambil opsi itu. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur lembaga antikorupsi itu berwenang melakukan koordinasi dan supervisi.

Jadi, komisi itu berhak mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun berkait supervisi, komisi tersebut berhak mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi yang menjalankan tugas pemberantasan korupsi atau pelayanan publik. Artinya, hukum memberikan ruang kepada KPK untuk mengomandoi pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sampai tahap ketika kepolisian dan kejaksaan tak sanggup menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, atau orang yang berkait dua kelompok itu, meresahkan masyarakat, dan/atau dengan kerugian di atas Rp 1 miliar maka KPK dapat mengambil alih. Pasal 8 Ayat (3) UU KPK menyatakan,

’’Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu 14 hari, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK’’. Pasal ini menunjukkan alur supervisi dari kepolisian dan kejaksaan ke KPK, bukan sebaliknya: dari KPK ke kepolisian dan kejaksaan.

KPK-lah yang mengambil penyidikan dan penuntutan kasus dari kepolisian dan kejaksaan (top-down), dan bukannya kepolisian dan kejaksaan yang mengambil penyidikan dan penuntutan dari KPK (bottom- up). Mengapa demikian? Pasalnya hal ini berkaitan dengan martabat KPK yang menjadi pemimpin utama penanganan korupsi.

Bila KPK benar-benar melimpahkan penyidikan kasus Budi ke Kejagung maka sangat menggelikan dan bisa jadi bertentangan dengan undangundang. Andai pelimpahan kasus setelah penyidikan tidak diperbolehkan, bolehkah dilakukan sebelum penyidikan? Hukum hanya mewanti-wanti pascapenyidikan dan pascapenuntutan.

Logikanya, prapenyidikan dan prapenuntutan dugaan kasus yang mampir ke KPK boleh diteruskan ke eksternal. Ketentuan pada bagian sidik sangat berkait Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002: ’’KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

î Jika misalnya, KPK melimpahkan kasus Budi ke Kejagung maka tersangka dan semua dokumen yang berkait pun harus diserahkan. Lalu apa baju hukum administratif yang dipakai sebagai dasar hukum pelimpahannya. Apakah SP3? Padahal, SP3 KPK dilarang oleh undang-undang. Maknanya, selain penyidikan dan penuntutan, KPK bisa meneruskan dugaan kasus ke instansi lain.

Kurang Tepat

Contoh, laporan tahunan KPK 2013 memaparkan, ada 2.119 laporan yang ditindaklanjuti ke pihak eksternal. BPK menerima 26 laporan, dan berturut-turut BPKP (4), Bawasda (1), Itjen dan LPND (50), Kejaksaan (63), Kepolisian (34), MA (65) lainnya (3), serta tanggapan atas pengaduan 1.873 laporan.

Penerusan laporan yang belum sampai tahap sidik dan tuntut juga menjadi bagian dari fungsi KPK sebagai trigger mechanism, mendorong penegak hukum lain untuk juga aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pendek kata, KPK kurang tepat melimpahkan kasus Komjen Budi ke Kejagung.

Lalu, bagaimana memeriksa kasus jenderal bintang tiga itu ketika sidang praperadilan yang diputus Hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan (16/2/15) menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah? Komisi antikorupsi itu harus mengambil upaya hukum biasa atau luar biasa yang disediakan oleh undang-undang.

Kabarnya KPK sudah mengajukan kasasi atas putusan praperadilan Budi. Hal ini bisa mengacu Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berarti MAharus memeriksa permohonan kasasi dari KPK.

Atau misalnya, KPK juga dapat menempuh upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan kembali (PK). Rapat kamar pidana MA tanggal 19-20 Desember 2013 memutuskan bahwa PK untuk putusan praperadilan diperbolehkan bila ditemukan indikasi penyelundupan hukum.

