Demikian halnya kepercayaan kita sebagai rakyat pada para politisi. Rasanya sulit untuk kembali pada para politisi karena sudah kesekian kali politisi tertangkap melakukan suap. Mulai dari korupsi wisma atlet, hambalang, pengadaan Al-Quran, sampai korupsi Dana Penyesuaian Infrasturktur Daerah (DPID). Kini giliran Lutfi Hassan Ishaq (LHI), Presiden PKS, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena dugaan suap sapi impor. Penangkapan LHI merupakan langkah lebih lanjut KPK yang telah menangkap tangan Ahmad Fathanah (LHI) yang diduga teman dekat LHI karena menerima suap dari pengurus PT Indoguna Utama. Disinyalir suap senilai 1 milyar ini digunakan untuk memuluskan pemenangan tender sapi impor kepada PT Indoguna Utama.
Korupsi dan Korporasi
Kasus suap semacam ini bukanlah modus baru. Selama tahun 2012, kita disuguhi drama berburu persenan Parpol di sejumlah proyek kementerian. Sejumlah Parpol menyatakan biaya politik yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi. Syahwat mengeruk uang negara semakin menjadi ditahun 2012. Dalam Trend Corruption Report 2012, PuKAT Korupsi mencatat pemerintah pusat dam daerah bekerja sama dengan politisi di lembaga perwakilan dan swasta dalam pemenangan tender. Berkaca pada suap wisma atlet, Nazaruddin (Nazar), politisi Partai Demokrat (PD), bekerjasama dengan oknum kementerian dan swasta. Dalam hal aktor swasta, Grup Permai menjadi perusahaan yang dikendalikan Nazar agar bisa memenangkan proyek wisma atlet dan memberikan sejumlah fee.
Pengungkapan kasus Nazar bukanlah hal yang mudah bagi KPK. Meski akhirnya bisa menghukum politiikus kelas atas dan pejabat teras Kemenpora, korupsi wisma atlet masih menyisakan kerisauan. Nazar dan pelaku lainnya tidak didakwa atas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Grup Permai yang nyata-nyata berdasarkan persidangan digunakan untuk motif jahat sama sekali tidak diberikan sanksi. Padahal, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) mengatur mengenai hukuman yang bisa diberikan pada koorporasi. Akhirnya Nazar dan kawan-kawan dipidana dengan hukuman yang tidak maksimal dan perusahaannya masih eksis. Belum lagi, pernyataan Nazar soal aliran fee dalam konvensi PD sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.
Pasal Pencucian Uang
Mengacu pada pengalaman penanganan suap wisma atlet, seharusnya KPK dapat lebih cermat dalam mengusut suap impor sapi. Pertama, mata rantai pelaku harus bisa diungkap tuntas. LHI terbilang ‘orang luar’ dalam pengadaan sapi impor. Tentu saja ada otoritas yang bertanggung jawab dalam pengadaan sapi impor, sebut saja Kementerian Pertanian (Kementan). Sangat mungkin, sejumlah oknum Kementan juga terlibat dalam pemulusan jalan berburu persenan ini. Tak hanya itu, politisi PKS lainnya baik yang ada di DPR maupun fungsionaris, harus diperiksa. Kedua,KPK harus berani menggunakan Pasal 20 UU PTPK dan TPPU karena bisa jadi telah terjadi permufakatan jahat untuk mencuci fee tersebut agar tidak bisa diketahui oleh penyidik. Atau fee tersebut bukanlah yang pertama karena telah sejak lama publik mencium adanya praktik kotor impor sapi. Sebelum pelaku kasus tersebut tertangkap tangan, gelagat kongkalikong impor sapi sudah diberitakan media.
Ketiga, Parpol manapun yang politisinya kedapatan menerima suap seharusnya malu dan berbesar hati. Malu karena mereka melalaikan janji-janji pemberantasan korupsi. Dan berbesar hati mendukung segala proses hukum berjalan untuk cuci dosa. Karena disinilah komitmen Parpol diuji, benarkah mereka punya niat baik untuk memberantas korupsi di dalam tubuh nya sendiri. Demikian halnya dengan PKS, suap impor sapi bisa dijadikan media untuk membersikan diri dari praktek kotor. PKS harus mau membuka diri bukan justru melawan proses hukum terhadap LHI. Sekali lagi, guna membuktikan jargon pemberantasan korupsi juga bisa diterapkan ke dalam dirinya.
Jelang Pemilu 2014, praktek korupsi politik diprediksi akan semakin marak dan terang-terangan. Kita sebagai masyarakat harus terus waspada, jangan sampai kembali terbujuk rayuan Parpol korup. Publik harus memberikan pelajaran pada Parpol. Bukan berarti Parpol harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengawas yang baik, memberikan masukan dan kritik. Bukan tidak mungkin, kelak korupsi politik akan berkurang karena publik tidak lagi permisif dan larut dalam fanatisme semu kepada Parpol.
Artikel ini pernah diterbitkan Jawa Pos newspaper pada 7th February 2013
It also can be read at @http://larassusanti.wordpress.com/2013/02/07/cuci-uang-dan-cuci-dosa-suap-money-laundering-and-washing-away-the-sins/