Ini adalah upaya hukum yang dilindungi undangundang untuk menjaga marwah KPK sebagai pemberantas korupsi. Apakah kasasi atau PK KPK akan diterima? Biarlah itu menjadi domain pengadilan yang bertugas memutus perkara. (10)

Hifdzil Alim, peneliti dari Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM, serta Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Artikel ini pernah diterbitkan Suara Merdeka pada 24 Februari 2015

Mencegah Korupsi Parpol

Uncategorized Tuesday, 7 May 2013

Oleh

Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Memasuki tahun 2013, geliat Parpol menyiapkan diri jelang Pemilu 2014 semakin terasa. Ragam daya dan upaya dikerahkan guna mengambil hati publik. Sayangnya upaya mendapatkan simpati masyarakat dimaknai sempit sebagai praktek kampanye yang cenderung mahal. Parpol biasanya melakukan pendekatan dengan publikasi ‘mewah’ yang massif atau bahkan ‘derma terselubung’ dengan membagi-bagikan uang dan kebutuhan pokok jelang Pemilu. Besarnya biaya kampanye mendorong Parpol untuk mencari sebanyak-banyaknya pemasukan. Bukan tidak mungkin cara melawan hukum pun digunakan demi pemenangan dan didapatkannya kekuasaan. Lantas bagaimana sebenarnya tertib hukum Indonesia mengatur mengenai dana Parpol dan seberapa ketat aturan tersebut mencegah terjadinya praktek korup Parpol?.

Pengaturan yang lemah

Bukanlah hal yang sulit untuk menganalisis dana Parpol. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol. Dalam Pasal 34 ayat (1) UU Parpol menyatakan keuangan Parpol bersumber dari: iuran anggota; sumbangan yang sah menurut hukum; dan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Lebih lanjut, Pasal 35 ayat (1) UU Parpol mengatur pembatasan jumlah sumbangan per satu tahun anggaran: untuk perseorangan anggota Parpol yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART,  perseorangan bukan anggota Parpol paling banyak senilai satu miliar rupiah/orang; dan perusahaan dan/ atau badan usaha paling banyak senilai empat miliar rupiah/ perusahaan dan/ atau badan usaha.

Mengacu pada aturan di atas, diketahui bahwa pembatasan jumlah sumbangan yang berasal dari perseorangan anggota Parpol menjadi kewenangan Parpol. Sehingga, barang siapa dapat memberikan paling banyak sumbangan tentu akan dapat ‘menguasai’ Parpol tersebut. Akibatnya, banyak Parpol dikendalikan oleh pengusaha yang bahkan sekaligus juga penguasa. Pengendalian Parpol oleh modal inilah yang menyebabkan pudarnya idealisme Parpol.

Selanjutnya, meskipun perusahaan dan/atau badan usaha dapat memberikan sumbangan,  Pasal 40 ayat (3) huruf (d) melarang Parpol meminta atau menerima dana dari BUMN, BUMD, dan/atau BUMDes. Jika memang secara hukum Parpol terbukti melanggar Pasal tersebut maka akan diancam dengan Pasal 48 ayat (5) yakni pengurus Parpol yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Dalam Trend Corruption Report (TCR) 2012 dan Prediksi 2013, PUKAT Korupsi memandang ancaman tersebut sangat ringan untuk sebuah perbuatan curang Parpol yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang bersih dan adil.          

Korupsi Parpol

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah masuknya hasil korupsi pengadaan barang dan jasa. Belajar dari korupsi wisma atlet, Parpol atau oknum Parpol terbukti membuat perusahaan-perusahaan ‘bodong’ guna memenangkan proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah. Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat menggunakan Grup Permai untuk ‘bertransaksi gelap’ dalam proyek pemerintah guna mendapat proyek pemerintah.

Untuk upaya pendanaan semacam itu, ancaman hukuman yang digunakan adalah Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yakni setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Lebih jauh, dalam kasus Nazar, sayangnya penyidik tidak menerapkan Pasal 20 UU PTPK yang dapat memberikan hukuman pada koorporasi bodongnya. Selain itu, penyidik juga terkesan tidak berusaha lebih keras menelusuri aliran dana fee proyek tersebut agar bisa dikenakan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Karena sangat mungkin dana tersebut ‘dicuci’ agar tidak terdeteksi dan akhirnya bisa masuk sumbangan pribadi anggota Parpol atau sumbangan perusahaan.

Penutup

Dalam mengatasi peliknya persoalan dana Parpol, ada tiga hal yang perlu dilakukan dengan segera. Pertama, perubahan terhadap UU Parpol khususnya aturan pembatasan jumlah sumbangan dari perseorangan anggota Parpol dan sanksi pada Parpol yang meminta dana ke BUMN, BUMD, dan/atau BUMDes. Kedua, penegak hukum didorong mengungkap korupsi politik juga dengan menggunakan UU TPPU. Ketiga, dalam kaitan digunakannya perusahaan bodong oleh Parpol untuk berebut fee proyek maka Pasal 20 UU PTPK harus diterapkan. Konsekuensinya, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Artikel ini pernah diterbitkan Kedaulatan Rakyat Newspaper pada 23rd January 2013

It also can be read at @http://larassusanti.wordpress.com/2013/01/23/mencegah-korupsi-parpol-is-it-possible-to-save-the-national-funds-from-political-corruption/

Cuci Uang dan Cuci Dosa Suap

Uncategorized Tuesday, 7 May 2013

Oleh 
Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Adalah benar bahwa setiap orang bisa berbuat salah dan berhak memperbaiki diri. Juga benar bahwa rakyat harus percaya pada pemimpinnya agar pemerintahan dapat berjalan maksimal. Tapi, bukankah telah sejak lama Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa faith must be enforced by reason when fait becomes blind, it dies. Intinya, kepercayaan harus didasarkan pada alasan, jika kepercayaan diberikan tanpa alasan maka ia akan menjadi buta. Tentu kita semua paham bahwa kepercayaan yang buta akan cenderung disalah gunakan oleh penerimanya.

Demikian halnya kepercayaan kita sebagai rakyat pada para politisi. Rasanya sulit untuk kembali pada para politisi karena sudah kesekian kali politisi tertangkap melakukan suap. Mulai dari korupsi wisma atlet, hambalang, pengadaan Al-Quran, sampai korupsi Dana Penyesuaian Infrasturktur Daerah (DPID). Kini giliran Lutfi Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena dugaan suap sapi impor. Penangkapan LHI merupakan langkah lebih lanjut KPK yang telah menangkap tangan Ahmad Fathanah (LHI) yang diduga teman dekat LHI karena menerima suap dari pengurus PT Indoguna Utama. Disinyalir suap senilai 1 milyar ini digunakan untuk memuluskan pemenangan tender sapi impor kepada PT Indoguna Utama.

Korupsi dan Korporasi

Kasus suap semacam ini bukanlah modus baru. Selama tahun 2012, kita disuguhi drama berburu persenan Parpol di sejumlah proyek kementerian. Sejumlah Parpol menyatakan biaya politik yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi. Syahwat mengeruk uang negara semakin menjadi ditahun 2012. Dalam Trend Corruption Report 2012, PuKAT Korupsi mencatat pemerintah pusat dam daerah bekerja sama dengan politisi di lembaga perwakilan dan swasta dalam pemenangan tender. Berkaca pada suap wisma atlet, Nazaruddin (Nazar), politisi Partai Demokrat (PD), bekerjasama dengan oknum kementerian dan swasta. Dalam hal aktor swasta, Grup Permai menjadi perusahaan yang dikendalikan Nazar agar bisa memenangkan proyek wisma atlet dan memberikan sejumlah fee.

Pengungkapan kasus Nazar bukanlah hal yang mudah bagi KPK. Meski akhirnya bisa menghukum politiikus kelas atas dan pejabat teras Kemenpora, korupsi wisma atlet masih menyisakan kerisauan. Nazar dan pelaku lainnya tidak didakwa atas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Grup Permai yang nyata-nyata berdasarkan persidangan digunakan untuk motif jahat sama sekali tidak diberikan sanksi. Padahal, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) mengatur mengenai hukuman yang bisa diberikan pada koorporasi. Akhirnya Nazar dan kawan-kawan dipidana dengan hukuman yang tidak maksimal dan perusahaannya masih eksis. Belum lagi, pernyataan Nazar soal aliran fee dalam konvensi PD sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.

Pasal Pencucian Uang

Mengacu pada pengalaman penanganan suap wisma atlet, seharusnya KPK dapat lebih cermat dalam mengusut suap impor sapi. Pertama, mata rantai pelaku harus bisa diungkap tuntas. LHI terbilang ‘orang luar’ dalam pengadaan sapi impor. Tentu saja ada otoritas yang bertanggung jawab dalam pengadaan sapi impor, sebut saja Kementerian Pertanian (Kementan). Sangat mungkin, sejumlah oknum Kementan juga terlibat dalam pemulusan jalan berburu persenan ini. Tak hanya itu, politisi PKS lainnya baik yang ada di DPR maupun fungsionaris, harus diperiksa. Kedua,KPK harus berani menggunakan Pasal 20 UU PTPK dan TPPU karena bisa jadi telah terjadi permufakatan jahat untuk mencuci fee tersebut agar tidak bisa diketahui oleh penyidik. Atau fee tersebut bukanlah yang pertama karena telah sejak lama publik mencium adanya praktik kotor impor sapi. Sebelum pelaku kasus tersebut tertangkap tangan, gelagat kongkalikong impor sapi sudah diberitakan media.

Ketiga, Parpol manapun yang politisinya kedapatan menerima suap seharusnya malu dan berbesar hati. Malu karena mereka melalaikan janji-janji pemberantasan korupsi. Dan berbesar hati mendukung segala proses hukum berjalan untuk cuci dosa.  Karena disinilah komitmen Parpol diuji, benarkah mereka punya niat baik untuk memberantas korupsi di dalam tubuh nya sendiri. Demikian halnya dengan PKS, suap impor sapi bisa dijadikan media untuk membersikan diri dari praktek kotor. PKS harus mau membuka diri bukan justru melawan proses hukum terhadap LHI. Sekali lagi, guna membuktikan jargon pemberantasan korupsi juga bisa diterapkan ke dalam dirinya.

Jelang Pemilu 2014, praktek korupsi politik diprediksi akan semakin marak dan terang-terangan. Kita sebagai masyarakat harus terus waspada, jangan sampai kembali terbujuk rayuan Parpol korup. Publik harus memberikan pelajaran pada Parpol. Bukan berarti Parpol harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengawas yang baik, memberikan masukan dan kritik. Bukan tidak mungkin, kelak korupsi politik akan berkurang karena publik tidak lagi permisif dan larut dalam fanatisme semu kepada Parpol.

Artikel ini pernah diterbitkan Jawa Pos newspaper pada 7th February 2013

It also can be read at @http://larassusanti.wordpress.com/2013/02/07/cuci-uang-dan-cuci-dosa-suap-money-laundering-and-washing-away-the-sins/

DERITA MENDERA DERA

Uncategorized Tuesday, 7 May 2013

by

Laras Susanti

(Researcher at The Center for Anti Corruption Studies Faculty of Law UGM)

*this article was published by Kompas Daily Newspaper (26 February 2013)

Negeri ini kembali berduka. Pasalnya seorang bayi bernama Dera Nur Anggraeni merenggang nyawa. Ia menderita gangguan pernapasan yang membutuhkan perawatan intersif dan memadai. Sayangnya, upaya keluarga Dera mencari rumah sakit (RS) tak berbuah hasil. Meski berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), sejumlah RS Pemerintah menolak Dera karena kamar yang tersedia sudah penuh. Lainnya berdalih tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk Dera. Sementara jika merujuk pada RS Swasta, keluarga Dera diminta membayar deposit puluhan juta rupiah.

Peristiwa ini seharusnya tidak dipandang sambil lalu, karena telah sejak lama pemerintah mencanangkan program jaminan kesehatan bagi warga. Ada beragam program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan secara spesifik, Jaminan Persalinan (Jampersal) hadir bagi ibu hamil dan anak. Lantas mengapa Dera dan mungkin banyak bayi lainnya ditolak? Benarkah sulit bagi pemerintah untuk menyediakan fasilitas memadai bagi warga khususnya ibu dan anak.

Jaminan Kesehatan

Derita Dera bukanlah derita biasa. Deritanya menggambarkan ketidakberdayaan pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi warga negara terutama di bidang kesehatan. Setiap tahun pemerintah menganggarkan sejumlah dana untuk menjamin hak mendapatkan pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Contohnya Jamkesmas, program ini didanai dari APBN untuk warga miskin, di tahun 2012, pemerintah menganggarkan Rp 7,8 triliun. Jumlah ini meningkat, karena di tahun sebelumnya pemerintah hanya menggelontorkan Rp 6,9 triliun. Realitanya, tahun 2010, Kementerian Kesehatan (Kemkes) melansir hanya 10% dari total 76,4 juta warga miskin yang memanfaatkan Jamkesmas. Selain itu, setiap pemerintahan daerah juga berkewajiban menjamin hak warganya dengan Jamkesda. Miliaran rupiah dikeluarkan dari kas daerah untuk program ini. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, Gubernur Joko Widodo (Jokowi) melansirnya sebagai Kartu Sehat Jakarta.

Lebih lanjut, khusus ibu hamil dan anak yang dikandung terdapat Jampersal. Tahun lalu, DPR menyepakati sebanyak Rp. 1,56 triliun diperuntukan untuk memberikan layanan kesehatan pada ibu hamil dan anak (Kompas, 2012). Sayangnya di banyak daerah, penyerapannya Jampersal bahkan di bawah 30%. Seharusnya jaminan kesehatan ini memberikan pelayanan pada masa kehamilan, persalinan, nifas (42 hari setelah melahirkan) dan bayi baru lahir (sampai usia 28 hari). Pembiayaan yang dijamin yakni pemeriksaan kesehatan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas, pelayanan program Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Jaminan ini hanya dapat diberikan pada keluarga yang tidak menerima jenis jaminan kesehatan lainnya.

Ini merupakan fenomena yang mengherankan, dengan jumlah warga miskin berjumlah puluhan juta jiwa seharusnya jaminan pelayanan kesehatan bisa terserap maksimal. Data penduduk miskin yang bermasalah, sosialisasi yang minim, birokrasi pengurusan yang berbelit, juga belum optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, dan pihak RS dipandang menjadi biang kerok.

Serbuan Mafia

Dalam kondisi yang serba semrawut, miliaran dana yang dikucurkan bisa menjadi sasaran empuk koruptor. Contohnya dugaan korupsi Jamkesmas terjadi di Binjai, Sumatera Utara, yang diperkirakan merugikan negara sebanyak Rp 11,3 milyar. Jumlah fantastis yang seharusnya digunakan oleh warga yang sakit justru menjadi bancakan pejabat korup. Kasus daerah sebenarnya merupakan cerminan dari bobroknya pengelolaan alokasi pelayanan kesehatan oleh pemerintah pusat. Indonesian Corruption Watch (ICW) mempublikasikan bahwa sepanjang 2008-2009, ada sekitar Rp 128 miliar dana kesehatan yang dikorupsi. Sejalan dengan temuan ICW, PuKAT Korupsi mencatat sepanjang semester pertama 2012, ada enam kasus korupsi kesehatan yang ditangani penegak hukum, termasuk yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan (MenKes) Siti Fadhilah Supari.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa program-program negara untuk mensejahterakan rakyat justru menjadi rebutan bagi pemburu proyek. Yang menjadi fokus adalah berapa banyak fee yang akan diterima oleh sejumlah oknum ketimbang berapa besar manfaat yang dirasakan oleh warga khususnya mereka yang tak berpunya. Bagaimana mungkin memberikan fasilitas yang maksimal jika pengadaan alat kesehatan tidak sesuai perencanaan. Sebut saja, korupsi pengadaan rontgen portable di Puskemas daerah tertinggal, dana proyek digelembungkan bahkan alat tersebut tidak disalurkan.

Potret semrawut sistem jaminan kesehatan dan jamaknya korupsi setidaknya menggambarkan betapa sulitnya warga mendapatkan haknya. Mengacu pada kasus Dera, keluarganya hanya memiliki SKTM artinya belum memiliki jaminan kesehatan apapun. Maka seharusnya terbuka banyak peluang bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mencukupi kebutuhannya, termasuk Jampersal. Nyatanya, tetap sulit bagi Dera mendapatkan pertolongan. Sejumlah pejabat boleh angkat bicara dan menjelaskan. Mereka tentu boleh memberikan alasan. Tapi, Dera telah berpulang. Rasanyapun sulit bagi kita untuk menerima alasan para pejabat. Alasan yang justru menunjukan minimnya performa karena minimnya political will.  Terdengar kabar bahwa Presiden akan mengunjungi keluarga Dera, sayangnya kasus Dera menggambarkan pemerintah telah gagal melindungi hak warga negara. Khususnya mereka yang tergolong kelompok rentan (vulnerable people), yang hidup dalam kemiskinan dan tak punya cukup daya untuk memperjuangkan hak-haknya.

it also can be read at @http://larassusanti.wordpress.com/2013/03/01/derita-mendera-dera-the-failure-of-government-health-subsidy/

Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY